DOA MUSTAJAB



"Ya Allah, jangan kembalikan aku ke keluargakau, dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan."

Doa itu keluar dari mulut `Amru bin Jumuh, ketika ia bersiap-siap mengenakan baju perang dan bermaksud berangkat bersama kaum Muslimin ke medan Uhud. Ini adalah kali pertama bagi `Amru terjun ke medan perang, karena dia kakinya pincang. Didalam Al-Quran disebutkan: "Tiada dosa atas orang-orang buta, atas orang-orang pincang dan atas orang sakit untuk tidak ikut berperang." (QC. Al-Fath:17)

Karena kepincangannya itu maka `Amru tidak wajib ikut berperang, di samping keempat anaknya telah pergi ke medan perang. Tidak seorangpun menduga `Amru dengan keadaannya yang seperti itu akan memanggul senjata dan bergabung dengan kaum Muslimin lainnya untuk berperang.

Sebenarnya, kaumnya telah mencegah dia dengan mengatakan: "Sadarilah hai `Amru, bahwa engkau pincang. Tak usahlah ikut berperang bersama Nabi saw."

Namun `Amru menjawab: "Mereka semua pergi ke surga, apakah aku harus duduk-duduk bersama kalian?"

Meski `Amru berkeras, kaumnya tetap mencegahnya pergi ke medan perang. Karena itu `Amru kemudian menghadap Rasulullah Saw dan berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah. Kaumku mencegahku pergi berperang bersama Tuan. Demi Allah, aku ingin menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini."

"Engkau dimaafkan. Berperang tidak wajib atas dirimu." Kata Nabi mengingatkan.

"Aku tahu itu, wahai Rasulullah. Tetapi aku ingin berangkat ke sana." Kata `Amru tetap berkeras.

Melihat semangat yang begitu kuat, Rasulullah kemudian bersabda kepada kaum `Amru: "Biarlah dia pergi. Semoga Allah menganugerahkan kesyahidan kepadanya."

Dengan terpincang-pincang `Amru akhirnya ikut juga berperang di barisan depan bersama seorang anaknya. Mereka berperang dengan gagah berani, seakan-akan berteriak: "Aku mendambakan surga, aku mendambakan mati: sampai akhirnya ajal menemui mereka.”

Setelah perang usai, kaum wanita yang ikut ke medan perang semuanya pulang. Di antara mereka adalah ‘Aisyah. Di tengah perjalanan pulang itu `Aisyah melihat Hindun, istri `Amru bin Jumuh sedang menuntun unta ke arah  MadinAh. `Aisyah bertanya: "Bagaiman beritanya?"

"Baik-baik , Rasulullah selamat Musibah yang ada ringan-ringan saja. Sedang orang-orang kafir pulang dengan kemarahan, "jawab Hindun.

"Mayat siapakah di atas unta itu?"

"Saudaraku, anakku dan suamiku."

"Akan dibawa ke mana?"

"Akan dikubur di Madinah."

Setelah itu Hindun melanjutkan perjalanan sambil menuntun untanya ke arah Madinah. Namun untanya berjalan terseot-seot lalu merebah.

"Barangkali terlalu berat," kata `Aisyah.

"Tidak. Unta ini kuat sekali. Mungkin ada sebab lain." Jawab Hindun.

Ia kemudian memukul unta tersebut sampai berdiri dan berjalan kembali, namun binatang itu berjalan dengan cepat ke arah Uhud dan lagi-lagi merebah ketika di belokkan ke arah Madinah. 

Menyaksikan pemandangan aneh itu, Hindun kemudian menghadap kepada Rasulullah dan menyampaikan peristiwa yang dialaminya: "Hai Rasulullah. Jasad saudaraku, anakku dan suamiku akan kubawa dengan unta ini untuk dikuburkan di Madinah. Tapi binatang ini tak mau berjalan bahkan berbalik ke Uhud dengan cepat."

Rasulullah berkata kepada Hindun: "Sungguh unta ini sangat kuat. Apakah suamimu tidak berkata apa-apa ketika hendak ke Uhud?"

"Benar ya Rasulullah. Ketika hendak berangkat dia menghadap ke kiblat dan berdoa: "Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan aku ke keluargaku dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan."

"Karena itulah unta ini tidak mau berangkat ke Medinah. Allah SWT tidak mau mengembalikan jasad ini ke Madinah" kata beliau lagi.

"Sesungguhnya diantara kamu sekalian ada orang-orang jika berdoa kepada Allah benar-benar dikabulkan. Diantara mereka itu adalah suamimu, `Amru bin Jumuh," sambung Nabi.

Setelah itu Rasulullah memerintahkan agar ketiga jasad itu dikuburkan di Uhud. Selanjutnya beliau berkata kepada Hindun: "Mereka akan bertemu di surga. `Amru bin Jumuh, suamimu; Khulad, anakmu; dan Abdullah, saudaramu."

