SEKILAH TENTANG SULTAN AGUNG

sultan agung
Untuk mempermudah pemahaman tentang siapa sebenarnya Sultan Agung, maka perlu kiranya dibahas raja-raja Mataram sebelum Sultan Agung naik tahta, karena hal ini sangat terkait dengan pembahasan ini.
1. Raja-raja yang memerintah Mataram sebelum pemerintahan Sultan Agung
a. Raja Senopati
Dengan adanya perpindahan kekuasaan Pajang ke Mataram pada tahun 1586,[1] maka Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya naik tahta di Mataram dengan gelar Senopati Ing Ngalogo Sayidina Panatagama atau terkenal dengan sebutan Panembahan Senopati saja.[2]
Karena Panembahan Senopati itu adalah raja yang pertama di Mataram, dengan sendirinya beliau ingin menjadikan Mataram itu suatu kerajaan yang besar dan jaya. Untuk mencapai keinginannya itu, Panembahan Senopati harus berperang dengan daerah-daerah yang tidak atau belum mengakui kekuasaan Mataram. Usaha Senopati yang pertama ditujukan ke arah Timur, yaitu dengan menyerang Surabaya, sebab Surabaya mempunyai banyak sekutu dan yang paling berbahaya. Adapun sekutu-sekutu Surabaya diataranya adalah Madiun, Ponorogo, Kediri, Pasuruan dan selain itu ada juga daerah yang masih belum mau tunduk kepada kerajaan Mataram yaitu Blambangan, Panarukan dan Bali.[3]
Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kota Gede[4] tepatnya di sebelah selatan masjid diujung kaki makam ayahnya.[5]
Sampai pada wafatnya itu Panembahan Senopati dalam meluaskan daerah Mataram belum selesai. Namun demikian, Senopati telah meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan kerajaan Mataram selanjutnya.
b. Raja Panembahan Seda Krapyak
Setelah Panembahan Senopati wafat, kemudian diganti oleh puteranya, Raden Mas Jolang. Hal itu berdasarkan dari amanat Senopati kepada puteranya untuk menggantikannya sebagai raja meskipun masih muda.[6] Mas Jolang lebih terkenal dengan sebutan Panembahan Seda Ing Krapyak . adapun disebut demikian karena beliau meninggal di Krapyak pada tahun 1613 setelah beliau memerintah Mataram selama 12 tahun.
Setelah Mas Jolang menjadi raja, beliau melanjutkan perjuangan ayahnya yaitu memperluas kerajaan Mataram. Dalam usahanya itu, Mas Jolang harus menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang timbul kembali setelah Panembahan Senopati wafat.
Adapun daerah-daerah pemberontakan itu adalah Demak yang dipimpin oleh Pangeran Puger, dan Ponorogo yang dipimpin oleh Pangeran Djajaraga. Baik Pangeran Puger maupun Pangeran Djajaraga adalah putera Panembahan Senopati.[7] Adapun alasan pemberontakan dari kedua putera Panembahan Senopati itu adalah karena dalam pemilihan pengganti raja dianggap kurang adil oleh Pangeran Puger sebab menurut adat, Pangeran Puger itulah yang lebih berhak menggantikan ayahnya karena Pangeran Puger adalah anak sulung.
Tetapi pemberontakan di Demak dan Ponorogo itu dapat ditundukkan oleh Mas Jolang. Pada tahun 1612 Surabaya bangkit kembali dan sama sekali tidak mau mengakui kedaulatan kerajaan Mataram. Mas Jolang yang mengetahui pemberontakan itu tidak tinggal diam, kemudian dia berusaha memadamkannya, tetapi sebelum usaha itu berhasil Mas Jolang sudah meninggal pada tahun 1613 dan jenazah beliau dimakamkan di Kota Gede.[8]
Mas Jolang atau Panembahan Krapyak meninggalkan empat orang putera dan seorang puteri yaitu Raden Mas Rangsang, Raden Mas Menang, Raden Mas Martapura dan Raden Mas Cakra, sedangkan puterinya bernama Ratu Pandan.[9]
Dari kelima putera-puterinya yang patut menjadi raja adalah Raden Mas Rangsang yang lahir dari isteri yang utama (garwa padmi) Ratu adi puteri asal Pajang, yang nama kanak-kanaknya adalah Raden Mas Jatmika. Dan Raden Mas Martapura, ibunya juga garwa padmi Ratu Lung Ngayu asal Ponorogo,[10] nama kecilnya adalah Raden Mas Wuryah. Beliaulah yang diangkat oleh Pangeran Adipati Anom atau Putera Mahkota,[11] namun sayang beliau sering sakit-sakitan. Pada waktu Panembahan Krapyak meninggal Sultan Agung (Raden Mas Rangsang) berusia 20 tahun sedangkan Raden Mas Martapura baru berusia 8 tahun.[12]
2. Penobatan Sultan Agung Sebagai Raja Mataram
Babad menceritakan bahwa Sesuhunan Anyakrawati (Panembahan Krapyak) menggadang (mempersiapkan) Raden Mas Wuryah atau Martapura untuk menjadi penggantinya. Akan tetepai sepeninggal Panembahan Krapyak, bukan Martapura yang dinobatkan menjadi raja melainkan Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang. Akan tetapi karena Panembahan Krapyak sudah menjatuhkan kaul yang menjadi penggantinya adalah Martapura,[13] maka dilakukanlah menurut adat raja-raja jaman dahulu.
Raden Mas Martapura diangkat menjadi Panembahan dan setelah duduk beberapa saat lamanya di atas singgasana bagindapun turun,[14] karena Pangeran Aria Martapura merasa tidak sanggup memegang tali kendali pemerintahan Mataram.[15] Menurut Van Den Berg, Raden Adipati Martapura diganti Mas Rangsang karena sakit ingatan,[16] maka pada tahun 1613 kekuasaan tertinggi diberikan kepada Raden Mas Rangsang dengan gelar Panembahan Agung Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman,[17] nama lainnya juga terkenal dengan Prabu Pandita Anyakrakusuma.
