KARYA-KARYA IMAM ABU HANIFAH

Imam Abu Hanifah
Hasil karya dan karangan Imam Abu Hanifah, meskipun ia diakui sebagai ahli dalam agama Islam, namun sampai sekarang tidak banyak yang dapat kita nikmati. Hal ini dapat dimaklumi sebab dilihat segi dari masa hidupnya yang sebenarnya sudah banyak bahan, namun belum dituangkan dalam bentuk karya yang sistematis, sampai akhir hidupnya dalam penjara yang relatif lama sehingga apa yang kita baca pada pendapat-pendapat beliau pun sebenarnya banyak merupakan kodifikasi dari murid-muridnya atau bahkan hanya sekedar hasil kuliah dari beberapa murid beliau untuk kemudian dikodifikasikannya.
Pada saat beliau masih hidup, masalah-masalah agama dan buah fikirannya tersebut dicatat oleh sahabatnya, dikumpulkan berikut juga paham mereka sendiri, yang kemudian disebut sebagai “mazhab Imam Hanafi”. Dalam usaha itu, ulama Hanafiyah membagi hasil yang mereka kumpulkan itu dibagi kepada 3 tingkatan, yang tiap-tipa tingkatan itu merupakan suatu kelompok yaitu :
1. Tingkat pertama dinamakan Masailul –Ushul (masalah-masalah pokok)
Merupakan suatu kumpulan kitab yang bernama Zhaahirur riwayat yaitu pendapat-pendapat Abu Hanifah yang terdapat dalam kumpulan kitab itu mempunyai riwayat yang diyakini kebenarannya karena diriwiyatkan oleh murid-murid dan sahabat-sahabat beliau yang terdekat dan kepercayaannya. Kitab zhahirur riwayat dihimpun oleh Imam Muhammad bin Hasan terdiri atas 6 kitab yaitu :
a. Kitab Al Mabsuth (Terhampar)
Kitab ini memuat maslah-masalah keagamaan yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah. Di samping itu juga memuat pendapat-pendapat Imam Abu Yusuf dan Muhamamd bin Hasan yang berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah, juga perbedaan pendapat Abu Hanifah dengan Ibnu Abi Laila yang meriwayatkan kitab Al-Mabsuth ialah Ahmad bin Hafash Al-Kabir, murid dari Muhammad bin Hasan.
b. Kitab Al-Jaami’ush shaghir (himpunan kecil)
Diriwayatkan oleh Isa bin Abban dan Muhammad bin Sima’ah yang keduanya murid Muhammad bin Hasan.kitab ini dimulai dengan bab shalat. Karena sistematika kitab ini tidak teratur, maka disusun kembali oleh Al-Qodhi Abdut-Thahir Muhammad bin Muhammad Adalah-Dabbas
c. Kitab Al Jaami’ul Kabir (Himpunan Besar). Kitab ini sama dengan Al-Jaami’ush Shaghir hanya uraiannya lebih luas.
d. Kitab As-Sairu Al-shaghir (sejarah hidup kecil). Berisi tentang jihad (hukum perang)
e. Ktab As-Sairul Kabiir (sejarah hidup besar). Berisi masalah-masalah fiqih yang ditulis oleh Muhammad bin Hasan
f. Kitab Az-Ziyaadat.[1]
Keenam buku tersebut dikumpulkan dalam Mukhtashar al-Kafi yang disusun oleh Abu Fadhal Al-Muruzi.[2]
2. Tingkat kedua ialah kitab Masaa-ilun Nawadhir (persoalan langka)
Merupakan persoalan yang diriwiyatkan dari pasa pemuka mazhab di atas, tetapi tidak diriwayatkan dalam buku-buku yang sudah disebut tadi, diriwayatkan dalam buku-buku lain yang ditulis oleh Muhammad, seperti Al-Kisaniyat, Al-Haruniyyat, Al-Jurjaniyyat, Al-Riqqiyyat, Al-Makharij Fil Al-Hayil dan Ziyadat Al Ziyadat yang diriwayatkan oleh Ibnu Rustam. Buku-buku tersebut termasuk buku mengenai fiqih yang diimlakan (didiktekan) oleh Muhammad. Riwayat seperti itu juga disebut ghair zhahir al-riwayah karena pendapat-pendapat itu tidak diriwayatkan dari Muhammad dengan riwayat-riwayat yang zhahir (tegas) kuat, dan shahih seperti buku-buku pada kelompok pertama.[3]
3. Tingkat yang ketiga dinamakan Al-Fataawa Al-Waaqi’aat (kejadian dan fatwa)
Merupakan kumpulan pendapat sahabat-sahabat dan murid-murid Imam Abu Hanifah. Buku pertama mengenai al-Fatawa ialah Al-Nawazil ditulis oleh Faqih Abu Laits Al-Samarqandi. Setelah itu sekelompok syaikh menulis buku yang lain seperti Majmu’ al-Nawazil wa al-Waqiat yang ditulis oleh Al-Nathifi dan Al-Waqiat yang ditulis oleh Shadr A-Syahid Ibnu Mas’ud.[4]
Dalam bidang fiqih ada kitab Al Musnad kitab Al-Makharij dan Fiqih Al-Akbar, dan dalam masalah aqidah ada kitab al-Fiqh Al-Asqar. Dalam bidang ushul fiqih buah pikiran Imam Abu Hanifah dapat dirujuk antara lain dalam Ushul as-Sarakhsi oleh Asy-Sarakhsi dan Kanz al-wusul ila ilm al usul karya Imam al-Bazdawi.[5]
Di samping itu terdapat kumpulan pendapat Imam Hanafi yang berhubungan dengan masalah warisan yang bernama kitab Al-Faraidh dan kitab yang memuat maslah-masalah muamalat yang bernama Asy-Syuruuth.[6] Buku yang memuat sirah (biografinya) adalah Khabar Abu Hanifah karya Asy-Syaibany dan Abu Hanifah = Hayatihu, Wa’ Asruhu, Wa Arahu Wa Fiqhuhu karya Muhammad Abu Zahrah.[7] Ada lagi kitab Al-Kharraajkarya Abu Yusuf murid Abu Hanifah, yaitu kitab pertama yang mula-mula meletakkan pokok-pokok undang-undang tentang perbendaharaan negara.

[1] Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, Jakarta : Erlangga, 1990, hal.78
[2] Wahbah Zahayly, Al Fiqh Al Islami Wa’adillatuh, (Terj) Agus Efendi, Bahrudin Fanani, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung : Remaja Rosdakarya,1995, cet. Pertama, hal.53
[3] Ibid, hal.53
[4] Ibid, hal.54
[5] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hal.14
[6] Muslim Ibrahim, Op. Cit, hal.79
[7] Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007, hal.338

























