SURAT-SURAT R.A KARTINI TENTANG PENDIDIKAN


Pada mulanya pendidikan menurut Kartini adalah mencerdaskan watak sebagaimana dalam suratnya yang disampaikan kepada istri van Kol pada bulan Agustus tahun 1901 bahwa:

Sangatlah ingin hatiku, mendapat kesempatan memimpin hati anak-anak, membentuk watak, mencerdaskan otak…”[1]

Di samping itu, pendidikan yang dikehendaki Kartini adalah suatu proses yang tidak hanya bertujuan untuk mencerdaskan akal saja melainkan juga sebagai upaya untuk membentuk budi pekerti karena manusia yang berakal dan berilmu belum tentu mempunyai budi pekerti. Sebagaimana yang tercantum dalam suratnya kepada istri Abendanon pada tanggal 21 Januari 1901 sebagai berikut: 

Pendidikan ialah mendidik budi dan jiwa, kewajiban seorang pendidik belumlah selesai jika ia  hanya baru mencerdaskan pikiran saja; bahwa tahu adat dan bahasa serta cerdas pikiran belumlah lagi jaminan orang hidup susila ada mempunyai budi pekerti…”[2]

Pendidikan disamping membentuk  sebagai wahana pembentukan budi pekerti, hati juga memerlukan bimbingan agar peradaban tidak tinggal nama. Sebagaimana dalam suratnya pada tanggal 30 September 1901 kepada isteri R.M. Abendanon sebagai berikut: 

Kecerdasan otak saja tidak berarti segala-galanya. Harus ada kecerdasan lain yang lebih tinggi, yang erat hubungan dengan yang lain untuk mengantarkan ke arah yang ditujunya. Di samping otak, juga hati harus dibimbing, kalau  tidak demikian peradaban hanya tinggal permukaan….”[3]

Pendidikan juga berfungsi sebagai proses pembentukan akhlak mulia. Sebagaimana pandangan Kartini yang ditulis dalam nota sebagai berikut:

Pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan akhlak pula”.[4]

Agar tujuan pendidikan itu tercapai, pendidik harus mampu memberikan motivasi kepada anak. Sebagaimana surat Kartini kepada Mr. Abendanon pada tanggal 15 Agustus 1902 sebagai berikut: 

Jika mendidik anak, haruslah juga diusahakan mendidik watak, yakni yang terutama haruslah diusahakan ialah memperkukuh rasa kemauan anak yang dididik itu. Rasa kemauan itu wajiblah dibesar-besarkan oleh pendidikan, terus dan terus ….”[5]

Menurut Kartini, pendidikan adalah suatu proses membentuk kepribadian peserta didik sehingga mereka mampu menyaring budaya asing, memberdayakan segi positifnya dan meninggalkan segi negatifnya tanpa menghilangkan karakter diri sendiri. Sebagaimana suratnya dengan istri van Kol pada bulan Agustus 1901 sebagai berikut: 

Dengan pendidikan yang bebas itu, bukanlah sekali-kali maksud kami akan menjadikan orang Jawa itu orang Belanda, melainkan cita-cita kami ialah memberikan kepada mereka jua, sifat-sifat yang bagus yang ada pada bangsa-bangsa lain, akan  jadi penambah sifat-sifat yang sudah ada padanya, bukanlah akan  menghilangkan sifat-sifat sendiri itu, melainkan akan memperbaiki dan memperbagusnya!”[6]

Di samping itu, Kartini berharap agar perempuan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan tujuan agar mereka (perempuan) menjadi seorang ibu yang baik dan bermanfaat bagi lingkungan keluarga maupun masyarakat sebagai berikut:

 “… menjadikan mereka sebagai perempuan yang cakap dan baik, yang sadar akan panggilan budinya, sanggup menjalankan kewajibannya yang besar dalam masyarakat. Agar dalam masyarakat itu dia menjadi ibu yang baik, pendidik yang bijaksana, pengatur rumah tangga yang mampu pemegang uang dan pembantu yang baik bagi siapapun yang memerlukan bantuan”.[7]

Menurut Kartini, seorang ibu juga bertanggung jawab terhadap pembentukan budi pekerti anak-anak mereka. Sebagiamana dalam suratnya kepada Tuan Prof. Dr. G. K. Anton dan istrinya pada tanggal 4 Oktober 1902 sebagai berikut: 

