SITUS NET ASWAJA (AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH)




SITUS NET ASWAJA (AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH)

1. NAHDLATUL ULAMA
www.nu.or.id

2. BERITA
www.muslimedianews.com
www.suara-muslim.com

3. AKIDAH
www.sarkub.com

4. DEBAT
www.idrusramli.com

5. SUFI
www.sufinews.com

6. KAROMAH
http://bit.ly/1bSozqH

Mari sebarkan Islam dengan ramah, damai dan toleran melalui akses situs-situs ASWAJA terpercaya.

MAKNA SURAT AL-FATIHAH




Ada perbedaan pendapat seputar apakah lafadz bismillahirrahmanirrahim termasuk bagian dari surat al-Fatihah atau tidak. Perbedaan itu hanyalah masalah khilafiyah, yang masing-masing mengemukakan argumentasi yang sama-sama kuat. Karenanya, perlu dikembangkan sikap toleransi, yaitu mempersilahkan kepada umat untuk mengikuti pendapat mana yang dirasakan paling cocok.

Dengan cara demikian, perbedaan pendapat tersebut tidak menimbulkan konflik, melainkan mendatangkan rahmat, karena masing-masing memliki pilihan-pilihan yang secara bebas dapat mengambil pendapat mana yang paling cocok.

Keseluruhan ayat yang terdapat dalam surat al-Fatihah adalah sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ مَالِكِ يَومِ الدِّيْنِ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ اهْدِناَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّالِّيْنَ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam; Maha Pemurah lagi Maha Penyayang; Yang menguasai hari pembalasan; Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan; Tunjukillah kami jalan yang lurus; (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Q.S. al-Fatihah: 1-7).[1]

Makna mufradat dari ayat tersebut adalah sebagai berikut: (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) (Dengan menyebut nama Allah), (اَلْحَمْدُ للهِ) (Segala puji bagi Allah), (رَبِّ الْعَالَمِيْنَ) (Tuhan semesta alam), (اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), (يَوْمِ الدِّيْنِ) (Hari pembalasan), (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْم) (Jalan yang lurus/kebenaran), (الضَّالِّيْنَ) (Jalan yang sesat).[2]

Adapun tafsir pada setiap lafadz surat al-Fatihah sebagaimana yang dikemukakan oleh para mufasir adalah sebagai berikut.

Pertama, lafadz (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ ). Kata ism menurut al-Baidhawi adalah lafadz yang menunjukkan pada nama pribadi seseorang seperti Muhamamd dan manusia, atau menunjukkan pada sebuah pengertian abstrak seperti ilmu dan kesopanan. Dengan demikian, pada konteks ini kata ism menunjukkan pada nama Allah, di mana ayat-ayat al-Qur’an banyak memerintahkan agar menyebut nama-Nya.[3]

Selanjutnya lafadz Allah, adalah nama khusus bagi zat yang wajib dipuja dan tidak dapat diberikan sama sekali nama tersebut kepada selain Dia, sebagaimana orang Arab Jahiliyah ketika ditanya siapakah yang menciptakan langit dan bumi; ia menjawab Allah, dan jika ditanya apakah al-Lata dan al-Uzza termasuk sesuatu yang diciptakan? Ia menjawab tidak.[4]

Al-Rahman al-Rahim, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir, kedua-duanya diambil dari kata al-rahmah, yang berarti pengertian yang bersemayam dalam hati yang dimunculkan oleh orang yang memiliki dalam bentuk perbuatan baik terhadap orang lain. 

Lafadz al-rahman menunjukkan pada sifat orang yang melakukan kasih sayang dengan cara memberikan kenikmatan dan kebaikan pada orang lain. Sedangkan al-rahim menunjukkan pada tempat munculnya kasih sayang, karena al-rahim mengacu kepada sifat yang tetap dan mesti berlangsung selama-lamanya.