HUKUM MENGERJAKAN SHALAT SUNNAH BAGI YANG SEDANG MENANGGUNG SHALAT QADHA MUBADARAH

download (18)
Persoalan qadha shalat sebenarnya bukan sesuatu yang aneh di kalangan pengikut mazhab Syafi'iyah karena memang dalam berbagai kitab dijelaskan mengenai kebolehan melaksanakan shalat yang tidak ditunaikan pada waktunya. Dalam kitab-kitab tersebut dijelaskan bahwa orang yang melewatkan kewajiban shalat karena tak ada uzur maka wajib baginya untuk segera melaksanakan shalat penggantinya (qadha).
Bagi orang yang memiliki tanggungan qadha shalat, maka selain untuk kepentingan mendesak, harus menggunakan seluruh umurnya untuk melaksanakan qadha tersebut. Dalam situasi demikian, ia diharamkan melaksanakan ibadah sunnah. Sedangkan, bagi orang yang melewatkannya karena ada udzur maka sunnah baginya untuk segera melaksanakan qadha.
Pada beberapa kitabnya KH. Rifa'i sering memberi penjelasan mengenai qadha mubdarah dalam konteks pelaksanaan ibadah sunnah bahkan ibadah wajib yang masuk dalam kategori tidak mendesak pelaksanaannya (wajib 'ain muwassa') seperti ibadah haji. Dalam kitab Syarh al-Iman ia menyatakan:
تن ودي اغ نرجع حرم دي حجة * غلبه وديني لن اسيهي علامة * ماريغ راجا كافر غروساك شريعة * اورا ودي إغ الله سيكساني نيغ آخرة * أكيه عالم لن حاج إغ كافر أنوتان أورا ودي إغ الله سبنري فغيران
Tidak takut melanggar haram yang diingini. Tanda-tandanya takut dan kasih sayangnya hanya ditujukan padaraja yang kafir yang merusak syari'at. Tidak takut pada siksa Allah di akhirat. Banyak orang 'alim yang ikut-ikutan haji tapi tetap dalam kekafiran dan tidak takut pada Allah sebenar-benarnya Tuhan.
Demikian pula dalam persoalan shalat jenasah, KH. Rifa'i berpendapat bahwa orang yang memiliki qadha mubdarah tidak dapat dianggap sebagai hitungan untuk melaksanakan wajib kifayah. Dalam hal ini ia menyatakan sebagai berikut:
ووغ دوي قضاء واجب مبادرة * إيكو الله أورا اذن دالم شرع وِناره * للوغان اورا واجب نجا دي أراه * باليك ياتا حرام لامون لومامفاه * ماريني عباده سنه كغ دي حراماكي * ديني فلغكراني شرع دي ويريداكي * حرام ووغ قضاء تمولي دي لاكوءكن * إيكو كاويا عباده كغ دي سنهاكي
Orang mempunyai qadha wajib segera shalat. Inilah Allah tidak mengizinkan dalam syara' yang ada. Bepergian tidak wajib disebabkan ada arah yang dituju. Sebaliknya malah haram kalau dilaksanakan. Meninggalkan ibadah sunnah yang diharamkan. Walaupun pelanggaran syara' diwiridkan. Haram orang yang mengqadha yang kemudian dlaksanakan itu jadikanlah ibadah yang disunnatkan.
Dengan penjelasan ini, maka dalam kehidupan sehari-hari, kalangan Rifa'iyah akan menjumpai banyak kesulitan mendasar untuk dapat melaksanakan ibadah sunnah berskala massal seperti tarawih, shalat ied, selama mereka masih merasa mempunyai tanggungan utang yang segera harus dibayar (qadha mubdarah) dengan Allah. Suasana demikian ini juga terjadi pada pelaksanaan shalat jenazah jika memang ada di antara mereka yang merasa masih memiliki tanggungan qadha mubdarah. Dari kalangan Rifa'iyah mengatakan: "Jangan heran jika dalam pelaksanaan shalat jenazah, ada orang-orang Rifa'iyah yang tidak bersegera ikut shalat. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki qadha mubadarah."
Pendapat KH.Ahmad Rifa'i jika dibandingkan dengan pendapat fuqaha maka dapat dijelaskan di bawah ini:
Para fuqaha sependapat bahwa orang yang terlupa dan tertidur, sehingga shalatnya tertinggal, diwajibkan mengqadha shalatnya. Pendapat ini berdasarkan hadits yang berbunyi:
عن أنس بن مالك ان النبي صلى الله عليه و سلم قال من نسي صلاة فليصلها اذا ذكرها لا كفّارة لها إلاّ ذلك (متفق عليه) و لمسلم اذا رقد احدكم عن الصلاة هو غفل عنها فليصلها اذا ذكرها فإن الله عز و جل يقول أقم الصلاة لذكري
Dari Anas bin Malik, "Bahwa Nabi saw telah berkata, 'Barangsiapa lupa satu shalat, maka shalatlah ketika ingat, tidak ada tebusan untuknya melainkan itu'." (H.r. Muttafaq Alaihi). Dan, bagi Muslim, dikatakan, "Apabila salah seorang di antara kamu tidur sebelum shalat atau lupa shalat, maka shalatlah ketika ingat. Karena Allah azza wa jallatelah Berfirman: 'Dirikanlah shalatkarena ingat kepada-Ku.[1]
Tetapi timbul perbedaan pendapat mengenai orang yang bersengaja meninggalkan shalat, apakah mereka wajib mengqadha shalat yang tertinggal atau tidak. Maka dalam masalah ini para fuqaha terbagi kepada dua pendapat:
Pendapat pertama yang berasal dari pendapat dalam kalangan mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali dan Hanafi berpendapat orang yang bersengaja meninggalkan shalat wajib mengqadla shalatnya.
Pendapat kedua, yang berasal dari pendapat mazhab Zahiri, Ibnu Hazmin dan salah satu riwayat dari Qasim dan Wazir dari mazhab Syi'ah, berpendapat orang yang meninggalkan shalat dengan bersengaja tidak wajib mengqadha shalatnya yang tertinggal dan kalau juga mereka mengqadha shalatnya, maka shalatnya dianggap tidak sah.
Sebab timbulnya perbedaan pendapat dalam masalah ini disebabkan dua hal: (a) apakah boleh menetapkan hukum dengan qiyas, dan (b) apakah boleh mengqiyaskan orang yang bersengaja dengan orang yang tidak bersengaja atau lupa.
Bagi orang yang berpendapat tidak boleh mempergunakan qiyas dalam menetapkan hukum agama, atau memperbolehkan memakai qiyas, namun tidak boleh mengkiaskan orang yang bersengaja dengan orang yang lupa, mengatakan tidak wajib qadha bagi orang yang bersengaja.
Bagi orang yang berpendapat boleh mempergunakan qiyas dalam menetapkan hukum dan boleh mengkiaskan orang yang bersengaja dengan orang yang lupa, mengatakan wajib qadha bagi orang yang bersengaja meninggalkan shalatnya.
Adapun pendapat pertama yang berpendapat wajib qadha bagi orang yang bersengaja, diperkuat dengan dalil hadits. Hadits yang pertama yang berbunyi:
عن ابي قتادة رضي الله عنه قال ذكروا النبي صلى الله عليه و سلم نومهم عن الصلاة فقال انه ليس في النوم تفريط انما التفريط في اليقظة فإذا نسي أحدكم صلاة او نام عنها فليصلّها إذا ذكرها (رواه النسائي و الترمذي و صححه)
Dari Abu Qatadah, dia berkata, (Shahabat-shahabat) menceritakan kepada Nab saw tentang tertidurnya mereka sebelum shalat, lalu Nabi saw berkata, 'Sesungguhnya di dalam tidur tidak ada keteledoran, karena (yang dinamakan keteledoran) itu hanyalah dalam keadaan berjaga. Oleh karena itu apabila salah seorang di antara kamu lupa shalat atau tertidur, maka shalatlah ketika ingat'. (HR. an-Nasa'i dan At-Tirmidzy menshahihkannya)[2]
Hadits kedua yang berbunyi:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال ان النبي صلى الله عليه و سلم قال من نسي صلاة فليصلها اذا ذكرها فإن الله قال أقم الصلاة لذكري (رواه الجماعة إلا البخاري و الترمذي)
Dari Abu Hurairah, dan Nabi saw, din berkata: "Barangsiapa lupa satu shalat, maka shalatlah ketika ingat". Karena sesungguhnya Allah telah berfirman: "Dirikanlah shalat karena ingat kepada-Ku". (HR. al-Jama'ah kecuali al-Bukhari dan at-Turmudzy).[3]
Dari pengertian hadits di atas yang mana Rasulullah saw memerintahkan kepada orang yang tertidur dan terlupa untuk mengqadha shalatnya, dan dengan cara qiyas lebih utama bagi mereka yang bersengaja. Begitu juga dikatakan tidak ada tebusannya melainkan dengan mengqadha, menunjukkan juga wajib qadha bagi orang yang bersengaja. Karena orang yang bersengaja berdosa dan lebih utama mereka menebus dosanya dari orang yang tidak berdosa.
Pendapat ini dapat lagi diperkuat dengan hadits yang ketiga yang berbunyi:
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال ان عمر بن الخطاب جاء يوم الخندق بعد ما غربت الشمس فجعل يسبّ كفار قريش و قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما كدت أصلي العصر حتى كادت الشمس تغرب فقال النبي صلى الله عليه و سلم و الله ما صليتها فتوضأ فتوضأنا فصلى العصر بعد ما غربت الشمس ثم صلى بعدها المغرب (رواه لبخاري و مسلم)
Dari Jabir bin Abdillah berkata: bahwasannya Umar bin Khatab tiba pada hari pertempuran Khandak sesudah hampir tenggelam matahari dan beliau sibuk menghadapi kafir Quraisy. Beliau berkata: Hai Rasulullah, hampir saja aku tidak mengerjakan shalat Ashar sampai matahari hampir tenggelam. Nabi bersabda: Demi Allah, akupun belum shalat (Ashar). Maka Rasulullah berwudhu dan kami pun berwudhu, beliau shalat Ashar sesudah tenggelam matahari. Kemudian sesudah itu, beliau shalat Magrib". (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Jabir bin Abdillah)[4]
Hadits di atas menggambarkan bahwa Umar bin Khatab dan kaum muslimin, karena kesibukan menghadapi peperangan sehingga terlupa shalat dan mereka qadha shalat Ashar pada waktu Magrib. Karena itu kalau seandainya tidak wajib mengqadha shalat yang tertinggal, niscaya mereka tidak lagi mengerjakan shalat Ashar di luar waktu Ashar.
Hadits yang keempat yang berbunyi:
عن ابن عباس رضي اله عنه ان سائلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم فقال ان أمي ماتت و عليها صوم شهر أفأقضيه؟ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لو كان على أمك دين أكنت قاضيه عنها؟ قال نعم فدين الله أحق ان يقضى (رواه مسلم)
Seorang penanya mengemukakan pertanyaan kepada Nabi saw. katanya: Ibuku telah meninggal dan dia meninggalkan puasa sebulan. Apakah aku qadhakkan (puasa) itu? Rasulullah menjawab: Kalau seandainya ibumu mempunyai hutang, apakah kau bayar hutangnya? Penanya menjawab: Ya! Rasulullah menyambung: Makahutang kepada Allah lebih utama dibayar". (HR Muslim)[5]
