KERINGANAN PUASA RAMADHAN

puasa-ilustrasi-_130701174829-351
Puasa Ramadhan diwajibkan bagi tiap mukmin yang aqil (yang sudah dapat membedakan sendiri antara yang baik dan buruk), Baligh (sudah dewasa dan qadir dan sehat jasmani).[1] Wajib dijalankan selama hayat dikandung badan, dimanapun juga. Apabila seseorang atau sekelompok orang benar-benar tidak mampu atau susah sekali untuk menjalankannya, baru terbuka kelonggaran adalah mereka yang puasa itu menyiksa baginya. Kalau diperinci orang-orang yang diberi kelonggaran adalah sebagai berikut:[2]
a. Orang sakit dan orang yang dalam perjalanan. Golongan ini dibebaskan dari kewajiban berpuasa selama sakit atau selama musafir. Akan tetapi, mereka diwajibkan mengganti puasa sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari lain.
b. Perempuan dalam haid (menstruasi), perempuan hamil dan perempuan yang menyusui anak. Tapi mereka harus meng-qadha di hari lain yang mereka tiada berpuasa atau mereka membayar fidyah, bagi kedua golongan yang terakhir ini.
c. Orang tua yang sudah lanjut umur tiada kuasa lagi berpuasa.
d. Orang sakit yang tidak ada harapan lagi sembuh dari sakitnya.
e. Mereka yang bekerja berat dan karena berat kerjanya itu tidak kuasa puasa, seperti pekerja-pekerja tambang, abang-abang becak, buruh-buruh kasar di pabrik-pabrik dan di pelabuhan-pelabuhan dan sebagainya.
Jadi, bukan keinginan yang Allah tetapi keadaan yang benar-benar tidak memungkinkan kita. Apabila terhalang mengerjakan puasa boleh tidak berpuasa di bulan itu, untuk mengerjakannya sesudah halangan itu lenyap. Atau mengganti hari-hari terlarang berpuasa di bulan tersebut dengan hari-hari lain. Tetapi kalau halangan itu terus menerus sehingga betul-betul tidak mampu mengganti hari-hari tidak berpuasa itu dengan hari-hari lain, bolehlah ia mengganti tiap hari wajib puasa dengan memberi sedekah makanan kepada orang miskin tiap-tiap hari sebanyak ¾ liter beras atau dengan uang yang seharga dengan beras itu (fidyah).
Puasa itu wajib tetapi Islam tidaklah memberatkan dan menyiksakan penganutnya, tapi untuk menunjukkan jalan baginya, di dunia dan di akhirat. Apabila suatu kewajiban yang dibebankan Islam benar-benar tidak terpikat (sehingga benar-benar bersifat menyiksa) dengan sendirinya datang kelonggaran. Disebutlah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 286,
لا يكلّف الله نفسا إلا وسعها
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Pada ayat terakhir surat al-Baqarah, ialah lanjutan dan gambaran orang yang beriman bersama Rasul itu. Dan mengandung pula sambutan Tuhan atas permohonan ampun mereka jika terdapat kekurangan pada amal mereka. Allah berfirman: memang tidaklah ada suatu perintah dan didatangkan oleh Tuhan yang tidak akan terpikul oleh tiap-tiap diri.
Tidak ada perintah yang berat, apalagi kalau iman telah ada. Seumpama perintah sembahyang tidak sanggup berdiri, boleh duduk atau tidak sanggup duduk, boleh tidur. Tidak ada air bolehlah tayamun. Puasa di dalam musafir dan sakit, boleh diganti di hari yang lain.[3] Dengan demikian, puasa itu untuk melindungi mukmin bukan untuk menyiksanya. Karena itu anak juga belum diwajibkannya puasa, namun demikian ia sudah dibiasakan sebagai persiapan dan latihan supaya ketika dia sudah menginjak usia aqil baligh nantinya puasa sudah menjadi kebiasaannya.

[1] Sidi Gazalba, Asas-Asas Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 149.
[2] Nazaruddin Razak, Dienul Islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1993, hlm. 262.
[3] Hamka, Tafsir al-Azhar, PT. Pustaka Pandji Mas, Jakarta, 1984, Juz III, hlm. 92.














PUASA DAN JIWA SOSIAL

jamaah-menunggu-saat-berbuka-puasa-di-sebuah-masjid-_120723121616-213
Salah satu jiwa keberagamaan yang telah lama dikembangkan umat Islam pada periode awal (Nabi dan Sahabatnya) adalah sikap keberagamaan yang intrinsik. Artinya aktualisasi ajaran agama tidak hanya bersifat formalitas belaka, tetapi juga mampu menyentuh substansi daripada suatu ibadah, misalnya kaitanya aspek sosiologis.[1] Seperti yang diutarakan Syeikh Ali Ahmad al-Jurjawi, bahwa puasa adalah cara mengingatkan orang kaya kepada penderitaan seperti yang dialami fakir miskin sehingga setelah melaksanakan puasa diharap orang kaya tersebut nantinya akan mampu mengasihi dan menyayangi, yakni dengan cara ditempatkan dalam kesempitan. Dengan tujuan orang terebut bisa sekaligus ikut merasakannya. Hal itu bisa menjadi pelajaran bagi orang kaya untuk lebih mengetahui perasaan orang lapar maka orang tersebut harus ikut berlapar-lapar.[2]
Kemudian apabila ada seorang kaya yang berkecukupan dalam hal harta benda, namun terlena dalam kekayaannya diharapkan bisa tergugah keinginannya untuk mau ikut merasakan dan sekaligus dapat menyadari betapa pahit getirnya rasa lapar dan dahaga seperti yang dialami fakir miskin yang tidak mendapatkan bahan makanan padahal sekedar menyambung hidupnya.[3]
Puasa yang pada hakekatnya bukanlah sekedar menahan lapar dan dahaga. Puasa bukan pula sekedar menggugurkan kewajiban. Padahal di dalam puasa pandangan secara sosial itu ternyata mempunyai nilai sosial yang lebih efektif dibanding yang diperoleh dari salat. Di mana pada salat orang kaya dan miskin, besar maupun kecil bisa ditempatkan di dalam satu lingkungan pemukiman yang sama, dapat berkumpul lima kali sehari dalam satu masjid dengan persamaan yang sempurna dan dengan cara itu hubungan sosial yang sehat dapat terbina.
Tetapi hal yang perlu dicatat pada waktu puasa adalah adanya gerak dan masa yang tidak hanya terbatas pada persamaan lingkungan atau bahkan pada satu masjid saja, tetapi melingkupi seluruh dunia. Di mana orang kaya dan miskin pada bulan tersebut bisa berdiri berjajar bersentuh pundak dalam satu barisan, dalam satu masjid padahal pada hari-hari biasa dari masing-masing pribadi mereka hidup dalam lingkungannya yang berbeda. Karakter, kebiasaan dan sebagainya. Hal itu bisa dilihat dari kebiasaan kecil diantaranya adalah bagaimana dalam makan saja orang kaya bisa saja selalu duduk di depan meja yang dipenuhi dengan berbagai makanan serba enak dan mewah, sehingga mereka bisa saja menyantap empat bahkan enam kali dalam sehari, sedangkan orang miskin tidak dapat memperoleh makanan padahal sekedar untuk menghilangkan rasa laparnya meskipun hanya dua kali sehari.
Uraian tersebut dapat menjadi renungan bahwa orang miskin seringkali merasakan pedihnya lapar, sedangkan orang kaya hanya merasa heran mengapa mereka bisa kelaparan. Memang secara logika saja bagaimana orang dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain dan dapat bersimpati kepadanya kalau dia belum merasakan sendiri seperti apa yang dialami orang lain tersebut. Halangan yang terdapat diantara kedua kelas tersebut terlalu besar dan halangan tersebut hanya dapat dihilangkan atau minimal dikurangi apabila orang yang kaya dapat ikut merasakan pedihnya lapar, seperti saudara-saudara mereka yang miskin yang tidak dapat makan padahal untuk sehari sekali saja.
Penggunaan cara tersebut diharapkan orang kaya dan miskin yang beriman diseluruh dunia mampu dibawa kepada tingkatan yang sama yaitu mereka hanya diperbolehkan makan duakali meskipun jenis makanannya tidak sama, tetapi dengan kesadarannya orang kaya dapat menyederhanakan menunya, sebab dengan jalan itu akan menjadikan ia lebih dekat kepada saudara-saudara yang miskin. Sehingga dengan jalan tersebut seorang kaya yang selalu berkecukupan akan dapat merasakan dan menyadari bahwa betapa pahitnya dan getirnya rasa lapar, dahaga seperti yang dialami fakir miskin. Sehingga dari hal itu dapat menjadi pendorong ia untuk mau memberikan bantuan dengan penuh keikhlasan kepada fakir miskin yang memang butuh bantuan.
Maka puasa ditinjau dari aspek sosiologis adalah salah satu bentuk persamaan ibadah pada waktu tertentu, dan hal itu tidak memandang apakah yang melakukan itu orang kaya maupun orang miskin. Di mana justru yang terjadi bahwa pada bulan tersebut bisa menjadi ajang yang paling bagus bagi orang kaya yang mempunyai kesadaran yang tinggi untuk dapat berlatih berjiwa sosial dengan jalan lebih banyak beramal pada bulan tersebut dibanding dengan bulan-bulan yang lain. Dengan memberi bentuan pada fakir miskin yang memang membutuhkkan uluran tangan (bantuan) dari orang yang bercukupan.