Ibulah yang jadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibu itulah dipertanggungjawabkan kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu; yaitu bagian pendidikan yang membentuk budinya. Berilah anak-anak gadis pendidikan yang sempurna, jagalah supaya ia cakap kelak memikul kewajiban yang berat itu”.[8]

Selain kewajibannya sebagai seorang ibu, perempuan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha memajukan bangsa dan pendukung peradaban. Sebagaimana surat Kartini kepada nona Zeehandeler pada tanggal 9 Januari 1901 sebagai berikut: 

Dari semenjak dahulu kemajuan perempuan itu menjadi pasal yang amat penting dalam usaha memajukan bangsa. Kecerdasan pikiran penduduk pribumi tiada akan maju dengan pesatnya, bila perempuan itu ketinggalan dalam usaha itu. Perempuan jadi pembawa peradaban.”[9]

Pendidikan merupakan hal utama bagi rakyat baik laki-laki maupun perempuan karena dengan pendidikan maka orang akan mampu memecahkan segala persoalan yang yang sedang dihadapinya. Sebagaimana dalam suratnya kepada nona Zeehandeler pada tanggal 12 Januari 1900 yakni:

Pemerintah tiada akan sanggup mengediakan nasi di piring bagi segala orang Jawa, akan dimakannya, tetapi pemerintah dapat memberikan daya upaya, supaya orang Jawa itu dapat mencapai tempat makanan itu. Daya upaya itu ialah pengajaran”.[10]

Apabila pendidikan yang berwawasan gender terlaksana maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang mampu membawa tanah air dan bangsanya searah dengan perkembangan jiwa, kecerdasan pikiran serta kemakmuran dan kesejahteraan. Sebagaimana dalam uraian Kartini pada bulan Januari tahun 1903 sebagai berikut: 

“… memberi kesempatan kepada  anak bangsa Jawa laki-laki dan perempuan, untuk mencari kepandaian agar mereka mampu membawa tanah air dan  bangsanya ke arah perkembangan jiwa, ke arah kecerdasan pikiran serta kemakmuran dan kesejahteraan”.[11]

Selain itu, yang perlu dipelajari perempuan antara lain; seni, ilmu pengetahuan, ilmu kesehatan dan pengetahuan lainnya. Sebagaimana surat Kartini kepada nona Zeehandelaar pada tanggal 20 Mei 1901 sebagai berikut:

"Alangkah baik keadaannya internaat bagi anak-anak bangsawan itu bukan? Seni, ilmu pengetahuan, memasak, mengurus rumah tangga, ilmu kesehatan, dan lagi pengajaran vak akan dan harus diajarkan!"[12]

Pada dasarnya, maju tidaknya suatu bangsa tergantung perempuan. Perempuan adalah soko guru peradaban. Sebagaimana surat Kartini kepada nyonya Abendanon pada tanggal 21 Januari 1901 sebagai berikut:

"Perempuan itu jadi soko guru peradaban! Bukan karena perempuan yang dipandang cakap itu, melainkan oleh karena saya sendiri yakin sungguh yakin sungguh bahwa perempuan itu pun mungkin timbul pengaruh yang besar, yang besar akibatnya, dalam hal membaikkan maupun memburukkan kehidupan, bahkan dialah yang paling banyak dapat membantu memajukan kesusilaan manusia".[13]

Menurut Kartini, hal-hal yang perlu dipelajari perempuan antara lain; belajar menulis, membaca dan lain sebagainya. Sebagaimana surat Kartini kepada Nyonya abendanon pada tanggal 4 Juli 1901 sebagai berikut:

"Mereka belajar menulis, membaca, menjahit, merenda, memasak dan sebagainya. Mereka itu tiada kami  ajar menurut cara yang biasa di sekolah, melainkan sebagimana kesukaran anak-anak Jawa belajar sepanjang pikiran kami".[14]

Untuk itu, apabila wanita ingin mempunyai status yang lebih baik maka wanita harus mempunyai bekal yang baik, Wanita yang berpendidikan akan menghilangkan adat-istiadat itu. Sebagaimana isi suratnya kepada nyonya Zeehandeler pada tanggal 23 Agustus 1900 sebagai berikut:

 “Sesungguhnya, ibu-ibu mudalah yang mungkin sebanyak-banyaknya dapat berjasa melenyapkan sekaliannya itu…, laki-laki dan perempuan, akan aku ajar, supaya menghargai dan pandang memandang sama rata, makhluk yang sama, dan didikannya akan aku samakan benar; yakni tentu saja masing-masing menurut kodrat kecakapannya”.[15]