Dalam kata "hutang kepada Allah" dalam hadits di atas, mempunyai pengertian umum, termasuk semua macam kewajiban di antaranya kewajiban mengqadha shalat yang tertinggal, baik dengan sengaja atau tidak.
Hadits kelima yang berbunyi:
عن ابن عباس ان امرأة من جهينة جاءت الى النبي صلى الله عليه و سلم فقالت أمي نذرت ان تحجّ حتى ماتت أفأحجّ عنها؟ قال حجّي عنها أرأيت لو كان أمك دين اكنت قاضيه أقضو الله فالله أحقّ بالوفاء (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas, Seorang perempuan dari suku Juhainah datang menemui Nabi saw. lalu bertanya: Ibuku bernazar untuk menunaikan haji dan beliau meninggal sebelum berhaji. Apakah kuhajikan untuknya? Rasulullah menjawab: Hajikan untuknya! Apakah kalau seandainya ibumu mempunyai hutang, apakah kau bayarkan? Bayarlah (hutang kepada) Allah dan bagi Allah lebih utama ditunaikan". (HR Bukhari)[6]
Hadits di atas memerintahkan membayar setiap hak Allah, termasuk di antaranya shalat yang tertinggal, baik karena terlupa atau sengaja, karena perintah dalam hadits itu umum.
Adapun pendapat yang kedua yang mengatakan tidak wajib qadha bagi orang yang meninggalkan shalat bersengaja, dikuatkan dengan dalil yang berikut:
Pertama, dengan firman Allah yang berbunyi:
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat yang mereka itu lalai dari shalatnya. (Qs. Al-Maun 4-5).
Kedua, dengan firman Allah yang berbunyi;
Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam: 59)
Dari kedua ayat di atas dapatlah ditarik kesimpulan kalau seandainya orang yang bersengaja meninggalkan shalatnya, sesudah keluar waktu, kemudian diqadhanya dan shalat qadha itu diterima, tidaklah dikatakan celaka dan seterusnya tidak pula dikatakan menemui kehancuran.
Dalil al-Qur'an yang ketiga yang berbunyi:
Dan barangsiapa yang melanggar hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (Qs. at-Thalaq 1).
Dalam pengertian ayat di atas, Allah telah menetapkan tiap-tiap shalat batas waktunya, tidak ada perbedaan orang yang shalat sebelum dan sesudah waktunya, merekatelah melanggar batas-batas waktu yang telah ditetapkan. Setiap pelanggaran terhadap waktu yang telah ditetapkan tidaklah sah shalatnya, dan tidaklah wajib mengqadha shalat itu, sama saja dengan sudah berakhir waktunya, tidak wajiblah qadha.
Dalil keempat yang mereka kemukakan dengan dalil ratio, yang mana mereka katakan mewajibkan qadha shalat bagi orang yang bersengaja adalah menambah hukum baru, dan setiap hukum harus ada dalilnya yang konkrit. Sedang dalam masalah ini tidakada suatu dalil jua pun, yang dapat diperpegangi, baik dari Al-Qur'an maupun hadits yang mewajibkan qadha bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja.
Adapun kritik yang ditujukan kepada dalil pendapat pertama dikatakan bahwa hadits pertama dan kedua hanya menunjukkan orang yang lupa dan tertidur saja, yang diwajibkan qadha, sedang orang yang bersengaja meninggalkan shalat tidak tercakup dalam hadits tersebut. Kritik ini dijawab bahwa kendatipun hadits-hadits tersebut kata-katanya hanya menyebutkan orang yang lupa dan tertidur, namun hadits-hadits tersebut sebagai jawaban dari pertanyaan tentang dosa meninggalkan shalat karena terlupa dan tertidur, yang berarti orang yang bersengaja lebih utama mengqadha shalatnya, karena dosanya adalah lebih besar lagi.
Dikatakan kalau kedua hadits itu hanya mencakup orang yang tidak bersengaja saja, maka pengertian yang seperti ini sangat bertentangan dengan hadits yang lain yang menerangkan "bayarlah hak Allah, dan Allah lebih utama dibayar". Hadits yang terakhir ini dengan jelas mengatakan orang yang bersengaja wajib qadha, yang mana mantuq (isi) hadits itu didahulukan daripada mafhum (pengertian).
Kritik yang kedua dikatakan bahwa di dalam hadits disebutkan qadha itu sebagai kafarah (penghapus), tidak menunjukkan orang yang bersengaja tercakup dalam hadits itu. Karena kafarah hanya berlaku kepada orang yang tidak bersengaja dan juga bagi orang yang lupa dan tersalah. Kritik ini dijawab bahwa kafarah itu berlaku untuk semua bentuk kelalaian, termasuk sengaja. Hanya disebutkan orang yang tersalah dan terlupa, untuk menekankan bahwa orang yang lupa dan tertidur juga dinamakan lalai, agar terhindar dari mengerjakan yang lebih besar lagi. Karena itu disebutkan qadha shalat bagi orang yang lupa dan tertidur sebagai kafarah, yang berarti dosanya tidak mungkin hilang saja, melainkan mengqadha.
Kritik ketiga dikatakan bahwa Nabi saw mengqadha shalat Ashar karena lupa dan tidak bersengaja. Seorang Nabi tidaklah pantas meninggalkan shalat bersengaja, karena sengaja mengakibatkan dosa, sedang Nabi terpelihara dari dosa. Karena itu, kebolehan mengqadha hanya berlaku bagi orang yang tidak bersengaja, tidak termasuk orang yang bersengaja. Kritik ini dijawab, bahwa pada lahirnya, Nabi saw meninggalkan shalat karena kesibukan menghadapi peperangan seperti yang diriwayatkan oleh Nasa’i dari Abi Said, dan peristiwa ini terjadi sebelum diturunkan ayat yang memperbolehkan shalat khauf. Jadi, pada waktu itu, shalat yang ditinggalkan karena sengaja, karena tidak dapat melaksanakannya, dan meninggalkan shalat dalam suasana yang seperti itu tidaklah termasuk dosa, karena ada alasan.
Kritik yang keempat yang ditujukan kepada hadits Ibnu Abbas, dikatakan bahwa pengertian hadits itu umum, ini tidak dapat diterima. Karena adanya hadits-hadits lain yang memberikan pengecualian ialah orang yang bersengaja. Kritik ini dijawab, seperti dalam jawaban terdahulu ialah mantuq hadits lebih diutamakan dari mafhum, karena itu tidak ada pengecualian dari hadits-hadits itu, yang berarti orang yang bersengaja pun termasuk di dalamnya.
Adapun kritik yang dikemukakan oleh pendapat pertama terhadap dalil pendapat kedua, bahwa ayat yang pertama yang menerangkan ancaman bagi orang-orang kafir yang shalat dengan secara riya,' dan kata lupa dimaksudkan tidak beriman, bukan melambatkan waktu shalat dengan bersengaja. Dan dalam ayat kedua ditujukan kepada orang yang kafir yang meninggalkan shalat dan mengikuti hawa-nafsunya.
Seandainya kedua ayat itu mencakup juga orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, namun ancaman itu hanya bagi mereka yang meninggalkan shalat bersengaja tanpa alasan, dan sekalipun demikian tidaklah menghilangkan tugas mereka untuk mengqadlanya dengan dalil hadits Ibnu Abbas.
Kritik yang ditujukan kepada dalil al-Quran yang ketiga, mereka kemukakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa alasan termasuk orang yang melanggar hukum Allah dan menganiaya dirinya sendiri. Kendatipun demikian, tugas mengqadha shalat tidaklah terhapus. Dosa karena melalaikan shalat lain dari dosa meninggalkan shalat, yang hanya dapat ditebus dengan qadha.
Adapun pendapat mereka yang mengatakan bahwa shalat sebelum waktunya sama saja dengan shalat sesudah lewat waktunya. Pendapat ini tidak dapat diterima, karena shalat sebelum waktunya jatuh sebelum diperintahkan, sedang shalat sesudah lewat waktunya adalah jatuh sesudah diperintahkan yang merupakan tugas yang wajib ditunaikan.
Kritik terhadap dalil yang mengatakan qadha bagi orang yang bersengaja tidak ada dalilnya, ini pun tidak dapat diterima. Karena ada dalil-dalil seperti yang telah kami kemukakan ialah kedua hadits Ibnu Abbas yang terakhir.
Bertitik tolak pada uraian di atas penulis mendukung pendapat madzhab Syafi’i yang mewajibkan qadha terhadap shalat yang ditinggal dengan sengaja. Alasannya, karena dengan diberinya kesempatan seseorang mengqadha shalat yang ditinggal dengan sengaja maka akan menghapuskan rasa putus asa. Orang akan optimis bahwa dosa dalam hubungan vertikal ini ada kemungkinan diampuni.
Sedangkan paham yang tidak membolehkan qadha cenderung berdampak negatif yaitu munculnya kesan bahwa shalat yang ditinggalkan cukup taubat saja tanpa harus mengganti. Ini akan berakibat meremehkan peran dan fungsi shalat sehingga dengan mudah meninggalkan shalat tanpa beban. Alasan lainnya bahwa pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah pendapat yang pertama, yang mewajibkan qadha bagi orang yang bersengaja. Karena itu Imam Nawawi berkata "telah ijma ulama mengatakan bahwa mereka yang meninggalkan shalat bersengaja wajib mengqadha shalatnya.”
Adapun terhadap pendapat KH. Ahmad Rifa'i bahwa di satu pihak KH. Ahmad Rifa'i mewajibkan shalat qadha bagi orang yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, maka dalam hal ini penulis setuju. Akan tetapi, dilain pihak KH. Ahmad Rifa'i berpendapat bahwa orang yang sedang menganggung shalat qadha maka diharamkan shalat-shalat sunnah. Terhadap pendapatnya ini, penulis kurang sependapat karena tidak ada dalil yang menunjuk ke arah itu meskipun Syekh al-Malibary berpendapat yang sama dengan KH. Ahmad Rifa'i. Sebagaimana diketahui Syekh al-Malibary berpendapat bahwa,
Yang jelas, orang yang tertinggal shalat haruslah menggunakan secukup waktu untuk mengqadhanya selain waktu yang digunakan untuk melakukan sesuatu yang wajib atasnya; di samping juga haram baginya melakukan shalat sunnah (sebelum qadha).[7]
Pernyataan Syekh al-Malibary menunjukkan bahwa orang yang mempunyai tanggungan shalat qadha maka diharamkan mengerkan shalat sunnah. Namun demikian pendapat ini pun tidak didukung oleh dalil yang kuat dan qath'i. Karenanya, pendapat KH. Ahmad Rifa'i dan pendukungnya masih tepat bila dimasukkan sebatas wacana.