Untuk menjaga agar para pendukung Martapura tidak melawan keputusan tersebut, maka dalam penobatan oleh sesepuh Mataram diumumkan siapa yang tidak setuju dengan pengangkatan itu hendaklah maju sekarang juga, ia yang akan menghadapinya.[18] Namun ternyata tidak ada yang menyangkalnya maupun memprotes keputusan tersebut.
Dari uraian tersebut hingga muncullah suatu praduga, bahwa Sultan Agung adalah seorang pemain sejarah yang berbakat dan yang dengan cerdiknya telah melakukan pergeseran. Dugaan itu didasarkan atas perbedaan usia Pangeran Dipati Anom semula yaitu Raden Mas Martapura (Wuryah) dan Raden Mas Jatmika (Rangsang) ada saat mangkatnya ayah mereka, Panembahan Krapyak, pada tahun 1613.
Pada tahun ini mereka itu masing-masing berusia 8 dan 20 tahun. Disamping itu Babad Tanah Jawi memberitahukan kalau Panembahan Krapyak, ayah mereka, sengaja menunjuka Jatmika (Rangsang) menjadi penggantinya. Alasannya adalah ia putera yang tua dan menurut ramalan, atas kehendak Allah, dialah raja yang sanggup mempersatukan tanah Jawa dan menjaman emaskan Mataram. Elain itu, diberitakan juga oleh Babad kalau Martapura tidak selayaknya menjadi raja oleh karena ia menderita sakit ingatan.[19]
G. Moedjanto dalam bukunya Konsep Kekuasaan Jawa berpendapat bahwa pergantian tahta tidak berjalan seperti yang diceritakan oleh Babad. Babad menceritakan bagaimana gambaran kejadiannya. Dan bahwa Sultan Agung memang merebut tahta itu dari adiknya Martapura.[20] Akan tetapi, agar tindakannya merebut tahta tidak menimbulkan suatu gangguan atas keadilan dalam masyarakat, juga atas kelompok pendukung Martapura, maka tindakan legitimasi harus dilakukan.
Legitimasi tersebut antara lain dengan memanfaatkan para pujangga keraton. Apa yang mereka perbuat? Satu diantaranya adalah memaklumkan bahwa kenaikan tahta Sultan Agung adalah kehendak ayahnya sendiri. Jadi, Panembahan Krapyak meninggalkan statement politik yang menentukan bahwa Jatmika-lah pengganti atas tahta. Mengapa demikian? Karena Panembahan Krapyak begitu dikatakan oleh statemen itu menerima wahyu bahwa Jatmika nanti akan dapat membuat Mataram menjadi kerajaan yang jaya.
Gelar “Sultan” diperoleh dari Mekah, yaitu sesudah beliau menjadi raja kemudian berhasil mengirim utusan ke Mekah untuk menyampaikan kepada Syarif Mekah bahwa bagindalah raja Islam yang besar di tanah Jawa, maka bagindapun memakai gelar “Sultan”. Dan lebih terkenallah baginda dengan sebutan “Sultan Agung” dengan pengakuan dari Mekah.
Dalam Daghregister tertanggal 1 Juli 1641, ia telah diebut “Sultan Mataram”.[21] Sedangkan menurut duta Jawa dari Barat, diungkapkan oleh berita-berita yang disampaikan ke Batavia oleh beberapa orang dari Demak dan Pekalongan, yaitu bagaimana kepada sunan dipersembahkan sebuah gelar baru dari tanah Arab dan disebut Sultan Abdul Mohamet Moulana Matavani (sebenarnya mungkin Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani) (Deghregister 30 Oktober 1641).[22] Dengan demikian gelar “Sultan” diperoleh Sultan Agung tepatnya pada tahun 1641.
Kesan pertama yang diperoleh Eropa tentang Sultan Agung adalah bahwa ia tidak dapat dianggap remeh “wajahnya kejam, kaisar dengan dewan penasehatnya memerintah dengan keras, sebagaimana sebuah Negara besar”. Demikianlah kesaksian Bathasar Van Eyndhoven, yang bersama-sama Van Surk pergi ke Mataram dalam tahun 1641 untuk mengucapkan selamat atas pengangkatannya sebagai pemangku pemerintahan.[23]
Dr. H. de Hean menyatakan, “Pangeran Ing Ngalogo ini adalah seseorang yang berada pada puncak kehidupannya berusia sekitar 20 sd 30 tahun, berbadan bagus, sejauh penglihatan kami, sedikit lebih hitam dari pada rata-rata orang jawa, hidung kecil dan tidak pesek, mulut datar dan agak lebar, kasar dalam bahasa, dan lamban dalam berbicara, berwajah tenang dan bulat, dan tampaknya cerdas. Memandang sekelilingnya seperti singa (Jonge, Opkomst, Jil. V. hlm. 313).
Karena de Hean menulis kata-kata ini pada tahun 1622, maka diduga Sultan Agung dilahirkan sekitar 1592-1594, yang tidak jauh berbeda dengan dugaan Van Surk dan Eyndhoven.[24]
Sultan Agung mempunyai cita-cita yang samadengan kerajaan Majapahit, yaitu ingin membangun kerajaan Mataram yang besar dan jaya. Untuk mencapai cita-citanya itu Sultan Agung harus berperang dengan daerah-daerah pesisir utara pulau Jawa yang belum atau tidak mau mengakui kedaulatan kerajaan Mataram. Dan juga beliau ingin mengusir Belanda dari bumi Indonesia, sebab Sultan Agung tahu bahwaBelanda sangat membahayakan.
Meskipun usaha Sultan Agung untuk mengusirbangsa Belanda masih belum berhasil, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa dibawah pemerintahan Sultan Agung dari tahun 1613 sampai 1646 itulah kerajaan Mataram mengalami kejayaan dan kemakmuran serta berhasil menghancurkan kota-kota perdagangan pesisir utara dan menaklukkan seluruh kepulauan Jawa, kecuali Batam dan Blambangan di ujung Tenggara pulau Jawa.[25]