[1] Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, terj. Armijn Pane, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 92.
[2] Ibid., hlm. 78.
[3] Kartini,  Surat-surat Kartini Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terj. Sulastrin Sutrisno,  (Bandung: Djambangan, 1979), hlm. 126.
[4] Ibid., hlm. 367-368.
[5] Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, op. cit, hlm. 141.
[6] Ibid., hlm. 95.
[7] Kartini,  Surat-surat Kartini Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya,  op.cit., hlm. 395.
[8] Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, op. cit., hlm. 151.
[9] Ibid., hlm. 74.
[10] Ibid., hlm. 42.
[11] Sulastrin Sutrisno, op. cit., hlm. 385.
[12] Ibid., hlm. 83.
[13] Kartini, Habis Gelap Terbitlah terang, op. cit., hlm. 79.
[14] Ibid., hlm. 180.
[15] Ibid., hlm. 58-59.

ISYTIGHAL


Isytighal adalah mendahulukan isim atas amil yang haknya adalah menashabkan isim itu seandainya amil itu tidak sibuk mengamalkan dlamir yang kembali kepada isim yang didahulukan itu,[1] seperti (خاَلِدٌ اَكْرَمْتُهُ).

Ketika kita mengucapkan (خاَلِداً اَكْرَمْتُ), maka (خاَلِداً) adalah maf’ul bihnya (اَكْرَمْتُ). Dan jika kita mengucapkan (خاَلِدٌ اَكْرَمْتُهُ), maka (خاَلِدٌ) haknya adalah menjadi maf’ul bihnya (اَكْرَمْتُهُ) juga, akan tetapi fi’il disini sedang sibuk mengamalkan dlamirnya, yaitu ha’, dan itulah makna dari isytighal.

Yang lebih baik adalah membaca rafa’ isim yang berada didepannya amil sebagai mubtada’, seperti yang telah kalian lihat, dan jumlah setelah menjadi khabarnya, dan diperbolehkan juga untuk membacanya nashab, seperti (خاَلِداً اَكْرَمْتُهُ).

Amil yang menashabkan isim itu adalah berupa fi’il yang wajib untuk dikira-kirakan, sehingga tidak diperbolehkan untuk memperlihatkannya. Dan amil yang dibuang itu dikira-kirakan dari lafal yang disebutkan setelahnya, kecuali jika lafal yang disebutkan itu berupa fi’il lazim yang dimuta’addikan dengan huruf jer, seperti (الْعاَجِزَ اَخَذْتُ بِيَدِهِ), maka dikira-kirakan dari maknanya. Sehingga penakdiran lafal yang dibuang adalah (رَأَيْتُ) pada semisal contoh (خاَلِداً اَكْرَمْتُهُ), dan penakdirannya adalah (أَعَنْتُ) pada contoh (الْعاَجِزَ اَخَذْتُ بِيَدِهِ).[2]

Terkadang datang kepada isim yang diisytighalkan, perkara yang mewajibkan untuk membacanya nashab atau memenangkan dibaca nashab, dan perkara yang mewajibkannya rafa’ atau memenangkannya dibaca rafa’.

Wajib membaca nashab isim itu ketika jatuh setelah perabot tahdlidl, syarat dan istifham dengan selain hamzah, seperti (هَلاَ الْخَيْرَ فَعَلْتَهُ), (إِنْ عَلِياًّ لَقَيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ) dan (هَلْ خاَلِداً اَكْرَمْتَهُ؟). Akan tetapi isytighal setelah perabot istifham dan syarat hanya terjadi pada syair, kecuali jika perabot syaratnya berupa (إِنْ) dan fi’il setelahnya berupa fi’il madli, atau berupa (إِذَا) secara mutlak, seperti (إِذَا عَلِياًّ لَقَيْتَهُ اَو تَلْقاَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ).