"Ya Rasulullah. Doakan aku agar Allah mengumpulkan aku bersama mereka,: kata Hindun memohon kepada Nabi.



NAMA-NAMA ALLAH DALAM BAHASA IBRANI

Dalam bahasa Ibrani, kata Allah disebut dengan berbagai kata :

Adonai, Tuan atau Tuanku atau Allah yang Perkasa

El, Allah yang Kuat

Elohim, Sang Pencipta yang Maha Kuasa

Elyon, Allah yang Maha Tinggi

Elohe Yisrael, Allah Israel

El Olam, Allah yang Kekal

El Roi, Allah yang Melihat

El Shaddai, Allah yang Maha Perkasa

Immanuel, Allah bersama kita

YHWH , (Nama ini sangat pribadi bagi Allah ,terdiri dari 4 huruf: YHWH, Nama ini sangat takut diucapkan oleh orang Ibrani (Israel) sehingga mereka hanya menggunakan kata Adonai (=tuan, tuanku) saat membaca tulisan YHWH (Yahweh) di kitab suci.)

YHWH ditulis lebih dari 6800 kali diulang dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan diterjemahkan dengan tulisan TUHAN.

Ayeh Asher Ayeh, AKU adalah AKU

Yahweh Jireh, TUHAN akan mencukupi

Yahweh Mekaddishkem, TUHAN yang menyucikan

Yahweh Nissi, TUHAN adalah Panjiku

Yahweh Rapha, TUHAN yang menyembuhkan

Yahweh Sebaoth, TUHAN Bala Tentara

Yahweh Shalom, TUHAN sumber damai

Yahweh Shammah, TUHAN hadir

Yahweh Tsidkenu, TUHAN keselamatan kita

YHWH /YAH, AKU, TUHAN yang tidak pernah berubah, TUHAN yang swa-ada.

NAMA-NAMA LAINNYA :
---------------------------
Adir — "Yang Kuat"

Adon Olam — "Penguasa Semesta"

Avinu Malkeinu — "Bapa kami, Raja kami"

Boreh — "Pencipta" atau "Khalik"

Ehyeh asher Ehiyeh — "Aku Adalah Aku": versi Ibrani modern untuk "Ehyeh asher Ehyeh"

Elohei Avraham, Elohei Yitzchak , Elohei Ya`aqov _"Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub"

El ha-Gibbor — "Allah sang pahlawan" atau "Allah yang kuat"

Emet — "Kebenaran"

E'in Sof — "tak berakhir, tak terhingga", nama "Kabbalistik" untuk Allah
Ro'eh Yisra'el — "Gembala Israel"

Ha-Kaddosh, Baruch Hu — "Yang Kudus, Diberkatilah Dia"

Kaddosh Israel — "Yang Kudus dari Israel"

Melekh ha-Melakhim — "Raja segala raja" atau Melech Malchei ha-Melachim "Raja segala raja diraja", untuk menyatakan keutamaan terharap semua gelar penguasa di dunia

Makom atau Hamakom — harafiah: "tempat itu", artinya "Maha-ada" ("Omnipresent"); lihat Tzimtzum

Magen Avraham — "Perisai dari Abraham"

Ribbono shel `Olam — "Penguasa Semesta"

YHWH-Yireh (Jehovah-jireh) — "TUHAN akan menyediakan" (Kejadian 22:13-14)

YHWH-Rafa — "TUHAN menyembuhkan" (Keluaran 15:26)

YHWH-Niss"i (Yahweh-Nissi) — "TUHAN panji-panji kita" (Keluaran 17:8-15)

YHWH-Syalom — "TUHAN kedamaian kita" (Hakim-hakim 6:24)

YHWH-Ra-ah — "TUHAN gembalaku" (Mazmur 23:1)

YHWH-Tsidkenu — "TUHAN kebajikan kita" (Yeremia 23:6)

YHWH-Syamah (Jehovah-shammah) — "TUHAN hadir" (Yehezkiel 48:35)

Tzur Israel — "Batu karang dari Israel".

Dalam kebudayaan yang lebih dahulu dari bangsa ibrani .... EL sudah dikenal di :

El atauʾĒl dalam bahasa Akkadian.

EL merupakan nama bagi figur perkasa penguasa alam semesta dan segala isinya yang tiada tandingannya , disembah di beberapa wilayah di Timur Tengah, termasuk di Kanaan, Israel, di masa lalu.

Dari temuan tablet di Rās Shamrā (Ugarit), Syria, ia adalah suami dari Dewi Asherah dan ayah dari Ba'al Hadad (Baal).

Manuskrip tentang keberadaan El termuat dalam arsip kerajaan bertarikh 2.300 SM yang ditemukan di Ebla (Tell Mardikh), Syria.