[1] Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah Al-Tasyri Wa Falsafatuhu, terj Hadi Mulyo & Shobahussurur, CV Asyifa Semarang, 1992, Jilid I, hlm.191
[2] Ibid., hlm.191
[3] Ibid., hlm.188









PUASA DALAM PERSPEKTIF SUFISTIK (TASAWUF)

puasa
Para ulama Sufi berpandangan bahwa puasa adalah cara untuk menahan diri dari nafsu jasmani dan memutuskan hasrat-hasrat duniawi yang muncul dari pengaruh bisikan-bisikan syetan dan kawan-kawannya yang ditempatkan pada diri manusia.[1]
Untuk mensikapi bisikan syetan itulah, Allah mengaruniakan hati kepada manusia. Hati adalah termasuk bala bantuan dari Allah, tetapi penganugrahan hati tersebut bisa saja malah bergabung dengan barisan syetan yang nantinya hanya akan membawa manusia menuju ke jurang kenistaan dan kehancuran. Disebabkan sifat dasar manusia yang sebetulnya mudah dikuasai oleh pasukan-pasukan laknat yang cenderung mengumbar marah dan nafsu kalau tidak dikendalikan.[2] Disinilah perlunya penaklukan badan kepada jiwa.
Untuk menaklukan badan kepada jiwa, adalah perlu adanya cara yaitu dengan jalan melemahkan kekuatan badan demi meningkatkan kekuatan jiwa, dan hal itu telah dibuktikan dari berbagai penelitian para ahli. Hasilnya bahwa tiada sesuatu yang semanjur ini seperti lapar dan haus, pembuangan kemauan-kemauan hawa nafsu dan mengontrol lidah, hati (fikiran) dan anggota-anggota lain, selain dengan jalan berpuasa.[3] Dengan demikian, puasa di sini memiliki fungsi untuk menghidupkan jiwa atau hati.
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam karya monumentalnya Sirr al-Asrar menyatakan bahwa bila seseorang berpuasa hendaknya mampu mengharmonikan kondisi lahir dan batinnya, seperti perutnya yang dikosongkan dari makan dan minum. Jadi harus ada keseimbangan antara puasa dari sisi syari’at, dan puasa dari sisi ruhani.[4]
Menurut Syeikh Ghulam Mu’inuddin, Puasa yang paling baik, yaitu puasa dalam dimensi pikiran. Dengan kata lain, orang-orang puasa tidak memikirkan apa pun kecuali Allah. Mereka telah dapat mempertimbangkan kehidupannya di dunia ini hanya sebagai bekal kebahagiaan dalam kehidupan selanjutnya.[5]
Puasa yang dikerjakan juga meliputi pengendalian penglihatan dari segala pandangan yang mengarah pada kejelekan dan menjauhkan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat seperti, berkata dusta, mefitnah, bicara tidak senonoh dan tindakan-tindakan yang berpura-pura. Singkatnya, orang-orang yang berpuasa seperti itu harus berupaya untuk berdiam diri, dan apabila mereka berkata-kata harus yang baik-baik sehingga jalan untuk mengingat kepada Allah semata akan lebih mudah.[6]
Puasa semacam ini memang sangat sulit dilakukan dan hanya orang-orang yang sudah bisa memahami ibadah bukan sebagai perintah (Syariah) tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara hakikat, yang bisa melakukan puasa semacam ini. Dimana aturannya selama berpuasa orang tidak boleh mendengar perkatan yang terlarang yang berasal dari orang lain, dengan cara berusaha menjauhi pertemuan dengan orang yang susah melanggar larangan tersebut. Sedang pada sisi fisik sewaktu berbuka, hanya boleh makan dan minum sedikit mungkin hanya sekedar untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga.[7]
Manusia yang benar-benar bisa melakukan puasa ini hanya orang-orang tertentu yang telah mempunyai nilai ketaqwan kuat dalam hati dan tingkah laku di mana dalam fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada yang lain. Tetapi yang demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama. Karena dengan jalan berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan dengan sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa.

[1] Imam Jafar Ashidiqi, Lentera Ilahi, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 138
[2] Ibid., hlm. 138
[3] Muhammad Hamidulah, Pengantar Study Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, hlm. 100
[4] Syekh Abdul Qadir Jailani, Rahasia Sufi, Penerjemah Abdul Majid Hj. Khatib, Pustaka Hidayah, Bandung, cet. II., 2002, hal. 191
[5] Syeikh Ghulam Moinuddin, Penyembuhan Cara Sufi, Bentang, Yogyakarta, Nov 2000, hlm.148-149
[6] Ibid., hlm. 148
[7] Ibid., hlm. 149














ORANG TUA WAJIB MENDIDIK KESHALEHAN ANAK

images (30)
Jalaluddin menyatakan bahwa pengertian anak saleh pada dasarnya adalah anak yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, taat menjalankan ibadah, menyenangi perbuatan yang baik dan bermanfaat serta mampu mencegah diri sendiri dari berbuat yang mungkar.[1] Kemudian secara ringkas M. Nipan Abdul Halim mengungkapkan bahwa anak saleh atau salehah yakni anak yang menjalin hubungan baik dengan Allah SWT dan dengan sesama mahluknya, terutama dengan sesama manusia.[2]
Jadi, berdasarkan kedua definisi di atas sepatutunya bahwa anak saleh adalah anak yang berhubungan baik dengan Allah SWT (hablum minallah), dan dengan manusia (hablum minannas) dan dengan yang lainnya. Dan pihak yang memikul tanggung jawab yang besar dan mulia ini adalah orang tua yakni ayah dan ibu.
Melahirkan keturunan yang berkualitas, saleh dan salehah adalah tujuan hidup berkeluarga bagi seorang muslim tatkala kemudian dianugrahkan seorang anak. Untuk mewujudkan keinginan tersebut anak harus dididik dengan baik dan benar. Anak yang saleh serta sehat secara fisik maupun psikis merupakan dambaan setiap orang dan kebanggaan serta kebahagiaan bagi orang tua dan keluarga.
Allah menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang paling baik sebagaimana tercantum dalam surat al-Tin: “Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Yang dimaksud dengan sebaik-baik bentuk adalah manusia diberi kelebihan oleh Allah SWT berupa akal yang membedakan dari mahluk Allah yang lain. Manusia juga diberi potensi untuk menerima ilmu pengetahuan agar dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah dengan sebaik-baiknya. Manusia sebagai mahluk yang dibebani tugas kekhalifahan di bumi memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya bisa menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya akan menghasilkan ketrampilan.[3]
Hasbi ash-Shidieqy mengungkapkan, mendidik anak, keluarga dan orang-orang yang dalam pengawasan kita ialah memberikan pelajaran-pelajaran dan pengajaran kepada mereka serta memimpin dan mengasuh mereka untuk menjadi orang yang utama dan memelihara mereka dari kesengsaraan hidup di dunia dan akhirat, supaya mereka menjadi orang yang berbakti dan berharga.[4]
Kemudian pendidikan oleh Sir Godfrey Thompson didefinisikan sebagai berikut:
By education I mean the influence of environment upon the individual to produce of permanent change in his habits of behaviour, of thought, and of attitude”.
Yang saya maksud dengan pendidikan adalah pengaruh lingkungan kepada individu untuk menghasilkan suatu perubahan yang tetap di dalam kebiasaannya bertitik tolak, berfikir dan bersikap”.[5]
Kehadiran anak oleh orang tua memberikan konsekuensi berupa kewajiban dan tangungjawab orang tuanya untuk mendidik kesalehannya. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara jasmaniah dan rohaniah harus mendapat perhatian penuh dari orang tuanya. Perhatian ini berupa bimbingan dan pembinaan. Dalam hal ini harus berupa pendidikan kesalehan anak demi terbentuknya anak seperti yang diharapkan oleh agama Islam.
Mendidik kesalehan anak merupakan tanggungjawab yang harus dipikul orang tuanya. Orang tua tidaklah cukup hanya menyediakan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat material saja. Akan tetapi iapun berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan rohani anak, salah satunya adalah pendidikan.[6] Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Tahrim ayat 6,
يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم و أهليكم نارا ...
Hai orang-orang yang beriman jagakah diri kalian berserta keluarga kalian dari ancaman api neraka…”
Ayat ini, secara tegas merupakan perintah dari Allah SWT kepada para orang tua untuk menjaga diri dan keluarganya dari segala sesuatu yang menghantarkan kepada kemurkaan Allah SWT, karena larangan-Nya yang telah dilanggar, sehingga membawanya kepada neraka yang sangat panas dengan api dan kayu bakar dari manusia.
Chabib Thoha menjabarkan maksud dari menjaga diri dengan setiap orang beriman harus dapat melakukan self education dan melakukan pendidikan terhadap anggota keluarganya untuk mentaati Allah SWT dan Rasulullah SAW-Nya.[7] Semantara itu Dewan Ulama’ al-Azhar mengartikan perlindungan dalam hal ini sebagai berbuat baik dan berkelakuan wajar dengan mematuhi perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.[8]
Mendidik anak kita juga sekaligus dianggap sebagai kewajiban dan ibadah yang akan menimbulkan pahala dikemudian kelak. Jika pendidikan kita berhasil dan anak-anak kita menjadi anak yang saleh maka itu akan menjadi mata air yang mengalir dari padanya pahala yang tiada putusnya. Sebuah Hadis Nabi dari Abi Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إذا مات الإنسان إنقطع عمله إلا من ثلاثة صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو له (رواه مسلم)[9]
Dari Abi Hurairah ia berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang mati maka terputuslah seluruh anaknya kecuali tiga perkara, yaitu shodakoh jariyah yang pahalanya terus mengalir, ilmu yag bisa dimanfaatkan dan anak saleh yang mendo’akan orang tuanya.” (HR. Muslim)
Hadis ini adalah dalil pokok yang mendorong orang tua agar berusaha dengan sungguh-sungguh dan komprehensif untuk mendidik anak dan menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang sesuai dengan ajaran Islam yang hanif, karena balasan anak saleh akanselalu mengalir dalam bentuk pahala kepada orang tua sejak hidup sampai matinya, bahkan di akhirat kelak pada saat dibagunkan untuk dimintai pertanggungjawaban amalnya di dunia.
Pemberian yang paling mulia dari orang tua adalah pendidikan, pendidikan seorang ayah atau ibu yang akan menjadikan anak tahu akan baik atau buruknya sesuatu dan tahu akan jalan Tuhan yang diridloi, dan pengetahuan yang lain yang tidak tergantikan oleh harta benda yang berlimpah.

[1] Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Shaleh; Telaah Pendidikan Terhadap Sunnah Rasulullah SAW, (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 2000), hlm. 34.
[2] M. Nipan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hlm. 91.
[3] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1995) hlm. 173.
[4] Teungku Hasby Ash-Shiediqy, Al-Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 310.
[5] Sir Godfrey Thompson, A Modern Philosophy of Education, (London: George Allen and Unwin Lcd, 1959), hlm. 19.
[6] Didi Jubaedi Ismail, Membuka Rumah Tangga Islam dibawah Ridha Allah, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 194.
[7] H.M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) hlm. 194.
[8] Dewan Ulama Al-Azhar Mesir, Ajaran Islam Tentang Perawatan Anak, terj. Dra. Alawiyah Abdurrahman, (Bandung: Al Bayan, 1992), hlm. 30.
[9] Muslim Abul Hasan, Shahih Muslim II, (Semarang: Toha Putra, t.th.), hlm. 14.



























