PEMBENTUKAN SIFAT-SIFAT TERPUJI ANAK


Setiap orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang mempunyai perilaku baik. Akan tetapi, yang sering terjadi adalah anak mempunyai perilaku yang baik tergantung situasi. Pada situasi tertentu ia dapat berperilaku yang diharapkan, di situasi yang lain ia seperti menjadi orang yang berbeda. Selanjutnya, setelah diketahui tentang peran serta orang tua dalam membentuk kepribadian anak, maka kepribadian yang diharapkan untuk dibentuk adalah kepribadian mukmin yang bertumpu pada akhlak mulia atau dengan tata krama yang sering disebut dengan sifat-sifat terpuji. 

Tanggung jawab orang tua dalam membentuk kepribadian anak sesuai dengan nasehat Lukman Al-Hakim kepada anaknya.[1] Disebutkan oleh Lukman bahwa:

“Wahai anakku!  Dirikanlah shalat dan suruhlah yang baik dan cegahlah perkara yang mungkar. Dan bersabarlah atas musibah yang menimpa kamu. Sesungguhnya itulah perkara yang diwajibkan. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” 

Nesehat Lukman tersebut memberikan keterangan yang cukup jelas bahwasanya orang tua memiliki tanggung jawab untuk menanamkan sifat-sifat terpuji. Sifat terpuji adalah perilaku manusia yang mendapatkan ridlo dari Allah. Dengan demikian nampak bahwa yang menjadi tumpuan sifat terpuji dalam nasehat Lukman adalah dekat atau mengenal Allah sebagai Tuhan umat Islam.

Kita tahu bahwa anak-anak dapat mengenal Tuhan melalui bahasa dalam lingkungannya. Pada awalnya tidak memperhatikan tapi lama-kelamaan akan mengundang kekaguman pada Tuhan. Dan lambat laun akan memikirkan Tuhan dalam kehidupannya. Karena ada pengaruh  yang kuat pada lingkungan sekitar yang disertai emosi dan perasaan tertentu maka lama-kelamaan makin luas dan dan mulailah  perhatiannya  tentang  Tuhan  akan tumbuh. 

Karena pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan maka timbul kegelisahan pada diri anak lalu timbullah pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan yang tujunnya menghilangkan kegelisahan. Jadi pemikiran tentang Tuhan adalah pemikiran tentang kenyataan luar, yang pada umur sangat muda itu tidak disukai si anak tapi untuk  melanjutkan  pertumbuhan dan menyesuaikan diri dengan kenyataan  itu, ia harus menderita sedikit dari pengalaman pahit, maka ia pun  menerima fikiran tentang Tuhan setelah diingkarinya.[2]

Orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab perkenalannya dengan dunia luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikiranya di kemudian hari terpengaruh terhadap perilaku orang tuanya di waktu masih kecil. Sehingga disinilah orang tua sangat berperan dalam penanaman jiwa dan kepercayaan terhadap Tuhan.  Dari lingkungan keluargalah pembentukan jiwa anak dimulai. Untuk itu alangkah baiknya jika anak mendapatkan perhatian yang layak untuk si anak demi perkembangan jiwanya.

Pengaruh lingkungan merupakan dapat tidaknya si anak menerima pemikiran  tentang  Tuhan,  baik  dalam  perilakunya  yang  lemah lembut atau minta di kasihani oleh Tuhan. Demikianlah masuknya pemikiran Tuhan terhadap si anak. Pengaruh dari lingkungan  hendaklah dengan pelatihan-pelatihan keagamaan sehingga timbulah  rasa yang aman pada pertumbuhan jiwa anak. Jika  pelatihan-pelatihan  itu cocok pada anak, maka pada waktu dewasa kelak akan semakin terasa kebutuhan terhadap agama. Dan sebaliknya jika pelatihan-pelatihan itu tidak cocok pada jiwa anak maka pada waktu dewasa akan timbul atheis atu kurang peduli terhadap agama. 

Perkembangan agama pada anak terjadi melalui pengalaman hidupnya waktu kecil. Baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam lingkungan masyarakat. Semakin banyak pengalaman agama maka semakin banyak unsur agama dalam pribadi anak. 

Dalam Islam terdapat dua konsep kehidupan beragama: yaitu iman dan takwa. Takwa merupakan asas dari barbagai kebajikan, bahkan sebagai induk segala perbuatan manusia. Sedangkan iman merupakan pernyataan pembenaran dengan kalbu sehingga terbebas dari perbuatan dusta. Ada beberapa kaidah primer seyogyanya dipegang teguh dalam upaya pendidikan keimanan bagi anak:

1. Pendidikan itu hendaknya dilandasi pernikahan yang berlangsung sebagai wujud dari fitrah manusia selaku hamba Allah yang selalu beribadah hanya kepada Allah.  