El dan Baal bersimbolkan lembu (banteng).
Keduanya mengenakan tanduk banteng di mahkotanya.

sumber :

http://en.wikipedia.org/wiki/El_%28deity%29
^ (Indonesia) Martinus T. Mawene.2008. Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual. Jakarta:BPK Gunung Mulia. Hlm.27.
^ Santoso, Samuel. 2007. Yahwe, El, dan Nama Tuhan dalam buku Berteologi di Tengah Perubahan. Jakarta: Komisi Pengkajian Teologi GKI Sinode Wilayah JABAR.
^ Santoso, Samuel. 2007. Yahwe, El, dan Nama Tuhan dalam buku Berteologi di Tengah Perubahan. Jakarta: Komisi Pengkajian Teologi GKI Sinode Wilayah JABAR.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Daftar_nama

#Foto: El dengan bentuk lembu bersayap.


DIALOG ABU HANIFAH DAN ILMUWAN KAFIR



Imam Abu Hanifah pernah bercerita: 

Ada seorang ilmuwan besar dari kalangan bangsa Romawi, tapi ia orang kafir. Ulama-ulama Islam membiarkan saja, kecuali seorang, yaitu Hammad guru Abu Hanifah, oleh karena itu dia segan bila bertemu dengannya. Pada hari kedua, manusia berkumpul di masjid, orang kafir itu naik mimbar dan mau mengadakan tukar pikiran dengan siapa saja, dia hendak menyerang ulama-ulama Islam. 

Di antara shof-shof masjid bangun seorang laki-laki muda, dialah Abu Hanifah, dan ketika sudah berada dekat depan mimbar, dia berkata :"Inilah saya, hendak tukar pikiran dengan tuan".

Mata Abu Hanifah berusaha untuk menguasai suasana, namun dia tetap merendahkan diri karena mudanya. Namun dia pun angkat bicara, "Katakan pendapat tuan!"

Ilmuwan kafir itu heran akan keberanian Abu Hanifah, lalu bertanya, "Masuk akalkah bila dikatakan bahwa ada pertama yang tidak apa-apanya sebelumnya?".

"Benar, tahukah tuan tentang hitungan?" tanya Abu Hanifah.

"Ya"

"Apa itu sebelum angka satu?"

"Ia adalah pertama, dan yang paling pertama. Tak ada angka lain sebelum angka satu", jawab sang kafir itu.

"Demikian pula Allah Swt" jawab Abu Hanifah

"Di mana Dia sekarang? Sesuatu yang ada mesti ada tempatnya", tanya si kafir tersebut.

"Tahukah tuan bagaimana bentuk susu?"

"Ya"

"Adakah di dalam susu itu keju?"

"Ya"

"Di mana, di sebelah mana tempatnya keju itu sekarang?", tanya Abu Hanifah.

"Tak ada tempat yang khusus. Keju itu menyeluruh meliputi dan bercampur dengan susu!", jawab ilmuwan kafir itu.

"Begitu pulalah Allah, tidak bertempat dan tidak ditempatkan", jelas Abu Hanifah.

"Ke arah manakah Allah sekarang menghadap? Sebab segala sesuatu pasti punya arah?", tanya orang kafir itu.

"Jika tuan menyalakan lampu, ke arah manakah sinar lampu itu menghadap?", tanya Abu Hanifah. "Sinarnya menghadap ke semua arah"

"Begitu pulalah Allah Pencipta langit dan bumi"

"Ya! Apa yang sedang Allah kerjakan sekarang?"

"Tuan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dari atas mimbar, sedangkan saya menjawabnya dari atas lantai. Maka untuk menjawab pertanyaan tuan, saya mohon tuan turun dari atas mimbar dan saya akan menjawabnya di tempat tuan", pinta Abu Hanifah.

Ilmuwan kafir itu turun dari mimbarnya, dan Abu Hanifah naik di atas. "Baiklah, sekarang saya akan menjawab pertanyaan tuan. Tuan bertanya apa pekerjaan Allah sekarang?"

Ilmuwan kafir mengangguk.



"Pekerjaan-Nya sekarang, ialah bahwa apabila di atas mimbar sedang berdiri seorang kafir seperti tuan, Dia akan menurunkannya seperti sekarang, sedangkan apabila ada seorang mu`min di lantai, dengan segera itu pula Dia akan mengangkatnya ke atas mimbar, demikian pekerjaan Allah setiap waktu". 

Para hadirin puas dan begitu pula orang kafir itu.

