Ada
perbedaan pendapat seputar apakah lafadz bismillahirrahmanirrahim termasuk bagian dari
surat al-Fatihah atau tidak. Perbedaan itu hanyalah masalah khilafiyah,
yang masing-masing mengemukakan argumentasi yang sama-sama kuat. Karenanya,
perlu dikembangkan sikap toleransi, yaitu mempersilahkan kepada umat untuk
mengikuti pendapat mana yang dirasakan paling cocok.
Dengan
cara demikian, perbedaan pendapat tersebut tidak menimbulkan konflik, melainkan
mendatangkan rahmat, karena masing-masing memliki pilihan-pilihan yang secara
bebas dapat mengambil pendapat mana yang paling cocok.
Keseluruhan
ayat yang terdapat dalam surat al-Fatihah adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ الرَّحْمنِ
الرَّحِيْمِ مَالِكِ يَومِ الدِّيْنِ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
اهْدِناَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّالِّيْنَ
Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta Alam; Maha Pemurah lagi Maha Penyayang; Yang menguasai hari
pembalasan; Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami
mohon pertolongan; Tunjukillah kami jalan yang lurus; (Yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Q.S.
al-Fatihah: 1-7).
Makna
mufradat dari ayat tersebut adalah sebagai berikut: (بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ)
(Dengan menyebut nama Allah), (اَلْحَمْدُ
للهِ) (Segala puji bagi
Allah), (رَبِّ الْعَالَمِيْنَ) (Tuhan semesta alam), (اَلرَّحْمنِ
الرَّحِيْمِ)
(Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), (يَوْمِ
الدِّيْنِ) (Hari
pembalasan), (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْم) (Jalan yang lurus/kebenaran), (الضَّالِّيْنَ) (Jalan yang sesat).
Adapun
tafsir pada setiap lafadz surat al-Fatihah sebagaimana yang dikemukakan oleh
para mufasir adalah sebagai berikut.
Pertama,
lafadz (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ
الرَّحِيْمِ ).
Kata ism menurut al-Baidhawi adalah lafadz yang menunjukkan pada nama
pribadi seseorang seperti Muhamamd dan manusia, atau menunjukkan pada sebuah pengertian
abstrak seperti ilmu dan kesopanan. Dengan demikian, pada konteks ini kata ism
menunjukkan pada nama Allah, di mana ayat-ayat al-Qur’an banyak memerintahkan
agar menyebut nama-Nya.
Selanjutnya
lafadz Allah, adalah nama khusus bagi zat yang wajib dipuja dan tidak dapat
diberikan sama sekali nama tersebut kepada selain Dia, sebagaimana orang Arab
Jahiliyah ketika ditanya siapakah yang menciptakan langit dan bumi; ia menjawab
Allah, dan jika ditanya apakah al-Lata dan al-Uzza termasuk sesuatu yang
diciptakan? Ia menjawab tidak.
Al-Rahman
al-Rahim, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir, kedua-duanya
diambil dari kata al-rahmah, yang berarti pengertian yang bersemayam
dalam hati yang dimunculkan oleh orang yang memiliki dalam bentuk perbuatan
baik terhadap orang lain.
Lafadz al-rahman menunjukkan pada sifat orang
yang melakukan kasih sayang dengan cara memberikan kenikmatan dan kebaikan pada
orang lain. Sedangkan al-rahim menunjukkan pada tempat munculnya kasih
sayang, karena al-rahim mengacu kepada sifat yang tetap dan mesti
berlangsung selama-lamanya.
Karenanya,
jika Allah S.W.T. diberi sifat al-rahman, maka maksudnya bahwa Allah
adalah Zat yang berkuasa memberikan kenikmatan, namun ini tidak dapat dipahami
bahwa al-rahmah termasuk sifat
yang wajib selamanya pada Allah. Sedangkan jika sesudah itu disifati dengan al-rahim,
maka dapat diketahui bahwa pada zat Allah terdapat sifat yang tetap dan terus
berlangsung, yaitu al-rahmah yang pengaruhnya terlihat dalam berbuat
baik kepada seluruh ciptaan-Nya selama-lamanya.
Kedua,
tafsir lafaldz (الْحَمْدُ للهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ).
Menurut Ibn Katsir, maksud dari lafadz al-hamdu dari segi bahasa adalah
pujian atau sanjungan terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang
melalui usahanya apakah semula ia mengharap pujian atau tidak. Kata al-hamdu
ini selanjutnya menjadi pangkal kalimat pernyataan syukur, sebagaimana Allah
tidak bersyukur kepada seorang hamba yang tidak memuji-Nya.
Hal
yang demikian didasarkan pada alasan karena menyatakan kenikmatan dengan lisan
dan pujian terhadap orang yang melakukannya menyebabkan ia terkenal di kalangan
sesama manusia, dan menyebabkan pemiliknya memiliki perasaan yang menyenangkan.