SEJARAH PUASA DALÂIL AL-KHAIRÂT

images (41)
Berdasarkan sejarah yang terdapat dalam buku “Sejarah Singkat Kitab Dalâil al-Khairât Syaikh Abû Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazulî” akan diperoleh sejarah singkat awal mula adanya puasa Dalâil. Sejarah singkat dari puasa Dalâil Khairât berawal dari perjalanan hidup seorang wali Allah SWT yang besar dan sempurna, yang ma’rifat kepada Allah SWT, yang muhaqqiq dan washil kepada-Nya, seorang tokoh yang terkenal pada zamannya yang berbeda pada masanya, beliau adalah Sayyid Abû Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazulî r.a yang telah mengarang kitab Dalâil Khairât.
Beliau adalah putra dari Sulaiman bin Abdurrahman bin Abû Bakar bin Sulaiman bin Ya’la bin Yakhluf bin Mûsâ bin Alî bin Yûsuf bin Isa Abdullah bin Jundur bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad bin Hisan bin Ismail bin Ja’far bin Abdullah bin Hasan bin Alî bin Abî Thâlib karramallahu wajhah.[1] Beliau dilahirkan di Jazulah yaitu sebuah kabilah dari Barbar di pantai negeri Maghribi, (Maroko) Afrika. Beliau belajar di Fas yaitu di sebuah kota yang cukup ramai yang terletak tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan Mesir.
Adapun sebab-musabab beliau mengarang kitab Dalâil Khairât adalah karena pada saat beliau singgah disebuah desa bertepatan dengan waktu shalat dhuhur, tetapi beliau tidak menjumpai seorangpun yang dapat ditanyai untuk mendapatkan air wudhu. Akhirnya beliau menemukan sebuah sumur yang tidak ada timbanya, dalam keadaan bingung karena tidak ada alat untuk menimba air. Tapi kemudian beliau dilihat seorang anak perempuan kecil yang berumur sekitar 7 tahun. Anak itu bertanya : “ya Syaikh, mengapa anda nampak bingung berputar-putar di sekitar sumur ?”. Syaikh menjawab ; “saya
Muhammad Bin Sulaiman, waktu shalat dhuhurku sudah sempit, tapi saya tidak mendapatkan air untuk berwudhu”. Anak itu bertanya lagi : “apakah dengan namamu yang sudah terkenal itu tidak bisa mendapatkan air sekedar untuk berwudlu dari dalam sumur ? tunggu sebentar ! kemudian anak itu mendekat ke dekat bibir sumur dan meniupnya sekali, tiba-tiba airnya mengalir dan memancar di sekitar sumur seperti sungai besar. Kemudian anak itu pulang ke rumahnya dan syaikh Muhammad al-Jazulî pun segera berwudhu dan melaksanakan shalat.
Telah selesai menjalankan shalat, beliau mendatangi rumah anak peremuan kecil itu, sesampainya di sana beliau mengetuk pintu. Anak kecil itu berkata: “siapa itu!” maka Syaikh itu menjawab, “wahai anak perempuanku saya tanya kepadamu demi Allah SWT dan kemaha-agungan-Nya yang menciptakan kamu dan menunjukkan kepadamu terhadap Nabi SAW Muhammad SAW. sebagai Nabi SAW dan Rasulmu yang diharapkan syafaatnya, aku harap engkau mau menemuiku, saya hendak menanyakan satu hal. “ketika anak itu menemuinya, Syaikh Muhammad al-Jazulî bersumpah, “Aku bersumpah kepadamu demi kemahaagungan Allah SWT, demi kemaha-kuasaan-Nya, kemaha-memberi-Nya, demi kemaha-kesempurnaan-Nya, dan demi Nabi SAW Muhammad SAW, demi risalah dan syafaatnya (pertolongan keselamatan yang dikuasakan oleh Allah SWT kepada Nabi SAW Muhammad bagi umatnya) saya mohon kamu mau menceritakan kepadaku dengan apakah kamu bisa mendapatkan martabat yang tinggi sehinga bisa mengeluarkan air dari sumur tanpa menimba?” Anak perempuan itu menjawab, kalaulah tidak karena sumpahmu wahai syaikh, tentulah akan tidak mau meceritakannya. Saya mendapatkan keistimewaan yang demikian itu karena membaca shalawat kepada Nabi SAW Muhammad SAW.
Setelah mendengar jawaban dari anak kecil itu kemudian Syaikh Muhammad al-Jazulî r.a mengarang kitab Dalâil al-Khairâtdi kota Fas. Dan sebelum beliau mensosialisasikan kitab itu, beliau mendapat ilham untuk pulang kembAlî ke tanah kelahirannya. Maka beliau kembali dari Fas ke desanya di tepi daerah Jazulah. Kemudian dengan kesendirinya itu bertemu Syaikh Abû Abdillah Muhammad bin Abdullah al-Saghir seorang penduduk di pinggiran desa dan beliau berguru Dalâil Khairât kepadanya.[2]
Syaikh Muhammad al-Jazulî pada mulanya mulai mendidik para murid (orang-orang yang hendak menempuh jalan menuju sampai wushul kepada Allah SWT) di Pinggiran Asafi di mana banyak sekali orang yang sadar dan bertobat atas bimbingannya. Dzikirnya begitu terkenal dan tersebar dan diamalkan orang-orang diberbagai negeri dan nampaklah keistimewaan-keistimewaan yang besar dan keramat-keramatnya. Syaikh Muhammad al-Jazulî senantiasa berpegang teguh kepada hukum-hukum Allah SWT dengan melaksanakan ajaran al-Qur’ân dan sunah Rasulullah SAW. SAW.
Kemudian beliau pindah dari Asafi ke suatu tempat yang terkenal dengan Afrighal (Afrika). Kemudian beliau membangun masjid dan menetap di tempat itu untuk tetap mendidik dan membimbing para murid ke jalan yang benar sesuai petunjuk Allah SWT. Jelaslah cahaya kebarkahan beliau, dan nampaklah tanda-tanda kerahasiannya para fakir dan orang-orang yang tekun membaca dzikir kepada Allah SWT dan mambaca shalawat semakin banyak.
Dzikir-dzikir beliau dikenal di segenap penjuru dan para pengikutnya pun tersebar di setiap bagian negeri sehingga menjadi semarak dan hiduplah negeri Maghribi. Syaikh Muhammad al-Jazulî memperbaruhi thariqah di Maghribi setelah pengaruh-pengaruh dari pengajarannya, beliau juga mengutus para sahabatnya ke berbagai negeri untuk mendakwahkan hukum Allah SWT dan mendorong ke jalan yang diridhai Allah SWT. Banyak sekali orang-orang yang mengikuti dan mengamalkan thariqah-nya. Mereka juga banyak yang langsung datang kepada syaikh Muhammad al-Jazulî untuk ber-taqarrub dan mencapai ridha Allah SWT.
Jumlah dari pengikut beliau mencapai 12665 orang di mana kesemuanya itu bisa mendapat fadhilah menurut kadar martabat dan kedekatan mereka dengan Syaikh Muhammad al-Jazulî. Beliau wafat waktu melaksanakan shalat subuh pada sujud yang pertama (atau pada sujud yang kedua menurut satu riwayat) tanggal 16 Rabi’ul Awwal 870 H. Kitab Dalâilal-Khairât inilah yang mengilhami adanya puasa Dalâil, yaitu puasa yang diiringi dengan pembacaan wirid berupa membaca shalawat Nabi Muhammad SAW.[3]

[1] Kisbiyato, et. el, Pon-pes Darul Falah Sejarah pengarang kitab Dalail al-KhairatKudus 2000, hlm. 2
[2] Ibid., hlm. 4
[3] Ibid., hlm. 7












HIKMAH DIBALIK BASUHAN ANGGOTA WUDLU’