SANAD KEILMUAN WARGA NU



AHLU SUNNAH WALJAMA'AH pertama kali didirikan oleh:


-IMAM ABUL HASAN ASA'ARI wafat tahun 234 hijriyah kitab2 beliau:

1.maqolatul islamiyyin

2.al ibanah

3.arrisalah ilaahli saghr

4.alluma'

dan ketika

ketika beliau wafat, digantikan muridnya

-ABDULLOH ALBAHILY

saat beliau wafat diganti muridx lagi

-ABU BAKAR ALBAQILANI..

kitab2 beliau:

1.attamhid

2.alinshob

3.al-i'jahz

4.al-bayan

albaqillany wafat diganti muridnya lagi,,

-ABDUL MALIK IMAM HAROMAIN ALJUWAINI..

kitabnya:

1.lathoiful isyarot

2.alkassiyah

3.hiyatful umam

4.assamain

5.alarba'in

imam haromain wafat diganti muridnya

-ABU HAMID MUHAMMAD ALGHOZALI

kitabnya:

1.ihcya' ulummuddin

2.al wajiz

3.al washit

4.al bashit

5.ma'arijul quds

6.michatul anwar

7.bidatul bhidayah

8.minhajul 'abidin

dan ada 200 lebih karangan beliau... dan ketika IMAM GHOZALI wafat digantikan muridx

-ABDUL TARIKH ALRESTANI

kitabnya:

1.almilal wal nichal

2.mushoro abdul falashifa

3.DLL

beliau wafat diganti muridnya

-MUHAMMAD BIN UMAR FAHCRURROZI

kitabnya..

1.Tafsir mafatikhul goib 16 jilid

2.'ilmu kalam almatolibul 'aliyah 5jilid

3.usul fik'ih almahcsu fi'ilmi ushul 5jilid.

4.DLL

beliau wafat diganti muridnya

-'ADUDDIN ALIZJI

kitabnya:

1.almawafiki'il kalam 7jilid

beliau wafat digantikan muridnya

-ABDULLOH ASSANUSI

kitabnya

1.al 'akidatul qubro

saat imam sanusi wafat digantikan muridnya

-IBROHIM AL-BAIJURI

kitabnya:

1.Jauhar Tauhid(diterjemahkan bahasa jawa oleh KYAI SHOLEH DARAT SEMARANG)

ketika beliau wafat digantikan muridnya

-AHMAD DASUKI

kitabnya:

1.ummul barohin

saat imam dasuki wafat, digantikan oleh muridnya

-AHCMAD ZAINY DAHLAN

kitabnya..

1.addurorru sanniyah

2.almuttamimmah

saat beliau wafat digantikan oleh muridnya

-AHCMAD KHOTIB SAMBAS KALIMANTAN

kitabnya

1.fatkhul 'arifin

ketika beliau wafat diganti muridnya

-IMAM NAWAWI BANTEN

kitabnya

1.sarah safina

2.sarah sulam

3. fatkhul munir

4.DLL

beliau mempunyai murid2

-SYEKH MAHCFUD TERMAS PACITAN

-SYEKH KHOLIL BANGKALAN

- SYEKH ARSYAD BANJAR MARSIN MARTAPURA

-SYKEH SAMAD PALEMBANG

-DLL

dan beliau2 ini punya murid

-SYEKH HASYIM AS'ARI

-SYEKH WAHAB CHASBULLOH

-SYEKH BISRI MUSTOFA

-DLL

MBAH HASYIM 'ASYAARI pulang dari mekkah mendirikan NU (NAHDATUL ULAMA')

MBAH hasyim wafat diteruskan oleh putranya

-KH WACHID HASYIM

wafat ketika masih usia 39tahun dan menjadi ketua umum PBNU merangkap sebagei mentri agama beliau juga mantan anggota inti TIM9 PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) jadi ULAMA' NU ikut membuat NEGARA INI

ketika beliau wafat digantikan putranya yang luarbiasa diatas luar biasa

-KH.ABUDURROHCMAN WAHCID (GUSDUR)

beliau tnggal 28 Desember beliau ziaroh ke TEBU IRENG beliau dawuh (sok dino kemis aku gowo rene maneh) besok hari kamis aku bawa kesini lagi, saat itu semua keluarga, ajudan sahabat dan teman2 GUS DUR hanya diam karna berfikir sungguh repotnya karna GUS DUR sendiri juga sedang sakit,, tapi ternyata benar hari kamis 31Desember JENAZAH beliau lah yang disemayamkan diTEBU IRENG. bnyak sekali cerita kalau mengenai GUSDUR..

dan kita kembali kepada IMAM Abu HASAN AS'ARI, beliau adalah murid dari

-IMAM ABU'ALI ALJUBA'I

beliau adalah murid dari

-ABU HASYIM ALJUBA'I

dan beliau adalah murid dari

-ABUL GUDH'I AL'ALLAF

beliau adalah murid dari

-IBROHIM ANNADHOM

beliau adalah murid dari

-AMER BIN 'UBAID (Pencipta Ilmu BALAGHOH)

beliau adalah murid dari

-WASHIL BIN ATHO' (Pencipta Ilmu KALAM)

beliau adalah murid dari

-MUHAMMAD putra SAYYIDINA ALI dari Istri kedua. Saat SITI FATIMAH wafat SAYYIDINA ALI menikahg lagi dengan KHOULAH BINTI JA'FAR dari suku Bani Hanifah dan mempnyai satu anak zaitu MUHAMMAD BIN SAYYIDINA ALI . bila SAYYIDINA HASAN DAN HUSEN bin SAYYIDINA ALI putra saat bersama SITI FATIMAH berkecimpung dalam bidang politik dan ketatanegaraan saat itu.. sedangkan MUHAMMAD bin sayyidina ALI berkecimpung dalam majelis2 ILMU.. beliau juga mempunyai murid lagi seperti