Adapun bersyukur dengan hati termasuk perbuatan yang tidak tampak dan sedikit
sekali orang yang mengetahuinya, demikian juga bersyukur dengan perbuatan tidak
dapat terlihat tampak jelas di kalangan manusia.
Sedangkan
kata rabb menurut al-Maraghi dapat berarti pemilik yang mendidik yaitu
orang yang mempengaruhi orang yang dididiknya dan memikirkan keadannya.
Pendidikan
yang dilakukkan Allah terhadap manusia ada dua macam; yaitu pendidikan,
pembinaan atau pemeliharaan terhadap kejadian fisiknya yang terlihat pada
pengembangan jasa atau fisiknya sehingga mencapai kedewasaan, serta pendidikan
terhadap perkembangan potensi kejiwaan dan akal pikirannya, pendidikan
keagamaan dan akhlaknya yang terjadi dengan diberikannya potensi-potensi
tersebut kepada manusia, sehingga dengan itu semua manusia mencapai
kesempurnaan akalnya dan bersih jiwanya.
Selanjutnya
kata rabb dapat pula digunakan oleh manusia, seperti ungkapan rabb
al-dar memiliki rumah dan rabb hadzihi al-an’am yang berarti
memiliki binatang ternak ini.
Adapun
kata al-‘alamin yang bentuk tunggal ‘alam adalah meliputi seluruh
yang tampak ada. Kata ‘alamin ini biasanya tidak digunakan kecuali pada
kelompok yang dapat dibedakan jenis dan sifat-sifatnya yang lebih mendekati
pada makhluk yang berakal, walaupun bukan manusia, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Ibn Katsir. Yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah ‘alam
al-insan (alam manusia), ‘alam al-hayawan (alam binatang), dan ‘alam
nabat (alam tumbuh-tumbuhan), dan tidak dapat dimasukkan ‘alam al-hajar
(alam batu), ‘alam al-turab (alam tanah).
Pengertian
ini didasarkan pada adanya kata rabb yang mendahului kata alam tersebut,
yang berarti mendidik, membina, mengarahkan dan mengembangkan yang mengharuskan
adanya unsur kehidupan seperti makan dan minum serta berkembang biak. Sedangkan
batu dan tanah tidak memiliki unsur-unsur yang demikian itu.
Setiap
pujian yang baik hanyalah untuk Allah, karena Dia-lah sumber segala yang ada.
Dia-alah yang mengerahkan seluruh alam dan mendidiknya mulai dari awal hingga akhir
dan memberikannya nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan. Dengan demikian, puji
itu hanya kepada pencipta dan syukur kepada yang memiliki keutamaan.
Ketiga, tafsir makna (الرَّحْمنِ
الرَّحِيْمِ).
Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir di atas, bahwa al-rahman adalah
yang memberikan kenikmatan yang baik kepada hamba-hamba-Nya tanpa mengenal
batas dan akhir. Lafadz ini hanya untuk Allah dan tidak dapat dilekatkan pada
yang lain-Nya.
Sedangkan
al-rahim adalah Zat yang padanya terdapat sifat rahmah (kasih sayang)
yang daripadanya dapat dimbul perbuatan yang baik.
Keempat,
tafsir makna (مَالِكِ يَومِ
الدِّيْنِ). Kata
maliki berarti mengatur perilaku orang-orang yang berakal dengan cara
memberikan perintah, larangan dan balasan. Hal ini sejalan dengan ungkapan malik
al-naas yang mengatur dan menguasai manusia.
Sedangkan
lafadz al-din dari segi bahasa digunakan untuk pengertian al-hisab,
yakni penghitungan, dan berarti pula memberikan kecukupan, pembalasan yang
setara dengan perbuatan yang dilakukan manusia semasa hidup di dunia.
Kelima,
tafsir makna (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ
إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ).
Kata ibadah dalam ayat ini menurut al-Maraghi berarti
merendahkan yang disertai perasaan dan getaran hati yang muncul karena menggunakan Zat Yang Disembah (Allah S.W.T.)
yang didasarkan pada keyakinan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan yang
hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran, karena melampaui batas yang
dapat dijangkau oleh pemikiran atau dicapai oleh sejauh kemampuan nalarnya.
Menurut
al-Maraghi, inti ayat ini berisi perintah Allah agar seseorang tidak menyembah
selain Allah, karena Dialah yang tersendiri denagn kekuasaan-Nya. Selain itu,
ayat itu juga melarang seseorang menyekutukan-Nya atau mengagungkan selain
diri-Nya, dan menyuruh agar tidak meminta pertolongan kepada selain Dia atau
meminta pertolongan yang dapat menyempurnakan perbuatannya dan menyampaikan
kepada hasil yang diharapkan.