[1] Y. Achadiati S., Sejarah Peradaban Manusia Zaman Mataram Islam, cet.1, CV. Multiguna, Jakarta, 1988, h. 11
[2] Selamet Mulyono, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara Islam di Nusantara, Bhratara, Jakarta, 1968, h. 251
[3] Ibid.
[4] Y. Achadiati, Op. Cit, h. 17
[5] J. De. Graaf, Awal Kebangkitan Mataram, Grafiti Press, Jakarta, 1985, h. 126
[6] Ibid.
[7] Selamet Mulyono, Op. Cit, h. 265
[8] R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, III, Kanisius, Yogyakarta, 1985, h. 56
[9] Selamet Mulyono, Loc. Cit.
[10] H. J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Grafiti Press, Jakarta, 1986, h. 28
[11] G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, cet-1, Kanisius, Yogyakarta, 1987, h. 158
[12] Ibid, h. 159
[13] Ibib, h. 158
[14] Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid IV, cet-2, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, h. 274
[15] Y. Achadiati, Op. Cit, h. 20
[16] Van Den Berg, Dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia, Jilid III, JB. Walters, Groningen, Jakarta, 1955, h. 171
[17] Hamka, Op. Cit, h. 274
[18] G. Moedjanto, Op. Cit, h. 158
[19] Ibid, h. 92
[20] Hamka, Op. Cit, h. 274
[21] H. H.De Graaf, Puncak…. Op. Cit, h. 276
[22] Ibid, h. 275
[23] Ibid, h. 102
[24] Ibid, h. 103
[25] Frans Magnes Susena, Etika Jawa, Gramedia, Jakarta, 1985, h. 33





















































JENIS PONDOK PESANTREN

Di tinjau dari segi historisnya, pondok pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Pondok pesantren sudah dikenal jauh sebelum Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sejak Islam masuk ke Indonesia terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya. Jenis-jenis pesantren adalah sebagai berikut : a. Pesantren Salafiyah Salaf artinya “lama”, “dahulu”, atau “tradisional”. Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam dilakukan secara individual atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik, bahasa Arab. Perjenjangan tidak didasarkan pada sistem waktu, tetapi berdasarkan tamatnya kitab yang dipelajari dengan selesainya satu kitab tertentu, santri dapat naik jenjang dengan mempelajari kitabyang tingkat kesulitannya lebih tinggi. Demikian seterusnya, pendekatan ini sejalan dengan prinsip pendekatan modern yang dikenal dengan sistem belajar tuntas. Dengan cara ini santri dapat lebih intensif mempelajari satu cabang ilmu. b. Pesantren Khalafiyah (Asriyah) Khalaf artinya “kemudian” atau “belakang”, sedangkan asriyah artinya “sekarang” atau “modern”. Pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan pendekatan modern, melalui kegiatan formal, baik madrasah (MI, MTS, MA atau MAK), maupun sekolah (SD, SMP, dan SMU, SMK), atau nama lainnya, tetapi dengan pendekatan klasikal. Pembelajaran pondok pesantren khalafiyah dilakukan secara berjenjang dalam kesinambungan, dengan satuan program didasarkan pada satuan waktu, seperti catur wulan, semester, tahun/kelas, dan seterusnya. Pada pondok pesantren khalafiyah “pondok” lebih banyak berfungsi sebagai asrama yang memberikan lingkungan kondusif untuk pendidikan agama. c. Pesantren Campuran / Kombinasi Pondok pesantren salafiyah dan khalafiyah dengan penjelasan di atas adalah salafiyah dan khalafiyah dalam bentuknya yang ekstrim. Barang kali, kenyataan di lapangan tidak ada satu sedikit sekali pondok pesantren salafiyah atau khalafiyah dengan pengertian tersebut. Sebagian besar yang ada sekarang adalah pondok pesantren yang bearada diantara rentangan dua pengertian di atas. Sebagian besar pondok pesantren yang mengaku atau menanamkan diri pesantren salafiyah pada umumnya juga menyelenggarakan pendidikan secara klasikal dan berjenjang, walaupun tidak dengan nama madrasah atau sekolah. Demikian juga pondok pesantren khalafiyah pada umumnya juga menyelenggarakan pendidikan dengan pendekatan pengajian kitab klasik, karena sistem “ngaji kitab” itulah yang selama ini diakui sebagai salah satu identitas pondok pesantren. Tipologi pondok pesantren tidak hanya didasarkan pada penyelenggaraan pendidikan agama. Ada tipologi lain dibuat berdasarkan penyelenggaraan fungsinya sebagai lembaga pengembangan masyarakat melalui program-program pengembangan usaha. Dari sini dikenal pesantren pertanian, pesantren ketrampilan, pesantren agriabisnis, pesantren kelautan dan sebagainya. Maksudnya adalah, pesantren yang lain selain menyelenggarakan pendidikan agama juga mengembangkan pertanian, atau menyelenggarakan jenis-jenis ketrampilan tertentu atau mengembangkan agriabisnis tertentu, atau mengembangkan budi daya kelautan.