[1] Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nail al–Autar Min Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar al-Qutub al-Ilmiah, 1973, hlm. 26
[2] Al-Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad -Dahak as-Salmi at-Turmuzi, Sunan at-Turmudzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931, hlm. 30. Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy Syaukani, Nail al–Autar Min Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar al-Qutub al-Ilmiah, 1973, hlm. 28.
[3] Ibid, hlm. 26
[4] Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani al-Marwazi, Musnad Ahmad, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1382 H/1953 M. 45.
[5] Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Tijariah Kubra, Mesir, tth. 28.
[6] Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 325.
[7] Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in Bi Sarh Qurrah al-Uyun, Maktabah wa Matbaah, Semarang: Toha Putera , tth, 11





































































QADHA SHALAT ‘IED

images (89)
Dalam kitab Badai’u al-Shanai’u fi Tartib al-Syara’i karangan Abu Bakar bin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi diterangkan pendapat Abu Hanifah tentang mengqadha shalat ‘Ied, sebagai berikut :
و إن فسدت بخروج الوقت او فاتت عن وقتها مع الإمام سقطت و لا يقضيها عندنا
Barang siapa tidak sempat melakukan shalat ‘Ied atau ketinggalan shalat ‘Ied bersama-sama imamgugurlah kewajiban qadha baginya menurut golongan kita (Abu Hanifah).[1]
Senada dengan pendapat Abu Hanifah adalah pendapat Imam Malik dan pengikutnya di dalam kitab Bidayah al-Mujtahid, disebutkan sebagai berikut:
قال قوم لا قضاء عليه أصلا و هو قول مالك و أصحابه
Tidak ada qadha baginya (orang yang ketinggalan shalat ‘Ied secara berjama’ah) sama sekali berkata Imam Malik dan pengikutnya.[2]
Pernyataan menjelaskan bahwa tidak wajib qadha bagi mereka yang ketinggalan shalat ‘Ied bersama imam. Demikian juga didalam kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah karangan Abdurrahman al-Jaziri disebutkan sebagai berikut:
فإن فاتته مع الإمام فلا يطالب بقضائها في الوقت و لا بعده فان أحب قضائها صلى أربع ركعات بدون تكبيرات الزوائد يقرأ في الأولى بعد الفاتحة سورة الأعلى و في الثانية الضحى و قي الثالثة الإنشراح و في الرابعة التين
Apabila ketinggalan shalat ‘Ied bersama imam maka tidak perlu mengqadhanya pada waktu itu atau sesudahnya, apabila ingin mengqadhanya shalat empat rekaat tanpa takbir tambahan setelah fatihah pada rekaat pertama membaca surat al-A’la, pada rekaat kedua membaca ssurat ad-Dhuha, pada rekaat ketiga membaca surat al-Insyirah, dan pada rekaat keempat membaca surat at-Tiin.[3]
Pendapat di atas semakin memperjelas pendapat Abu Hanifah tentang mengqadha shalat ‘Ied adalah tidak wajib. Namun, apabila ingin mengqadhanya maka shalat empat rekaat tanpa tambahan takbir. Adapun surat-surat yang dibaca setelah fatihah disini dijelaskan. Setelah fatihah pada rekaat pertama membaca surat al-A’la, pada rekaat kedua membaca surat ad-Dhuha, pada rekaat ketiga mmbaca surat al-Insyirah dan pada rekaat keempat membaca surat at-Tiin.
Mengutip pendapat Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Panduan Shalat Bersama Quraisy Shihab dijelaskan bahwa imam Hanafi dan Imam Malik berpendapat bahwa yang tidak sempat shalat ‘Ied dengan imam, maka dia tidak boleh melakukannya sendiri, jadi kalau ia tetap ingin melakukan shalat, maka ia harus mencari tempat lain dimana ada jamaah melakukannya.[4]
Namun, Imam Syafi’i berpendapat bahwa disunatkan bagi mereka yang tidak sempat melakukan shalat ‘Ied atauketinggalan shalat ‘Ied dengan imam, mengqadha shalat dengan sendiri kapanpun mereka mau kerjakan. Begitu juga pendapat ulama Hanabilah dalam kitab al-Fiqh al Islam wa Adallatuhu karangan Wahbah Zuhaili.
و قال الشافعية و الحنابلة من فاتته صلاة العيد مع الإمام سنّ له قضائها على صفتها لفعل أنس و لأنه قضاء الصلاة على صفتها كسائر الصلوات و له قضائها متى شاء في العيد و ما بعده متى اتفق و الأفضل قضائها في بقية اليوم و يجوز صلاة العيد للمنفرد و العبد و المسافر و المرأة كما بينّا[5]
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menilai sunat melakukannya bahkan dibenarkan mengqadhanya sendiri tanpajama’ah, dengan sifat yang sama seperti shalat ‘Ied bersama imam, yaitu dengan takbir tambahan. Sebagaimana pendapat imam Syafi’i dalam kitab Badai’u al-Shanai’u karangan Abu Bakar Ibnu Mas’ud al-Kasani al-Hanafi :
و قال الشافعي يصليها وحده كما يصلي الإمام يكبر فيها تكبيرات العيد
Shalatlah sendirian seperti shalatnya imam dengan takbir ‘Ied.[6]
Hal senada juga diungkapkan oleh Imam al-Ghazali yang berpendapat: Barang siapa ketinggalan shalat ‘Ied bersama imam, hendaknya mengqadhanya (secara sendiri ataupun bersama orang lain).[7]
Mengutip pendapat Hashbi ash Shiddieqy dalam bukunya Pedoman Shalat disebutkan apabila seseorang tidak dapat pergi berjama’ah shalat ‘Ied karena ada halangan ataupun tidak, hendaklah ia mengerjakan sendiri dua rekaat juga, mengingat hadits yang diriwayatkan dari Umar ra. :
صلاة السفر ركعتان و صلاة الأضحى ركعتان و صلاة الفطر ركعتان و صلاة الجمعة ركعتان تمام غير قصر على لسان محمد صلى الله عليه وسلم
Shalat safar dua rekaat, shalat adha dua rekaat, shalat fitri dua rakat, shalat Jum’at dua rakat, sempurna, bukan diringkas. Demikian perintah Tuhan atas lidah Muhammmad Saw. (HR. an Nasa’i, Tafsir Ibnu Katsir I : 545 )
Al-Bukhari berkata, “Apabila seseorang tidak mendapat shalat ‘Ied bersama jama’ah hendaklah dia bershalat dua rekaat juga. Demikian pula para perempuan dan orang di padang gurun, mengingat sabda Nabi Saw,
هذا عيدنا أهل الإسلام
Ini adalah hari raya kita umat Islam.
Anas Ibnu Malik, manyuruh Ibnu Uthbah di Zawiyah untuk mngumpulkan keluarganya dan bershalat dua rekaat seperti penduduk kota.
Ikrimah berkata: “Penduduk padang gurun berkumpul juga untuk bershalat ‘Ied dan mereka mengerjakan dua rakat sebagaimana penduduk kota melakukannya.”
Atha’ berkata: “Apabila tidak dapat bershalat ‘Ied bersama-sama jama’ah maka hendaklah ia bershalat dua rekaat juga.”[8]
Perselisihan yang terjadi dalam masalah ini dikarenakan bagi Fuqaha yang mempersamakan syarat sah shalat ‘Ied sama dengan syarat sah shalat Jum’at (seperti halnya Abu Hanifah dan Imam Malik). Mereka berpendapat apabila seseorang ketinggalan shalat ‘Ied maka tidak wajib mengqadha sendirian tanpa jamaah, karena gugurlah kewajiban shalat ‘Ied bila tidak berjamaah.
Sedangkan bagi Fuqaha yang tidak sependapat dengan Imam Abu Hanifah menganggap bahwa shalat ‘Ied adalah sunat berjama’ah, maka kalau tidak berjamaah shalat ‘Ied atau ketinggalan berjamaah shalat ‘Ied, disunatkan mengqadha shalat ‘Ied dua rakat seperti shalat dengan imam dilakukan sendiri (munfarid).