Dimenangkan untuk membaca nashab dilima bentuk, yaitu:[3]

a.    Ketika amar jatuh setelah isim, seperti (خاَلِداً اَكْرِمْهُ) dan (عَلِياًّ لِيُكْرِمْهُ سَعِيْدٌ).

b.    Ketika nahi jatuh setelah isim, seperti (الْكَرِيْمَ لاَ تُهِنْهُ)

c.    Fi’il do’a jatuh setelah isim, seperti (اَللَّهُمَّ اَمْرِي يَسِّرْهُ وَ عَمَلِي لاَ تُعَسِّرْهُ). Namun, terkadang do’a itu datang dengan bentuk kalam khabar, seperti (سَلِيْماً غَفَرَ اللهُ لَهُ وَ خاَلِداً هَدَاهُ اللهُ).

d.   Ketika isim jatuh setelah hamzah istifham, seperti (اَبَشَراً مِناَّ وَاحِداً نَتَّبِعُهُ؟ ).

e. Isim jatuh menjadi jawabnya perkara yang ditanyakan yang dibaca nashab, seperti (عَلِياًّ اَكْرَمْتُهُ) “Kepada Ali aku memuliakannya,” sebagai jawaban dari pertanyaan (مَنْ اَكْرَمْتَ؟) “Siapa yang kamu muliakan?”

Diwajibkan untuk merafa’kan isim di tiga tempat, yaitu:[4]

a.   Ketika isim jatuh setelah (إِذَا) fuja’iyyah, seperti (خَرَجْتُ فَإِذاً الْجَوُّ يَمْلَؤُهُ الضَّباَبُ). Karena orang Arab tidak akan menyandingkan (إِذَا) kecuali kepada mubtada’, seperti (وَ نَزَعَ يَدَهُ فَإِذاً هِيَ بَيْضَاءُ لِلنَّاظِرِيْنَ), atau khabar, seperti (فَإِذاً لَهُمْ مَكْرٌ فِي آياَتِناَ). Dan jika fi’il setelahnya dibaca nashab, maka dengan menakdirkan fi’il setelahnya, dan (إِذَا) tidak bisa masuk pada kalimah fi’il.

b.    Isim itu jatuh setelah waw haal, seperti (جِئْتُ وَ الْفَرَسُ يَرْكَبُهُ اَخُوكَ).

c.   Isim itu jatuh sebelum perabot istifham atau syarat atau tahdlidl atau (ماَ) nafi, atau lam ibtida’iyyah atau (ماَ) ta’ajjubiyyah atau (كَمْ) khabariyyah atau (إِنَّ) dan sesamanya, seperti (زُهَيْرٌ هَلْ اَكْرَمْتَهُ؟), (سَعِيْدٌ إِنْ لَقَيْتَهُ فَأَكْرِمْهُ), (خَالِدٌ هَلاَّ دَعَوتَهُ), (الشَّرُّ ماَ فَعَلْتُهُ), (الْخَيْرُ لأَناَ اَفْعَلُهُ), (الْخُلُقُ الْحَسَنُ ماَ اَطْيَبَهُ!), (زُهَيْرٌ كَمْ اَكْرَمْتُهُ) dan (اُسَامَةُ إِنِّي اُحِبُّهُ).

Isim itu pada semua keadaannya adalah sebagai mubtada’ dan jumlah yang ada setelahnya adalah khabarnya. Dan tidak diperbolehkan untuk menashabkan isim itu dengan fi’il yang dibuang yang ditafsiri dengan lafal yang disebut setelahnya adalah karena lafal setelah perabot-perabot itu tidak bisa beramal kepada lafal setelahnya, dan lafal yang tidak bisa beramal maka tidak bisa diartikan sebagai amil.

Diunggulkan untuk dibaca rafa’ ketika isim itu bukanlah termasuk kategori lafal yang harus dibaca nashab atau mengunggulkan nashab atau mewajibkan dibaca rafa’ atau mengunggulkan rafa’, seperti (خاَلِدٌ اَكْرَمْتُهُ), karena jika ada perputaran diantara menakdirkan dan tidak, maka yang lebih diutamakan adalah tidak menakdirkan.





[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 20
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 21
[3] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 21
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 22

WALI MUJBIR


Dalam kehidupan sehari-hari, sering terjadi seorang anak perempuan yang dipaksa menikah oleh ayahnya. Karena merasa tidak cocok atau ada alasan lain semisal ingin melanjutkan pendidikannya, si anak pun menolak. Kalaupun menerima, tidak dengan sepenuh hati.