POSITIVE THINKING DALAM ISLAM


1. Pengertian berpikir positif

Berpikir positif (Tafkir al-Ijabiy) adalah istilah yang tersusun dari dua kata:  Berpikir dan Ijabiy. Berpikir (Tafkir) ditinjau dari sudut bahasa (فكر – يفكر - فكرا) artinya berpikir mengenai suatu perkara, memikirkan suatu pikiran: mempergunakan akalnya dalam suatu urusan, menetapkan sebagian yang dia ketahui agar dapat sampai pada sesuatu yang tidak diketahui. Positif (Ijabiy) dinisbatkan pada kata ijabiyah yaitu memelihara dengan pertimbangan akal sehat dalam memahami berbagai macam problematika (Said, 2010: 16-17). 

Ini merupakan cara jitu yang sempurna dalam menghadapi kehidupan yaitu memusatkan pikiran menuju sesuatu yang positif dalam kondisi bagaimanapun sebagai ganti dari memusatkan pikiran menuju sesuatu yang negatif. Hal itu berarti bahwa kita berbaik sangka dengan diri kita sendiri, juga berbaik sangka kepada orang lain, kemudian kita membangun perilaku yang layak diteladani dalam kehidupan.

Sedang jika ditinjau dari penggabungan kedua kata di atas, Viera Biffer memberikan definisi Positive Thinking dengan: mengambil manfaat dengan menggunakan akal kesadaran dengan penuh kerelaan dalam bentuk yang positif (Said, 2010: 18).

2. Berpikir positif dalam pandangan Islam

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan struktur yang paling baik di antara makhluk Allah SWT yang lain. Struktur manusia terdiri dari unsur-unsur jasmani, rohani, nafs, dan iman (Sutoyo, 2007: 66).

Kesempurnaan unsur manusia ini disebutkan dalam firman Allah SWT yang artinya :

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin: 4).

Salah satu potensi yang diberikan Allah SWT kepada  makhluk-Nya ialah akal. Allah SWT menganugerahkan akal pikiran kepada manusia sebagai kunci untuk memperoleh petunjuk terhadap segala hal. Akal adalah utusan kebenaran, ia adalah kendaraan pengetahuan, serta pohon yang membuahkan istiqomah dan konsistensi dalam kebenaran, karena itu, manusia baru bisa menjadi manusia kalau ada akalnya (Shihab, 2004: 135).

Maka relevan bila Rene Descartes menyatakan bahwa Cogito Ergo Sum, ‘saya berfikir maka saya ada’ (Bertens, 1991: 45). Karena akal jugalah yang menghalangi manusia terjerumus ke dalam dosa dan kesalahan, karena itulah maka ia dinamai oleh al-Qur’an ‘aql (akal) yang secara harfiah berarti tali, yakni yang mengikat hawa nafsu manusia dan menghalanginya terjerumus ke dalam dosa, pelanggaran dan kesalahan (Shihab, 2004: 135).

Salah satu akhlak mahmudah (terpuji) kepada Allah SWT adalah khusnudzon (berbaik sangka atau berpikir positif) kepada-Nya.Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Allah mengasihi seluruh makhluk-Nya. Dia menganugerahkan rezeki kepada semua makhluk-Nya. Tidak peduli makhluk-Nya taat atau durhaka, muslim atau kafir. Bahkan, binatang dan tumbuh-tumbuhan pun dijamin rezekinya oleh Allah SWT :

Dan tidak ada suatu binatang melata pun  di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (Q.S. Hud: 6).

Seringkali ketika kita mengalami suatu kesulitan dalam hidup, kita berpikir negatif kepada Allah SWT. Kita berpikir bahwa Allah SWT tidak sayang kepada kita. Padahal, dengan cobaan kesulitan tersebut, justru Allah SWT menghendaki kebaikan bagi diri kita. Allah SWT hendak mendidik dan menempa kita agar menjadi manusia yangunggul. Selain itu, dibalik cobaan tersebut Allah SWT telah menyiapkan karunia yang besar bagi kita ketika lulus dari cobaan. 

Jadi, sungguh tidak ada alasan apa pun bagi kita untuk berpikir negatif kepada Allah SWT. Sebab, selain merupakan akhlak mazmumah (tercela) di hadapan Allah SWT, juga merugikan diri sendiri. Berpikir negatif kepada Allah SWT, selain berbuah dosa besar, juga akan membuat kita menjadi pesimis,kehilangan harapan dan putus asa (El-Bantani, 2010: 78-79).

Kita harus yakin bahwa segala ketentuan Allah SWT adalah yang terbaik. Kuncinya, berpikir positif terhadap ketentuan Allah SWT. Sebab, boleh jadi apa yang menurut kita baik, sebenarnya tidak baik bagi kita. Sebaliknya, boleh jadi apa yang menurut kita tidak  baik, sebenarnya baik bagi kita:

Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 216)

Islam telah menaruh perhatian besar akan perkembangan berpikir manusia dengan menyerukannya untuk mengamati semua yang ada di langit dan di bumi, mengamati diri sendiri, mengamati semua makhluk-Nya, sebagaimana Allah SWT berfirman :

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah  Kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imron: 190-191).

Allah menjelaskan pentingnya proses berpikir dalam kehidupan manusia. Juga menjelaskan bagaimana Dia mengangkat  derajat dan nilai orang-orang yang mempergunakan akal dan pikirannya, sebagaimana firman Allah SWT :

Katakanlah; Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Q.S. Az-Zumar: 9).