-MA'BAD ALJUHANI

-GHOILAN ADDIMAKI (Pendiri Firqoh AL-KHODDARIYAH)

-WASHIL BIN ATO' (Pendiri MU'TAZILLAH)

MUHAMMAD bin SAYYIDINA ALI murid dari ayahnya

-SAYYIDINA ALI KAROMALLOH WAJ'HAH

dan SAYYIDINA ALI adalah murid dari

- KANJENG NABI MUHAMMAD ROSULULLOH SOLALLOHU'ALAIHI WASSALAM...

jadi kita sebagei warga nahdliyin atau orang NU harus bangga karna sanad keilmuan kita sangat muttasil... maaf untuk menyingkat tulisan tidak bisa menyebutkan satu persatu para KYAI.. dan tolong bila ada penulisan kata2nya harap dikoreksi trimakasih... (saya tulis dari pengajian KH. Said 'Aqil Siroj)

PENDUDUK SURGA



Di dalam kitab Al-Multaqith diceritakan, bahawa sebagian bangsa Alawiyah ada yang bermukim di daerah Balkha. Ada sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami isteri dengan beberapa anak wanita mereka. Keadaan keluarga tersebut serba kekurangan.    

Ketika suaminya meninggal dunia, isteri beserta anak-anak wanitanya meninggalkan kampung halamannya pergi ke Samarkand untuk menghindari ejekan orang di sekitarnya. Kejadian tersebut berlaku pada musim dingin. Saat mereka telah memasuki kota, si ibu mengajak anak-anaknya singgah di masjid, sementara dirinya pergi untuk mencari sesuap nasi.    

Di tengah perjalanan si ibu berjumpa dengan dua kelompok orang, yang satu dipimpin oleh seorang Muslim yang merupakan tokoh di kampung itu sendiri, sedang kelompok satunya lagi dipimpin oleh seorang Majusi, pemimpin kampung itu. Si ibu tersebut lalu menghampiri tokoh tersebut dan menjelaskan mengenai dirinya serta berkata, "Aku mohon agar tuan berkenan memberiku makanan untuk keperluan malam ini!"

"Tunjukkan bukti-bukti bahwa dirimu benar-benar bangsa Alawiyah," kata tokoh orang Muslim di kampung itu.

"Di kampung tidak ada orang yang mengenaliku," kata ibu tersebut.  
  
Sang tokoh itu pun akhirnya tidak menghiraukannya. Seterusnya dia hendak memohon kepada si Majusi, pemimpin kampung tersebut. Setelah menjelaskan tentang dirinya dengan tokoh kampung, lelaki Majusi lalu memerintahkan kepada salah seorang anggota keluarganya untuk datang ke masjid bersama si ibu itu, akhirnya dibawalah seluruh keluarga janda tersebut untuk tinggal di rumah Majusi yang memberinya pula pelbagai perhiasan serba indah.    

Sementara tokoh masyarakat yang beragama Islam itu bermimpi seakan-akan hari Kiamat telah tiba dan panji kebenaran berada di atas kepala Rasulullah saw. Dia pun sempat menyaksikan sebuah istana tersusun dari zamrud berwarna hijau.

Kepada Rasulullah SAW. dia lalu bertanya, "Wahai Rasululah! Milik siapa istana ini?"

"Milik seorang Muslim yang mengesakan Allah," jawab baginda.

"Wahai Rasulullah, aku pun seorang Muslim," jawabnya.

"Coba tunjukkan kepadaku bahawa dirimu benar-benar seorang Muslim yang mengesakan Allah," sabda Rasulullah SAW. kepadanya.

Tokoh di kampung itu pun bingung atas pertanyaan baginda, dan kepadanya Rasulullah SAW. kemudian bersabda lagi, "Di saat wanita Alawiyah datang kepadamu, bukankah kamu berkata kepadanya, "Tunjukkan mengenai dirimu kepadaku!" Karenanya, demikian juga yang harus kamu lakukan, yaitu tunjukkan dahulu mengenai bukti diri sebagai seorang Muslim kepadaku!"    

Sesaat kemudian lelaki muslim itu terjaga dari tidurnya dan air matanya pun jatuh berderai, lalu dia memukuli mukanya sendiri. Dia berkeliling kota untuk mencari wanita Alawiyah yang pernah memohon pertolongan kepadanya, hingga dia mengetahui di mana kini wanita tersebut berada.    