Karenanya, jika Allah S.W.T. diberi sifat al-rahman, maka maksudnya bahwa Allah adalah Zat yang berkuasa memberikan kenikmatan, namun ini tidak dapat dipahami bahwa al-rahmah  termasuk sifat yang wajib selamanya pada Allah. Sedangkan jika sesudah itu disifati dengan al-rahim, maka dapat diketahui bahwa pada zat Allah terdapat sifat yang tetap dan terus berlangsung, yaitu al-rahmah yang pengaruhnya terlihat dalam berbuat baik kepada seluruh ciptaan-Nya selama-lamanya.[5]

Kedua, tafsir lafaldz (الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ). Menurut Ibn Katsir, maksud dari lafadz al-hamdu dari segi bahasa adalah pujian atau sanjungan terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang melalui usahanya apakah semula ia mengharap pujian atau tidak. Kata al-hamdu ini selanjutnya menjadi pangkal kalimat pernyataan syukur, sebagaimana Allah tidak bersyukur kepada seorang hamba yang tidak memuji-Nya.

Hal yang demikian didasarkan pada alasan karena menyatakan kenikmatan dengan lisan dan pujian terhadap orang yang melakukannya menyebabkan ia terkenal di kalangan sesama manusia, dan menyebabkan pemiliknya memiliki perasaan yang menyenangkan. Adapun bersyukur dengan hati termasuk perbuatan yang tidak tampak dan sedikit sekali orang yang mengetahuinya, demikian juga bersyukur dengan perbuatan tidak dapat terlihat tampak jelas di kalangan manusia.[6]

Sedangkan kata rabb menurut al-Maraghi dapat berarti pemilik yang mendidik yaitu orang yang mempengaruhi orang yang dididiknya dan memikirkan keadannya.

Pendidikan yang dilakukkan Allah terhadap manusia ada dua macam; yaitu pendidikan, pembinaan atau pemeliharaan terhadap kejadian fisiknya yang terlihat pada pengembangan jasa atau fisiknya sehingga mencapai kedewasaan, serta pendidikan terhadap perkembangan potensi kejiwaan dan akal pikirannya, pendidikan keagamaan dan akhlaknya yang terjadi dengan diberikannya potensi-potensi tersebut kepada manusia, sehingga dengan itu semua manusia mencapai kesempurnaan akalnya dan bersih jiwanya.

Selanjutnya kata rabb dapat pula digunakan oleh manusia, seperti ungkapan rabb al-dar memiliki rumah dan rabb hadzihi al-an’am yang berarti memiliki binatang ternak ini.[7]

Adapun kata al-‘alamin yang bentuk tunggal ‘alam adalah meliputi seluruh yang tampak ada. Kata ‘alamin ini biasanya tidak digunakan kecuali pada kelompok yang dapat dibedakan jenis dan sifat-sifatnya yang lebih mendekati pada makhluk yang berakal, walaupun bukan manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Katsir. Yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah ‘alam al-insan (alam manusia), ‘alam al-hayawan (alam binatang), dan ‘alam nabat (alam tumbuh-tumbuhan), dan tidak dapat dimasukkan ‘alam al-hajar (alam batu), ‘alam al-turab (alam tanah).

Pengertian ini didasarkan pada adanya kata rabb yang mendahului kata alam tersebut, yang berarti mendidik, membina, mengarahkan dan mengembangkan yang mengharuskan adanya unsur kehidupan seperti makan dan minum serta berkembang biak. Sedangkan batu dan tanah tidak memiliki unsur-unsur yang demikian itu.[8]

Setiap pujian yang baik hanyalah untuk Allah, karena Dia-lah sumber segala yang ada. Dia-alah yang mengerahkan seluruh alam dan mendidiknya mulai dari awal hingga akhir dan memberikannya nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan. Dengan demikian, puji itu hanya kepada pencipta dan syukur kepada yang memiliki keutamaan.[9]

Ketiga,  tafsir makna (الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ). Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir di atas, bahwa al-rahman adalah yang memberikan kenikmatan yang baik kepada hamba-hamba-Nya tanpa mengenal batas dan akhir. Lafadz ini hanya untuk Allah dan tidak dapat dilekatkan pada yang lain-Nya.