download (3)
حدثني ابو الطاهر احمد بن عمرو بن عبد الله بن عمرو بن سرح و حلاملة بن يحيى التحيبي قالا أخبرنا ابن وهب عن يونس عن ابن شهاب ان عطاء بن يزيد الليث اخبره ان حمران مولى عثمان اخبره ان عثمان بن عفان رضي الله عنه دعا بوصوء فتوضأ فغسل كفيه ثلاث مرات ثم مضمض و استنشر ثم غسل وجهه ثلاث مرات ثم غسل يده اليمنى الى المرافق ثلاث مرات ثم غسل يده اليسرى مثل ذلك ثم مسح رأسه ثم غسل رجله اليمنى الى الكعبين ثلاث مرات ثم غسل اليسرى مثل ذلك ثم قال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم توضأ نحو وضوئي هذا ثم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من توضأ نحو وضوئي هذا ثم قام فركع ركعتين لا يحدث فيهما نفسه غفر له ما تقدم من ذنبه
Menceritakan kepadaku Abu Thahir Ahmad bin ‘Amr bin Abdullah bin ‘Amr bin sorih dan Harmalah bin Yahya Attajibi berkata keduanya mengabarkan pada kami ibnu wahab dari Yunus dari ibnu Shihab sesungguhnya “Atha’ bin Yasid Allaysi mengabarkan kepadanya sesungguhnya Himran adalah tuannya ‘Utsman mengabarkan kepadanya sesungguhnya ‘Utsman bin ‘Affan ra. Menegaskan bahwa Ia (‘Utsman ra.) minta air lalu berwudlu’ . Beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga kali lalu berkumur dan mengeluarkan air dari hidung. Kemudian membasuh wajahnya tiga kali, lantas membasuh tangan kanannya sampai siku tiga kali, tangan kirinya juga begitu. Setelah itu mengusap kepalanya, kemudian membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, begitu juga kaki kirinya. Kemudian berkata: Aku pernah melihat Rasulullah saw. Berwudlu’ seperti wudlu’ ku ini, lalu beliau bersabda: Barang siapa yang berwudlu’ seperti cara wudlu’ ku ini, lalu şalat dua rakaat, dimana dalam dua rakaat itu ia tidak berbicara dengan hatinya sendiri, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.[1]
Hadith ini memberikan pengertian bahwa wudlu’ tidak hanya wajib untuk salat, tetapi juga menjadi nilai ibadah dengan kategori sunah dimana makna, fungsi dan manfaatnya bisa menghapus dosa-dosa yang ada pada orang yang mengambilnya karena Allah.
Imam al-Samarqindi menyatakan bahwa hendaklah orang yang mau melakukan wudlu’ itu disertai dengan perasaan ta’zim (mengagungkan Allah) dan hendaklah ia faham bahwa ia akan berziarah kepada Allah. Maka sepatutnya ia bertaubat dari semua dosa-dosanya karena Allah menetapkan wudlu’ dengan air sebagai perlambang bahwa ia sedang membersihkan dosa-dosanya. Maka ia hendaklah memulai dengan membaca basmalah, dan ketika ia berkumur dan menghirup air maka ia sedang membasuh mulutnya dari ghibah dan bohong sebagaimana ia sedang mencuci dengan air, dan ketika ia membasuh wajahnya maka ia sedang membasuh wajahnya dari pandangan pada sesuatu yang haram dan begitulah selanjutnya pada anggota-anggota wudlu’ yang lain.[2]
Inilah sekelumit fungsi dari wudlu’ yang secara zahir bisa ditangkap dari teks hadis tadi. Di bagian yang lain masih terdapat fungsi-fungsi lain yang bisa dieksplorasi berdasarkan produk tehnologi modern ala kedokteran yang berhasil ditemukan melalui penelitian medis sebagaimana di bawah ini:[3]
1. Wudlu’ Sebagai Terapi Akupuntur
Dalam tubuh manusia terdapat titik–titik akupuntur yang sangat beragam, mulai dari kepala sampai ujung kaki. Titik-titik ini apabila terkena sebuah rangsangan menimbulkan efek yang baik bagi kesehatan tubuh manusia baik berupa basuhan, gosokan, atau tekanan.
Setidaknya paling sedikit ada 493 titik akupuntur yang terkena basuhan air ketika seorang berwudlu’, ke-493 titk tersebut tersebar ke beberapa anggota wudlu’, seperti wajah 84 titik, tangan 95, kepala 64 titik, telinga1 25 titik dan kaki 125 titik.
Sebagai gambaran, ketika seseorang membasuh kedua telapak tangan dan melakukan takhlil (menyela-nyela jari), serta membasuh pergelangan tangan sampai siku, maka hal itu sudah mengidentifikasi 95 titik akupuntur dan diantara sela sela jari tangan dan kaki terdapat masing masing satu titik istimewa.
Berdasarkan riset pakar akupunktur, titik-titik tersebut apabila di rangsang dapat menstimulir bioenergi yang berguna dalam membangun kesamaan atau keseimbangan di dalam tubuh (homeostasis) sehingga akan menghasilkan efek terapi yang memiliki multiindikasi, seperti untuk mengobati sakit kepala, migraine, sakit gigi ,bengkak, dan memperkuat kuku pada jari jemari.
Gambaran lainnya adalah ketika menyapu daun telinga. Dalam ilmu kedokteran ditemukan bahwa pada daun telinga terdapat sejumlah saraf saraf dan juga dialiri oleh sejumlah pembuluh darah (vascularisasi). Dan pada daun telinga teridentifikasi minimal sebanyak 125 titik akupuntur (auriculopunktur) yang dapat digunakan sebagai preventif (pencegahan) dan kuratif (pengobatan) sejumlah penyakit, minimal untuk 125 penyakit pula.
Jadi, ketika seorang berwudlu’, maka secara tidak disadari telah melakukan sedikitnya pijat akupuntur sebanyak 493 titik. Masing masing titik tersebut dapat berimplikasi terhadap kesehatan tubuh manusia itu sendiri.
2. Wudlu’ Menjadikan Pikiran Mudah Berkonsentrasi
Filosofi wudlu’ merupakan suatu persiapan mental untuk menghadap Allah SWT., yakni mengerjakan ibadah salat. Kesucian dan kesejukan yang ditimbulkan oleh air wudlu’ dapat membangkitkan konsentrasi dalam pelaksanaan şalat, karena air wudlu’ dapat menstimulir dalam organ pancaindra, yakni mata, telinga, hidung, mulut, tangan dan kaki.
Para pakar syaraf (neorologists) telah membuktikan bahwa air wudlu’ yang mendinginkan ujung-ujung syaraf jari-jari tangan dan jari-jari kaki sangat berguna untuk memantapkan konsentrasi pikiran. Hal ini tidak aneh apabila air wudlu’ membasahi keseluruhan ujung-ujung syaraf seluruh anggota wudlu’ .
Dalam tubuh manusia terdapat ratusan titik akupuntur, masing-masing titik tersebut bersifat reseptor terhadap stimulus atau rangsangan yang terjadi dari luar. Stimulus tersebut akan dihantarkan melalui meridian ke sel, jaringan, organ, dan sistem organ yang bersifat terapi. Hal ini bisa terjadi karena adanya sebuah sistem yang disebut sistem regulasi, yaitu sistem dalam tubuh manusia, dimana syaraf dan hormon pada manusia saling bekerja untuk mengadakan homeostasis (keseimbangan). Hal ini menjadikan tubuh manusia tetap segar dan sehat.
3. Wudlu’ Menstimulasi Titik Biologis Pada Tubuh
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Dr. Magomedof, seorang asisten pada lembaga General Hygiene and Ecology (kesehatan umum dan ekologi) di Daghestan State Medical Academy. Ia menjelaskan bagaimana wudlu’ dapat menstimulasi atau merangsang irama tubuh secara alami. Rangsangan ini muncul pada seluruh tubuh, khususnya pada area yang disebut Biological Active Spots (titik-titik aktif biologis). Menurut penelitian ini, titik-titik aktif biologis mirip dengan titik-titik refleksologi Cina, yang membedakan adalah waktunya. Adapun untuk menguasai titik-titik refleksi Cina tersebut dengan tuntas dan benar, sedikitnya paling tidak dibutuhkan waktu selama bertahun-tahun. Sekarang coba andabandingkan dengan praktik ibadah wudlu’ yang sangat sederhana ini.
Keutamaan lainnya adalah jika dalam refleksologi Cina hanya berfungsi menyembuhkan penyakit, maka praktik wudlu’ sangat efektif untuk mencegah masuknya kuman dan bibit-bibit penyakit. Menurut peneliti yang juga menguasai ilmu refleksologi Cina ini, 61 dari 65 titik refleks Cina adalah bagian tubuh yang dibasuh air wudlu’ . Lima di antaranya terletak antara tumit dan lutut. Bagian ini merupakan area wudlu’ yang tidak diwajibkan (hukumnya sunah).
4. Wudlu’ Sebagai Terapi Hydromassage (pijat air)
Dalam ilmu pengobatan modern, ada istilah hydromassage atau lebih dikenal dengan istilah pijat air (pijat dengan memanfaatkan air sebagai media penyenbuhan). Metode ini telah lama dikenal oleh bangsa Mesir, Persia dan Yunani. Hydromassage telah berkembang pesat di kota-kota besar, baik di rumah sakit ataupun di salon-salon kecantikan (SPA). Bahkan sekarang telah dikenal sebuah terapi yang memanfaatkan pijatan air atau yang lebih dikenal dengan istilah hydromassage therapy.
Dalam ilmu kesehatan modern dikatakan bahwa sistem metabolisme tubuh manusia terhubung dengan jutaan syaraf yang ujungnya tersebar di sepanjang kulit. Jika tiap-tiap ujung syaraf terkena sentuhan atau pijitan, akan berdampak dan memberi efek positif terhadap organ-organ tubuh lainya. Ketika berwudlu’, saat membasuh bagian wajah dan tangan, maka pijatan air tersebut akan memberi efek positif pada organ tubuh lainnya seperti usus, ginjal, dan sistem syaraf maupun organ-organ reproduksi. Ketika membasuh kaki kiri, hal itu akan berdampak positif pada kelenjar pituitary otak. Hal ini berfungsi mengatur fungsi-fungsi kelenjar endokrin (kelenjar yang bertugas mengatur pengeluaran hormon dan mengendalikan pertumbuhan). Dan ketika seseorang membasuh telinganya dan memijat-mijat bagian-bagiannya, maka secara tidak langsung ia telah menekan ratusan titik biologis pada daun telinga yang dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi rasa sakit.
5. Wudlu’ Mencegah Kanker Kulit
Cara yang paling efektif untuk mengenyahkan risiko kanker kulit adalah membersihkannya secara rutin dan setiap saat. Berwudlu’ setiap akan salat fardu (lima kali sehari) adalah salah satu antisipasi yang lebih dari cukup. Mokhtar Salem dalam bukunya prayers a sport for the body and soul mengatakan bahwa membasuh wajah dapat meremajakan sel-sel kulit muka dan membantu mencegah munculnya keriput di wajah. Selain kulit, wudlu’ juga meremajakan selaput lendir yang menjadi gugus depan pertahanan tubuh.