2. Pernikahan yang dilakukan hendaknya diarahkan kepada kemaslahatan pribadi dan masyarakat yang mewariskan keturunan hamba Allah yang beriman, sehat lahir dan batin, dunia dan akhirat.[3]

Pendidikan keimanan ditujukan unutk membentuk insan-insan yang beriman yang selanjutnya menjadi pengarah dan pengedali bagi perilakunya. Ini dapat dilakukan dengan metode-metode sebagai berikut:

a. Peneladanan
b. Pembiasaan
c. Pembetulan yang salah
d. Melerai yang bertengkar dengan adil
e. Memperingatkan yang lupa[4]

Anak-anak bukanlah orang dewasa yang kecil. Oleh karena itu agama yang cocok untuk orang dewasa tidak cocok bagi anak-anak.  Jika agama punya arti bagi anak maka agama harus disajikan cara yang kongrit dengan bahasa yang mudah dipahami dan kurang bersifat dogmatis.[5] Kita tahu bahwa pendidikan iman ialah mengikat anak dengan dasar-dasar iman, membiasakannya sejak mulai paham melaksanakan rukun-rukun Islam dan mengajarinya sejak mumayyiz dasar-dasar syari’at yang agung. 

Dalam hal keimanan, universalitas konsep pendidikan keimanan  yang merupakan wasiat dan petunjuk dari Rasulullah SAW dalam  mengikat anak-anak dengan dasar-dasar iman, rukun-rukun, dan  hukum-hukum  syari’at.

Wasiat dan petunjuk Rasulullah sebagai berikut:

1). Perintah mengawali (mendidik anak) dengan kalimat “La Ilaha Ilalah”
2). Mengenalkan hukum halal-haram sebagai yang pertama kali dipahami.
3). Menyuruh beribadah sejak usia 7 tahun
4) Mendidik untuk mencintai Rasulullah SAW, mencintai ahli bait, dan cinta membaca al-Qur’an[6]

Maka bila seorang anak sejak dini sudah diajarkan dasar-dasar keimanan kepada Allah, menyandarkan diri kepada Allah, takut kepada Allah, hanya minta tolong kepada-Nya, niscaya ia akan punya kemampuan fitri dan tanggapan naluri ruh menerima kemuliaan dan keutamaan dan akhirnya akan terbiasa dengan akhlak yang mulia (sifat terpuji). Diantara sifat terpuji dalam Islam adalah:

1. Taubat 

Artinya meninggalkan segala perbuatan tercela yang telah dikerjakannya dengan niat karena membesarkan Allah.  Orang yang bertaubat pasti memenuhi syarat-syarat berikut:

a) Meninggalkan maksiat dengan penuh kesadaran
b) Menyesal dengan perbuatan yang telah dikerjakan
c) Berazam tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi

2.  Khauf 

Artinya takut kepada Allah, takut atas murka-Nya dengan memelihara agama dan melakukan perkara-perkara yang dicegah.

3. Zuhud 

Artinya bersih atau suci hati dari kehendak, lebih dari keperluannya serta tidak  bergantung  kepada  makhluk  lain.  Hatinya  sentiasa  ingat  bahwa harta  yang  dimilikinya  adalah  sebagai  amanah  dari  Allah—bukan  untuk berbangga-bangga diri.

4.  Sabar 

Artinya tabah atau kuat menghadapi sesuatu ujian yang menjadikan duka cita bagi hamba Tuhan.

5.  Syukur 

Artinya menyadari bahwa semua nikmat yang diperolehnya, baik  yang lahir maupun batin semuanya adalah dari Allah dan  merasa gembira dengan nikmat itu serta bertanggungjawab kepada Allah.

6.  Ikhlas 

Artinya mengerjakan amal ibadah dengan penuh ketaatan serta semua perbuatan yang dilakukan semata-mata mengharapkan keridhaan Allah, bukan karena tujuan lain.

7.  Tawakal

Artinya berserah diri kepada Allah dalam melakukan sesuatu rancangan.

8. Mahabbah 

Artinya cinta kepada Allah dan hatinya sentiasa cenderung untuk berkhidmat dan beribadat kepadaNya serta bersungguh-sungguh menjaga diri dan menjauhkan dari melakukan kemaksiatan.

Dengan demikian, seorang anak hendaknya paham dan benar-benar mengerti dalam hal perbuatan terpuji untuk selalu dijalankan. Sementara sifat terpuji itu patut untuk dikenalkan dan diajarkan kepada anak-anak oleh orang tuanya. Dengan kata lain, anak juga diperintahkan untuk menjauhi sifat-sifat tercela. 

Rumah-tangga  atau  keluarga  adalah  tempat  yang  pertama  dan  utama bagi anak untuk memperoleh pembinaan mental dan  pembentukan kepribadian, yang kemudian ditambah dan disempurnakan oleh sekolah. Demikian pula halnya pendidikan agama,  harus dilakukan oleh orang membiasakannya pada tingkah-laku dan akhlak yang diajarkan oleh agama.[7]

Pada masa ini anak belum mengerti tentang akhlak-akhlak yang baik, seperti kejujuran dan keadilan (terlalu abstrak). Untuk merealisasikannya, orang tua yang sangat relevan dengan hal tersebut, agar anak dapat meniru dengan baik. 