Keenam,
tafsir lafadz (اهْدِناَ الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيْمَ).
Kata hidayah yang terdapat dalam ayat ini menurut Ibn Katsir mengandung
arti petunjuk yang membawa kepada tercapainya sesuatu yang diharapkan.
Sedangkan
al-shirath menurut Jalaluddin al-Suyuthi berarti jalan, dan mustaqim
berarti lurus, lawan dari bengkok. Selanjutnya, hidayah Allah yang
diberikan kepada manusia bermacam-macam.
(1) Hidayah al-ilham, yaitu hidayah yang diberikan kepada bayi sejak
kelahirannya, seperti perasaan butuh terhadap makanan dan ia menangis karena
mengharapkan makanan tersebut.
(2) Hidayah al-hawas. Hidayah
ini dan hidayah yang pertama kedua-duanya diberikan kepada manusia dan
binatang, bahkan kedua hidayah tersebut lebih sempurna pada binatang
dibandingkan pada manusia, karena hidayah ilham dan hidayah hawas pada manusia pertumbuhannya amat lambat, dan
bertahap dibandingkan pada binatang, yang ketika lahir sudah dapat bergerak,
makan, berjalan dan sebagainya.
(3) Hidayah al-aql, yaitu hidayah
yang kedudukannya lebih tinggi daripada hidayah yang pertama dan kedua. Hidayah
ini hanya untuk manusia, karena manusia diciptakan untuk hidup bersama dengan
yang lainnya, sedangkan ilham dan hawasnya tidak cukup untuk mencapai kehidupan
bersama itu.
Untuk
mencapai kehidupan bersama orang lain harus disertai akal yang dapat
memperbaiki kesalahan yang diperbuat pancaindera. Pancaindera terkadang melihat
tongkat yang sebenarnya lurus menjadi bengkok ketika tongkat itu berada dalam
air, dan terkadang lidah merasakan pahit terhadap makanan yang sebenarnya
manis, dan sebaginya.
(4)
Hidayah al-adyan wa al-syara, yaitu hidayah yang ditujukan kepada
manusia yang cenderung mengikuti hawa nafsunya, membiarkan dirinya terperdaya
oleh kelezatan duniawi dan syahwat menempuh jalan keburukan dan dosa, saling
bermusuhan antara sesamanya, saling mengahalkan antara satu dan lainnya yang kesemuanya
itu terjadi karena akalnya dikalahkan oleh hawa
nafsu.
Keadaan
seperti ini dijelaskan batas-batas dan aturan, agar mereka berpegang teguh
kepadanya. Batas-batas dan aturan tersebut adalah hidayah al-din yang
diberikan oleh Allah kepada manusia. Karenanya, tafsir ayat tersebut berarti
petunjuk jalan yang lurus (shirat), yaitu Islam.
Ketujuh,
tafsir lafadz (صِرَاطَ الَّذِيْنَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّالِّيْنَ). Yang dimaksud dengan kata al-ladzina dalam ayat ini
menurut Ibn Katsir adalah orang-orang yang mendapatkan kenikmatan Allah, yaitu
para Nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang shaleh yang terdiri atas
kelompok pemeluk Islam terdahulu.
Sedangkan
al-maghdlubi alaihim sebagaimana dikemukakan oleh al-Maraghi adalah
orang-orang yang menolak agama yang benar yang disyari’atkan Allah kepadanya.
Mereka berpaling dari kebenaran dan tetap mengikuti apa yang diwariskan nenek
moyang mereka, dan semua itu menyebabkan mereka dimasukkan ke dalam neraka
jahanam.
Lafadz
al-dlallin adalah orang-orang yang tidak mengenal kebenaran, atau tidak
mengetahui sesuatu secara benar, yaitu orang-orang yang kepadanya tidak sampai
risalah, atau sampai risalah kepada mereka namun mereka enggan mengikutinya.
Dari
pendapat para mufasir di atas dapat disimpulkan bahwa kandungan surat
al-Fatihah di atas mengandung pokok-pokok kandungan al-Qur’an secara global,
yaitu mengenai tahuid, janji dan ancaman, ibadah yang menghidupkan tauhid,
penjelasan tentang jalan kebagahiaan dan cara mencapainya di dunia dan di
akhirat, dan pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.
Kelima
pokok ajaran terserbut tercermin pada; ajaran tauhid pada ayat kedua dan
kelima, janji dan ancaman tersurat pada ayat pertama, ketiga dan ketujuh,
ibadah pada ayat kelima dan ketujuh, sedangkan sejarah atau kisah masa lalu
diisyaratkan oleh ayat terakhir. wallahu a'lam bis showab