[1] Abu Bakar Ibnu Mas’ud al-Kasani al Hanafi, Badai’u al-Shinai’u, Juz I, Beirut : Dar al-Fikr, tth., hlm. 279
[2] Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rasyid al-Qurtubi, Bidayah al-Mujtahid, Juz I, Beirut : Dar al-Fikr, tth., hlm. 159.
[3] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz I, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990, hlm. 217.
[4] Quraish Shihab, Panduan Shalat Bersama Quraish Shihab, (Jakarta : Republika, 2003), hlm. 100.
[5] Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz III, (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), hlm. 367.
[6] Abu Bakar Ibnu Mas’ud al-Kasani, Op. Cit.
[7] Al-Ghazali, Asrar Ash-Shalah wa Muhimmatuhu, Terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung : Karisma, 2005), hlm. 179.
[8] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 553 – 554.



































QADHA’ SHALAT YANG DITINGGAL DENGAN SENGAJA

download (12)
Para fuqaha sependapat bahwa orang yang terlupa dan tertidur, sehingga shalatnya tertinggal, diwajibkan meng-qadha shalatnya. Pendapat ini berdasarkan hadits yang berbunyi:
عن أني بن مالك ان النبي صلى الله عليه و سلم قال من نسي صلاة فليصلها اذا ذكرها لا كفّارة لها إلاّ ذلك (متفق عليه) و لمسلم اذا رقد احدكم عن الصلاة هو غفل عنها فليصلها اذا ذكرها فإن الله عز و جل يقول أقم الصلاة لذكري
Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi saw telah berkata, Barangsiapa lupa satu shalat, maka shalatlah ketika ingat, tidak ada tebusan untuknya melainkan itu. (Muttafaq Alaihi). Dan, bagi Muslim, dikatakan, Apabila salah seorang di antara kamu tidur sebelum shalat atau lupa shalat, maka shalatlah ketika ingat. Karena Allah azza wa jallatelah Berfirman: Dirikanlah shalatkarena ingat kepada-Ku.[1]
Tetapi timbul perbedaan pendapat mengenai orang yang bersengaja meninggalkan shalat, apakah mereka wajib mengqadha shalat yang tertinggal atau tidak. Maka dalam masalah ini para fukaha terbagi kepada dua pendapat:
Pendapat pertama yang berasal dari pendapat dalam kalangan mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali dan Hanafi berpendapat orang yang bersengaja meninggalkan shalat wajib mengqadla shalatnya.
Pendapat kedua, yang berasal dari pendapat mazhab Zahiri, Ibnu Hazmin dan salah satu riwayat dari Qasim dan Wazir dari mazhab Syi'ah, berpendapat orang yang meninggalkan shalat dengan bersengaja tidak wajib mengqadha shalatnya yang tertinggal dan kalau juga mereka mengqadha shalatnya, maka shalatnya dianggap tidak sah.
Sebab timbulnya perbedaan pendapat dalam masalah ini disebabkan dua hal: (a) apakah boleh menetapkan hukum dengan qiyas, dan (b) apakah boleh mengqiyaskan orang yang bersengaja dengan orang yang tidak bersengaja atau lupa.
Bagi orang yang berpendapat tidak boleh mempergunakan qiyas dalam menetapkan hukum agama, atau memperbolehkan memakai qiyas, namun tidak boleh mengkiaskan orang yang bersengaja dengan orang yang lupa, mengatakan tidak wajib qadha bagi orang yang bersengaja.
Bagi orang yang berpendapat boleh mempergunakan qiyas dalam menetapkan hukum dan boleh mengkiaskan orang yang bersengaja dengan orang yang lupa, mengatakan wajib qadha bagi orang yang bersengaja meninggalkan shalatnya.
Adapun pendapat pertama yang berpendapat wajib qadha bagi orang yang bersengaja, diperkuat dengan dalil hadits. Hadits yang pertama yang berbunyi:
عن ابي قتادة رضي الله عنه قال ذكروا النبي صلى الله عليه و سلم نومهم عن الصلاة فقال انه ليس في النوم تفريط انما التفريط في اليقظة فإذا نسي أحدكم صلاة او نام عنها فليصلّها إذا ذكرها (رواه النسائي و الترمذي و صححه)
Dari Abu Qatadah, dia berkata, (Shahabat-shahabat) menceritakan kepada Nabi tentang tertidurnya mereka sebelum shalat, lalu Nabi saw berkata, Sesungguhnya di dalam tidur tidak ada keteledoran, karena (yang dinamakan keteledoran) itu hanyalah dalam keadaan berjaga. Oleh karena itu, apabila salah seorang di antara kamu lupa shalat atau tertidur, maka shalatlah ketika ingat. (HR. an-Nasa'i dan at-Tirmidzi menshahihkannya)[2]
Hadits kedua yang berbunyi:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال ان النبي صلى الله عليه و سلم قال من نسي صلاة فليصلها اذا ذكرها فإن الله قال أقم الصلاة لذكري (رواه الجماعة إلا البخاري و الترمذي)
Dari Abu Hurairah, dan Nabi saw, beliau bersabda: Barangsiapa lupa satu shalat, maka shalatlah ketika ingat. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman: Dirikanlah shalat karena ingat kepada-Ku. (HR. al-Jama'ah kecuali al-Bukhary dan at-Turmidzi)[3]
Dari pengertian hadits di atas yang mana Rasulullah saw. memerintahkan kepada orang yang tertidur dan terlupa untuk mengqadha shalatnya, dan dengan cara qiyas lebih utama bagi mereka yang bersengaja. Begitu juga dikatakan tidak ada tebusannya melainkan dengan mengqadha, menunjukkan juga wajib qadha bagi orang yang bersengaja. Karena orang yang bersengaja berdosa dan lebih utama mereka menebus dosanya dari orang yang tidak berdosa. Pendapat ini dapat lagi diperkuat dengan hadits yang ketiga yang berbunyi:
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال ان عمر بن الخطاب جاء يوم الخندق بعد ما غربت الشمس فجعل يسبّ كفار قريش و قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما كدت أصلي العصر حتى كادت الشمس تغرب فقال النبي صلى الله عليه و سلم و الله ما صليتها فتوضأ فتوضأنا فصلى العصر بعد ما غربت الشمس ثم صلى بعدها المغرب (رواه لبخاري و مسلم)
Jabir bin Abdillah beliauberkata: bahwasanya Sayidina Umar datang kepada Rasulullah ketika peperangan Khandaq, sesudah terbenam matahari, Saidina Umar ketika itu memaki-maki kafir Quraisy dan berkata kepada Rasulullah: Hai Rasulullah, saya hampir tidak shalat 'Ashar sampai matahari terbenam, maka Nabi menjawab: Demi Allah, saya juga belum shalat 'Ashar. (Berkata Jabir). Maka kami semuanya berangkat ke Balkan maka berwudhulah Nabi dan kami berwudhu pula, lalu Nabi shalat 'Ashar sesudah terbenam matahari dan sesudah itu baru Nabi shalat magrib. (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim)[4]
Hadits di atas menggambarkan bahwa Umar bin Khatab dan kaum muslimin, karena kesibukan menghadapi peperangan sehingga terlupa shalat dan mereka qadha shalat Ashar pada waktu Magrib. Karena itu kalau seandainya tidakwajib mengqadha shalat yang tertinggal, niscaya mereka tidak lagi mengerjakan shalat Ashar di luar waktu Ashar.
Hadits yang keempat yang berbunyi:
عن ابن عباس ان امرأة من جهينة جاءت الى النبي صلى الله عليه و سلم فقالت أمي نذرت ان تحجّ حتى ماتت أفأحجّ عنها؟ قال حجّي عنها أرأيت لو كان أمك دين اكنت قاضيه أقضو الله فالله أحقّ بالوفاء (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas Ra, beliau berkata: Bahwasannya seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw. lalu ia bertanya: bahwasanya ibuku bernadzar akan haji, tetapi beliau wafat sebelum membayarkan nadzarnya naik haji itu, apakah boleh saya membayarkan nadzarnya itu, yakni naik haji? Jawab Nabi: Ya boleh, naik hajilah engkau pengganti dia. Coba engkau pikir, kalau ibumu berutang tentu engkau harus membayar utangnya itu, maka utang kepada Tuhan lebih patut untuk dibayar. (H.R. Imam Bukhari)[5]
Hadits di atas memerintahkan membayar setiap hak Allah, termasuk di antaranya shalat yang tertinggal, baik karena terlupa atau sengaja, karena perintah dalam hadits itu umum.
Adapun pendapat yang kedua yang mengatakan tidak wajib qadha bagi orang yang meninggalkan shalat bersengaja, dikuatkan dengan dalil yang berikut:
Pertama, dengan firman Allah dalam surat al Ma’un ayat 4-5 yang berbunyi:
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat yang mereka itu lalai dari shalatnya.
Kedua, dengan firman Allah dalam surat Maryam ayat 59 yang berbunyi;
Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.
Dari kedua ayat di atas dapatlah ditarik kesimpulan kalau seandainya orang yang bersengaja meninggalkan shalatnya, sesudah keluar waktu, kemudian diqadhanya dan shalat qadha itu diterima, tidaklah dikatakan celaka dan seterusnya tidak pula dikatakan menemui kehancuran.
Dalil al-Qur'an yang ketiga yaitu firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 1 yang berbunyi:
Dan barangsiapa yangmelanggar hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
Dalam pengertian ayat di atas, Allah telah menetapkan tiap-tiap shalat batas waktunya, tidak ada perbedaan orang yang shalat sebelum dan sesudah waktunya, mereka telah melanggar batas-batas waktu yang telah ditetapkan. Setiap pelanggaran terhadap waktu yang telah ditetapkan tidaklah sah shalatnya, dan tidaklah wajib mengqadha shalat itu, sama saja dengan sudah berakhir waktunya, tidak wajiblah qadha.
Dalil keempat yang mereka kemukakan dengan dalil ratio, yang mana mereka katakan mewajibkan qadha shalat bagi orang yang bersengaja adalah menambah hukum baru, dan setiap hukum harus ada dalilnya yang konkrit. Sedangkan dalam masalah ini tidak ada suatu dalil jua pun, yang dapat diperpegangi, baik dari al-Qur'an maupun hadits yang mewajibkan qadha bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja.
Adapun kritik yang ditujukan kepada dalil pendapat pertama dikatakan bahwa hadits pertama dan kedua hanya menunjukkan orang yang lupa dan tertidur saja, yang diwajibkan qadha, sedang orang yang bersengaja meninggalkan shalat tidak tercakup dalam hadits tersebut.
Kritik ini dijawab bahwa kendatipun hadits-hadits tersebut kata-katanya hanya menyebutkan orang yang lupa dan tertidur, namun hadits-hadits tersebut sebagai jawaban dari pertanyaan tentang dosa meninggalkan shalat karena terlupa dan tertidur, yang berarti orang yang bersengaja lebih utama mengqadha shalatnya, karena dosanya adalah lebih besar lagi.
Dikatakan kalau kedua hadits itu hanya mencakup orang yang tidak bersengaja saja, maka pengertian yang seperti ini sangat bertentangan dengan hadits yang lain yang menerangkan “bayarlah hak Allah, dan Allah lebih utama dibayar”. Hadits yang terakhir ini dengan jelas mengatakan orang yang bersengaja wajib qadha, yang mana mantuq (isi) hadits itu didahulukan daripada mafhum (pengertian).
Kritik yang kedua dikatakan bahwa di dalam hadits disebutkan qadha itu sebagai kafarah (penghapus), tidak menunjukkan orang yang bersengaja tercakup dalam hadits itu. Karena kafarah hanya berlaku kepada orang yang tidak bersengaja dan juga bagi orang yang lupa dan tersalah.
Kritik ini dijawab bahwa kafarah itu berlaku untuk semua bentuk kelalaian, termasuk sengaja. Hanya disebutkan orang yang tersalah dan terlupa, untuk menekankan bahwa orang yang lupa dan tertidur juga dinamakan lalai, agar terhindar dari mengerjakan yang lebih besar lagi. Karena itu disebutkan qadha shalat bagi orang yang lupa dan tertidur sebagai kafarah, yang berarti dosanya tidak mungkin hilang saja, melainkan mengqadha.
Kritik ketiga dikatakan bahwa Nabi mengqadha shalat Ashar karena lupa dan tidak bersengaja. Seorang Nabi tidaklah pantas meninggalkan shalat bersengaja, karena sengaja mengakibatkan dosa, sedang Nabi terpelihara dari dosa. Karena itu, kebolehan mengqadha hanya berlaku bagi orang yang tidak bersengaja, tidak termasuk orang yang bersengaja.
Kritik ini dijawab, bahwa pada lahirnya, Nabi meninggalkan shalat karena kesibukan menghadapi peperangan seperti yang diriwayatkan oleh al-Nasa’i dari Abu Said, dan peristiwa ini terjadi sebelum diturunkan ayat yang memperbolehkan shalat khauf. Jadi, pada waktu itu, shalat yang ditinggalkan karena sengaja, karena tidak dapat melaksanakannya, dan meninggalkan shalat dalam suasana yang seperti itu tidaklah termasuk dosa, karena ada alasan.
Kritik yang keempat yang ditujukan kepada hadits Ibnu Abbas, dikatakan bahwa pengertian hadits itu umum, ini tidak dapat diterima. Karena adanya hadits-hadits lain yang memberikan pengecualian ialah orang yang bersengaja.
Kritik ini dijawab, seperti dalam jawaban terdahulu ialah mantuq hadits lebih diutamakan dari mafhum, karena itu tidak ada pengecualian dari hadits-hadits itu, yang berarti orang yang bersengaja pun termasuk di dalamnya.
Adapun kritik yang dikemukakan oleh pendapat pertama terhadap dalil pendapat kedua, bahwa ayat yang pertama yang menerangkan ancaman bagi orang-orang kafir yang shalat dengan secara riya, dan kata lupa dimaksudkan tidak beriman, bukan melambatkan waktu shalat dengan bersengaja. Dan dalam ayat kedua ditujukan kepada orang yang kafir yang meninggalkan shalat dan mengikuti hawa-nafsunya. Seandainya kedua ayat itu mencakup juga orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, namun ancaman itu hanya bagi mereka yang meninggalkan shalat bersengaja tanpa alasan, dan sekalipun demikian tidaklah menghilangkan tugas mereka untuk mengqadlanya dengan dalil hadits Ibnu Abbas.
Kritik yang ditujukan kepada dalil al-Qur’an yang ketiga, mereka kemukakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa alasan termasuk orang yang melanggar hukum Allah dan menganiaya dirinya sendiri. Kendatipun demikian, tugas mengqadha shalat tidaklah terhapus. Dosa karena melalaikan shalat lain dari dosa meninggalkan shalat, yang hanya dapat ditebus dengan qadha.
Adapun pendapat mereka yang mengatakan bahwa shalat sebelum waktunya sama saja dengan shalat sesudah lewat waktunya. Pendapat ini tidak dapat diterima, karena shalat sebelum waktunya jatuh sebelum diperintahkan, sedang shalat sesudah lewat waktunya adalah jatuh sesudah diperintahkan yang merupakan tugas yang wajib ditunaikan.
Kritik terhadap dalil yang mengatakan qadha bagi orang yang bersengaja tidak ada dalilnya, ini pun tidak dapat diterima. Karena ada dalil-dalil seperti yang telah dikemukakan ialah kedua hadits Ibnu Abbas yang terakhir.
Bertitik tolak pada uraian di atas penulis mendukung pendapat mazhab Syafi’i yang mewajibkan qadha terhadap shalat yang ditinggal dengan sengaja. Alasannya karena dengan diberinya kesempatan seseorang mengqadha shalat yang ditinggal dengan sengaja maka akan menghapuskan rasa putus asa. Orang akan optimis bahwa dosa dalam hubungan vertikal itu ada kemungkinan diampuni. Sedangkan paham yang tidak membolehkan qadha cenderung berdampak negatif yaitu munculnya kesan bahwa shalat yang ditinggalkan cukup taubat saja tanpa harus mengganti. Ini akan berakibat meremehkan peran dan fungsi shalat sehingga dengan mudah meninggalkan shalat tanpa beban.
Alasan lainnya bahwa pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah pendapat yang pertama, yang mewajibkan qadha bagi orang yang bersengaja. Karena itu Imam Nawawi berkata “telah ijma ulama mengatakan bahwa mereka yang meninggalkan shalat bersengaja wajib mengqadha shalatnya.”

[1] Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nail al–Autar Min Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar al-Qutub al-Ilmiah, 1973, hlm. 26.
[2] Al-Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad-Dahak as-Salmi at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931, hlm. 30. Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Op. Cit., hlm. 28.
[3] Ibid., hlm. 26
[4] Ibid, hlm. 153.
[5] Ibid, hlm. 152




















































TANDA DAN SIFAT SHALAT KHUSYU’