Lelaki Muslim itu segera berangkat ke rumah orang Majusi yang telah menampung wanita Alawiyah beserta anak-anaknya. 

"Di mana wanita Alawiyah itu?” tanya lelaki Muslim kepada orang Majusi. 

"Ada padaku," jawab si Majusi.

"Aku sekarang menghendakinya," ujar lelaki Muslim itu.

"Tidak semudah itu," jawab lelaki Majusi.

"Ambillah uang seribu dinar dariku dan kemudian serahkan mereka padaku," desak lelaki Muslim.

"Aku tidak akan melepaskannya. Mereka telah tinggal di rumahku dan dari mereka aku telah mendapatkan berkatnya," jawab lelaki Majusi itu.

"Tidak boleh, engkau harus menyerahkannya," ujar lelaki Muslim itu seolah-olah mengugat.   
 

Maka, lelaki Majusi pun menegaskan kepada tokoh Muslim itu, "Akulah yang berhak menentukan apa yang kamu minta. Dan istana yang pernah kamu lihat dalam mimpi itu adalah diciptakan untukku! Adakah kamu mau menunjukkan keislamanmu kepadaku? Demi Allah, aku dan seluruh keluargaku tidak akan tidur sebelum kami memeluk agama Islam di hadapan wanita Alawiyah itu, dan aku pun telah bermimpi sepertimana yang kamu mimpikan, serta Rasulullah SAW. sendiri telah pula bersabda kepadaku, "Adakah wanita Alawiyah beserta anaknya itu padamu?" "Ya, benar," jawabku. "Istana itu adalah milikmu dan seluruh keluargamu. Kamu dan semua keluargamu termasuk penduduk syurga, kerana Allah sejak zaman azali dahulu telah menciptakanmu sebagai orang Mukmin," sabda baginda kembali.

NASEHAT WALIYALLAH IBRAHIM BIN ADHAM



Pada suatu hari Ibrahim bin Adham didatangi oleh seorang lelaki yang gemar melakukan maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabi'ah. Ia meminta nasehat kepada Ibrahim agar ia dapat menghentikan perbuatan maksiatnya. 

Ia berkata, "Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya!"

Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata, "Jika kau mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa." 

Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu yang besar Jahdar balik bertanya, "Apa saja syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?"

"Syarat pertama, jika engkau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan rezeki Allah," ucap Ibrahim.

Jahdar mengernyitkan dahinya lalu berkata, "Lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rezeki Allah?"

"Benar," jawab Ibrahim dengan tegas. "Bila engkau telah mengetahuinya, masih pantaskah engkau memakan rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintahnya?"

"Baiklah," jawab Jahdar tampak menyerah. "Kemudian apa syarat yang kedua?" "Kalau kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya," kata Ibrahim lebih tegas lagi.

Syarat kedua membuat Jahdar lebih kaget lagi. "Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?"

"Benar wahai hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat maksiat?" tanya Ibrahim.

"Kau benar Aba Ishak," ucap Jahdar kemudian. "Lalu apa syarat ketiga?" tanya Jahdar dengan penasaran.

"Kalau kau masih bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempat bersembunyi dari-Nya."

Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. "Ya Aba Ishak, nasihat macam apa semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?"

"Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rezeki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah kau melakukan semua itu?" tanya Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak bingung dan terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi'ah tidak berkutik dan membenarkannya.

"Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat keempat?"

"Jika malaikat maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal saleh."

Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukannya selama ini. Ia kemudian berkata, "Tidak mungkin... tidak mungkin semua itu aku lakukan."

"Wahai hamba Allah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?"

Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu. 
"Yang terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat nanti, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!"

Lelaki itu nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh penyesalan. Dengan wajah penuh sesal ia berkata, "Cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah."

Jahdar memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan khusyu'.

Ibrahim bin Adham yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu mendengar bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah terjadi pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi karena ulah gubernur yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.

Selanjutnya, Ibrahim bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi'ah untuk menghadap. Setelah ia menghadap, Ibrahim pun berkata, "Wahai Jahdar, kini engkau telah bertaubat. Alangkah mulianya bila taubatmu itu disertai amal kebajikan. Untuk itu, aku ingin memerintahkan engkau untuk memberantas kezaliman yang terjadi di salah satu wilayah kekuasaanku."

Mendengar perkataan Ibrahim bin Adham tersebut Jahdar menjawab, "Wahai Aba Ishak, sungguh suatu anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang terbaik untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap kemampuan yang diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah gerangan kezaliman itu terjadi?"

Ibrahim bin Adham menjawab, "Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi gubernur di sana."

Betapa kagetnya Jahdaar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata, "Ya Allah, ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah adalah sebuah wilayah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku lakukan dengan gerombolanku. Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan keadilan. Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala rahmat-Nya."