Sedangkan al-rahim adalah Zat yang padanya terdapat sifat rahmah (kasih sayang) yang daripadanya dapat dimbul perbuatan yang baik.[10]

Keempat, tafsir makna (مَالِكِ يَومِ الدِّيْنِ). Kata maliki berarti mengatur perilaku orang-orang yang berakal dengan cara memberikan perintah, larangan dan balasan. Hal ini sejalan dengan ungkapan malik al-naas yang mengatur dan menguasai manusia.[11]

Sedangkan lafadz al-din dari segi bahasa digunakan untuk pengertian al-hisab, yakni penghitungan, dan berarti pula memberikan kecukupan, pembalasan yang setara dengan perbuatan yang dilakukan manusia semasa hidup di dunia.[12]

Kelima, tafsir makna (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ). Kata  ibadah  dalam ayat ini menurut al-Maraghi berarti merendahkan yang disertai perasaan dan getaran hati yang muncul karena  menggunakan Zat Yang Disembah (Allah S.W.T.) yang didasarkan pada keyakinan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran, karena melampaui batas yang dapat dijangkau oleh pemikiran atau dicapai oleh sejauh kemampuan nalarnya.[13]

Menurut al-Maraghi, inti ayat ini berisi perintah Allah agar seseorang tidak menyembah selain Allah, karena Dialah yang tersendiri denagn kekuasaan-Nya. Selain itu, ayat itu juga melarang seseorang menyekutukan-Nya atau mengagungkan selain diri-Nya, dan menyuruh agar tidak meminta pertolongan kepada selain Dia atau meminta pertolongan yang dapat menyempurnakan perbuatannya dan menyampaikan kepada hasil yang diharapkan.[14]

Keenam, tafsir lafadz (اهْدِناَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ). Kata hidayah yang terdapat dalam ayat ini menurut Ibn Katsir mengandung arti petunjuk yang membawa kepada tercapainya sesuatu yang diharapkan.[15]

Sedangkan al-shirath menurut Jalaluddin al-Suyuthi berarti jalan, dan mustaqim berarti lurus, lawan dari bengkok. Selanjutnya, hidayah Allah yang diberikan kepada manusia bermacam-macam.

(1) Hidayah al-ilham, yaitu hidayah yang diberikan kepada bayi sejak kelahirannya, seperti perasaan butuh terhadap makanan dan ia menangis karena mengharapkan makanan tersebut.

(2) Hidayah al-hawas. Hidayah ini dan hidayah yang pertama kedua-duanya diberikan kepada manusia dan binatang, bahkan kedua hidayah tersebut lebih sempurna pada binatang dibandingkan pada manusia, karena hidayah ilham dan hidayah hawas  pada manusia pertumbuhannya amat lambat, dan bertahap dibandingkan pada binatang, yang ketika lahir sudah dapat bergerak, makan, berjalan dan sebagainya.

(3) Hidayah al-aql, yaitu hidayah yang kedudukannya lebih tinggi daripada hidayah yang pertama dan kedua. Hidayah ini hanya untuk manusia, karena manusia diciptakan untuk hidup bersama dengan yang lainnya, sedangkan ilham dan hawasnya tidak cukup untuk mencapai kehidupan bersama itu.

Untuk mencapai kehidupan bersama orang lain harus disertai akal yang dapat memperbaiki kesalahan yang diperbuat pancaindera. Pancaindera terkadang melihat tongkat yang sebenarnya lurus menjadi bengkok ketika tongkat itu berada dalam air, dan terkadang lidah merasakan pahit terhadap makanan yang sebenarnya manis, dan sebaginya.

(4)  Hidayah al-adyan wa al-syara, yaitu hidayah yang ditujukan kepada manusia yang cenderung mengikuti hawa nafsunya, membiarkan dirinya terperdaya oleh kelezatan duniawi dan syahwat menempuh jalan keburukan dan dosa, saling bermusuhan antara sesamanya, saling mengahalkan antara satu dan lainnya yang kesemuanya itu terjadi karena akalnya dikalahkan oleh hawa  nafsu.

Keadaan seperti ini dijelaskan batas-batas dan aturan, agar mereka berpegang teguh kepadanya. Batas-batas dan aturan tersebut adalah hidayah al-din yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Karenanya, tafsir ayat tersebut berarti petunjuk jalan yang lurus (shirat), yaitu Islam.[16]

Ketujuh, tafsir lafadz (صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّالِّيْنَ). Yang dimaksud dengan kata al-ladzina dalam ayat ini menurut Ibn Katsir adalah orang-orang yang mendapatkan kenikmatan Allah, yaitu para Nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang shaleh yang terdiri atas kelompok pemeluk Islam terdahulu.[17]

Sedangkan al-maghdlubi alaihim sebagaimana dikemukakan oleh al-Maraghi adalah orang-orang yang menolak agama yang benar yang disyari’atkan Allah kepadanya. Mereka berpaling dari kebenaran dan tetap mengikuti apa yang diwariskan nenek moyang mereka, dan semua itu menyebabkan mereka dimasukkan ke dalam neraka jahanam.[18]