Peremajaan selaput lendir menjadi penting, karena salah satu tugas utama lendir ini adalah bagaikan menghancurkan benda asing yang masuk kepada dua senjata pemungkas yang dimiliki tubuh manusia secara alami, yaitu limposit T (sel T) dan limposit B (sel B). Kedua sel tersebut selalu berjaga dan bersiaga di jaringan yang disebut limfoid. Keduanya akan menghancurkan segala macam penyusup seperti bakteri, kuman, dan virus yang berniat jahat terhadap tubuh manusia. Coba bayangkan, seandainya fungsi mereka terganggu. Siapa yang akan menghancurkan penyusup-penyusup (kuman, bakteri dan virus) jahat itu? Sebaliknya, dengan berwudlu’ kita membantu meningkatkan daya kerja mereka di dalam tubuh.
6. Wudlu’ Menjaga Kesehatan Mulut dan Gigi
Sebelum seseorang berwudlu’, disunahkan bersiwak (meggosok gigi) terlebih dahulu. Ketika berwudlu’ disunahkan juga untuk berkumur-kumur. Secara medis hal ini sangat bermanfaat bagi kesehatan gigi dan mulut, yakni untuk menjaga kebersihan mulut dan kerongkongan dari peradangan serta mencegah pembusukan pada gusi.
Sebuah penelitian mencatat bahwa 90% dari mereka yang menderita kerusakan gigi, disebabkan keteledoran dalam melakukan kebersihan mulut. Penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri yang ada di mulut tidak hanya mengancam gigi dan gusi, tetapi juga mengancam sistem pencernaan kita, ini karena air liur yang kita juga telan berasal dari mulut.
Dengan menggosok gigi (bersiwak) dan berkumur-kumur (madhmadoh) sebelum dan saat mengerjakan wudlu’, kebersihan dan kesehatan dalam rongga mulut dan gigi akan sangat terjamin sehinggamulut menjadi segar, bersih, dan sehat. Dan kita pun menjadi percaya dari karenanya.
7. Wudlu’ Mencegah Penyakit Pernapasan dan Rongga Hidung
Pintu masuk lain (lubang) yang tak kalah penting dalam tubuh manusia selain mulut adalah lubang hidung. Hidung merupakan salah satu alat pernapasan manusia yang berfungsi menghirup udara dari luar. Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berfungsi menyaring udara dari kotoran dan debu-debu dari luar. Namun demikian, bulu-bulu hidung saja tidak cukup untuk menyaring dan menahan berbagai macam kotoran dari luar. Oleh Karena itu, ketika berwudlu’, disunahkan menghirup air melalui hidung (istinshaq) dan mengeluarkannya kembali (intinthar), sehingga kebersihan dan kesehatan hidung tetap terjaga dengan baik.
Penelitian ilmiah mengatakan bahwa hidung manusia terjaga dari berbagai macam kotoran dan debu selama 3 sampai 5 jam, artinya setelah 5 jam hidung manusia kotor kembali. Untuk itu, berwudlu’ secara rutin (lima kali sehari atau lebih) membuat hidung akan selalu dalam kondisi bersih dan sehat. Penelitian ini juga menyatakan bahwa persentase terkena penyakit pernapasan lebih besar bagi orang-orang yang tidak berwudlu’, dan bagi orang-orang yang selalu berwudlu’, persentase terkena penyakit pernapasan relatif lebih kecil.
Dan dengan melakukan istinshaq dan istinthar setiap kali berwudlu’, maka sedikitnya telah menghilangkan 11 bakteri membahayakan yang ada di dalam hidung. Bakteri tersebut dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, khususnya penyakit saluran pernapasan atau ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan penyakit rongga hidung.
8. Wudlu’ Menjaga Hidung Tetap Bersih dan Sehat
Muhammad Salim, peraih gelar master dari Fakultas Kedokteran Universitas Iskandariah dengan studinya Manfaat Medis Ibadah Wudlu’ mengatakan bahwa sesungguhnyacara berwudlu’ yang baik dimulai dengan membasuh tangan lalu berkumur-kumur, kemudian mengambil air ke hidung 3 kali dan seterusnya. Ia berhasil menganalisis kesehatan terhadap ratusan hidung, baik dari orang-orang sehat yang tidak berwudlu’ dan dari mereka yang teratur dalam berwudlu’ dan şalat. Ia mengambil zat di dalam hidung pada selaput lendir dan mengamati beberapa jenis kumannya.
Penelitian tersebut ia lakukan selama berbulan-bulan, hingga sampai pada sebuah kesimpulan bahwa orang-orang yang tidak berwudlu’ warna hidung mereka memudar dan berminyak, kotoran debu lebih ke dalam serta rongga hidung mereka memiliki permukaan yang lengket dan berwarna gelap. Adapun orang-orang yang teratur dalam berwudlu’, permukaan rongga hidungnya tampak cerah, cemerlang, bersih, dan tidak ada debu.
Hal yang paling menakjubkan dari hasil studinya adalah jika seseorang memasukkan air ke hidung (istinsyaq) sekali saja ketika berwudlu’, maka hal itu dapat membersihkan hidung dari separuh kuman. Sedangkan memasukkan air dua kali, dapat menambah 1/3 kebersihan hidung. Dan jika seseorang memasukkannya atau menghirup air sampai tiga kali, maka hidung benar-benar bersih dari kuman.
9. Wudlu’ Memperlancar Aliran Darah
Selain berbagai pencegahan dan pengobatan terhadap berbagai macam gangguan penyakit yang telah disebutkan di atas, wudlu’ juga dapat membantu memperlancar aliran darah. Ketika air wudlu’ membasahi dan menyentuh tubuh (anggota wudlu’) secara tidak langsung akan membuat darah bereaksi. Ia dapat bekerja lebih cepat dari sebelumnya dan darah mengalir lebih cepat ke seluruh bagian tubuh manusia.
Air wudlu’ yang mengenai tubuh akan menyebabkan normalisasi suhu tubuh sebagai akibat bertemunya suhu panas dalam tubuh dengan dinginnya air wudlu’. Oleh karena itu, akan tampak sekali reaksinya ketika kita berwudlu’ menggunakan air dingin. Saat terjadi demikian, darah mengalir sangat lancar ke daerah seputar wajah, kedua tangan, dan telapak kaki. Lancarnya aliran darah pada seluruh tubuh (termasuk pada bagian kulit) akan membuat kelenjar kulit bekerja. Tugas kelenjar kulit ini menyedot darah-darah kotor dan membuangnya keluar tubuh melalui pembuluh-pembuluh halus yang terletak di permukaan kulit. Begitu darah kotor itu keluar, air wudlu’ akan langsung membersihkannya. Efek dari proses ini adalah kulit di sekitar wajah dan bagian tubuh yang lain akan selalu tampak segar dan berseri-seri.
10. Wudlu’ Mencegah Penyakit Ginjal dan Jantung
Proses pembuangan darah kotor terjadi melalui permukaan kulit. Sebagaimana yang tersebut dalam poin di atas, selain dapat membuat kulit selalu segar, sehat dan berseri-seri juga dapat membantu fungsi ginjal dan jantung di dalam tubuh manusia. Ginjal berfungsi dan bertugas membuang zat-zat beracun melalui kencing (urine). Ketika tugas tersebut dibantu oleh pembuluh darah yang ada di permukaan kulit, maka tugas ginjal juga akan semakin berkurang. Artinya, berwudlu’ ternyata mengurangi sedikit beban berat kerja ginjal dan dampaknya bisa meminimalisir kemungkinan terkena risiko sakit ginjal.
Ada satu lagi organ tubuh yang diuntungkan dengan lancarnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh, yakni jantung. Tugas jantung adalah memompa darah ke seluruh bagian tubuh. Semakin jauh dari bagian yang akan dipompa maka kerja jantung akan semakin besar. Daerah-daerah yang jauh itu antara lain wajah, telapak tangan, dan kaki. Ketika seseorang berwudlu’ maka jantung akan langsung bereaksi dan kemudian memompa darah dengan kuat menuju tiga anggota badan yang berjauhan itu, sehingga beban kerja jantung semakin berkurang.Ketika jantung bisa bekerja dengan rileks dan normal maka hal ini akan mencegah terjadinya serangan jantung.
11. Wudlu’ Membersihkan Kulit dari Bakteri
Bagian-bagian tubuh yang terkena air wudlu’ adalah bagian tubuh yang terbuka. Bagian-bagian inilah yang acap kali dihinggapi berbagai macam kuman penyakit. Kehadiran kuman-kuman tersebut akan menambah kuman-kuman yang memang sudah lebih dulu menempel pada kulit.
Menurut ilmu bakteria (mikro bacteriologi), 1 cm persegi dari kulit kita saja ada yang terbuka, maka kulit dapat dengan mudah dihinggapi lebih dari 5 juta bakteri yang bermacam-macam. Perkembangan dari masing-masing bakteri tersebut berlangsung begitu cepat sehingga keseimbangan asam basa (pH) pada kulit pun menjadi terganggu. Salah satu faktor yang paling memengaruhi perkembangan bakteri tersebut, sebagaimana dijelaskan di atas adalah keseimbangan asam basa (pH) pada kulit. Dapat dikatakan bahwa pH permukaan kulit inilah yang melindungi tubuh dan membatasi perkembangan kuman-kuman yang menimbulkan berbagai macam penyakit.
Ketika seseorang sedang berwudlu’, kemudian ia membasuh kulitnya dengan menggunakan air, maka yang demikian itu secara tidak ia sadari akan langsung memengaruhi keseimbangan pH pada kulit dan menjaga kelembabannya sekaligus sehingga membuat sel-sel kulit menjadi kembali normal.
12. Wudlu’ Membuat Kulit Tampak Cerah dan Bercahaya
Banyak perempuan zaman sekarang yang menghabiskan lebih banyak uang belanjanya hanya untuk pergi ke salon-salon kecantikan lainnya. Mereka menganggap bahwa kecantikan dapat diselesaikan cukup dengan pergi ke salon, atau cukup dengan memakai kosmetik. Tragisnya, di kota-kota besar pun laki-laki seakan tidak mau ketinggalan dengan perempuan. Mereka juga mulai merawat tubuhnya agar kelihatan tampan dan bersahaja layaknya seorang perempuan.
Adapun bagian tubuh yang menjadi primadona adalah wajah, terutama di bagian kulit wajah. Padahal kalau kita mau jujur, asalkan setiap saaat kulit wajah dirawat dan dibersihkan dari gangguan atau kotoran, baik karena panas sinar matahari, kotoran debu atau karena habis memakai kosmetik, maka wajah akan tampak segar, bersih, dan sehat.
Islam mengajarkan umatnya untuk selalu berwudlu’ minimal lima kali sehari, yakni ketika ia akan menunaikan salat. Bahkan dalam sehari, terkadang seseorang dapat melakukan wudlu’ lebih dari lima kali, baik karena ia ingin mengerjakan amalan salat sunah, membaca al-Qur’an, maupun karena alasan daimu-al-wudlu’ (sebuah amalan di mana ketika seseorang wudlu’ nya batal, ia segera berwudlu’ kembali).
Dengan kita berwudlu’ setiap saat, berarti kita juga telah melakukan perawatan terhadap kulit, khususnya kulit wajah. Sehingga yang demikian itu dapat membuat dan menjadikan kulit wajah seseorang tampak bersih, sehat, dan berseri-seri. Mencuci muka biasa dengan mencuci muka (membasuh muka) ketika berwudlu’, hal itu akan tampak sekali perbedaannya. Wudlu’ mempunyai daya magicdan hikmah yang luar biasa dahsyatnya.