Rasulullah juga menjelaskan keutamaan berpikir dengan menyeru manusia untuk memikirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan juga merenungkan semua penciptaan-Nya, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda :

Berpikir selama sejam lamanya lebih baik dari pada beribadah selama setahun.” (HR. Abu Hurairah).

3. Ciri-ciri orang yang berpikiran positif

a. Beriman kepada Allah.

Yakni tawakal kepada-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya di setiap waktu. Allah SWT berfirman,

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka tawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tawakal kepada-Nya.” (Q.S. Ali Imron: 159).

b. Bernilai luhur.

Jujur, amanah, menyukai kebaikan, pemaaf. Sebesar apapun pengaruh godaan, ia akan selalu menjauh dari perilaku negatif, seperti bohong, menggunjing, iri hati, mengadu domba, memfitnah, syirik, serta yang membahayakan kesehatan dan menjauhkan dari Allah.

c. Selalu mencari jalan keluar dari berbagai masalah.

Tetap fokus pada sesuatu yang diinginkan. Ia mengetahui bahwa segala masalah pasti ada jalan keluarnya.

d. Tidak membiarkan masalah dan kesulitan mempengaruhi kehidupannya.

Ia mensikapi masalah dengan wajar dan tidak berlebihan. Karena itu, hidupnya menyenangkan dan selalu dapat menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi.

e. Pandai bergaul dan suka membantu orang lain.

Suka bergaul dengan siapa saja dan ia dekat di hati siapa saja. Ia menghormati, mencintai dan suka membantu sesama. Tangannya selalu terulur untuk membantu siapa saja (Hamzah, 2010: 76).

4. Manfaat berpikir positif

a. Berpikir positif membebaskan diri dari pengaruh setan.

Dalam pandangan agama, pikiran-pikiran negatif yang terlintas dalam pikiran kita merupakan bisikan-bisikan setan. Setan selalu menggoda manusia dengan berbagai cara. Salah satunya dengan  mengacaukan pikiran manusia. Ketika pikiran seseorang telah berhasil dikacaukan oleh setan, efeknya sangat negatif.

Seseorang tidak mampu lagi berpikir dengan akal sehatnya sehingga lepas kontrol atau kendali akan dirinya. Perkosaan, perkelahian, pembunuhan, minum-minuman keras, sampai pada bunuh diri. Allah melarang kita berpikiran negatif sebagaimana firman-Nya :

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.” (Q.S. al- Hujurat: 12).

Berpikiran negatif itu sesuatu hal yang belum tentukebenarannya, maka dari itu Allah melarang hambanya dari berpikiran negatif. Dengan berpikiran positif maka tidak ada celah untuk setan masuk dan mempengaruhi kita. Allah SWT berfirman :

Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah.” (Q.S. Al-A’raf: 200).

b. Berpikir positif menyehatkan tubuh.

Pikiran sangat berpengaruh pada kesehatan fisik. Banyak penyakit fisik yang berawal dari pikiran. Ketika kita memasukkan pikiran-pikiran negatif ke otak maka akan menimbulkan emosi (perasaan) negatif. Kemudian, emosi-emosi negatif tersebut melepaskan hormon-hormon di dalam tubuh yang dapat menyebabkan munculnya penyakit.

Para peneliti asal Inggris telah melakukan penelitian yang membuktikan adanya hubungan antara emosi-emosi negatif dengan tekanan darah tinggi, penyakit kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) dan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan  sistem kekebalan tubuh. Oleh karena itu, pastikanlah kita selalu berpikir positif sehingga menimbulkan emosi positif yang akan melepaskan hormon-hormon positif di dalam tubuh. Dengan begitu sistem kekebalan tubuh kita akan kuat dan sehat.

c. Berpikir positif menumbuhkan ketenangan jiwa.

Kunci hidup tenang dan damai ada pada pikiran kita. Peristiwa dan masalah apa pun yang kita alami dalam kehidupan, tidak akan membuat gusar dan cemas jika disikapi dengan sikap dan pikiran positif. Ketidak-mampuan kita dalam mengendalikan pikiranlah yang menimbulkan respons tidak tepat dalam menghadapi dan menyikapi suatu hal. Akibatnya, kita tidak merasakan ketenangan dalam hidup ini. Jadi, kuncinya ada pada pengendalian pikiran kita. Pikiran positif akan menimbulkan emosi atau perasaan positif. Sedangkan, pikiran negatif akan menimbulkan emosi atau perasaan negatif.

Ketika kita merespons setiap peristiwa yang dialami atau masalah yang muncul dalam kehidupan dengan pikiran negatif, secara otomatis akan menimbulkan emosi negatif. Efek selanjutnya, kita tidak akan merasakan ketenangan jiwa. Sebaliknya, ketika kita merespons setiap peristiwa yang dialami atau masalah yang muncul dalam kehidupan kita dengan pikiran positif, secara otomatis pula akan menimbulkan emosi jiwa yang positif. Efek selanjutnya, kita akan merasakan ketenangan jiwa.

d. Berpikir positif mendatangkan kebahagiaan.

Rahasia kebahagiaan terletak pada diri kita sendiri. Lebih tepatnya lagi, ada pada pikiran kita. Ketika kita memutuskan untuk bahagia dengan kondisi apa pun, kita akan merasa bahagia. Bahkan saat sakit atau sedang kesusahan sekalipun. Jika pikiran tetap berpikir dan memutuskan bahwa kita orang yang bahagia, kita akan merasa bahagia. Apa yang ada dalam pikiran, itulah yang direspons oleh perasaan kita.