Untuk itu, orang tua harus memberikan perlakuan yang adil serta dibiasakan pula untuk berbuat adil, sehingga rasa keadilan dapat tertanam dalam  jiwanya,  juga  dengan nilai-nilai agama dan kaidah-kaidah  sosial lainnya yang menjadi dasar untuk pembinaan mental dan kepribadian anak itu sendiri. Karena terkadang manusia itu cenderung tidak konsisten, tidak berpegang pada pendirian yang telah dinyatakannya (Q.S. Yunus, 10: 12).[8]

Kalau pendidikan agama tidak diberikan kepada anak sejak kecil, maka akan berakibat tidak terdapat unsur agama dalam  kepribadiannya sehingga sukar  baginya  untuk  menerima  ajaran  itu  kalau ia telah dewasa dan anak mudah melakukan segala sesuatu  menurut dorongan dan keinginan jiwanya tanpa memperhatikan  hukum-hukum  atau  norma-norma  yang  berlaku.

Sebaliknya kalau dalam kepribadian seseorang terdapat nilai-nilai dan unsur-unsur agama, maka segala keinginan dan kebutuhan dapat dipenuhi dengan cara yang wajar dan tidak melanggar hukum-hukum agama. 

Sesuai dengan dasar agama Islam, maka kepribadian seseorang berisi kepercayaan yang menjadi bagian dari kepribadian, tidak hanya dapat diucapkan secara lisan saja, tetapi harus disertai dengan perbuatan. Hal ini hanya mungkin melalui pendidikan agama, karena kepercayaan bahwa Tuhan itu ada harus disertai dengan kepercayaan kepada ajaran, hukum, dan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh Tuhan. 

Dengan demikian jelaslah bahwa semua itu menjadi dasar dalam pembinaan mental dan pembentukan kepribadian yang akan mengatur sikap, tingkahlaku dan cara menghadapi segala problem dalam hidup. Mengingat pentingnya pendidikan agama bagi pembinaan mental dan akhlak anak-anak, dan karena banyak orang tua yang tidak mengerti agama, maka pendidikan agama seyogyanya dilanjutkan di sekolah—sebagai kelanjutan proses belajar secara formal.[9]

Fungsi utama dalam pembentukan sifat terpuji adalah melakukan tazkiyatun nafs. Tazkiyatun nafs pada hakikatnya adalah proses pembersihan jiwa dan hati dari berbagai dosa dan sifat-sifat tercela yang mengotorinya, dan selanjutnya peningkatan kwalitas jiwa dan hati tersebut dengan mengembangkan sifat-sifat terpuji yang diridhai  Allah, serta potensi-potensi positifnya dengan mujahadah, ibadah dan berbagai perbuatan baik lainnya, sehingga hati dan jiwa menjadi bersih dan baik serta berkwalitas. Yang selanjutnya menjadikannya mempuyai sifat-sifat dan prilaku yang baik dan terpuji.[10]

Hal yang demikian akan melahirkan sifat yang baik. Sifat baik adalah merupakan tema yang lazim tentang keadilan akhlak yang dinyatakan dalam nilai-nilai agama dan moral.[11] Al-Ghazali memberikan garis panduan kepada orang-orang yang beriman mengenai tahap keadilan ini kepada empat sifat-sifat yang terpuji seperti:

1. Hikmah, yaitu kualitas pemikiran yang membolehkan manusia membuat pilihan dengan membedakan antara baik dengan buruk dan menahan dirinya daripada perbuatan yang tercela seperti marah, dan mengabadikan keseimbangan antara perbuatan yang membabi buta dan penipuan. 

2. Berani, yaitu kualitas keberangan dan kemarahan yang boleh diterangkan sebagai satu bentuk keberanian moral, bukan tergesa-gesa, tidak juga pengecut, tetapi keadaan pertengahan antara kedua-duanya. Dengan dipimpin oleh syariah dan akal, keberanian mengajak manusia berkelakuan baik, mengikuti jalan yang betul dan lurus serta menghindari yang salah. Ia juga berani mendorong  manusia  menjadi  tabah  kepada keadaan dan belas kasihan kepada orang lain. 

3.  Kesederhanaan, yaitu  satu  kualiti  yang  sederhana  lewat  manusia  untuk mengikuti jalan pertengahan antara dua keadaan yang melampaui batas, yaitu perasaan tamak dan permusuhan. Manusia mencoba untuk berlaku adil kepada orang lain dan bersikap sederhana dalam cara hidupnya. 