[1] Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairīal-Nisaburī, Şahīh al-Muslim, Juz I (Surabaya: al-Hidayah, tt), 114-115.
[2] Nashr Bin Muhammad Bin Ibrahim al-Samarqindi, Tanbīh al-Ghafilīn, (tt, Dar Ihya’ al-Kutub, tt), 97-98.
[3] Muhammad Akrom, Terapi Wudlu’ Sempurna Salat Bersihkan Penyakit, Jakarta: Mutiara Media, 2010, 102-114. Hal ini juga bisa dibaca dalam buku Dahsyatnya Terapi Wudlu’ yang ditulis oleh Muhammad Syafi’ie el-Bantanie, Jakarta: Kompas Gramedia, 2010, 54-64.






















































PEMBERIAN NAMA ADALAH LANGKAH AWAL MENDIDIK KESALEHAN ANAK

images (27)
Ketika seorang suami dan istri telah melakukan jima’, maka atas ijin Allah mereka akan dikaruniai seorang anak, atas rahmat dan amanat ini, orang tua muslim akan menyambutnya dengan gembira dan setelah sembilan bulan si istri mengandung, maka akan lahirlah ke tengah-tengah mereka seorang manusia kecil yang mungil, polos, dan sangat lucu. Pada saat itulah orang tua harus bertambah syukur atas nikmat Allah, sebagai amanah anak akan diperlakukan mulia yaitu dengan menyusui anak, mengadzani dan mengiqomahi pada kedua telinga, mencukur rambut dan memberi nama yang baik serta mengaqiqahi. Kemudian bila telah tiba saatnya anak akan dikhitan dan dikhifadz.
Di antara upaya orang tua untuk menyambut gembira kehadiran anak adalah dengan memberi nama yang baik. Hal ini merupakan langkah awal orang tua untuk mendidik kesalehan anak ketika anak sudah lahir. Selain nama merupakan doa dan harapan orang tua, dalam pemberian nama juga terdapat upaya orang tua mendidik kesalehan anak. Upaya ini berupa salah satu dari rangkaian upaya yang dilakukan orang tua setelah bayi pada saat setelah bayi lahir. Jadi upaya ini merupakan awal dari berbagai langkah untuk mendidik kesalehan anak. Upaya-upaya tersebut adalah:
a. Upaya orang tua mendidik akidah Islamiyah anak
Akidah adalah keyakinan tentang satu (esanya) Tuhan yang tidak boleh dicampuri oleh keraguan-keraguan, syak wasangka dalam hati. Pendidikan akidah/ keimanan berarti membangkitkan kesadaran/kesediaan yang bersifat naluri yang ada pada setiap anak melalui bimbingan agama agar si anak mempunyai keyakinan terhadap keesaan Allah SWT.[1]
Wujud pendidikan ini adalah penanaman keyakinan terhadap Allah, dimana Allah adalah dzat yang paling tinggi yang menciptakan manusia, yang berhak atas manusia, karena itu sebagai ciptannya, manusia sudah selayaknya wajib melakukan ibadah/menyembah Allah, tidak menyekutukannya sebagaimana hadis:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ثلاث من كنّ فيه وجد حلاوة الإيمان ان يكون الله و رسوله أحبّ إليه مما سواهما و ان يحب المرء لا يحبه إلا الله و ان يكره ان يعود في الكفر بعد أنقده الله منه كما يكره ان يلقى في النار (رواه البخاري)[2]
Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata, dari Nabi Muhammad SAW, ia bersabda, “Tiga hal yang barang siapa memiliki ketiganya, dia akan menemukan lezatnya iman, yakni : 1) Allah SWT dan rasul-Nya lebih dicintai daripada yang lain, 2). Mencintai seseorang hanya karena Allah dan 3). Berpantang tidak akan kembali kafir sebagaimana ia berpantang enggan dilemparkan ke dalam api neraka”. (HR. al-Bukhari)
Dalam memberi nama, orang tua akan memilih nama yang menunjukkan penghambaan diri kepada Allah, dengan begitu ia akan mengajak anak pada situasi yang mengarah pada keyakinan anak terhadap Allah SWT. Dari situ anak akan mulai ditanamkan keyakinan terhadap keesaan Allah dan pendidikan ini akan mulai mendapat respon dari anak ketika anak mulai menyadari makna dari nama yang dikandungnya, saat itu anak akan mengembangkan pikirannya bahwa ternyata orang tua mempunyai maksud tertentu dalam nama yang diberikan kepadanya, sehingga timbul semacam keinginan untuk menyesuaikan dengan tingkat laki-laki perbuatan kesehariannya. Apalagi ketika nama itu sudah menjadi penggilan yang akrab didengar ditelinga. Ia akan menimbulkan semacam beban dan tanggungjawab moral untuk mempertahankan makna nama tadi.
Di sisi lain nama yang menunjukkan penghambaan diri kepada Allah adalah nama yang paling disukai oleh Allah, sebagaimana hadis Nabi SAW:
عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أحبّ الأسماء الى الله تعالى عبد الله و عبد الرحمن (رواه أبو داود)[3]
Dari ibn Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya nama kamu sekalian yang paling disukai oleh Allah SWT ialah Abdullah dan Abdurrahman”. (HR. Abu Dawud)
Sebaliknya orang tua muslim tidak akan memberi nama anak yang mirip ciptaan Allah dengan nama yang maknanya menyerupai kemahakuasaan Allah SWT. Karena itu akan menciptakan suasana yang menentang kemahakuasaan Allah, sehingga lambat laun akan menjadikan anak yang musyrik terhadap Allah SWT. Contoh nama tersebut adalah malikul amlak (raja diraja).
b. Upaya mendidik anak untuk taat beribadah kepada Allah
Ibadah merupakan kewajiban manusia, dan sebagai makhluk yang telah diciptakan oleh Allah, karena penciptaan manusia itu sendiri hanya untuk beribadah kepada Allah. Seperti dijelaskan dalam firman Allah dalam surat adz-Dzariyat ayat 56,
و ما خلقت الجنّ و الإنس إلا ليعبدون
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Pengertian yang terkandung dalam ibadah sangat luas. Sesorang dikatakan beribadah tidak hanya ketika ia melaksanakan shalat lima waktu, puasa, zakat, dan haji saja, tatapi lebih dari itu segala kegiatan yang bertujuan menghambakan diri kepada Allah juga termasuk dalam ruang lingkup ibadah.
Muhammad Quthb menyatakan bahwa seluruh kehidupan manusia pada hakikatnya adalah ibadah. Di samping mekaksanakan ibadah (mahdloh), mereka juga melaksanakan aktivitas kehidupan yang diridloi Allah. Bahkan sebagian besar ibadah mereka merupakan realitas amal dalam segala lapangan kehidupan.[4] Salah satunya dalam memuliakan anak dengan memberi nama yang baik.
Dalam memberi nama yang baik pada anak, orang tua mempuyai tujuan untuk beribadah kepada Allah, yaitu dengan melaksanakan ajaran Islam dalam memberi nama pada anak, di antaranya dengan memberikan hak anak dari orang tua dalam hal in yang dimaksud adalah nama yang baik, yang bermakna baik, karena sebagai manusia yang baru lahir ke dunia. Anak masih sangat lemah yang sangat membutuhkan pemeliharaan dan bimbingan dari orang tua, juga anak sebagai amanat Tuhan bagi orang tua harus diperlakukan denagn mulia, ia harus mendapat nama yang baik sebagai identitas dan panggilan di dunia dan akhirat, karena itu sebagai kelengkapan untuk menjadi insan yang terbaik (insan taqwim). Nama sangatlah tepat jika disebut sebagai kewajiban orang tua. Sebagaimana perintah Rasul dalam hadisnya:
عن الحارث بن النعام قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أكرموا أولادكم و أحسنوا أسمائهم (رواه ابن ماجه)[5]
Dari Kharis bin Nu’am ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Muliakanlah anak-anak kalian dan berilah mereka nama-nama yang baik”. (H.R. Ibnu Maajah)
Selain itu, nama juga sebagai hak anak atas orang tua. Sebagaimana hadis Nabi SAW:
عن ابن عباس قال ان النبي صلى الله عليه و سلم قال حق الولد على والده ان يحسن اسمه و أدبه (رواه البيهقي)
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, “Hak anak atas ayahnya adalah memberi nama yang baik dan mendidiknya dengan baik”. (HR. al-Baihaqi)
Hadis di atas mengandung maksud bahwa hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya adalah nama yang baik dan itu akan menjalar pada kebaikan adab. Orang tua muslim tentu akan memberikan hak ini secara sempurna. Ia akan berusaha maksimal untuk memberi nama baik. Ia akan mencari redaksi nama yang baik, nama yang sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan kalau ia tidak mampu membuat sendiri, ia akan meminta orang lain yaitu orang yang lebih alim (bapak kyai) untuk memberikan nama yang baik pada anaknya yaitu nama yang sesuai dengan harapannya.
Selain itu bentuk dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan Islam dalam memberi nama adalah dengan melakukan shalat istikharah ketika orang tua telah mendapatkan gambaran redaksi nama-nama yang akan dipilih. Orang tua meminta pertolongan terhadap Allah agar dituntun dalam menentukan pilihannya. Orang tua yang bersikap demikian telah mendidik anak untuk terbiasa meminta petunjuk terhadap Allah dalam berbagai hal, sehingga diharapkan anak akan tumbuh dengan terbiasa melaksanakan shalat dalam berbagai hal dikehidupannya. Sebagaimana hadis Nabi SAW:
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال كان النبي صلى الله عليه و سلم قال اذا همّ أحدكم بالأمر فليركع ركعتين ثم ليقل ... (رواه البخاري)[6]
Dari Jabir bin Abdullah r.a ia berkata, Rasul SAW bersabda, “Jika diantara kalian menghadapi perkara (pilihan) yang penting, maka shalatlah dua rakaat, kemudian bacalah do’a….” (HR. al-Bukhari)
Bentuk lainnya adalah memberi nama pada hari ketujuh dimana sebagaimana yang diketahui itu adalah sunnah Nabi dengan dibarengi pelaksanaan aqiqah, dan pada prosesi pemberian nama diakhiri dengan doa untuk kebaikan anak dimana terlihat bahwa dari prosesinya terdapat rangkaian ibadah yang dilaksanakan orang tua, dengan maksud mendidik anak agar anak mulai terbiasa denagn kegiatan ibadah dalam berbagai hal kehiduan semenjak dini. Ketika ia belum mampu melaksanakannya sendiri, orang tua telah memberi pemandangan ibadah terlebih dahulu. Karena sebagaimana diketahui bahwa tahap awal pembelajaran anak adalah dengan mendengar, melihat, kemudian bertanya praktik.
c. Upaya orang tua mendidik akhlak anak
Akhlak adalah segala tingkah laku dan sikap seseorang yang mempunyai nilai utama dan nilai hina atau nilai yang tinggi dan nilai yang rendah. Alat ukur akhlak adalah al-Qur’an dan Hadis dan contoh pribadi yang berakhlak mulia bagi manusia adalah Rasulullah SAW. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa beliau adalah seorang yang memiliki akhlak yang agung yang perlu dicontoh oleh masyarakat dengan ungkapan “uswatun hasanah” (teladan paling baik) bagi manusia.[7] Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 21,
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة ...
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…”
Berdasarkan firman Allah trersebut jelas bahwa Nabi diposisikan oleh Allah sebagai contoh tersebut, kemudian menanamkan rasa sayang pada contoh tersebut, kemudian menumbuh suburkan rasa itu sehingga menjadi rasa cinta dan rasa ingin seperti contoh tersebut, sebagaiman pepatah mengatakan “Tak kenal maka tak sayang, dan tak sayang maka tak cinta”.
Begitu juga dalam menanamkan rasa ingin seperti Rasulullah SAW harus dilakukan dengan tahapan seprti di atas. Dimana orang tua sebagai pendidik utama dan pertama harus terlebih dahulu memperkenalkan Rasulullah SAW pada anak dalam memberi nama. Di mana orang tua pertama kali memperkenalkan nama Rasul, karena pertama kali yang mudah dikenal dari seseorang adalah nama. Dengan langkah orang tua untuk memberi nama “Muhammad” pada anak berari orang tua telah melakukan tahap awal dan kemudian setelah itu orang tua melanjutkan langkahnya dengan memperkenalkan kisah-kisah teladan Nabi. Langkah ini nampak pada pembacaan berzanji, kitab tentang kisah Nabi, pada prosesi penetapan nama anak.
Nama “Muhammad” mengandung unsur doa dan tafa’ul (pengharapan yang baik) terhadap anak-anak. Dengan nama tersebut, anak didoakan supaya menjadi orang yang terpuji (akhlaknya) dan sekaligus sebagai pengharapan agar anak berakhlak seperti Rasulullah, walaupun tdak sepenuhnya. Setidaknya sebagian kecil dari akhlak Nabi yang agung ditiru oleh anak. Karena hanya Nabi Muhammad yang mempunyai akhlak paling mulia.
Kemudian mengenai pembacaan berzanji merupakan langkah orang tua agar pada masa awal pendengaran bayi berfungsi, maka yang terdengar adalah kisah-kisah teladan dari Nabi Muhammad dengan akhlaknya yang mulia dan diharapkan akan mendarah dagingdalam jiwa anak. Karena segala sesuatu yang dikenalkan pada masa-masa awal bayi, kesemuanya akan tercetak seumur hidupnya di dalam otak bayi tersebut dan tidak akan dapat hilang untuk seumur hidupnya, karena mengendap di bawah sadarnya. Kalau nanti ada pengaruh dari luar yang menggodanya, maka insyaallah bawah sadarnya akan memanggilnya kembali.[8]
Tidak terkecuali, dalam nama lain juga terdapat upaya orang tua untuk mendidik akhlak, karena dengan memilih nama tersebut. Orang tua bertujuan agar anak biasa meniru sifat, kemampuan, dan kelebihan-kelebihan lain dari orang yang memiliki nama tersebut. Dan tidak ada orang tua yang menghendaki anaknya seperti orang jahat, buruk perilakunya kecuali karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran orang tua akan maksud dari nama yang diambilnya tersebut.
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa nama yang baik akan semakin penting dalam mempersiapkan anak saleh. Di samping sebagai doa dan harapan, nama akan menjadi dasar kepribadian sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya. jika maknanya baik maka menjadi dasar kepribadian yang baik begitu juga sebaliknya jika maknanya jelek maka akan menjadi jelek dasar kepribadiannya. Nama yang baik itu mempunyai pengaruh positif atas kepribadian manusia. Begitu juga atas tingkah laku, cita-cita dan angan-angannya.[9]
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam pemberian nama yang baik kepada anak adalah bahwa nama tersebut memiliki efek psikologis dan paedagogis kepada anak.[10] Anak yang diberi nama baik akan dipanggil dengan nama tersebut, dengan demikian diharapkan ia akan terbiasa dengan panggilan yang baik.
Telinganya akan akrab dengan panggilan yang baik dan dengan penjelasan dari orang tua tentang makna yang terkandung di dalamnya. Tentunya anak akan semakin sayang dan senang dengan panggilan tersebut. Di sisi lain ada semacam keinginan untuk menyesuaikan panggilan tersebut dengan tingkah laku perbuatan kesehariannya. Ketika anak sudah mempunyai semangat dan sugesti untuk menyesuaikan tingkah lakunya itu berarti manfaat dari nama yang bermakna baik sudah mulai terasa. Bagaimanapun ada semacam beban dan tanggungjawab moral untuk mempertahankan makna nama tersebut akan terasa malu agaknya, jika ia berbuat menyimpang dari makna yang terkandung di dalamnya.
Selain itu dalam pemberian nama juga terdapat unsur-unsur upaya orang tua untuk mendidik anak agar menjadi anak yang saleh. Karena sebagai pendidik utama dan pertama orang tua akan dimintai pertanggungjawabannya tentang bagaimana ia mendidik anaknya. Pada hari akhir nanti karena kertas putih yang polos belum tertulis apapun, maka orang tualah yang pertama kali memberi lukisan pada kehidupan anak.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban orang tua terhadap anak, orang tua akan berusaha memberikan pendidikan atau ajaran-ajaran yang sesuai dengan ajaran agama Islam dalam setiap tindakannya. Hal ini yang akan menjadi pilar-pilar kepribadian anak. Anak yang baru lahir yang diperlakukan sesuai dengan Sunnah Rasul kemudian diberikan motivasi sesuai dengan fitrahnya. Untuk membiasakan diri mengulangi sunnah itu, baik dalam bentuk yang sama maupun dalam bentuk yang berlainan. Maka pertumbuhan dan kesadarannnya akan terus meningkat. Sunnah yang baru saja dialaminya akan terserap dan berakar dalam diri sang bayi, dan menjadi pemandu dalam watak sosialnya.[11]
Begitu besar tanggungjawab orang tua terhadap anak, maka walaupun nama yang baik itu hanya merupakan anjuran dari Rasul, bukan merupakan kewajiban yang mutlak sebagaimana shalat, maka nama yang baik kiranya tidak terlalu berlebihan jika dipenuhi oleh orang tua, karena dengan manfaat-manfaat makna yang tersirat di dalamnya sebagaimana penjelasan di atas.