Jika yang ada dalam pikiran kita adalah kebahagiaan, ketenangan, dan kedamaian maka perasaan kita juga akan merasakan hal yang sama. Efeknya, secara keseluruhan diri kita merasakan kebahagiaan, ketenangan, dan kedamaian. Dengan demikian, kebahagiaan bukan sesuatu yang sulit untuk diraih. Kebahagiaan merupakan fitrah manusia. Hanya kitalah yang mempersulit diri sehingga kebahagiaan menjadi sesuatu yang sulit untuk diraih. Sebagaimana Allah SWT berfirman :

Keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidakmengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-A’raf: 23).

e. Berpikir positif meningkatkan kepercayaan diri.

Berpikir positif membuat kita mampu membangun motivasi dan harapan. Berpikir positif juga membuat kita mampu mengatasi keputusasaan. Dengan membiasakan diri berpikir positif, kita akan mampu menghargai diri sendiri dan merasa diri berharga. Kita juga akan merasa bahagia dengan diri kita. Pada akhirnya, kita akan mampu menarik hal-hal positif dan menolak hal-hal negatif.

Ketika kita berpikir positif, secara otomatis akan  mempengaruhi jiwa kita menjadi lebih optimis, imajinasi (daya khayal) kita menjadi lebih kreatif dan semangat kita menjadi semakin kuat. Halini akan membuat kita memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Kita tidak merasa minder untuk bergaul dan berinteraksi dengan siapa pun. Kita pun merasa mampu meraih apa yang dicita-citakan (El-Bantani, 2010: 177-178).

Referensi:

Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
El-Bantani, Syafi’ie, kekuatan berpikir positif, Jakarta: Wahyu Media, 2010.
Said, Positif Thinking, Solo: Qaula, 2010.
Shihab, M. Quraish, Dia Dimana-Mana: Tangan Tuhan Dibalik Setiap Fenomena, Jakarta: Lentera Hati, 2004.
Sutoyo, Anwar, Bimbingan dan Konseling Islami (Teori dan Praktik), Semarang: CV. Cipta Prima Nusantara, 2007.




KARAKTER PENDIDIK MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI


Hal  yang  paling  urgen  mengenai  karakter  pendidik  dan  peserta  didik,  K.H. Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa dalam menuntut ilmu itu perlu diperhatikan dua hal: pertama, bagi peserta didik hendaknya  berniat murni untuk menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk  hal duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekannya. Adapun mengenai niat ini sebagaimana disampaikan beliau dalam kitabnya sebagai berikut:

الثاني ان يحسن النية في طلب العلم بأن يقصد به وجه الله عز و جل و العمل به و إحياء الشريعة و تنوير قلبه و تحلية باطنه و التقرّب من الله تعالى و لا يقصد به الأغراض الدنيوية من تحصيل الرياسة و الجاه و المال و مباهة الأقران و تعظيم الناس له و نحوه[1]

Niat merupakan pondasi yang mendasari segala aktivitas belajar. Sehingga pada akhirnya kegiatan belajar memiliki makna dan mempunyai nilai mulia yang mampu mengantarkan peserta didik pada derajat yang lebih tinggi. Hal ini ditegaskan pula oleh al-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’llim-nya, bahwa pentingnya keikhlasan bagi seorang murid dalam menuntutilmu. Al-Zarnuji menegaskan bahwa “suatu perbuatan yang tampaknya hanya berkaitan dengan urusan duniawi, tetapi karena niat di dalamnya bagus, maka perbuatan tersebut diterima oleh Allah sebagai amal akhirat. Sebaliknya ada pula perbuatan yang tampaknya berkaitan dengan urusan akhirat, tetapi karena disertai  niat  buruk,  maka  Allah  tidak  memberinya  pahala sedikitpun.”[2]

Kedua, bagi pendidik dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya dulu, tidak mengharapkan materi. Semua pelajaran yang diajarkan hendaknya sesuai dengan tindakan yang diperbuat (bukan hanya sekedar bisa menyampaikan saja). Mengenai niat pendidik ini beliau menyatakan:

Pendidik menurut K.H. Hasyim Asy’ari merupakan teladan bagi peserta didiknya dalam setiap perilaku kehidupan. Oleh karena itu, pendidik harus memiliki karakter-karakter yang baik dan dapat menjadi teladan yang baik pula untuk peserta didiknya maupun untuk masyarakat sekitarnya.

Pada pembahasan ini, peneliti membagi karakter-karakter yang harus dimiliki oleh pendidik menurut pemikiran K.H. Hasyim Asyari menjadi tiga, antara lain:

والثامن أن لا يجعل علمه سلّما يتوصّل الى الأغراض الدنيويّة من جاه او مال او سمعة او شهرة او تقدّم على أقرانه
a. Karakter yang harus dimiliki pendidik

Karakter pertama yang harus dimiliki oleh pendidik menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah sikap mental atau karakter dasar yang menjadi pondasi dalam semua karakter-karakter berikutnya yaitu terdapat dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim pada beberapa pasal dalam bab V, antara lain:

1) Meyakinkan diri bahwa Allah satu-satunya tempat bergantung; hal ini sesuai dengan pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

الأوّل ان يديم مراقبة الله تعالى في السرّ و العلانيّة

2) Takut (khouf) kepada siksa Allah dalam setiap gerak, diam, perkataan, dan perbuatan; pernyataan ini sebagaimana disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و الثاني ان يلازم خوفه تعالى في جميع حركاته و سكناته و أقواله و أفعاله

3) Berikap tenang sebagaimana disampaikan beliau sebagai berikut:

و الثالث ان يلازم السكينة

4)  Berhati-hati dalam setiap perkataan maupun perbuatan; hal ini sebagaimana pernyatan beliau sebagai berikut:

 و الرابع ان يلازم الورع

5) Rendah hati atau tidak menyombongkan diri; hal ini sesuai dengan pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و الخامس ان يلازم التوضّع

6) Selalu khusyu’ karena Allah, sebagaimana dinyatakan oleh K.H. Hasyim sebagai berikut;

و السادس ان يلازم الخشوع لله تعالى

7) Senantiasa berpedoman kepada hukum Allah dalam setiap hal atau persoalan; adapun hal ini sebagaimana disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya sebagai berikut:  

و السابع ان يكون تعويله في جميع أموره على الله تعالى

8) Tidak menjadikan ilmu pengetahuan yang dimiliki sebagai sarana mencari keuntungan yang bersifat duniawi seperti harta benda, kedudukan (jabatan), dan untuk menjatuhkan orang lain; adapun hal ini sebagaimana disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya sebagai berikut:  

و الثامن ان لا يجعل علمه سلّما يتوصّل الى الأغراض الدنيويّة من جاه او مال او سمعة او شهرة او تقدّم على أقرانه

9) Tidak merasa rendah dihadapan pemuja dunia atau orang yang punya kedudukan dan harta benda, dan tidak mengagung-agungkan mereka dengan sering berkunjung dan berdiri menyambut kedatangan mereka tanpa kemaslahatan apapun di dalamnya. Hal ini sebagaimana pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitanmya sebagai berikut:  

و التاسع ان لا يعظم أبناء الدنيا بالمشي اليهم و القيام لهم إلا اذا كان في ذلك مصلحة تزيد على هذه المفسدة

10) Zuhud (tidak terlalu mencintai kesenangan duniawi) dan rela hidup sederhana. Jika membutuhkan dunia (materi), itu tidak lebih dari sekedar untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarga. Hal ini sesuai dengan pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya sebagai berikut:  

و العاشر ان يتخلّق بالزهد في الدنيا و التقلّل بقدر الإمكان الذي لا يضرّ بنفسه او بعياله على الوجه المعتدل من القناعة

b. Upaya yang dilakukan agar menjadi pendidik yang profesional

Upaya-upaya yang dilakukan agar menjadi pendidik profesional menurut K.H. Hasyim Asy’ari merupakan langkah yang harus ditempuh oleh pendidik. Upaya-upaya tersebut terdapat pada beberapa pasal pada bab V kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim sebagai berikut:

1) Menghindari profesi yang dianggap rendah menurut  pandangan  adat maupun syari’at sebagaimana yang disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و الحادي عشر ان يتباعد عن دنيئ المكاسب و رذيلتها طبعا و عن مكروهها عادة و شرعا كالحجامة و الدباغة و الصرف و الصياغة و نحو ذلك

2) Menghindari tempat-tempat yang dapat menimbulkan fitnah dan maksiat. Hal ini dilakukan agar terhindar dari prasangka-prasangka yang kurang baik di masyarakat, sebagaimana disampaikan oleh K.H. Hasyim ASy’ari sebagai berikut:

الثاني عشر ان يجتنب مواضع التهم و ان بعدت فلا يفعل شيئا يتضمّن نقص مروءة و يستنكر ظاهرا

3)  Menghidupkan syi’ar dan ajaran-ajaran Islam seperti  mendirikan  shalat  Berjama’ah di masjid, menebarkan salam kepada orang lain, menganjurkan kebaikan, dan mencegah kemungkaran dengan penuh kesabaran; Adapun mengenai hal ini sebagaimana pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut: 
  
و الثالث عشر ان يحافظ على القيام بشعائر الإسلام و ظواهر الأحكام كإقامة الصلاة في مساجد الجماعة و إفشاء السلام للخواص و العوام و الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر مع الصبر على الأذى

4) Menegakkan sunnah Rasulullah SAW dan memerangi bid’ah serta memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dengan cara yang tidak asing bagi masyarakat; hal ini sebagaimana pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut: 

و الرابع عشر ان يقوم بإظهار السنن و إماتة البدع و بأمور الدين و ما فيه مصالح المسلمين على الطريق المعروف شرعا المألوف عادة و طبعا

5)  Menjaga dan mengamalkan hal-hal yang sangat dianjurkan oleh syari’at, baik berupa perkataan maupun perbuatan, sebagaimana yang disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya sebagai berikut
  
و الخامس عشر ان يحافظ على المندوبات الشريعة القولية و الفعلية

6)  Bergaul dengan siapapun dengan akhlak yang baik sebagaimana pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut: 

و السادس عشر ان يعامل الناس بمكارم الأخلاق من طلاقة الوجه و إفشاء السلام و إطعام الطعام و كظم الغيظ

7) Mensucikan diri dari akhlak-akhlak tercela dan menghiasi diri dengan kahlak-akhlak yang terpuji, sebagaimana pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و السابع عشر ان يطهّر باطنه ثم ظاهره من الأخلاق الرديئة و يعمّر بالأخلاق المرضيّة

8) Selalu mempertajam ilmu pengetahuan (wawasan) dan amal, yaitu dengan kesungguhan hati dan ijtihad, muthala’ah, mudzakarah, ta’liq, menghafal, dan melakukan pembahasan dengan berdiskusi.  Adapun mengenai hal ini sebagaimana disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya sebagai berikut:

و الثامن عشر ان يديم الحرص على إزياد العلم و العمل بملازمة الجدّ و الإجتهاد و المراظبة على وظائف الأوراد من العبادة و قراءة و إقراء و مطالعة و مذاكرة و تعليقا و حفظا و بحثا