Lafadz al-dlallin adalah orang-orang yang tidak mengenal kebenaran, atau tidak mengetahui sesuatu secara benar, yaitu orang-orang yang kepadanya tidak sampai risalah, atau sampai risalah kepada mereka namun mereka enggan mengikutinya.[19]

Dari pendapat para mufasir di atas dapat disimpulkan bahwa kandungan surat al-Fatihah di atas mengandung pokok-pokok kandungan al-Qur’an secara global, yaitu mengenai tahuid, janji dan ancaman, ibadah yang menghidupkan tauhid, penjelasan tentang jalan kebagahiaan dan cara mencapainya di dunia dan di akhirat, dan pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.

Kelima pokok ajaran terserbut tercermin pada; ajaran tauhid pada ayat kedua dan kelima, janji dan ancaman tersurat pada ayat pertama, ketiga dan ketujuh, ibadah pada ayat kelima dan ketujuh, sedangkan sejarah atau kisah masa lalu diisyaratkan oleh ayat terakhir. wallahu a'lam bis showab




[1] Bustami A. Gani, dkk., al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif, 1418 H.), hlm. 5-6.
[2] M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim; Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka al-Hidayah, 1999), hlm. 8-61.
[3] Nasiruddin bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi al-Musamma al-Nur al-Tanzil wa al-Israr al-Ta’wil, Juz I, (Beirut-Libanon: Daar al-Kitab al-Ilmiah, t.th.), hlm. 6.
[4] Ibid., hlm. 7.
[5] Ibn Katsir al-Damasqy, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Juz I, (Beirut: Maktabah al-Nur al-Ilmiah, t.th, hlm. 20.
[6] Ibn Katsir al-Damasqy, op.cit., hlm. 21.
[7] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz I, (Beirut: Daar al-Fikr, t.th.), hlm. 30-31.
[8] Ibn Katsir al-Damasqy, op.cit., hlm. 23.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 23-24.
[12] Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit., hlm. 35.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm. 36.
[15] Ibn Katsir al-Damasqy, op.cit., hlm. 26.
[16] Jalaluddin al-Syuyuthi, al-Dur al-Mansur fi Tafsir al-Mansur,  Juz I, (Beirut-Libanon: Daar al-Kitab al-Imiah, t.th.), hlm. 40-48.
[17] Ibn Katsir al-Damasqy, op.cit., hlm. 27.
[18] Ahad Musthafa al-Maraghi, op.cit., hlm. 37-38.
[19] Ibid.

ORANG ISLAM BEKERJA MEMBANGUN GEREJA


العمل بالكنيسة

المفتي
 عطية صقر .
مايو 1997

المبادئ
القرآن والسنة

السؤال
 هل يجوز للمسلم أن يشترك فى بناء كنيسة أو فى خدمتها ؟

الجواب
 فى فقه الحنفية : لو آجر الإنسان نفسه لبناء كنيسة أو عمل شيء تعلق بعمارتها فالإجارة صحيحة، لأن ذلك من جنس الأعمال المباحة ، وفى فتاوى قاضيخان : وكذا لو بنى بالأجر بيعة أو كنيسة لليهود والنصارى طاب الأجر
وعندهم أن الفراش الذى يخدم الكنيسة يستحق الأجر ما دام أصل العمل مباحا وأما دق الناقوس للصلاة فلا يجوز .
وإن كان من توابع الخدمة فى الكنيسة حمل الخمر، فإن لم يكن الحمل بنية أن يعصى بشربها مسلم كانت الإجارة صحيحة، وطاب له الأخر عند أبى حنيفة خلافا لصاحبيه قال الكسائى فى "بدائع الصنائع " ج 4 ص190 : ومن استأجر حمالا يحمل له الخمر فله الأجر فى قول أبى حنيفة، وعندهما-أى صاحبيه محمد وأبى يوسف -يكره ، لهما- أى دليلهما - أن هذه إجارة على المعصية ، لأن حمل الخمر معصية ، لأنه إعانة على المعصية ، وقد قال الله عز وجل "ولا تعاونوا على الإثم والعدوان " ولهذا لعن اللّه عشرة ، منهم حاملها والمحمولة إليه ، ولأبي حنيفة أى دليله - أن نفس الحمل ليس بمعصية بدليل أن حملها للإراقة والتخليل مباح ، وكذا ليس بسبب للمعصية وهو الشرب ، لأن ذلك يحصل بفعل فاعل مختار، وليس الحمل من ضرورات الشرب فكان سببا محضا، فلا حكم له كعصر العنب وقطفه ، والحديث محمول على الحمل بنية الشرب ، وبه نقول : إن ذلك معصية ويكره أكل أجرته .
يؤخذ من هذا أن أجير الكنيسة إذا كان قد تعاقد معهم على أخذ الأجرة فى نظير تعاطيه عملية الفراشة ودق الناقوس فالإجارة فاسدة ، وأكل الأجرة مكروه ، لأنه تعاقد معهم على عمل اقترن بمعصية وهى دق الناقوس ، وينبغى له أن يترك هذا العمل ويبحث عن مرتزق أخر "مجلة الإسلام -المجلد الرابع -العدد الثالث "