Setiap insan tentu ingin membina rumah tangga dengan jalan melangsungkan perkawinan. Suatu keinginan yang mulia dan sangat wajar. Tak seorang pun mengingkari, dalam diri manusia terdapat hajah atau syahwah jinsiyyah (kebutuhan atau nafsu biologis), yang sengaja diberikan oleh Allah Swt. Untuk menjaga perkembang-biakan manusia (tannasul) sebagai prasyarat proses imarah al-ardh (memakmurkan bumi) secara berkesinambungan. Sudah pasti pula, perkawinan tersebut diharapkan dapat memberikan kebahagiaan lahir batin, suatu keadaan yang sering diistilahkan dengan penuh mawaddah, mahabbah, dan rahmah. Karenanya gagasan tentang “rumahku surgaku di dunia” dapat menjadi nyata.[1]

Kiranya disepakati, penentuan calon pendamping baik istri maupun suami merupakan masalah yang paling serius bagi yang berhasrat akan menikah. Proses tersebut hendaknya dilakukan dengan penuh  kehati-hatian, karena akan sangat mempengaruhi secara langsung terhadap  tujuan pencapaian perkawinan yang diidealkan. Permasalahannya  menjadi agak rumit, tatkala dalam memilih jodoh ternyata seseorang  tidak bisa lepas dari keterlibatan orang tua, sebagai pihak yang menjadi perantara kehadirannya di dunia.[2]

Di samping alasan moral tersebut, orang tua juga merasa memiliki alasan ikut menentukan sang calon, berupa keinginan membahagiakan anaknya, menjaga nama baik, meneruskan misi, dan lain-lain serta serangkaian cita-cita yang sangat wajar dan normal bagi mereka. Keterlibatan mereka akan menyebabkan terjadi proses tarik-menarik antara harapan dan kepentingan si anak dengan harapan dan kepentingan orang tua, yang memang tidak selamanya sama. Bahkan kadang-kadang cenderung berlawanan, misalnya anak menginginkan suami yang sederhana asal berbudi luhur, sedangkan orang tua lebih memprioritaskan aspek material daripada pertimbangan moral keagamaan.[3]

Perbedaan tersebut pada gilirannya akan mengakibatkan adanya ketidak-samaan dalam membuat kriteria calon yang diinginkan, yang kalau tidak bisa dikompromikan lewat pencarian solusi yang memuaskan kedua pihak, tidak mustahil akan terjadi perbuatan-perbuatan yang nekat dan irasional, seperti kawin lari, bunuh diri,  atau menjerumuskan diri ke dalam dunia hitam yang justru  merugikan  diri  sendiri. Hal tersebut adalah suatu kenyataan yang sangat disesalkan.

Selanjutnya, bagaimana sikap (ulama atau ahli fiqh) dalam masalah tersebut? Ini merupakan permasalahan yang layak untuk dikedepankan di tengah-tengah giatnya upaya emansipasi perempuan pada zaman ini yang kadang-kadang secara salah kaprah dimengerti sebagai persamaan dalam segala aspek kehidupan tanpa melihat sisi-sisi perbedaan sehingga terjebak dalam sikap ifrat.[4]

Dalam mazhab Syafi’i, sebagaimana termaktub pada literatur-literatur fiqihnya, ternyata diakui adanya wali mujbir (bapak atau kakek) yang memiliki hak memaksa anak perempuannya yang masih perawan. Hak ijbar tidak berlaku untuk perempuan bukan perawan untuk menikah dengan laki-laki tanpa persetujuannya.[5]

Pendapat tersebut secara implisit mengakui orang tua sebagai pihak yang lebih tahu dan berpengalaman menentukan pasangan anaknya. Nilai lebih itu kemudian dilengkapi adanya rasa kasih sayang yang sudah menjadi fitrahnya. Perpaduan antara pengalaman, kebijaksanaan, dan kasih sayang ini bisa berjalan sebagaimana mestinya tampaknya cukup menjamin hak memaksa yang dimiliki tidak akan membawa pada keputusan keliru.[6]

Namun sangatlah berbahaya, bila masalah hukum hanya didasarkan atas kasih sayang semata. Karena hak ijbar (memaksa) tersebut hanya bisa diberlakukan, jika telah memenuhi beberapa  persyaratan yang sangat ketat, seperti antara anak dan wali tidak terjadi permusuhan yang jelas diketahui masyarakat sekitar, anak tidak terlibat permusuhan dengan calon pasangan, baik secara terang-terangan maupun tidak, sang calon harus setara dan kaya dalam arti mempu memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai suami dan mampu pula membayar mahar. Kalau keempat syarat tersebut tidak dipenuhi, pernikahannya tidak sah.[7]

Selain itu, ada satu hal lagi yang bila tidak dipenuhi, maka sang wali berdosa, meski pernikahannya tetap sah, yaitu jumlah mahar tidak kurang dari mahar misil (sesuai dengan mahar yang diterima saudara-saudara perempuan dan kerabatnya). Berupa mata uang yang lazim digunakan  di  daerahnya serta diserahkan secara kontan. Ketentuan itu secara lengkap dijelaskan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Mazahib Al-Arba’ah. Yang dimaksud setara atau dalam bahasa arabnya al-kufu ialah sederajat atau setingkat dalam aspek, nasab status (kemerdekaan,  profesi  dan  agama).