4. Keadilan, yaitu bukan semata-mata sifat terpuji tetapi "keseluruhan sifat terpuji". Ia adalah kesempurnaan segala sifat terpuji, terdiri daripada "keadaan yang seimbang" dan sederhana dalam  kelakuan  pribadi dan orang banyak. Sikap yang adil (insaf) yang mengajak manusia supaya mengikuti apa yang diterangkan sebagai jalan keadilan.[12]

Orang dewasa adalah “role model” bagi anak-anak. Anak mengidentifikasikan diri dengan lingkungan dan orang dewasa di sekitarnya. Mereka mengambil nilai tidak hanya yang disosialisasikan secara verbal tapi juga yang dicontohkan dalam perilaku keseharian. Maka alam sosial itu bagai pena tajam yang mengguratkan sketsa kepribadian anak, dan mewarnai merah-hijau warna masa depannya. Tempat tinggal dan lingkungan keluarga—tanpa diragukan lagi—merupakan permulaan yang sebenarnya dalam semua kondisi ini.[13]

Anak belajar menghargai jika ia tumbuh dalam asuhan kasih sayang. Anak belajar melawan jika ia tumbuh dalam penindasan. Anak menjadikan kekerasan sebagai jalan keluar persoalan jika ia tumbuh dalam alam peperangan. Itu bukan hanya petuah klasik yang pantas untuk diulang-ulang, di dalamnya ada pelajaran yang pantas untuk direnungkan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi impresi mengenai kehidupan kita sendiri yang terkadang terbayangi oleh keengganan, ketakutan atau rasa malu di saat usia kanak-kanak (0-3 tahun).[14]

Anak tumbuh dalam asuhan manusia dewasa untuk ditumbuhkan kodrat manusiawinya. Ditumbuhkan fitrahnya sebagai jiwa suci yang dipenuhi oleh kasih dan hasrat mencintai. Anak dipercayakan sebagai amanat untuk suatu saat  dikembalikan  pada  Tuhan  sesuai dengan  tujuan dititipkannya. Mereka bukan hak mutlak orang dewasa, apalagi bertahta di atas keringkihan mereka dengan menjadikan mereka harta propertinya. Sehingga mereka dapat diperlakukan semau-maunya, dieksploitasi, atau dikorbankan untuk membayar nafsu berkuasa orang dewasa.

Jika kita ingin memutus rantai kekerasan yang ada dalam kehidupan kita, bukan dimulai dengan mengajarkan apa itu kekerasan pada anak. Orang dewasalah yang harus belajar untuk tidak melakukan tindak kekerasan. Apalagi memanfaatkan anak secara struktural maupun biologis sebagai pihak yang lemah untuk sasaran tindakan kekerasan itu.

Sebaliknya limpahan kasih sayang, perhatian dan perlindunganlah yang harus diberikan agar anak tumbuh dalam atmosfer yang penuh dengan cinta kasih dan perdamaian. Di masa depan mereka akan menginternalisasikan nilai-nilai luhur itu dalam kehidupan mereka, dan tentu saja mewariskannya pada generasi berikutnya. Makna anak sebagai investasi moral luhur seperti inilah yang seharusnya kita perjuangkan dengan sikap kemesraan terhadap anak. Bekal yang diberikan kepada anak adalah kuat badannya, pemberani hatinya dan kuat dalam berazam. Agar tumbuh menjadi remaja yang kuat, bebas dari segala penyakit jiwa, penyakit jasmani, maupun kekurangan dalam akhlaknya.[15]

Anak itu harapan masa depan. Karenanya, mereka perlu dipersiapkan agar kelak menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, bermoral dan berguna bagi masyarakat. Untuk itu perlu dipersiapkan sejak dini yaitu sejak dalam kandungan melalui pengasuhan yang baik. Anak perlu diasuh karena mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. 

Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap tahapan mempunyai ciri dan tuntutan tersendiri. Pengasuhan anak perlu disesuaikan dengan tahapan perkembangan tersebut. Perkembangan anak dipengaruhi faktor bawaan dan pengaruh lingkungan. 

1.  Faktor bawaan

Sifat yang dibawa anak sejak lahir seperti penyabar, pemarah, pendiam, banyak bicara, cerdas, atau tidak cerdas. Keadaan fisik seperti warna kulit, bentuk hidung, sampai rambut. Faktor bawaan merupakan warisan dari sifat Ibu/Bapak atau pengaruh sewaktu anak berada dalam kandungan, misalnya pengaruh gizi, penyakit, dll. Faktor bawaan dapat mempercepat, menghambat atau melemahkan pengaruh dari lingkungan. Tidak  dapat  dibandingkan  anak  yang  satu  dengan  yang  lain  tanpa memperhitungkan faktor ini. 

2. Faktor Lingkungan

Faktor dari luar diri anak yang mempengaruhi proses perkembangan anak. Meliputi suasana dan cara pendidikan  lingkungan  tertentu, lingkungan rumah atau keluarganya, dan hal lain seperti sarana dan prasarana yang tersedia misalnya alat bermain atau lapangan bermain. Faktor lingkungan dapat merangsang berkembangnya fungsi tertentu dari anak yang dapat menghambat  atau  mengganggu  kelangsungan perkembangan anak. Pengaruh yang sangat besar dan sangat menentukan dirinya nanti sebagai orang dewasa adalah ketika anak berusia di bawah 6 tahun, sehingga lingkungan keluarga sangat perlu diperhatikan.

Hakikat mengasuh anak adalah proses mendidik agar kepribadian anak dapat berkembang dengan baik, ketika dewasa jadi bertanggung jawab. Pola asuh yang baik menjadikan anak berkepribadian kuat, tak mudah putus asa, dan tangguh menghadapi tekanan hidup. Sebaliknya, pola asuh yang salah menjadikan anak rentan terhadap stres, mudah terjerumus pada hal-hal yang negatif seperti tawuran, perilaku seks bebas, cemas, dan depresi. 