(فتاوى الأزهر 10 ج 259)

HUKUM JANDA MAIN FB




Deskripsi masalah

Kehidupan berumah tangga merupakan impian setiap insan di dunia. Mendapatkan istri atau suami idaman adalah sebuah impian. Tapi itulah kehidupan dunia. Janji sehidup semati kadang menjadi komitmen dua insani saat awal menjalin kasih. Itu semua hanya impian yang akan terkalahkan jikalau kepastian ajal sudah datang.

Siapa yang tak sedih dan duka bila ditinggal oleh suami tercinta. Maka dari itu, untuk mewujudkan suasana tersebut syariat islam mewajibkan bagi seorang istri yang ditinggalkan oleh suaminya untuk menjalani masa ihdad atau berkabung. Guna menampakkan rasa duka dan sedih yang di dada.

Saat menjalani masa ihdad, istri tidak diperkankan menggunakan hal-hal yang bisa menarik perhatian laki-laki lain dan segala hal yang tidak mencerminkan rasa duka dan sedih. Mungkin hal tersebut bisa untuk dijalankan di dunia nyata.

Melihat sekarang ini banyak bermunculan komunitas dunia maya yang menawarkan barbagai bentuk kesenangan bagi kita semua, ada Facebook, WhatsApp, BBM dan lain sebagainya. Sehingga, kadang tak sedikit dari istri yang baru ditinggal mati suaminya melakukan aktifitas dunia maya seperti biasanya.

Pertanyaan :

Apakah diperbolehkan bagi istri yang sedang menjalani masa ihdad bermain semisal Facebook, WhatsApp, BBM ataupun jejaring sosial lainnya?
Jawaban:
Bermain semisal Facebook, WhatsApp, BBM ataupun jejaring sosial lainnya diperbolehkan bagi wanita yang sedang menjalani masa ihdad, selama tidak melakukan hal-hal yang diharamkan semisal memandang dengan syahwat dan lainnya.

Catatan: Hukum haram diatas bukan disebabkan wanita menjalani ihdad, namun karena unsur-unsur negatif dalam jejaring di atas.

REFERENSI

1. Al-Hawi Al-Kabir, Juz 14, Hal 324-326 8. Ihya’ Ulum Ad-Din, Juz 3, Hal 99
2. Al-Hawi Al-Kabir, Juz 11, Hal 641 9. Is’ad Ar-Rofiq, Juz 2, Hal 105
3. Al-Iqna’, Juz 7, Hal 391 10. I’anah At-Tholibin, Juz 3, Hal 301
4. Al-Bajuri, Juz 2, Hal 96 11. Hasyiyah Al-Qulyubi, Juz 3, Hal 209
5. Hasyiyah Al-Qulyubi, Juz 3, Hal 209 12. I’anah At-Tholibin, Juz 3, Hal 260
6. Bariqoh Mahmudiyah, Juz 4, Hal 7 13. Al-Fatawi Al-Fiqhiyah Al-Kubro, Juz 1, Hal 203
7. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, Juz 1, Hal 12763 14. Tausyikh ‘Ala Ibni Qosim, Hal 197