Perempuan yang salehah tidak setara dengan laki-laki yang tidak bermoral. Perempuan yang berasal dari keluarga dengan profesi terhormat tidak setara dengan yang berprofesi kurang terhormat.[8] Kesetaraan itu merupakan hak anak dan orang tua. Si anak berhak menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya, orang tua juga berhak menolak keinginan anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Jika seorang perempuan mempunyai hasrat menikah dengan laki-laki yang setara, maka orang tua tidak boleh menolak atau melakukan al-‘adlul.[9]

Perlu juga diperhatikan, hak ijbar yang telah memenuhi syarat tersebut, menurut Muktamar Nahdlatul ‘Ulama, hanya diperkenankan jika tidak dikhawatirkan membawa akibat yang fatal. Lebih jauh disinggung bahwa yang dimaksud “diperkenankan” pada kasus ijbar di sini bukan berarti mubah, melainkan makruh, yang berarti perkawinan semacam itu sebaiknya tetap dihindari. Sebaliknya dianjurkan (sunnah) meminta izin dan persetujuan si anak. Hak ijbar juga di jumpai dalam Mazhab Maliki, dan Hanbali.[10]

Selain pendapat tersebut, ada juga ulama yang tidak mengakui hak ijbar terhadap anak perempuan yang telah balig secara mutlak, baik perawan maupun janda. Mereka adalah pendukung mazhab Hanafi. Pendapat itu sangat beralasan. Sebab jika dalam masalah jual beli saja unsur taradli (kerelaan, lawan dari ikrah, paksaan) menjadi syarat keabsahan akad, tentu hal yang sunnah, bahkan lebih baik, juga berlaku dalam perkawinan yang jauh lebih penting. Karena hal ini mencakup kehidupan seseorang secara langsung dalam jangka panjang. Pendapat itu diperkuat asumsi, adalah hak setiap manusia menentukan nasib sendiri.[11]

Di samping alasan-alasan rasional, mereka juga menyalurkan dalil tekstual (naqly) berupa hadits riwayat Imam Ibnu Majah yang dinukil dalam isi kitab Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam, yang mengesahkan tentang seorang perempuan datang kepada Rasulullah Saw. mengadukan nasib telah  dinikahkan  bapaknya dengan anak laki-laki saudaranya (keponakan) yang tidak disukainya. Akhirnya Rasulullah Saw menyerahkan urusan perkawinan kepadanya. Dalam arti, dia diberi hak membatalkan perkawinan tersebut. Anehnya dia tidak mau, bahkan berkata, “Saya memperbolehkan tindakan bapakku, cuma saya ingin memberitahukan kepada para perempuan bahwa orang tuanya tidak berhak apa-apa atasnya. Artinya mereka tidak berhak memaksa.”[12]

Pertimbangan-pertimbangan itulah yang mungkin mendorong Tim Perumus Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menjadi pedoman para hakim di pengadilan-pengadilan agama di Indonesia, pada bab IV tentang Rukun dan Syarat  Perkawinan, pasal 16, bagian dari buku 1 tentang hukum perkawinan menetapkan bahwa perkawinan  didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Ketentuan itu selanjutnya diperjelas lagi dengan Pasal 17 sebagai konsekuensinya  yang  berbunyi,  “Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.”

Dari uraian itu dapatlah ditarik kesimpulan, persetujuan calon mempelai hendaknya mendapat perhatian sewajarnya. Meminta persetujuan si anak, selain dianggap baik dari sisi pengamatan ajaran Rasulullah Saw., juga didukung kaidah fiqh al-khuruj min al-khilaf mustahab, keluar dari perbedaan dengan mengompromikan pendapat yang berbeda-beda adalah sunnah.[13]




[1] Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, Surabaya: Khalista, 2010, hlm. 239.
[2] Ibid., hlm. 239
[3] Ibid., hlm. 240.
[4] Ibid
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 241
[7] Ibid.
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid., hlm. 241
[11] Ibid., hlm. 242.
[12] Ibid.
[13] Ibid