[1] Didi Jubaedi Ismail, Membuka Rumah Tangga Islami di Bawah Ridlo Ilahi, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 199.
[2] Muslim Abu Hasan, Op. Cit., hlm. 38.
[3] Abu Daud Sulaiman, Sunan Abu Daud, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), hlm. 289.
[4] Djalaluddin, Mempersiapkan Anak Saleh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 74.
[5] Abi Abdillah M. Bin Yazid Al-Qazwany, Sunan Ibnu Majah 2, (Beirut: Dar al Fikr, t.th.), hlm. 1114 (hadits ke 3671).
[6] Muhammad Musthafa, Jawahirul Bukhari, (Indonesia: Dar Al-Ikhya Al Kitab Al-Arabiyah, t.t.), hlm. 146.
[7] Nasiruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, t.th.), hal. 36.
[8] Su’dan, Al-Qur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Primayasa, 1997), hlm. 294.
[9] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: al-Husna, 1989), hlm. 381.
[10] Ramayulis, dkk., Pendidikan Islam Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, cet.IV., 2001) hlm. 117.
[11] Aba Firdaus al-Halwani, Melahirkan Anak Saleh, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, cet.IV., 2003), hlm. 56.






















































KATEGORI BAIK BURUKNYA NAMA

download (1)
Berdasarkan makna yang dikandungnya nama-nama itu dapat diklasifikasikan kepada; nama wajib, nama sunnah, nama mubah, nama makruh dan nama haram. Masing-masing dapat dijelaskan berikut ini:
a. Nama wajib (nama yang maknanya terbaik)
Istilah “wajib” dalam hal ini tidak lain disesuaikan dengan nama-nama yang paling disukai oleh Allah SWT. Dan kita yakin bahwa apa yang disukai Allah SWT itu harus kita lakukan sebagai hambanya yang paling mulia.
Adapun nama wajib yang paling disukai Allah SWT adalah nama-nama yang maknanya menunjukkan penghambaan diri kepada Allah SWT. Rasulullah SAW menegaskan dalam salah satu hadisnya:
عن ابن عمر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أحبّ الأسماء الى الله تعالى عبد الله و عبد الرحمن (رواه أبو داود)[1]
Dari ibn Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya nama yang paling disukai oleh Allah SWT ialah Abdullah dan Abdurrahman”. (HR. Abu Dawud)
Ibnu Hadjar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari Bisyarh al-Sahih al-Bukhari, Juz X menerangkan, disukainya kedua nama tersebut oleh Allah SWT disebabkan karena beberapa faktor, yaitu:
1) Nama tersebut mengandung sifat wajib bagi Allah (untuk disembah) dan sifat wajib bagi manusia untuk menyembah, dan itu kewajiban utama seorang hamba kepada Tuhannya.[2]
2) Idhafah (rangkaian) kata abdun (penghambaan diri) dengan kata Allah atau kata ar-Rahman merupakan idhafah hakiki yang mengandung arti kemuliaan dan keutamaan di hadapan Allah SWT.[3]
3) Idhafah nama tersebut sesuai dengan firman Allah SWT,[4] seperti dalam surat al-Furqan ayat 63,
و عباد الرحمن الذين يمشون على الأرض هونا
Dan hamba Allah SWT yang maha pengasih…”
Menurut al-Qurtubhi, nama lain yang sederajat dengan nama tersebut adalah: Abdurrahim, Abdul Muluk dan Abdus Shamad (Fath al-Bari, Juz X hlm. 570). Dengan kata lain, nama-nama yang berupa idhafah (rangkaian) kata abdun (penghambaan diri) dengan asma Allah yang terbaik atau Asma al-Husna masih termasuk dalam kategori nama yang terbaik yang disukai Allah SWT.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nama-nama yang termasuk dalam kategori nama wajib (nama yang paling disukai Allah) ialah nama-nama yang:
1) Langsung menggunakan lafal Abdullah dan Abdurrahman.
2) Menggunakan rangkaian kata Abdun dengan salah satu diantaranya nama-nama Allah SWT yang termasuk dalam Asma al Husna (99 nama terbaik bagi Allah SWT).[5]
b. Nama sunnah (nama yang maknanya baik)
Dasar untuk pengkategorian nama sunnah sama dengan nama wajib. Keduanya berdasarkan hadis-hadis yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. hanya saja, kalau nama yang wajib itu nama-nama yang disukai oleh Allah SWT, sedangkan nama yang sunnah itu nama-nama yang disukai oleh Rasulullah SAW atau yang diperintahkannya.
Di antara sabda Rasulullah SAW yang berkenaan dengan pengkategorian nama sunnah yaitu terdapat dalam hadis Nabi,
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال النبي صلى الله عليه و سلم سموا بإسمي ... (متفق عليه)[6]
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Namailah (diri dan anak kalian) dengan namaku….”. (HR. Mutafaq alaih)
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW memerintahkan agar kita menamai anak kita atau diri sendiri dengan nama beliau yakni “Muhammad”. Selain nama Rasulullah SAW, nama-nama para nabi dan rasul lain juga termasuk dalam kategori nama yang baik dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dalam sebuah hadis Nabi,
عن أبي وهب الجشمي قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تسموا بأسماء الأنبياء (رواه أبو داود)[7]
Dari Abu Wahab al-Jasmy ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Namailah (diri dan anak kalian) dengan nama-nama para nabi …” (HR. Abu Dawud)
Termasuk dalam kategori nama sunnah pula ialah nama-nama yang maknanya mengandung kebaikan secara positif menurut padangan Islam. Seperti Sahal (mudah), Hamzah (pemberani) dan sejenisnya.
Jadi yang termasuk dalam ketegori nama sunnah misalnya:
1) Nama-nama yang menggunakan nama Rasulullah.
2) Nama-nama yang mengunakan nama para Nabi dan Rasul.
3) Nama-nama yang memiliki makna kebaikan positif dalam Islam sekalipun tidak berbahasa Arab.
c. Nama Mubah (nama yang tidak bermakna)
Jika nama yang maknanya terbaik, kita kategorikan ke dalam nama wajib. Dan nama yang maknanya baik kita kategorikan ke dalam nama sunnah, maka nama yang tidak bermakna atau maknanya tidak baik, kita kategorikan ke dalam nama mubah, dan masing-masing yang tidak baik itu sebaiknyalah diganti dengan nama yang lebih baik.
Banyak kita dapati di tengah masyarakat, orang tua memberikan nama kepada anaknya sekedar sebagai satu tanda tetapi kehilangan makna do’a dan dorongan agar anak itu menjadi baik. Sekalipun nama-nama yang nota benenya tidak bermakna itu pada dasarnya tidak tergolong buruk, tetapi jelas tidak bisa dikatakan baik, apalagi jika kata yang dijadikan nama itu artinya bermakna buruk.
Padahal Rasulullah SAW jelas-jelas memerintahkan agar membuat nama yang baik. Yakni nama yang mengandung arti dan makna yang baik menurut pandangan Islam. Oleh karena itu sebaiknya nama-nama yang arti dan maknanya tidak baik atau bahkan tidak bermaka itu diganti atau dirubah menjadi nama yang baik. Sehingga sesuai dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW dan insya’allah dapat membawa kebaikan bagi si empunya nama.
d. Nama Makruh (nama yang maknanya buruk)
Kategori nama makruh adalah nama-nama yang arti katanya, maknanya atau konotasinya “buruk”, tidak sesuai dengan dan misi Islam. Visi Islam identik dengan kebaikan yang bersifat manusiawi dan penghambaan diri kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Maka misinyapun mengajak kepada umat manusia agar mengakui derajat kemanusiaannya yang serba terbatas, menghambakan diri secara benar kepada Allah SWT Yang Maha Segala Maha.
Pada masa hidupnya, bila Rasulullah SAW mendengar nama tidak indah, beliau akan menggantinya dengan nama yang baik, misalnya hadis riwayat Abu Dawud:
عن سعيد بن المسيب عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه و سلم قال له ما اسمك؟ قال حزن قال أنت سهل قال لا السهل يوطأ و يمتهن قال سعيد فظننت أنه سيصيبنا بعده حزونة قال ابو داود و غيّر النبي صلى الله عليه و سلم اسم العاص و عزير و عتلة و شيطان و الحكم و غراب و حباب و شهاب فسماه هشاما و سمى هربا سلما و سمى المضطجع المبعث و ارضا تسمى عفرة سماها خضرة و شعب الضلالة شماه شعب الهدى و بنوا الزينة سماهم بني الرشدة و سمى ببني مغوية بني رشدة قال أبو داود تركت أسانيدها للإختصار (رواه أبو داود)[8]