1- الحاوى كبير ~ جـ 14 صـ 324- 326
مسئلة قال المزني قال الشافعي رحمه الله (وإنما الإحداد في البدن وترك زينة البدن وهو أن تدخل على البدن شيئا من غيره أو طيبا يظهر عليها فيدعو إلى شهوتها) قال الماوردي وهذا كما قال لأن الإحداد مختص بالبدن في الإمتناع من إدخال الزينة عليه التى تتحرك بها شهوة الجماع إما شهوتها للرجال وإما شهوة الرجال لها لأنه لما حرم نكاحها ووطءها حرم دواعيها كالمحرمة ودواعيها ما اختص بالبدن لا ما فارقه من مسكن وفرش لأنه لا حرج عليها في استحسان ما سكنت وافترشت وإنما الحرج فيما زينت به بدنها وتحركت به لها ومنها
2- الحاوى الكبير ـ الماوردى ~ جـ 11 صـ 641 دار الفكر 
قال الماوردي : وهذا صحيح : وهو مشتمل على ثلاثة مسائل : أحدها : في الحرة والأمة ، فأما الحرة فقد ذكرنا وجوب الإحداد عليها ، وأما الأمة فهي في الإحداد كالحرة وإن اختلفا في مدة العدة ، فأما السكنى فإن ترك السيد استخدامها وجب لها السكنى كالحرة ولزمها الجمع بين السكنى والإحداد ، وإن استخدمها لم يمنع منها لحقه في الملك ، وسقطت السكنى ولزم الإحداد ، ولا يكون سقوط السكنى موجبا لسقوط الإحداد : لأن مقصود الإحداد أمران : أحدهما : إظهار الحزن على الزوج رعاية لحرمته . والثاني : ترك ما يحرك الشهوة من الزينة ، لأن لا تشتهي ويشتهيها الرجال وليس في واحد من هذين ما يخالف فيه معنى الحرة ولا يؤثر فيما يستحقه السيد من الخدمة
3- الإقناع في حل ألفاظ أبي شجاع ج 7 ص 391
تنبيه: قد علم من تفسير الإحداد بما ذكر جواز التنظيف بغسل رأس وقلم أظفار واستحداد ونتف شعر إبط وإزالة وسخ ولو ظاهراً لأن جميع ذلك ليس من الزينة أي الداعية إلى الوطء
4- الباجورى الجزء الثانى صـ 96
ومثل الشهوة خوف الفتنة فلو انتفت الشهوة وخيفت الفتنة حرم النظر ايضا وليس المراد بخوف الفتنة غلبة الظن بوقوعها بل يكفي أن لايكون ذلك نادرا وان كانت بغير شهوة وبلا خوف فتنة فهو حرام عند النوووى حيث لا محرمية ولا ملك والأكثرون على خلافه
5- قليوبي ~ جـ 3 صـ 209
( ويحرم نظر فحل بالغ إلى عورة حرة كبيرة أجنبية ) , مطلقا قطعا والمراد بالكبيرة غير الصغيرة , التي لا تشتهى ( وكذا وجهها وكفها ) , أي كل كف منها ( عند خوف فتنة ) . أي داع إلى الاختلاء بها ونحوه ( وكذا عند الأمن ) , من الفتنة فيما يظهر له من نفسه ( على الصحيح ) ; لأن النظر مظنة الفتنة , ومحرك للشهوة , وقد قال تعالى { قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم
6- بريقة محمودية الجزء الرابع صحـ 7
( السادس والخمسون التكلم مع الشابة الأجنبية فإنه لا يجوز بلا حاجة ) لأنه مظنة الفتنة فإن بحاجة كالشهادة والتبايع والتبليغ فيجوز ( حتى لا يشمت ) العاطسة ( ولا يسلم عليها ولا يرد سلامها جهرا بل في نفسه ) إذا سلمت عليه ( وكذا العكس ) أي لا تشمته الشابة الأجنبية إذا عطس قال في الخلاصة أما العطاس امرأة عطست إن كانت عجوزا يرد عليها وإن كانت شابة يرد عليها في نفسه وهذا كالسلام فإن المرأة الأجنبية إذا سلمت على الرجل إن كانت عجوزا رد الرجل عليها السلام بلسانه بصوت يسمع وإن كانت شابة رد عليها في نفسه وكذا الرجل إذا سلم على امرأة أجنبية فالجواب فيه يكون على العكس ( لقوله صلى الله تعالى عليه وسلم واللسان زناه الكلام ) أي يكتب به إثم كإثم الزاني كما في حديث العينان تزنيان واليدان تزنيان والرجلان تزنيان والفرج يزني وما في القنية يجوز الكلام المباح مع المرأة الأجنبية فمحمول على الضرورة أو أمن الشهوة أو العجوز التي ينقطع الميل عنها