Kemudian, berangkatlah Jahdar bin Rabi'ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan amanah menegakkan keadilan. Pada akhirnya ia berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah yang taat hingga akhir hayatnya.

BERAMALNYA MASDAR DAN ISIM MASDAR



Masdar bisa beramal seperti fi’ilnya, baik muta’addi atau lazim.[1]

Jika fi’ilnya berupa fi’il lazim, maka dia hanya membutuhkan fa’il saja, seperti (يُعْجِبُنِي اجْتِهاَدُ سَعِيْدٍ).[2]

Dan jika fi’ilnya muta’addi, maka dia membutuhkan fa’il dan maf’ul bih. Sehingga masdar itu akan memuta’addikan lafal yang dimuta’addikan oleh fi’ilnya, adakalanya dengan dirinya sendiri, seperti (ساَءَنِي عِصْياَنُكَ أَباَكَ), atau dengan bantuan huruf jer, seperti (سَاءَنِي مُرُورُكَ بِمَوَاضِعِ الشُّبْهَةِ).[3]

Perlu diketahui bahwa masdar tidaklah beramal seperti fi’ilnya karena keserupaannya dia dengan fi’il, tetapi karena masdar adalah yang asal.[4]

Diperbolehkan untuk membuang fa’ilnya masdar tanpa mengandung dlamir yang kembali kepada fa’il, seperti (سَرَّنِي تَكْرِيْمُ الْعاَمِلِيْنَ), dan itu tidak diperbolehkan dalam fi’il, karena jika fa’ilnya fi’il tidak diperlihatkan, maka fa’il itu berupa dlamir mustatir, seperti yang telah lalu dalam bab fa’il.[5] (Lafal (تَكْرِيْمُ) adalah masdar yang diidlafahkan kepada maf’ulnya, yaitu (الْعاَمِلِيْنَ), dan fa’ilnya berupa lafal yang dibuang yang penakdirannya (تَكْرِيْمُكُمْ أَو تَكْرِيْمُ النَّاسِ)).

Diperbolehkan untuk membuang maf’ulnya masdar,[6] seperti (وَ ماَ كاَنَ اسْتِغْفاَرُ إِبْراَهِيْمَ لِأَبِيْهِ إِلاَّ عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهاَ إِياَّهُ) yang artinya (اسْتِغْفاَرُ إِبْراَهِيْمَ رَبَّهُ لِأَبِيْهِ).

Masdar bisa beramal seperti fi’ilnya, baik diidlafahkan, seperti (وَ لَولاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ), atau dikosongkan dari (ال) dan idlafah, seperti (أَو إِطْعاَمٌ فِي يَومٍ ذِي مَسْغَبَةٍ يَتِيْماً ذَا مَقْرَبَةٍ أَو مِسْكِيْناً ذَا مَقْرَبَةٍ), atau dima’rifatkan dengan (ال) namun pengamalannya adalah qalil,[7] seperti syair,

لَقَدْ عَلِمَتْ أُولَى الْمُغِيْرَةِ أَنَّنِي * كَرَرْتُ فَلَمْ أَنْكُلْ عَنِ الضَّرْبِ مِسْمِعاَ

Disyaratkan dalam pengamalannya masdar adalah masdar harus menjadi pengganti dari fi’ilnya, seperti (ضَرْباً اللِّصَّ), atau sah jika masuknya fi’il yang bersamaan dengan (أَنْ) atau (ماَ) yang keduanya adalah huruf masdariyyah pada tempatnya masdar, seperti ketika kita mengucapkan (سَرَّنِي فَهْمُكَ الدَّرْسَ) maka sah jika diucapkan (سَرَّنِي أَنْ تَفْهَمَ الدَّرْسَ), dan ketika kita mengucapkan (يُعْجِبُنِي قَولُكَ الْحَقَّ الآنَ) maka sah jika diucapkan (يُعْجِبُنِي ماَ تَقُولُ الْحَقَّ الآنَ).[8] Namun, jika masdar itu diinginkan untuk zaman madli atau mustaqbal, maka (أَنْ) yang dikira-kirakan, dan ketika yang diinginkan dengannya adalah zaman haal, maka dikira-kirakan dengan (ماَ), seperti yang telah kalian lihat.[9]