Dari Sa’id bin Musayyab dari Bapaknya dari Kakeknya, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bertanya kepadanya, “siapa namamu?”. Ia menjawab, “Khazan”. Nabi bersabda, “kamu Sahal”. Ia berkata, “tidak, Sahal itu rendah dan hina”. Sa’id berkata, “saya mengira perbuatan itu akan mendatangkan kesusahan di kemudian hari”. Abu Dawud berkata, “Nabi SAW merubah nama al-‘Ashi, Uzair, ‘Utlah, Syaithan, al-Hakam, Ghurab, Habab, dan Syihab menjadi Hasyim. Nama Harb menjadi as-Salam, al-Mudltaji’ menjadi al-Munba’its, ‘Aqirah menjadi Khadlirah, Syi’budlalalah menjadi Sya’bul Huda, Banu Zinnah menjdai Banu Rusydah, Bani Mughawiyah menjadi Bani Risydah. Abu Dawud berkata, “aku tidak menyebutkan hadis ini semua demi ringkasnya periwayatan”. (HR. Abu Dawud)
Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam bukunya Tasmiyatul Maulud menuturkan point-point penting dalam pemberian nama, di antaranya nama yang makruh adalah sebagai berikut:
1) Nama yang tidak dicocoki oleh hati karena maknanya, lafadznya atau karena menyebabkan menjadi bahan olok-olokan, dan hal-hal lain yang menyusahkan si pemiliknya, seperti Harb, Murrah dan Fadhil.
2) Nama yang bermakna menjurus kepada syahwat, seperti Abiir (parfum), Nurhaad (montok payudaranya), Sya’diyah (penyanyi) dan Fatin (penggoda). Pada umunya nama-nama yang rendah ini adalah nama-nama wanita.
3) Memberi nama dengan nama-nama orang fasik yang sudah hilang rasa malunya, seperti nama para artis atau aktor, penari ular atau figuran.
4) Memberi nama dengan nama-nama yang mengandung makna dosa, kemaksiatan seperti dzalim, Sarriq (pencuri) dan Khaain (pengkhianat).
5) Memberi nama dengan nama-nama diktator atau penguasa tirani seperti Fir’aun dan Qarun.
6) Memberi nama dengan nama-nama hewan yang terkenal sifat-sifat buruknya seperti Hanasy (lalat), Kalbun (anjing), Kulaib (anjing kecil), Himar (keledai) dan lain-lain.[9]
e. Nama haram (wajib diganti)
Dalam Islam nama bukanlah sekedar nama. Karena selain ada nama yang paling disukai oleh Allah SWT Sang Pencipta, juga ada nama yang paling dibenci oleh-Nya. Inilah nama yang diharamkan dan wajib diganti.
Adapun nama-nama yang diharamkan itu tidak lain adalah nama yang maknanya menyamai kekuasaan Allah SWT dalam hadis riwayat Muslim dan Bukhari:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال عن النبي صلى الله عليه و سلم قال إن أخنع إسم عند الله تعالى رجل تسمى مالك الأملاك (رواه البخاري و مسلم)[10]
Dari Abi Hurairah ia berkata, dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya nama yang paling dianggap khianat di sisi Allah SWT Yang Maha Luhur ialah seorang yang bernama malakul amlak (raja diraja atau maharaja)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Manusia wajib mengakui sifat kemanusiaannya yang serba terbatas, dan mustahil bisa menyamai sifat maha segala maha-Nya Sang Pencipta. Nama yang agung dalam Asmaul Husna hanya berhak disandang oleh-Nya, bukan oleh selain Ia. Maka nama-nama yang maknanya menyerupai keagungan-Nya dengan menggunakan sighat muntahal jumu’ (merangkum segala makna yang terkandung di dalamnya) yang secara pasti di luar kemampuannya sebagai manusia yang serba terbatas berarti berusaha menyamakan diri dengan kemahakuasaan Allah (musyrik) yang jelas-jelas diharamkan.
Keharaman nama yang demikian itu secara tegas dilarang oleh Rasulullah SAW dalam hadis:
عن سمرة بن جندب قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تسمين غلامك يسارا و لا رباحا و لا نجيحا و لا أفلح فإنك تقول أثمّ هو فلا يكون فيقول لا (رواه مسلم)[11]
Dari Samrah bin Jundub ia berkata, Rasul SAW bersabda, “Jangan sekali-kali menamai anakmu dengan Yassar (Maha Mudah atau Maha Kaya), jangan nama Rabbah (Maha Beruntung), dengan Najihan (Maha Sukses), dan jangan pula dengan Aflah (paling beruntung) karena sekiranya kamu tanya, “benarkah demikan ? maka sangatlah mustahil dan pasti akan kujawab, tidak…” (HR. Imam Muslim)
Betapa seriusnya larangan dalam hadis tersebut. Selain menggunakan “la nahi” dan “nun taukid” yang sudah menunjukkan larangan yang amat sangat, masih juga disertakan “la nahi” pada setiap nama yang terlarang. Ini tentunya menunjukan sebuah keharaman yang tidak boleh tidak harus dihindarkan oleh setiap muslim dalam menamai anaknya ataupun menamani dirinya sendiri.
Larangan pemakaian nama ini kurang dipahami oleh orang tua muslim sehingga masih banyak orang tua muslim yang menggunakan kata-kata yang termasuk dalam Asma’ al-Husna sebagai nama bagi anaknya. Misalnya: Latifah, Muhaimin, Rahman, dan Aziz, tanpa adanya rangkaian kata Abdun, Abdul, Nur, dan Nurul. Sedangkan penggunaan kata-kata tersebut boleh bahkan menjadi wajib ketika dirangkai menjadi Abdurrahman, Nurul Latifah, Abdul Aziz, dan Abdummuhaimin.
Demikian halnya mengunakan nama rasul juga merupakan hal yang diperintahkan dan termasuk dalam kategori nama yang baik, tetapi menggunakan nama gelar beliau (seperti Abdul Qasim), adalah hal yang dilarang. Dalam sebuah hadis Nabi SAW ditegaskan:
عن ابي هريرة قال قال النبي صلى الله عليه و سلم سموا بإسمي و لا تكتنوا بكنيتي (رواه البخاري و مسلم)[12]
Dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Namailah (diri dan anak kalian) dengan namaku tetapi jangan namai dengan gelarku”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kemudian mengenai nama-nama yang haram, Bakr bin Abdullah bin Zaid lebih lanjut menjelaskan bahwa nama-nama yang haram adalah sebagai berikut:
1) Setiap nama yang mengandng pemahaman kepada selain Allah SWT seperti Abdul Rasul dan Abdul Husain
2) Termasuk kesalahan adalah memberi nama yang disangka merupakan nama Allah SWT padahal bukan seperti Abdul Maqsud dan Abdussattar.
3) Bernama dengan nama-nama Allah SWT seperti ar-Rahman dan al-Barri.
4) Nama-nama bukan Bahasa Arab dan nama tersebut digunakan oleh orang kafir seperti: Petrus, George, Diana dan Suzan.
5) Memberi nama yang tidak menggunakan Bahasa Arab dan tidak bisa diterima oleh Bahasa Arab seperti: Nariman, Sirihan, Syirin dan Jihan.
6) Bernama seperti nama Malakul Amlak, Sultanus Salatin (keduanya berarti raja diraja), Sayyidun Nas (pemimpin manusia) dan Sittunnisa’ (nama wanita).
7) Bernama dengan nama syetan seperti : Iblis, Khinzab dan Al-Wilhan.[13]
Menyadari hal itu, maka peran orang tua muslim hendaknya berhati-hati dalam menamai anaknya. Sekiranya tidak mengetahui atau kurang memahaminya. Lebih baik bertanya kepada para ulama’ Kyai orang yang mumpuni dalam hal menamai anak, baik yang mengunakan Bahasa Arab atau bahasa lainnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Naml ayat 43,
فاسئلوا أهل الذكر ان كنتم لا تعلمون
Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tidak mengetahuinya”.
Perlu diingat sekiranya terlanjur menamai anak kita dengan nama yang diharamkan atau terlarang dan kemudian hari tidak ada yang merubahnya hingga si anak meninggal, maka akan berakibat fatal serta mencelainya di akhirat kelak.[14]

[1] Abi Dawud Sulaiman, Op. Cit., hlm. 289.
[2] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.) Juz X, hlm. 570.
[3] Loc.Cit.
[4] Loc. Cit.
[5] Nipan Abdul Halim, Op. Cit., hlm. 53.
[6] Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhori, Op. Cit., hlm. 79.
[7] Abi Dawud Sulaiman, Op. Cit., hlm. 289.
[8] Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, Op. Cit., hlm. 291.
[9] Yahya Bin Said Ali Syalwa, Wahai Ayah dan Ibu, Didiklah Anakmu, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2003), hlm. 46-47.
[10] Muslim Abul Hasan, Shahih Muslim II, (Semarang: Toha Putra, t.t.), 259.
[11] Ibid., hlm. 257.
[12] Ibid., hlm. 256.
[13] Yahya Bin Sa’id Ali Syalwan, Op.Cit., hlm. 45-46.
[14] Nipan Abdul Halim, Op.Cit., hlm. 60-63.