7- الموسوعة الفقهية الجزء الأول صحـ 12763
الكلام مع المرأة الأجنبية ذهب الفقهاء إلى أنه لا يجوز التكلم مع الشابة الأجنبية بلا حاجة لأنه مظنة الفتنة وقالوا إن المرأة الأجنبية إذا سلمت على الرجل إن كانت عجوزا رد الرجل عليها لفظا أما إن كانت شابة يخشى الافتنان بها أو يخشى افتنانها هي بمن سلم عليها فالسلام عليها وجواب السلام منها حكمه الكراهة عند المالكية والشافعية والحنابلة وذكر الحنفية أن الرجل يرد على سلام المرأة في نفسه إن سلمت عليه وترد هي في نفسها إن سلم عليها وصرح الشافعية بحرمة ردها عليه
8- إحياء علوم الدين الجزء الثالث صحـ 99
وهذا يدل على أنه لا يجوز للنساء مجالسة العميان كما جرت به العادة في المأتم والولائم فيحرم على الأعمى الخلوة بالنساء ويحرم على المرأة مجالسة الأعمى وتحديق النظر إليه لغير حاجة وإنما جوز للنساء محادثة الرجال والنظر إليهم لأجل عموم الحاجة
9- إسعاد الرفيق الجزء الثاني ص 105
(و) منها (كتابة ما يحرم النطق به) قال في البداية لان القلم احد اللسانين فاحفظه عما يجب حفظ اللسان منه اي من غنيمة وغيرها فلا يكتب به ما يحرم النطق به من جميع ما مر وغيره
10- إعانة الطالبين الجزء الثالث صحـ 301
(قوله لا في نحو مرآة) أي لا يحرم نظره لها في نحو مرآة كماء وذلك لانه لم يرها فيها وإنما رأى مثالها ويؤيده قولهم لو علق طلاقها برؤيتها لم يحنث برؤية خيالها والمرأة مثله فلا يحرم نظرها له في ذلك قال في التحفة: ومحل ذلك، كما هو ظاهر، حيث لم يخش فتنة ولا شهوة
11- حاشيتا قليوبي وعميرة الجزء الثالث صحـ 209
والحاصل أنه يحرم رؤية شيء من بدنها وإن أبين كظفر وشعر عانة وإبط ودم حجم وفصد لا نحو بول كلبن والعبرة في المبان بوقت الإبانة فيحرم ما أبين من أجنبية وإن نكحها ولا يحرم ما أبين من زوجة وإن أبانها وشمل النظر ما لو كان من وراء زجاج أو مهلهل النسج أو في ماء صاف وخرج به رؤية الصورة في الماء أو في المرآة فلا يحرم ولو مع شهوة ويحرم سماع صوتها ولو نحو القرآن إن خاف منه فتنة أو التذ به وإلا فلا والأمرد فيما ذكر كالمرأة.
12- إعانة الطالبين الجزء الثالث صحـ 260
(قوله: وليس من العورة الصوت) أي صوت المرأة، ومثله صوت الامرد فيحل سماعه ما لم تخش فتنة أو يلتذ به وإلا حرم (قوله: فلا يحرم سماعه) أي الصوت. وقوله إلا إن خشي منه فتنة أو التذ به: أي فإنه يحرم سماعه، أي ولو بنحو القرآن، ومن الصوت: الزغاريد. وفي البجيرمي: وصوتها ليس بعورة على الاصح، لكن يحرم الاصغاء إليه عند خوف الفتنة. وإذا قرع باب المرأة أحد فلا تجيبه بصوت رخيم، بل تغلظ صوتها، بأن تأخذ طرف كفها بفيها وتجيب. وفي العباب: ويندب إذا خافت داعيا أن تغل صوتها بوضع ظهر كفها على فيها. اهـ.
13- الفتاوي الفقهية الكبرى الجزء الأول صحـ 203
والمراد بالفتنة الزنا ومقدماته من النظر والخلوة واللمس وغير ذلك
14- توشيح على ابن قاسم صحـ 197
الفتنة هي ميل النفس ودعاؤها إلى الجماع أو مقدماته والشهوة هو أن يلتذ بالنظر