images (56)
Beberapa tanda-tanda seseorang yang khusyu yaitu:[1]
1) Gemetarnya hati
Yaitu ketika mendengar ayat-ayat Allah, sifat-sifat-Nya, keagungan-Nya, Kekuasaan-Nya, dengan spontan timbul rasa takut dalam hatinya. Besarnya rasa takut ini kemudian berakibat hatinya gemetar. Inilah tanda-tanda orang mukmin yang sejati.
Maksud dari hati gemetar di atas, bukan berarti takut, stres, deg-degan, atau hal-hal yang bersifat negatif. Melainkan begitu dekatnya hati kepada Allah SWT, sehingga ketika melihat, mendengar dan merasakan segala kekuasaan Allah, hati akan terasa kecil dan hina. Hal ini akan dapat mendorong hati untuk lebih dekat, akrab, hangat dalam mendekatkan diri pada Tuhannya.
2) Reaksi fisik
Perasaan khusyu’ pada diri seorang hamba yang beriman bisa membuat adanya reaksi fisik tertentu, seperti kulitnya merinding. Perasaan merinding juga dikarenakan hati terasa begitu dekat pada Allah SWT.
3) Tangisan
Ekspresi kekhusyu’an seorang hamba dengan tangisan atau cucuran air mata, nampaknya bisa menambah kedekatan hamba kepada Tuhannya. Hal inilah yang dicatat dalam Al-Qur’an surat al-Isra ayat 109 sebagai berikut,
و يخرون للأذقان يبكون و يزيدهم خشوعا
Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu.
Ekspresi kekhusyu’an dengan tangisan di atas, merupakan suatu penghayatan dari hati dalam bertutur kata, bersikap, bertingkah laku selama hidup. Semuanya itu dipertaruhkan dihadapan Allah, oleh sebab itu seseorang akan merasa hina dihadapan-Nya, karena hanya Allah lah yang paling sempurna.
4) Ketenangan.
Kekhusyu’an seorang hamba dapat dilihat dari fisiknya yang tenang dan jiwanya yang tenang dalam beribadah. Ketenangan tersebut merupakan keikhlasan seseorang dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.
Shalat merupakan ibadah yang paling fundamental dalam Islam. Ia bukan sekadar kewajiban bagi setiap Muslim, tetapi (seharusnya) merupakan kebutuhan manusia secara spiritualitas. Shalat berasal dari kata shalla-yushalli-shalat-shilat, yang berarti hubungan. Dalam konteks sufisme, shalat berarti adanya keterjalinan atau hubungan vertikal antara makhluk dan Khalik, antara hamba dan Tuhannya. Shalat merupakan wahana untuk mendekatkan diri pada Tuhan, ber-taqarrub kepada Allah SWT, penguasa jagat raya ini. Oleh karena itu, seorang Mukmin yang benar-benar shalat, jiwanya tenang dan pikirannya lapang.[2]
Rasa khusyu’ dalam shalat tidak hanya di lakukan dalam hati saja, tetapi seluruh aktivitas fisik ketika shalat pun harus betul-betul mengekspresikan hati yang khusyu’. Karena, khusyu’ tidaknya anggota badan bisa mempengaruhi rasa kekhusyu’an hati. Bahkan khusyu dan tidaknya hati seseorang ketika melaksanakan shalat, bisa dilihat dari anggota badannya. Misalnya orang yang memainkan jenggotnya ketika shalat, itu adalah salah satu bukti keterkaitan antara hati dengan anggota badan.[3]
Keterangan-keterangan lain yang menguatkan bahwa rasa khusyu’nya hati akan dipengaruhi sikap tenangnya anggota badan ketika melaksanakan shalat, bisa dilihat dalam surat al-Mukminun ayat 1-2, Ayat ini berbunyi:
قد أفلح المؤمنون الذين هم في صلاتهم خاشعون
Beruntunglah orang-orang yang beriman (mukmin), yaitu mereka yang khusyu’ dalam shalatnya.
Kesimpulan maksud khusyu’ dalam ayat di atas, bisa kita lihat pada penjelasan Ibnu ‘Abbas. Ia menjelaskan bahwa yang di maksud dengan khusyu’ pada ayat di atas mencakup dua aspek: pertama, rasa takut dan rendah hati dalam hati; kedua, tenangnya seluruh anggota badan (termasuk pandangan matanya).[4]
Meskipun secara batin tidak bisa dipastikan apakah seseorang khusyu’ atau tidak dalam shalatnya, tetapi ini bisa dilihat dari sikap dzahirnya. Dengan sikap dzahir ini, dapat dilihat bahwa seorang sedang shalat dengan khusyu’. Dalam hal ini, al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hilali, menuturkan, bahwa sifat-sifat shalat khusyu di antaranya:
1) Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri saat berdiri sebelum rukuk.
Sikap seperti itu menunjukkan bahwa shalat seseorang khusyu’. Tindakan seperti itu menunjukkan ketundukan dihadapan Allah Swt.
2) Seluruh anggota tubuh (fisik) thumakninah (tenang) dalam setiap gerakan.
Sikap yang tenang dalam shalat mengandung arti bahwa setiap gerakan shalat dilakukan dengan tidak terburu-buru. Semua gerakan shalat dilakukan dengan sempurna. Karena dengan ketenangan akan mudah untuk mendapatkan rasa khusyu’.
3) Hati menghadap hanya kepada Allah Swt tidak kepada selain-Nya Hal ini dapat dipahami dengan dua keadaan:
Pertama, hati tidak berpaling kepada Allah Swt, dan mengosongkan hati dari semua hal selain aktivitas shalat.
Kedua, hati dan penglihatan mata tidak berpaling ke kanan dan ke kiri. Pandangan mata tertuju ketempat sujud, sedang hati menghadap kepada Allah Swt.
4) Rukuk, dengan menunjukkan ketundukan dan kepatuhan disertai dengan ketundukan hati kepada Allah Swt.
5) Sujud dengan menundukkan kepala sejajar dengan bumi sebagai bukti ketaatan dan kepatuhan.
Ketika seseorang yang shalat merendahkan kepala yang menjadi anggota badan paling mulia dan sejajar dengan kaki serta muka mencium bumi, pada saat itulah manusia harus menyadari bahwa ia sangat hina dan tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kekuasaan dan keagungan Allah Swt. Lebih dalam lagi, manusia harus menyadari juga bahwa dulu ia diciptakan Allah dari tanah, maka ia pun akan kembali dikubur dalam tanah.
6) Mensifati Allah dengan sifat yang agung.
Selain dengan sikap rukuk dan sujud, kekhusyu’an seorang hamba kepada Allah disempurnakan dengan ungkapan pujian yang menunjukkan kemuliaan, kebesaran, keagungan, dan ketinggian sifat-sifat-Nya.[5]
Dengan demikian segala aktivitas yang dilakukan dalam ibadah shalat tidak ada yang sia-sia. Namun mengandung makna dan manfaat terhadap jasmani dan rohani untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

[1] Abdullah Syafi’i dan Juhdi Rifai, Op. Cit., hlm. 45
[2] Forum Suara Muslim, Hakikat Shalat, http://www.googl.com. hlm,1.
[3] Abdullah Syafi’i dan Juhdi Rifai, Meraih Nikmat Shalat Khusyu’, (Jakarta: Alifbata, 2006), hlm. 53
[4] Ibid., hlm. 54
[5] Ibid., hlm, 55-63





































DASAR CINTA

images (71)
Dalam kebudayaan modern berkembang pemahaman bahwa bersikap egois (mementingkan diri sendiri) adalah sebuah sikap yang harus dihindari. Berfikir egois adalah sebuah dosa. Sebaliknya, mencintai orang lain adalah tindakan mulia. Tentu saja, pengertian ini menjadi kontradiktif dalam praktik kehidupan masyarakat modern, yang lebih didominasi pemahaman perlunya mementingkan diri sendiri; dan kendali imperatif ini juga berarti melakukan yang terbaik untuk kebaikan umum.
Eksistensi dari tipe yang terakhir tidak dipengaruhi eksistensi tipe pertama, yang secar terus menerus menyakinkan kita bahwa egoism adalah dosa besar dan mencintai orang lain adalah kebajikan. Mementingkan diri sendiri, yang sering digunakan dalam terminologi ini, diartikan sama dengan mencintai diri sendiri.[1]
Karena ajaran cinta memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Al-Qur’an maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsurkebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.[2]
Semisal tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 165;
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
Dan dalam hadist disebutkan sebagai berikut;
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.”[3]
Sedangkan secara filosofis cinta Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya. Yang pertama cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak). Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal.Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.[4]
Kedua cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan. Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut. Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang.
Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud. Ketiga manusia tentu mencintai dirinya. Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yang dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Al-Qur’an sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Dari term-term cinta yang ditampilkan Al-Qur’an justru bersifat dinamis dan menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Al-Qur’an hampir selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial.

[1] Erich Fromm, Cinta Seksualitas Matriarki Gender, Jalasutra, Yogyakarta, 2002, hal. 235
[2] Lihat kajian tentang sumber-sumber tasawuf dan tudingan para orientalis, misalnya, dalam Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 22-34.
[3] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), juz 1, hal. 14.
[4] Lihat, penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha, dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt), juz 4, hal. 296-300















SALAT TANPA WUDHU DAN TAYAMUM

images (78)
Bila tidak ada yang dapat menyucikan, yaitu air dan tanah, seperti orang yang berada dalam tahanan yang tidak tersedia di dalamnya, dan tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan tayammum atau karena sakit yang tidak bisa berwudhu dan tidak bisa bertayammum, atau tidak ada seseorang yang mewudhukannya atau mentayammumkannya; apakah ia diwajibkan salat dalam keadaan tidak suci? Dan kalau berdasarkan ketentuan wajibnya salat, lalu ia salat, tetapi apakah wajib mengulanginya lagi setelah mampu (bisa) bersuci?
Menurut mazhab Maliki: gugurlah kewajiban melaksanakan salat maupun qadha'nya. Hanafi dan Syafi'i: pernah untuk melaksanakan dan menggantinya itu tidak gugur. Artinya melaksanakannya, menurut Hanafi adalah ia harus melaksanakan seperti orang yang salat. Sedangkan menurut Syafi'i: la wajib salat yang sebenar-benarnya. Maka kalau udzurnya telah hilang, ia wajib mengulanginya lagi sebagaimana yang dituntut syara'.
Menurut sebagian besar Imamiyah bahwa kewajiban melaksanakan itu gugur, tetapi wajib menqadha'nya (menggantinya). Mazhab Hambali: bahkan diwajibkan melaksanakannya, dan gugurlah kewajiban menqadha'nya.[1]
Uraian yang lebih jelas dan rinci dari pandangan berbagai mazhab dapat ditemukan dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, karya Abd al-Rahman al-Jaziri. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa,
a. Madzhab Hanafi
Mereka berpendapat bahwa orang yang tidak mendapatkan dua perabot bersuci yaitu air dan debu suci atau sebagainya, maka ia salat ketika telah memasuki waktu salat. Salat ini hanya rupa (shurah)-nya saja yaitu dengan sujud kemudian kembali menghadap kiblat tanpa bacaan, tasbih, tasyahhud dan sebagainya. Juga tidak dengan niat salat, baik ia dalam keadaan junub atau hadats kecil. Salat yang hanya rupanya saja ini tidak menggugurkan fardhu, melainkan yang fardhu itu tetap menjadi tanggungannya sampai ia mendapatkan air untuk wudhu atau debu suci yang dapat dipakai untuk tayammum. Jadi orang yang tidak mendapatkan dua perabot bersuci boleh mengerjakan salat yang hanya dalam rupanya saja walaupun ia dalam keadaan junub.[2]
b. Mazhab Maliki
Mereka berpendapat bahwa orang yang tidak mendapatkan dua perabot bersuci yaitu air dan debu suci, maka gugur kewajiban salatnya. Ini berpegang pada pendapat yang muktamad, sehingga tidak perlu mengerjakan salat dan tidak perlu qadha. Kemungkinan dalam hal ini mereka berpegang pada hadits :
لا يقبل الله صلاة بغير طهور
Allah tidak menerima salat tanpa bersuci.
Akan tetapi, dalam hadits ini tidak ada yang menunjukkan adanya pengulangan dan golongan Hanafi tidak mengatakan bahwa salat tanpa suci itu dapat diterima, melainkan mereka mengatakan bahwa salat itu harus diulangi.
c. Madzhab Syafi'i
Mereka berpendapat bahwa orang yang tidak mendapatkan air atau tidak mendapatkan debu yang suci atau tidak mampu menggunakan air dan debu, dan ada kalanya ia dalam keadaan junub atau hadats kecil, maka ia tetap mengerjakan salat dengan sebenarnya. Akan tetapi ia hanya meringkas dengan bacaan al-Fatihah saja dan wajib mengulangi salatnya apabila lelah mendapatkan air. Apabila orang junub mendapatkan air, maka ia wajib mandi dan wudhu kemudian mengulangi salatnya apabila telah mendapatkan air.
Apabila orang junub mendapatkan air, maka ia wajib mandi dan wudhu kemudian mengulangi salat yang dikerjakan tanpa wudhu dan tanpa tayammum. Apabila orang yang dalam keadaan hadats kecil mendapatkan air, maka ia wajib wudhu dan mengulangi salatnya. Sedangkan apabila salah satu di antara dua orang, yaitu orang yang junub dan berhadats kecil mendapatkan debu yang suci atau lainnya; yang dapat digunakan tayammum, maka ia tetap tidak boleh bertayammum untuk mengulangi salatnya yang dikerjakan tanpa wudhu dan tanpa tayammum. Kecuali kuat dugaannya bahwa ia berada pada tempat yang tidak terdapat air atau sama dugaannya antara ada air dan tidak ada air tanpa diunggulkan salah satunya.
d. Madzhab Hambali[3]
Mereka berpendapat bahwa orang yang tidak mendapatkan dua perabot bersuci, ia tetap salat dengan sebenarnya dan tidak perlu mengulangi. Hanya saja wajib meringkas yang fardhu-fardhu saja dan syarat-syarat yang menjadikan sah salatnya.
Imam Taqiyuddin menjelaskan:
Andaikata orang itu tidak menemukan air dan tidak menemukan tanah, ia wajib salat karena memuliakan waktu dan wajib mengulangi salatnya sesudah menemukan air. Salatnya tetap dikatakan sah. Jadi kalau orang itu menemukan air, wajib menghutangi salatnya. Jika orang itu menemukan tanah, apakah dia wajib mengulangi salatnya? Dilihat dulu. Jika tanah itu ditemukan di tempat yang boleh menggugurkan qadha', wajib mengulangi salat. Jika tidak, maka tidak wajib mengulanginya. Sebab tidak ada gunanya salat dengan tayammum, salat itu wajib diulangi. Malah menurut kata sebagian Ulama, tidak boleh diqadha.[4]
Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf dalam kitabnya menegaskan, “barang siapa tidak mendapatkan air maupun tanah, maka hendaklah ia kerjakan salat fardu sajadan kemudian mengulanginya lagi bila ia telah mendapatkan salah satu dari keduanya.”[5]
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa sebagian besar ulama berpendapat orang yang hendak mengerjakan salat fardu dalam kondisi tidak ada air dan tanah untuk tayamum maka orang tersebut wajib menunaikan salat, namun ia wajib mengulangi bila kemudian ada air atau tanah.