Oleh karenanya, tidak bisa beramal masdar yang untuk taukid atau yang menjelaskan nau’, masdar mushagghar dan masdar yang diinginkan tidak untuk perbuatan atau hadats. Sehingga tidak diperbolehkan diucapkan, (عَلَّمْتُهُ تَعْلِيْماً الْمَسْأَلَةَ), dengan membaca (الْمَسْأَلَةَ) yang diamalkan oleh (تَعْلِيْماً) tetapi oleh (عَلَّمْتُهُ), dan tidak boleh diucapkan (ضَرَبْتُ ضَرْبَةً وَ ضَرْبَتَيْنِ اللّصَّ) dengan membaca nashab (اللّصَّ) yang diamalkan oleh (ضَرْبَةً) atau  (ضَرْبَتَيْنِ), tetapi oleh (ضَرَبْتُ), tidak boleh diucapakan (يُعْجِبُنِي ضُرَيْبُكَ اللصَّ) dengan membaca nashab (اللصَّ) yang diamalkan oleh (ضُرَيْبُكَ) tetapi oleh (يُعْجِبُنِي), dan tidak diucapkan (لِسَعِيْدٍ صَوتٌ صَوتَ حَماَمٍ) dengan membaca nashab (صَوتَ) yang kedua yang dinashabkan oleh (صَوتٌ) yang pertama, tetapi oleh fi’il yang dibuang atau oleh (يُصَوِّتُ صَوتَ حَماَمٍ) yang artinya (يُصَوِّتُ تَصْوِيْتَهُ), dan boleh juga menjadi maf’ulnya fi’il yang dibuang dengan penakdiran (يُشْبِهُ صَوتَ حَماَمٍ).

Tidak diperbolehkan mendahulukan ma’mulnya masdar atas masdar, kecuali jika masdar itu menjadi pengganti dari fi’ilnya, seperti (عَمَلَكَ إِتْقاَناً), atau ma’mulnya berupa dzaraf atau jer-majrur,[10] seperti (فَلَماَّ بَلَغَ مَعَهُ السّعْيَ) dan (وَ لاَ تَأْخُذْكُمْ بِهاَ رَأْفَةٌ).

Disyaratkan dalam mengamalnya masdar adalah masdar tidak boleh dina’ati sebelum sempurnanya dia beramal,[11] sehingga tidak boleh diucapkan (سَرَّنِي إِكْراَمُكَ الْعَظِيْمُ خاَلِداً), tetapi wajib untuk diakhirkan, sehingga kita ucapkan (سَرَّنِي إِكْراَمُكَ خاَلِداً الْعَظِيْمُ).

Ketika masdar diidlafahkan kepada fa’ilnya, maka fa’il itu dijerkan secara lafdzi dan marfu’ secara hukmi (artinya bermahall rafa’), kemudian masdar itu menashabkan maf’ul bih,[12] seperti (سَرَّنِي فَهْمُ زُهَيْرٍ الدَّرْسَ).

Dan ketika masdar diidlafahkan kepada maf’ulnya, maka maf’ul itu kita baca jer secara lafdzi dan manshub secara hukmi (artinya bermahall nashab), kemudian masdar itu merafa’kan fa’il,[13] seperti (سَرَّنِي فَهْمُ الدَّرْسِ زُهَيْرٌ).

Ketika ada tabi’ yang mengikuti fa’il yang diidlafahkan kepada masdar atau maf’ul yang diidlafahkan kepada masdar, maka tabi’ itu diperbolehkan untuk dibaca jer karena menjaga pada lafalnya, atau dibaca rafa’ atau nashab karena menjaga pada mahallnya,[14] sehingga kita ucapkan (سَرَّنِي اجْتِهاَدُ زُهَيْرٍ الصَّغِيْرِ أَو الصَّغِيْرُ) dan (ساَءَنِي إِهْماَلُ سَعِيْدٍ وَ خاَلِدٍ أَو خاَلِدٌ). Kita ucapkan pada tabi’nya maf’ul (يُعْجِبُنِي إِكْراَمُ الأُسْتاَذِ الْمُخْلِصِ أَو الْمُخْلِصَ تَلاَمِيْذُهُ) dan (ساَءَنِي ضَرْبُ خاَلِدٍ وَ سَعِيْدٍ أَو وَ سَعِيْداً خَلِيْلٌ).

Masdar mim hukumnya sama dengan masdar ghairu mim, dalam hal bisa beramal seperti fi’ilnya,[15] seperti (مُحْتَمَلُكَ الْمَصَائِبَ خَيْرٌ مِنْ مَرْكَبِكَ الْجَزَعَ).

Dan isim masdar bisa beramal seperti beramalnya masdar, yang semakna sengannya, dan dengan syarat-syaratnya, hanya saja beramalnya isim masdar adalah qalil,[16] seperti syair,

أَكُفْراً بَعْدَ رَدِّ الْمَوتِ عَنِّي * وَ بَعْدَ عَطاَئِكَ الْمِئَةَ الرِّتاَعاَ





[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 276
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 276
[3] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 276
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 276
[5] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 276
[6] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 276
[7] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 277
[8] Fath Ghafir al-Khathiyyah, hlm. 51
[9] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 277
[10] Fath Ghafir al-Khathiyyah, hlm. 51
[11] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 278
[12] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 278
[13] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 279
[14] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 279
[15] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 279
[16] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 279