Mengasuh anak melibatkan seluruh aspek kepribadian anak --jasmani, intelektual, emosional, ketrampilan, norma, dan nilai-nilai. Hakikat mengasuh anak  meliputi  pemberian  kasih sayang  dan  rasa  aman, sekaligus disiplin dan contoh yang baik. Karenanya, diperlukan suasana kehidupan keluarga yang stabil dan bahagia. Stabilitas dan kebahagiaan keluarga hanya bertumpu pada investasi sifat-sifat terpuji dari orang tua kepada anak.



[1] Jamal  Abdurrahman,  Pendidikan  Ala  Kanjeng  Nabi:  120  Cara  Rasulullah  SAW Mendidik Anak, Op.Cit, hal. 259.
[2] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 50.
[3] Ahmad  Tafsir,  Pendidikan  Agama  dalam  Keluarga,  Bandung:  PT.  Remaja  Rosda Karya, 2000, hal. 72
[4] Ahmad Tafsir, Ibid, hal. 116.
[5] Zakiah Darajat, Op.Cit, hal. 54.
[6] Abdullah  Nasih  Ulwan,  Pemeliharaan  Kesehatan  Jiwa  Anak,  Bandung:  Remaja Rosda Karya, Offset, 1996, hal. 146
[7] Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, PT. Lentera Basritama, Jakarta, hal. 203.
[8] Rif’at Syauqi  Nawawi,  Konsep  Manusia  Menurut  Al-Qur’an,  dalam  Rendra (ed), Metodologi Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 13.
[9] Rif’at Syauqi Nawawi, MA, Ibid.
[10] M.  Quraish  Shihab,  M.A,  Wawasan  Al-Quran:  Tafsir  Maudhu'i  atas  Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1999, hal. 203.
[11] Yusuf Qardlawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Mitra Pustaka, Yogayakarta, 2001, hal. 181.
[12] M.  Utsman  Najati,  Belajar  EQ  dan  SQ  dari  Sunnah  Nabi,  Penerbit  Hikmah, Jakarta, 2002, hal.145.
[13] Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, Op.Cit, hal. 107.
[14] Kartini Kartono, Psikologi Anak: Psikologi Perkembangan, Op.Cit, hal. 7.
[15] Musthafa Husein Atthar, Keagungan dan Akhlaq Pribadi Rasulullah, Pustaka Arafah, Solo, 2003, hal. 142.

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN ANAK



Sejak lahir hingga berumur dua tahun, seorang anak yang disusui ibunya secara psikologis amat penting dalam proses pembinaan kepribadian anak. Pada usia balita inilah dasar-dasar perkembangan kepribadian sedang diletakkan. Jika anak mendapatkan dan  mengalami  kasih sayang dan kemesraan dengan penuh ketulusan, maka  kepribadiannya kelak akan berkembang dengan utuh dan teguh, sehat dan wajar. Demikian pula dalam pemberian makanan hendaknya selalu memperhatikan waktu, cara dan kedisiplinan yang baik, agar pengaruh positifnya diperoleh anak-anaknya.

Hubungan orang tua yang efektif penuh kemesraan dan tanggung jawab yang didasari  kasih sayang yang tulus, menyebabkan anak-anaknya akan mampu mengembangkan aspek-aspek kegiatan  manusia  pada umumnya, ialah kegiatan yang bersifat individual, kegiatan sosial, dan kegiatan keagamaan.[1]

Bermacam-macam cara yang efektif perlu dilaksanakan oleh orang tua agar masa kanak-kanak dapat dikembangkan kepribadian yang luhur. Kehidupan yang penuh keteladanan, pemberian keterangan yang sangat dibutuhkan, latihan-latihan dalam keluhuran budi dan penolakan atas tingkah laku yang tercela serta pujian atas  penghargaan  tingkah laku atau perkataan yang baik, semuanya itu merupakan cara-cara yang dapat dan perlu dibiasakan dalam kehidupan yang sedang dijalani.[2] 

Selain hal tersebut di atas, bentuk tanggung jawab orang tua antara lain:

1. Tanggung jawab pendidikan iman

2. Tanggung jawab pendidikan moral

3. Tanggung jawab pendidikan intelektual

4. Tanggung jawab pendidikan psikologis

5. Tanggung jawab pendidikan sosial

6. Tanggung jawab pendidikan seks.[3]

Anak masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak itu dititipkan pada seorang pembantu, maka orang tua atau khususnya ibu harus tahu betul bahwa pembantu tersebut mampu membimbing dan membantu anak-anak dalam melakukan pekerjaannya. Kalau pembantu ternyata tidak dapat melakukannya, maka anak-anak yang akan menderita kerugian. 