9)  Tidak merasa segan mengambil faedah ilmu pengetahuan dari orang lain atas apapun yang belum dimengerti, tanpa memandang status atau kedudukannya, nasab atau garis keturunannya, dan usia. Adapun mengenai hal ini sebagaimana pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:  

و التاسع عشر ان لا يستنكف عن استفادة ما لا يعلّمه ممن هو دونه منصبا نسبا او سنّا

10) Meluangkan waktu untuk kegiatan menulis, menyusun kitab, dan meringkasnya. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:  

و العشرون ان يشتغلّ بالتصنيف و الجمع و التأليف

11) Suci dari hadats dan memakai wangi-wangian serta memakai pakaian yang pantas sebagaimana pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:  
  
اذا عزم العالم ان سحضر مجالس درسه يتطهّر من الحدث و الخبث و يتنظّف و يتطيّب و يلبس أحسن ثيابه اللائقة بين أهل زمانه

c. Strategi pendidik dalam mengajar

Karakter pendidik yang profesional menurut K.H. Hasyim Asy’ari salah satunya memiliki strategi mengajar yang baik dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Strategi mengajar yang dilakukan pendidik menurut beliau telah dipaparkan dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim khususnya terdapat pada beberapa pasal di bab VI dan VII sebagai berikut:

1) Pendidik memulai pelajaran dengan basmalah dan mengakhiri dengan hamdalah, sebagaimana disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:  

فإذا وصل اليهم يسلّم على الحاضرين
و يقدّم على الشروع في التدريس قراءة شيئ من كتاب الله تبرّكا و تيمّنا
و تقدّم انه يستفتح كل درس ببسم الله الرحن الرحيم ليكون ذكر الله تعالى في بداية الدرس و خاتمته

2)  Menghadapi seluruh peserta didik dengan penuh perhatian, artinya pendidik tidak pilih kasih hanya memperhatikan salah satu peserta didik tetapi memberi perhatian kepada semua peserta didik. Adapun mengenai hal ini sebagaimana disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و الثامن ان لا يظهر للطلبة تفضيل بعضهم على بعض عنده في مودّة و إعتناء مع تساويهم في الصفات من سنّ او فضيلة او تحصيل او ديانة

3) Menyampaikan pelajaran lebih dari satu materi secara terperinci, artinya pendidik harus menjelaskan secara rinci atau terarah artinya tidak boleh memperpanjang dan memperpendek pembahasan. Hal ini sebagaimana pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و ان تعدّدت الدروس قدّم الأشرف فالأشرف و الأهمّ فالأهمّ

4) Mengatur suara agar tidak terlalu pelan dan tidak terlalu keras sebagaimana disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و لا يرفع صوته رافعا زائدا على قدر الحاجة

5) Pendidik mengelola situasi kelas dengan baik, artinya menjaga dari kegaduhan yang dapat mengganggu kelancaran proses belajar-mengajar dan bersikap tegas terhadap peserta didik yang bersikap di luar etika yang ada. Adapun mengenai hal ini sebagaimana disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و يصون مجلسه عن اللغط
و يذكر الحاضرين ما جاء في كراهة ممارت لا سيما بعد ظهور الحقّ
و لبالغ في زجر من تعدّى في بحثه او ظهر منه لدد او سوء أدب في بحثه

6) Apabila ditanya tentang suatu persoalan yang tidak diketahui, hendaknya dia mengakui ketidaktahuannya. Hal ini sebagaimana pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و اذا سئل عمّا لم يعلمه قال لا أعلم او لا أدري

7)  Pendidik harus menghargai peserta didik yang bukan dari golongan mereka, artinya memperlakukan mereka dengan baik dan berusaha membuatnya merasa nyaman dalam majelis tersebut sebagaimana disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و يتودّد لغريب حضر عنده

8) Pendidik mengajar secara profesional sesuai dengan bidangnya sebagaimana pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya sebagai berikut:

و لا ينتصب للتدريس اذا لم يكن أهلا له و لا يذكر علما لا يعرفه فإن ذلك لعب في الدين و ازدراء بين الناس

9) Menjelaskan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami sebagaimana pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و الرابع ان يسمع له بسهولة الإلتقاء في تعليمه و حسن التلفّظ في تفهيمه

10) Bersungguh-sungguh dalam memberikan pengajaran. Hal ini sebagaimana disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و الخمس ان يحرص في تعليمه و تفهيمه ببذل جهده و تقريب المعنى من غير إكثار لا يحتمله ذهنه او بسط لا يضبطه حفظه

11) Melakukan evaluasi dengan cara meminta sebagian waktu  peserta didik untuk mengulang kembali pembahasan yang telah pendidik  sampaikan serta memberikan pertanyaan kepada peserta didik melalui latihan, ujian, dan semacamnya untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman mereka dalam menyerap materi yang telah disampaikan. Adapun hal ini sebagaimana disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و السادس ان يطلب من الطلبة في بعض الأوقات إعادة المحفوظات و يمتحن ضبطهم لما قدم لهم من القواعد المبهمة و المسائل الغريبة و يختبرهم بمسائل تنبني على أصل قرره او دليل ذكره

12) Memberikan teladan dan contoh nyata dalam setiap materi yang disampaikan, misalnya memberi contoh yang baik bagaimana cara bergaul, dan sebagainya. Hal ini sebagaimana disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:

و العاشر ان يتعاهد الشيخ أيضا ما يعامل به بعضهم من إفشاء السلام و حسن التخاطب في الكلام و التحابب و التعاون على البرّ و التقوى و على ما هم بصدده




[1] Muhammad Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim Wa al-Muta’allim……….., hlm. 25
[2] Syekh Burhanuddin al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim (Kudus: Menara Kudus, 1963), hlm. 29-30