Sumber Sholeh Punya

KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN




Arti kafa’ah adalah serupa, seimbang atau serasi. Maksudnya keseimbangan dan  keserasian  antara  calon  istri  dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan. Sayyid Sabiq mengartikan kafa’ah dengan spadan, sebanding dan sederajat yakni laki-laki sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam tingkat sosial, akhlak dan kekayaan. Tidak diragukan lagi bahwa kedudukan calon mempelai laki-laki dengan  calon mempelai wanita sebanding, merupakan faktor yang menentukan dalam kehidupan rumah tangga.[1]

Untuk terciptanya sebuah rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah, Islam menganjurkan agar ada keseimbangan dan keserasian, kesepadanan dan kesebandingan antara kedua calon  suami  istri  tersebut.

Tetapi hal ini bukanlah merupakan satu hal yang mutlak, melainkan satu hal yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan pernikahan yang bahagia dan abadi. Pada prinsipnya Islam  memandang  sama kedudukan umat manusia hanya dibedakan oleh takwa.

  Firman Allah:

يأيها الناس إنا خلقناكم كن ذكر و أنثى و جعلناكم شعوبا و قبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesunggunya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu”.  (QS: al-Hujarat: 13)[2]

Sabda Nabi:

الناس سواسية كأسنان المشط الواحد لا فضل لعربي على أعجمي إلا بالتقوى (رواه ابو دلود)

“Manusia itu sama seperti gigi sisir yang satu, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang selain Arab, kecuali dengan takwa”. (HR. Abu Dawud).[3]

Dengan ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa takwa yang membedakan manusia satu dengan lainnya menurut pandangan  Allah dan Rasulnya, bukan masalah kebangsaan, kebangsawanan, harta ataupun kecantikan. Berbicara masalah takwa berarti berbicara tentang agama dan akhlak. Dengan demikian, bobot utama dalam masalah kafa’ah atau kufu ini adalah masalah agama dan akhlak. Adapun yang selain itu merupakan bobot pelengkap.

Adapun pendapat jumhur ulama fiqih tentang kafa’ah adalah sebagai berikut: 

a. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa sesungguhnya kafa’ah adalah persamaan antara seorang calon laki-laki dengan calon wanita dalam beberapa masalah tertentu seperti:

1.  Keturunan.

2.  Pekerjaan.

3.  Merdeka.

4.  Agama.

5.  Harta.[4] 

b. Golongan Malikiah berpendapat bahwa kafa’ah dalam nikah adalah sebanding dengan dua urusan:

1. Masalah agama, dalam arti orang tersebut muslim yang tidak fasik.

2. Calon pria bebas dari cacat yang besar yang dapat mengakibatkan wanita tersebut dapat melaksanakan hak khiyar atau hak pilihnya, seperti penyakit supak, gila atau penyakit kusta.

3. Kafa’ah dalam harta, merdeka, keturunan, dan pekerjaan merupakan pertimbangan saja.[5]

c.  Golongan  Syafiiyah  berpendapat  bahwa kafa’ah  itu adalah dalam masalah tidak adanya aib. Kalau salah satu di antaranya ada aib, maka yang lain dapat membatalkan perkawinan itu (fasakh). Yang perlu dipertimbangkan dalam masalah ini adalah keturunan, agama merdeka, dan pekerjaan.[6]

Sedangkan yang berhak atas kafa’ah itu adalah wanita dan yang berkewajiban harus ber-kafa’ah adalah pria. Jadi, yang dikenal persyaratan harus kufu atau harus setaraf itu adalah laki-laki terhadap wanita. Kafa’ah ini merupakan masalah yang harus diperhitungkan dalam melaksanakan  suatu pernikahan, bukan untuk sahnya suatu pernikahan. Kafa’ah ini adalah hak wanita dan wali, oleh karena itu keduanya berhak untuk menggugurkan kafa’ah.

Kesimpulannya, kafa’ah itu diperhitungkan sebagai syarat sah nikah, ketika wanita tidak rela, tetapi apabila ia rela maka kafa’ah  tidak menjadi persyaratan sah atau tidaknya pernikahan.




[1] Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Kuwait: Dar al-Bayan, 1971, hlm. 126
[2] Departemen Agama, Op. Cit.,  hlm. 652
[3] Imam Jalaluddin as-Suyuthi,  Jami al-Shaghir, Semarang: Toha Putra, tt., hlm. 5
[4] Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz IV, hlm. 58
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 59