Pembentukan kepribadian seorang anak dimulai ketika anak berusia 0-5 tahun. Anak akan belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Anak yang berada di lingkungan orang-orang yang sering marah, memukul, dan melakukan tindakan kekerasan lainnya, anak tersebut juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang keras. Untuk itu, ibu atau orang tua harus bijaksana dalam memberikan arahan atau ajaran kepada anak. Sehingga Ibu mempunyai pengaruh besar dalam pendidikan anak.[4]

Kadang-kadang hanya karena lingkungan yang kurang mendukung sewaktu anak masih kecil akan mengakibatkan dampak yang negatif bagi pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya. Seperti kasus-kasus kenakalan remaja, keterlibatan anak dalam dunia narkoba, dan sebagainya bisa jadi karena pembentukan kepribadian di masa kanak-kanak yang tidak terbentuk dengan baik. Masa anak seusia 0-2 tahun bisa disebut sebagai periode vital. Karena kondisi fisik dan mental bayi menjadi fundasi kokoh bagi perkembangan dan pertumbuhan selanjutnya.[5]

Untuk itu, orang tua harus bijaksana mengatur waktu dalam mendidik anak. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memang sangat mulia, tetapi tetap harus diingat bahwa tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Misalnya ketika Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi, bercanda, memeriksa tugas-tugas sekolahnya meskipun ibu sangat capek setelah seharian bekerja di luar rumah. Tetapi pengorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan stabil.

Sedangkan untuk ibu yang bekerja di dalam rumah pun tetap harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana. Tetapi tugas tersebut tentunya bukan hanya tugas ibu saja tetapi ayah juga harus ikut menolong ibu untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga sehingga keutuhan dan keharmonisan rumah tanggapun akan tetap terjaga dengan baik. Ayah merupakan mitra bersama dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya. Selanjutnya ibu disebut sebagai arsitek kepribadian.[6]

Anak-anak adalah karunia dan rahmat dari Allah SWT,  kehadiran mereka  di dalam keluarga adalah sesuatu yang dinantikan, karena anak-anak merupakan salah satu sebab yang membawa kebahagian untuk kedua orang tua. Sebaliknya pada masyarakat jahiliyyah dulu, kehadiran anak-anak terutama anak-anak perempuan, adalah merupakan sesuatu yang sangat memalukan. Di dalam Islam di samping kehadiran anak-anak merupakan karunia dan rahmat dari Allah s.w.t mereka juga merupakan amanah Allah yang diberikan kepada kedua orang tuanya yang merupakan perantara (wasilah) yang boleh membawa keuntungan yang besar jika amanah tersebut diperlihara dengan baik. 

Kedua orang tua berkewajiban mendidik, mengarahkan dan mengasuh agar menjadi individu yang sholeh dan berakhlak mulia.  Maka apabila kewajiban ini dilaksanakan dengan baik oleh kedua orang tua dan pendidik, maka ia merupakan kebahagian di dunia dan  akhirat. Begitu pula dalam keluarga, orang tua punya tanggung jawab yang sangat besar dalam membentuk karakter dan kepribadian anaknya. 

Pendidikan anak-anak dalam Islam mestilah dilakukan sejak awal (baca: dini). Semakin awal adalah semakin baik. Karena keadaan anak-anak lebih dekat dengan fitrahnya. Sama halnya dengan riwayat Ibnu Sina: “Ketika anak telah diasuh oleh ibunya, maka ajarkanlah etika Islam sebelum ia diserang oleh nilai-nilai yang buruk". Seorang pendidik oleh Ibnu Sina diharapkan mampu menanamkan sikap keagamaan pada anak didiknya.[7] 

Sejalan dengan hal tersebut, tanggung jawab orang tua menurut Ibnu Khaldun diarahkan : 

1. Mempersiapkan seorang anak dari segi keagamaan 

Yaitu mengajarnya syiar-syiar agama menurut Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebab dengan cara itu potensi iman dapat diperkuatkan. 

2. Menyiapkan seseorang anak dari segi akhlak. 

3. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran yang betul seseorang itu dapat memegang berbagai pekerjaan dan ketrampilan tertentu.[8] 

Sementara Imam Al-Ghazali menekankan pada pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, ruh disamping tubuh badan yang sehat dan akal yang cerdas, serta melahirkan anak-anak yang menghayati perjuangan Islam sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah.[9]

Orang tua adalah orang yang pertama kali bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Ia mempunyai tugas untuk memberikan hak-hak penuh  kepada  anak-anaknya. Diantara hak-hak anak tersebut adalah:

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna.

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. 

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.[10]

Orang tua, orang-orang dewasa dan masyarakat berperan penting untuk membantu anak-anak dan remaja untuk mengembangkan kemampuan, agar dapat memberikan partisipasi yang berarti dalam kehidupannya di dunia. Bantuan tersebut terutama dalam bentuk kemampuan membangun komunikasi yang baik dengan mereka.[11]

Dari keterangan tersebut kirnya dapat dipahami bahwa para orang tua dan masyarakat mampu menjamin kebebasan anak-anak dan remaja untuk mengekspresikan diri. Juga mempertimbangkan pandangan-pandangan mereka ketika harus mengambil keputusan mengenai  hal-hal  yang mempengaruhi  kehidupan  anak  dan  remaja.  