[1] Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, Fiqih Lima Mazhab,Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 66
[2] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1972, juz 1, hlm. 166
[3] Ibid, hlm. 168-169. Pandangan berbagai mazhab ini dapat dilihat juga dalam Ahmad Abd Madjid, Masa'il Fiqhiyyah: Mambahas Masalah-Masalah Fiqh yang Aktual, Jatim: Garoeda Buana, 1991, hlm. 133
[4] Imam Taqiyuddin Abu Bakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah al-Akhyar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 63.
[5] Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Al-Tanbih Fi Fiqh asy Syafi'i, Terj. Hafid Abdullah, Kunci Fiqih Syafi'i, Semarang: CV.Asy Syifa, 1992, hlm. 13.
























WUDHU SEBAGAI SYARAT SAH DAN KESEMPURNAAN SHALAT

images (73)
Wudhu merupakan suatu syarat untuk melaksanakan shalat, didalamnya terdapat nilai pendidikan, wudhu juga merupakan perantara langsung untuk mengerjakan shalat. Tidak sah shalat seseorang tanpa berwudhu terlebih dahulu. Berwudhu dilakukan dengan cara membasuh anggota-anggota tertentu dari tubuh seseorang sehingga menjadi suci dari hadats.[1]
Allah hanya menerima shalat yang dikerjakan oleh mereka yang suci dari hadats. Karenanya, Allah Swt. tidak menerima shalat mereka yang sedang berhadats (yang dikerjakan dalam keadaan berhadats).[2] Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda :
قال النبي صلى الله عليه و سلم لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ
Nabi Saw. Berasabda: Allah tidak menerima shalat salah seorang kamu apabila ia berhadats, sehingga ia berwudhu.” (Al Lu’lu-u wal Marjan 1:62).[3]
Wudhu sering tidak mendapat perhatian serius dalam setiap mau melaksanakan ibadah. Syariat wudhu mudah dilakukan dan sangat sederhana. Di mulai dari membasuh muka, tangan, telinga, mengusap rambut, dan membasuh kaki. Apalagi sering kali keadaan yang dibasuh sudah bersih dari najis, sehingga tidaklah terlalu susah membasuh semua bagian tubuh ini. Padahal wudhu adalah ibadah dzikir yang merupakan pembersih jiwa, yang dimulai dari sisi paling luar (fisik) sampai dalam rohaninya.[4]
Dengan demikian, kesempurnaan shalat sangat tergantung kepada kesempurnaan wudhunya, karena shalat seseorang tidak akan sah jika wudhunya sendiri tidak sah. Shalat tidak akan sempurna jika wudhunya tidak sempurna. Jika wudhunya tidak dalam keadaan ingat Allah (lalai) maka wudhunya tidak diterima oleh Allah. Ketika berwudhu hendaknya kita melakukan peribadatan seperti melakukan shalat, karena wudhu merupakan proses pembersihan jiwa. Cara ini ditempuh dalam rangka mempersiapkan diri menghadap Allah Swt.
Wudhu merupakan proses ibadah yang dipersiapkan untuk membersihkan jiwa agar mampu melakukan komunikasi dengan Allah Swt. Abu Sangkan memberi makna dalam setiap aktivitas berwudhu antara lain:
1. Membasuh Tangan
Membasuh tangan sambil merasakan aliran air yang lembut menyentuh syaraf-syaraf tangan. Air yang mengalir lembut dengan suhu dingin memberikan rasa segar dan menenangkan pikiran, apalagi disaat tubuh terasa lelah dan suhubadan meninggi. Ketika merasakan sentuhan air, maka pikiran akan bersatu dengan aliran air yang menyebabkan pikiran beristirahat. Melakukan wudhu dengan dalam keadaan benar-benar merasa santai, suasana seperti inilah saat yang paling tepat untuk mengarahkan jiwa dengan niat mengingat Allah untuk membersihkan diri.
Dalam berwudhu, disamping melakukan relaksasi dengan terapi air, pengendoran ruhani jauhlebih penting. Pengendoran ruhani bisa terjadi hanya dengan menyerahkan diri kepada Allah. Dengan menyebut nama Allah, lalu membiarkan ruh menghampiri Allah untuk memohon dibersihkan jiwanya, dilanjutkan dengan merasakan sentuhan Allah mengalirkan rasa sejuk kedalam batin kita.[5] Dengan demikian jiwa akan terasa sejuk dan terang.
2. Mencuci Mulut
Mulut adalah organ yang paling penting untuk dibersihkan. Ditempat inilah segala makanan dikunyah. Sisa-sisa makanan yang tertinggal disela-sela gigi akan merangsang pertumbuhan kuman-kuman yang merusak kesehatan mulut kita. Namun demikian kesehatan mulut saja tidaklah cukup. Yang lebih penting adalah kesehatan ruhani, karena mulut memiliki potensi untuk menyakiti orang lain.
Pepatah mengatakan lidah memang tidak bertulang tetapi bahayanya melebihi tajamnya pedang. Untuk itu perlunya membersihkan mulut kita selain dapat menyehatkan jasmani yaitu bersih dan sucinya mulut, juga secara ruhani dapat mencegah mulut dari perkataan yang dapat menyakiti orang lain.
3. Mencuci Lubang Hidung
Bulu-bulu yang tumbuh didinding lubang hidung tidak cukup mampu untuk menyaring kotoran-kotoran udara yang penuh polusi, termasuk bibit kuman yang ikut berterbangan. Dengan sering membersihkan kotoran-kotoran tersebut, hidung akan bersih dan pernafasan akan lebih lancar sehingga baik untuk kesehatan pada paru-paru. Dari sisi psikologis dapat menjadikan pernafasan lancar, dan ketika pernafasan lancar, maka dapat memperoleh ketenangan dalam melaksanakan ibadah.
4. Mencuci Muka
Mencuci muka dilakukan dengan membasuh seluruh wajah secara perlahan-lahan dan hati-hati dengan kedua tangan sambil memijat lembut. Dengan diulangi beberapa kali sampai muka terasa tidak tegang. Membasuh muka akan dapat membuat wajah terasa bersih dan segar. Juga bermanfaat untuk melancarkan peredaran darah. Di saat membasuh muka, disertai dengan merasakan kesegaran air sambil dzikir kepada Allah agar muka mendapatkan getaran ilahi, yang membuat wajah semakin berseri dan lembut.
5. Membasuh Tangan dan Siku
Membasuh tangan dan siku bisa dilakukan dengan membenamkan kedua bagian tubuh dengan aliran air sambil menggosok-gosoknya sampai rata. Smedley, seorang ahli terapi, mengatakan bahwa membasuh tangan dan siku sangat bermanfaat untuk mengatasi kondisi pembengkakan di daerah tangan lengan dan bahu, disamping akan memulihkan fisik yang kelelahan.
6. Membasuh Kepala
Membasuh kepala dapat menurunkan ketegangan-ketegangan dan berfungsi juga untuk menurunkan suhu badan. Caranya membasuh dengan air sampai merata keseluruh kepala atau sebagian saja. Yang terasa akan segar kembali sehingga pikiran menjadi jernih.
Apabila ini dilakukan dengan sempurna dan diniatkan untuk terapi pikiran, maka membasuh kepala sangat baik untuk menghindari penyakit stress dan tekanan darah tinggi, serta melancarkan aliran darah ke otak dan berpusat sebagai penguat pusat-pusat syaraf.
Otaklah yang mengatur suhu badan, tekanan darah, keseimbangan kadar kimiawi oksigen dan oksida karbon dalam darah, serta kadar berbagai zat kimia yang dikirim oleh seluruh organ tubuh. Arus informasi dari semua bagian tubuh mengalir ke otak. Otak bertindak sebagai komputer yang mengatur seluruh pergerakan dan segala sesuatunya keseluruh tubuh.
Menyapukan air ke kepala berarti membasuh kulit kepala yang berhubungan langsung dengan pernafasan lewat pori-pori. Secara psikologis, air mempunyai efek menenteramkan pikiran dan jiwa, sehingga di saat akan melakukan shalat pikiran kita sudah siap menerima segala sesuatu yang disalurkan melalui getaran-getaran.
Hanya kepada hati dan pikiran yang jernihlah ilham diturunkan oleh Allah Swt. Disaat membasuh kepala, juga membasuh batin yang ada di dalam kepala dengan berdzikir kepada Allah agar pikiran dibersihkan oleh Allah dan digantikan dengan pimiran-pikiran ilahiyah yang akan menjadi saluran kehendak-Nya.
7. Mengusap Telinga
Pada saat marah atau tegang, terasa kedua telinga menjadi panas dan memerah. Hal ini akan hilang dan ketegangan akan menurun apabila di cuci dengan air. Lebih baik lagi dengan memijit-mijit, karena di area ini terdapat titik-titik syaraf yang berhubungan dengan organ-organ yang lainnya dapat dibangkitkan sehingga aliran darah yang tersumbat akan kembali lancar. Pijatan di telinga sebagai terapi dapat pula menurunkan emosi.
Menurut Prof. Hembing, telinga terdiri dua satuan fungsional, yaitu sebagai alat pendengaran dan sebagai bagian dari sistem keseimbangan tubuh. Dengan membersihkan telinga setiap saat, akan menghasilkan rasa lebih sensitif terhadap getaran suara yang ditangkap oleh sel-sel pendengaran yang berbentuk rambut-rambut halus. Bahkan jika dilakukan dengan benar, getaran gelombang suara akan tertangkap dengan baik.[6] Tetapi hal ini sulit dilakukan ketika jiwa tidak dalam keadaan tenang, hanya dengan melatih jiwa berdzikir mengingat kepada Allahlah kehalusan rasa kita akan tercapai.
8. Membasuh Kaki
Membasuh kaki dilakukan dengan merendamkan atau mengguyurkan air ke seluruh kaki setinggi lutut. Membasuh kaki dapat melancarkan aliran darah dan berfungsi untuk meguatkan kaki.
Membasuh kaki juga mempunyai efek menenangkan dan membuat tidur lebih nyenyak. Yaitu melakukannya dengan serius sambil membersihkan sela-sela jari-jari kaki dan menyentuhnya dengan lembut ke seluruh bagian tubuh dengan sempurna.[7] Melakukan wudhu merupakan proses pembersihan lahir dan batin. Air membersihkan lahir sedangkan dzikir membersihkan bhatin.
Dengan demikian persiapan perjalanan ruhani menuju Allah menjadi sempurna. Dengan berwudhu pula dapat menyempurnakan ibadah shalat, juga dapat memberikan ketenangan jiwa.