Maka, makna partisipasi anak adalah mengajak mereka untuk berdialog, bertukar pikiran dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk belajar mempengaruhi dan berinteraksi dengan lingkungannya secara konstruktif. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya serta juga berhak menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan. 

Anak juga wajib untuk menghormati orang tua atau wali dalam mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman. Selain itu juga anak wajib menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya serta melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Partisipasi anak mengharuskan orang dewasa mendengar apa yang diinginkan oleh anak, melalui cara komunikasi mereka yang sangat beragam. Tapi mendengar pendapat anak tidak lalu berarti mendukung semua pandangan mereka. Makna sesungguhnya adalah mengajak anak-anak dan remaja untuk berdialog dan bertukar pendapat serta memberi kesempatan untuk belajar mempengaruhi dunia disekitar mereka secara konstruktif. 

Orang tua dalam keluarga adalah ibarat tiang penyangga dalam rumah. Sehingga, salah satu unsur penting dari proses kependidikan di dalam keluarga adalah orang tua—yang selanjutnya boleh dikatakan sebagai pendidik. Di pundak pendidik terletak tanggungjawab yang amat besar dalam upaya mengantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan cultural transition yang bersifat dinamis ke arah suatu perubahan secara kontinyu, sebagai sarana vital bagi membangun kebudayaan dan peradaban umat manusia.  

Orang tua dalam porses belajar mengajar memiliki fungsi yang sangat strategis dalam melaksanakan tugas mendidik dan mengajar, karena melalui proses pendidikan akan terbentuklah sikap dan perilaku anak didik. Orang tua sebagai seorang pendidik disebut sebagai seorang muaddib yaitu orang yang berusaha mewujudkan budi pekerti yang baik atau akhlakul karimah, atau sebagai pembentukan nilai-nilai moral atau transfer of values. Sedangkan orang tua sebagai pengajar atau mu’allim adalah orang yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada anak didik, sehingga anak didik mengerti, memahami, menghayati dan dapat mengamalkan berbagai ilmu pengetahuan yang disebut sebagai transfer of knowledge.

Untuk itu, orang tua dituntut agar benar-benar memiliki kepribadian atau karakter yang sesuai dengan predikatnya sebagai muaddib maupun sebagai mu’allim. Di samping itu orang tua juga harus bisa mengemban tugas dan tanggung jawab yang dinilai semakin berat akan tetapi sangat mulia. Oleh karena itu ia dituntut memiliki daya kreatifitas, aktivitas dan dinamika dalam proses pendidikan di tingkat keluarga, agar terjadi dalam suasana edukatif yang lebih bermakna, sehingga proses pendidikan keluarga dapat mewujudkan pribadi muslim yang baik. Hal ini nampak bahwa tanggung jawab orang tua tidak jauh daripada tanggung jawab guru. Bahkan bisa saja dikatakan lebih besar tanggung jawab orang tua daripada guru.[12]

Dalam pendidikan Islam, seorang pendidik hendaknya memiliki karakteristik yang dapat membedakannya dari pendidik yang lain. Dengan karakteristiknya menjadi ciri dan sifat yang akhirnya menyatu dalam totalitas kepribadiannya  dan  kemudian  teraktualisasikan  lewat  perkataan dan perbuatannya. Kaitannya dengan ini kepribadian adalah unsur yang menentukan keakraban hubungan pendidik dengan anak didik karena tidak seorangpun yang dapat menjadi seorang pendidik yang sejati (mulia) kecuali bila dia menjadikan dirinya sebagai bagian dari anak didik.[13]

Orang tua, terutama Ibu sebagai pendidik dituntut memenuhi  batasan-batasan yang berbeda tentang karakter seorang pendidik yang oleh hemat penulis hal itu lebih di dasarkan atau ditekankan pada sifat (kepribadian) dan juga dari segi skill, kemampuan yang terdapat pada pendidik tersebut. Seperti halnya Al-Nahlawi membagi karakteristik pendidik kepada beberapa bentuk: 

a. Mempunyai watak dan sifat robbaniyah yang terwujud dalam  tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya.

b. Bersifat ikhlas, melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari keridloan Allah.

c. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan. 

d. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.

e. Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkajinya lebih lanjut.

f. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi sesuai dengan prinsip-prinsip penggunan metode pendidikan.

g. Mampu mengelola anak didik, tegas dalam bertindak dan professional.

h. Mengetahui kehidupan psikis peserta didik.

i. Tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola berfikir peserta didik.

j. Berlaku adil terhadap peserta didiknya.[14]

Sementara itu, Al-Abrasyi memberikan batasan tentang karakteristik pendidik:

1. Seorang pendidik hendaknya memiliki sifat zuhud, yaitu melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi, akan tetapi lebih dari itu adalah karena mencari keridlaan Allah.

2. Seorang pendidik hendaknya bersih fisiknya dari segala macam kotoran dan bersih jiwanya dari segala macam sifat tercela.

3. Hendaknya ihlas dan tidak ria dalam melaksanakan tugasnya.

4. bersifat pemaaf dan mema’afkan kesalahan orang lain (terutama  siswa) sabar dan sanggup menahan amarah, senantiasa membuka diri dan menjaga kehormatannya.

5. Mampu mencintai peserta didiknya sebagaimana ia mencintai anaknya sendiri (sifat keibuan/bapak).

6. Mengetahui karakter peserta didiknya seperti pembawaannya, kebiasaan, perasaan, dan berbagai potensi yang dimilikinya.

7. Menguasai pelajaran yang diajarkannya dengan baik dan professional.[15]

Beberapa karakter yang disebutkan di atas merupakan watak yang harus dimiliki seorang pendidik, khususnya orang tua dalam mendidik anak-anaknya mulai dari bayi hingga dewasa juga seharusnya memegang beberapa karakter yang harus dimiliki orang tua dalam rangka sukses membentuk kepribadian anaknya. Kepribadian anak tidak akan begitu saja terbentuk tanpa proses didikan orang tua.  Sehingga makna kontribusi orang tua terhadap kepribadian anaknya sangatlah erat—apalagi pembentukan karakter seorang bayi.

Asumsi semacam itu, menunjukkan bahwa kebanyakan Bapak-Ibu terkadang bersikap lepas tangan terhadap perkembangan kepribadian anak. Mereka beranggapan bahwa mereka telah menunaikan kewajiban dan hak anak telah terpenuhi manakala anak-anak mereka sudah beranjak remaja dan masuk sekolah untuk mendapatkan pelajaran yang akan menjamin masa depan hidup mereka. 

Garis pendidikan anak dalam membentuk pribadi yang mantap adalah bersumber dari Al-Qur’an. Pendidikan Al-Qur’an termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh karena pendidikan Al-Qur’an dapat meresapi ke dalam hati dan memperkuatkan iman, dan pengajaran Al-Qur’an patut didahulukan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain. Adapun semangat pendidikan dalam Al-Qur’an adalah semangat moral atau akhlak.[16]

Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa kepribadian yang dimaksudkan  sebagai  unsur  “jiwa”  dan “raga” anak bergantung  pada  sikap dan prilaku orang tuanya.[17] Selanjutnya, kepribadian yang dimiliki anak juga dipengaruhi oleh besar dan kecilnya tanggung jawab orang tua dalam membentuk kepribadian anaknya. Sehingga dalam hal menyusui pun, Islam sangat tegas menekankan kepada para ibu untuk memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada anaknya. Karena secara pemberian ASI adalah bagian dari tanggung jawab orang tua yang terkait dengan pembentukan kepribadian bayi.

Kepribadian yang ditransfer kepada anak oleh tua adalah unsur yang terbaik menurut agama Islam. Dalam hal ini, besar kemungkinan  bahwa yang dimaksudkan dengan kepribadian yang harus dimiliki orang Islam adalah dengan akhlaq mahmudah (sifat terpuji).




[1] Hasan Basri, Keluarga Sakinah (Tinjauan psikologi dan Agama), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999 cet-4 hal. 90
[2] Ibid hal 92
[3] Abdullah Nashih Ulwan, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa, PT Remaja Rosdakarya-Bandung cet-3 hal. 142
[4] Adil Fathi Abdullah, Menjadi Ibu Dambaan Umat, Gema Insani Press, Jakarta, hal. 11.
[5] Kartini Kartono, Psikologi Anak: Psikologi Perkembangan, Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 78.
[6] Ali  Qaimi,  Buaian  Ibu  Diantara  Surga  dan  Neraka:  Peran  Ibu  dalam  Mendidik Anak, Penerbit Cahaya Bogor, 2000, hal. 126.
[7] Jamal  Abdurrahman,  Pendidikan  Ala  Kanjeng  Nabi:  120  Cara  Rasulullah  SAW Mendidik Anak, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003, hal. 216.
[8] Marasuddin Siregar, Konsepsi  Pendidikan  Ibnu  Khaldun:  Suatu  Analisa Fenomenologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal. 35.
[9] H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2000, hal. 66.
[10] Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1979, Tanggal. 23 Juli 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, bab II pasal 2.
[11] Hasan Basri, op.cit hal 80
[12] Sholeh  Abdul  Aziz,  At-Tarbiyah  wa  Turuqu  Al-Tadris,  Juz.  1,  Darul  Ma’arif,  Mesir, tth, hal. 159.
[13] Syaiful  Bahri  Djamarah,  Guru  dan  Anak  Didik  dalam  Interaksi  Edukatif,  cet.  I, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 41.
[14] H.  Samsul  Nizar,  M.A,  Filsafat  Pendidikan  Islam:  Pendekatan  Historis,  Teoritis dan Praktis, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hal. 45.
[15] H. Samsul Nizar, M.A, Ibid, hal. 46.
[16] Fazlur Rahman, Islam, Bandung, Penerbit Pustaka, 2000, hal. 263.
[17] E. Koswara, Teori-Teori Kepribadian, PT. Eresco, Bandung, 1991, hal. 11.