[1] Syaikh Abbas Kaararah, Shalat Menurut Empat Madzhab, (Jakarta: Pustaka Azam, 2003), hlm. 33
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Mutiara Hadits 2 “Thaharah dan Shalat”, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), hlm. 3
[3] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al –Lu’lu Wal Marjan “Koleksi Hadits yang Disepakati oleh Buchori dan Muslim”, (Semarang: Al-Ridha, 1993). Hlm. 20
[4] Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, (Jakarta: PT.Patrap Thursina Sejati, 2007), hlm. 62
[5] Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, op.cit, hlm 274
[6] Prof. HM Hembing Wijayakusuma, Hikmah Shalat untuk Pengobatan, (dalam Abu Sangkan, Pelatihan Shalat Khusyu’), Pustaka Kartini, 1994
[7] Abu Sangkan, op.cit., hlm 71-76






































KETENANGAN JIWA

ikan
Jiwa merupakan prinsip hidup, perasaan, pikiran yang bergerak dalam diri manusia. Substansi immaterial yang selalu ada dan yang menghidupkan organisme, totalitas proses mental : pengalaman non rasional.[1] Jiwa ialah roh manusia (yang ada di dalam tubuh dan menjadikankan seseorang hidup). Jiwa juga diartikan seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan).[2]
Secara harfiah kata “An Nafs” adalah esensi, hakikat atau realitas sesuatu. Dalam terminologi Aristotelian, sesuatu yang wujud di sebut An-Nafs (jiwa), apakah itu An Nafs yang bersifat hewani (Jasad/jisim) atau An Nafs yang bersifat abstrak. Dalam terminologi etika, An Nafs berarti hayalan atau angan palsu dari ego manusia yang terpisah dan independen. Kata ini juga di sebut jiwa jasmani atau hawa nafsu.[3]
An Nafs itu sendiri artinya diri. Namun, banyak orang memberikan pengertian bermacam-macam, sehingga sulit sekali untuk menetapkan arti An Nafs itu sendiri. Terkadang terjadi kerancuan memberikan nama istilah seperti istilah nyawa, roh, jiwa, nafsu, qalbu dll. Di mana yang seharusnya sebutan tersebut untuk sifat sesuatu, ternyata seakan-akan sifat itu sendiri sebagai oknum (nafs). Misalnya kata qalb, seakan qalbu itu sesuatu yang berdiri sendiri sebagai oknum, padahal qalbu itu artinya sifat yang gamang atau bolak balik, naik turun, maju mundur atau sebagai karakter yang tidak tetap (labil).
Sifat labil yaitu sifat yang mengalami pasang surut seperti gelisah, terkadang juga tenang, berbahagia, sedih, menangis lalu sesaat kemudian tertawa. Hal yang sama terjadi dalam ketaatan dan penolakan terhadap sesuatu. An Nafs yang berbuat demikian itu dinamakan qalbu. Maka dari itu kita sepakat dalam penjelasan mengenai jiwa kadang juga menggunakan istilah “hati” (qalb) untuk menunjukan perbuatan jiwa tersebut. Jiwa itu sebagai wujud atau dirinya, sedangkan hati (qalb) adalah sifat dari jiwa (An Nafs).[4]
Seperti ketika kita menamai “manusia” yang suka korup maka kita menjulukinya sebagai koruptor. Terkadang kita tidak menggunakan sebutan diri manusianya, cukup mengatakannya dengan sebutan pencuri. Demikian juga bahasa Al-Qur’an di dalam menyebutkan istilah jiwa (nafs) terkadang Allah menyebutnya cukup sifatnya saja yaitu Qalb (hati). Allah berfirman :
و ما أبرئ نفسي إنّ النفس لأمّارة بالسوء إلاّ ما رحم ربّي إنّ ربّي غفور رحيم
Dan aku tidak membebaskan diriku (nafs) dari kesalahan. Sesungguhnya An Nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan. (QS. Yusuf 12:53).
Allah berfirman :
و لا أقسم بالنفس اللوّامة
Dan aku bersumpah dengan an nafs (jiwa) yang amat menyesali (diri sendiri). (QS. Al-Qiyamah, 75:2).
Allah berfirman :
يآيها النفس المطمئنة
Wahai jiwa yang tenang.(QS. Al-Fajr, 89:27).
Ketiga ayat di atas menunjukkan bahwa An Nafs itu artinya diri. Nafs Ammarah bissu’ (diri yang buruk), kemudian Nafs Lawwamah (diri yang menyesal), dan An Nafs Muthmainnah (diri yang tenang). Semua sifat itu terdapat pada diri (An Nafs). Diri yang labil dengan kecenderungan terhadap sifat-sifat itulah yang dinamakan qalb (diri) yang terombang-ambing, sedangkan Allah memanggil kepada diri yang tenang dan jernih (Muthmainnah) dalam firman-Nya:
يآيها النفس المطمئنة إرجعي الى ربكِ راضية مرضية
Wahai diri (jiwa/nafs )yang tenang datanglah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai oleh-Nya. (QS. Al Fajr, 89: 27-28).
Dengan demikian Al Qur’an memberikan penjelasan, bahwa sungguh beruntung orang yang membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang tidak baik agar tidak diombang-ambingkan oleh sifat-sifat tersebut, sehingga menjadi diri yang muthmainnah. Diri yang muthmainnah adalah diri yang selalu mendapatkan ilham ketaqwaan yang mendorong kepada perbuatan baik dan ikhsan. Firman Allah :
قد أفلح من زكّاها و قد خاب من دسّاها
Sesungguhnya beruntunglah yang mensucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy Syams, 91: 9-10 ).
Jiwa manusia terdapat potensi keagamaan yang secara fitrah berasal dari Allah. Akan tetapi potensi itu tidak akan bisa muncul apabila dibiarkan begitu saja tanpa adanya usaha untuk mengembalikan fitrah itu dengan jalan membersihkannya, yaitu dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah untuk memperoleh pencerahan dan bimbingan-Nya.[5] Firman Allah:
و الذين جاهدوا فينا لنهدينّهم سبلنا و إنّ الله لمع المحسنين
Dan mereka yang berjuang dan bersungguh-sungguh datang kepada kami, kami pasti akan menunjuki jalan-jalan kami. (QS. Al Ankabut, 29: 69).
Kebanyakan ahli agama, terutama yang yang memperhatikan masalah akhlak kepada Allah, berpendapat bahwa hati manusia merupakan kunci pokok pembahasan menuju pengetahuan tentang Allah. Hati juga berperan sebagai pintu dan sarana Allah memperkenalkan kesempurnaan diri-Nya. Hanya melalui hati manusialah keseimbangan sejati dengan Tuhan bisa dicapai.
Makna dasar kata qalb secara harfiah (bahasa) ialah membalik, kembali, pergi, pergi maju mundur, berubah naik turun. Diambil dari latar belakangnya, hati mempunyai sifat yang selalu berubah, sebab hati adalah tempat dari kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan. Hati adalah tempat di mana Tuhan mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada manusia. Kehadiran-Nya tersasa di dalam hati, dan wahyu maupun ilham diturunkan ke dalam hati para Nabi maupun Wali-Nya.[6] Firman Allah:
و اعلموا أنّ الله يحول بين المرء و قلبه و أنه إليه تحشرون
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membuat batasan antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu sekalian akan dikumpulkan. (QS. Al Anfaal, 8: 24)
Hati adalah pusat pandangan, pemahaman, dan ingatan (zikir). Penegasan pengertian tersebut jelas sekali difirmankan Allah,
أفلم يسيروا في الأرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها او آذان يسمعون بها فإنها لا تعمى الأبصار و لكن تعمى القلوب التي في الصدور
Apakah mereka tidak pernah bepergian di muka bumi ini supaya hatinya tersentak memikirkan kemusnahan itu, atau mengiang di telinganya untuk didengarkan? Sebenarnya yang buta bukan mata, melainkan ‘hati’ yang ada di dalam dada. (QS. Al Hajj, 22: 46).
Allah berfirman :
و لا تطع من أغفلنا قلبه عن ذكرنا و اتّبع هواه و كان أمره فرطا
Janganlah kamu turutkan orang yang hatinya telah kami alpakan dari mengingat kami (zikir), orang yang hanya mengikuti hawa nafsyunya saja, dan keadaan orang itu sudah keterlaluan. (QS. Al Kahfi, 18: 28).
Iman tumbuh dan bersemayam di dalam hati. Tetapi, dalam hati pula tumbuhnya kekafiran, kemungkaran serta penyelewengan dari jalan yang lurus. Oleh sebab itu Allah tetap menegaskan bahwa perilaku ibadah seseorang tidak bisa hanya dilihat dari sekedar syarat dan rukunnya saja, akan tetapi harus sampai kepada pusat iman, yaitu hati. Karena sering dan banyaknya ibadah yang dilakukan, kerap kali bahkan hampir lupa bahwa peribadatan selalu menuntut pemurnian hati (keikhlasan). Padahal kemurnian hati inilah yang akan menghasilkan sesuatu yang haq serta memberi dampak kepada iman secara langsung.
Iman yang benar mempunyai ciri tersendiri dan diakui oleh Al Qur’an. Seseorang akan tertegun, terharu tatkala nama Allah disebut, bahkan akan terdorong ingin melupakan kegembiraan dan kerinduannya dengan menjerit seraya bersujud dan menangis. Bergetar hatinya dan bertambahlah imannya. Seseorang begitu kokoh dan mantap dalam setiap langkahnya karena keihksanan bersama Allah yang selalu dijaga. seseorang akan selalu berbisik ke dalam lubuk hatinya manakala menghadapi persoalan dan kesulitan di dunia, karena di situlah Allah meletakkan ilham sebagai pegangan untuk menentukan sikap, sehingga seseorang beriman akan selalu terjaga dalam hidayah dan bimbingan Allah Swt.
Secara luas, Al Qur’an menggambarkan hati sebagai pusat dari apa yang membuat seorang manusia menjadi manusiawi, pusat dari kepribadian manusia. karena manusia terikat erat dengan Allah, pusat ini merupakan tempat di mana mereka (manusia) bertemu Tuhan. Pertemuan ini merupakan dimensi kognitif dan juga dimensi moral. Karena hati merupakan pusat sejati dari seorang manusia, Tuhan menaruh perhatian khusus kepadanya di samping memperhatikan amalan-amalan aktual yang dilakukan orang-orang. Firman Allah :
و ليس عليكم جناح فيما أخطأتم به و لكن ما تعمّدت قلوبكم
Tidak ada celanya jika berbuat salah, kecuali jika hatimu menyengaja. (QS. Al Akhzab, 33: 5)
Hati adalah tempat yang dilihat Tuhan, ia merupakan kunci menuju kemunafikan, watak yangpaling buruk dalam pandangan muslim. Kita sudah memahami, bahwa penyebab utama dari ketidakmampuan berbuat baik dan kesulitan menjaga dari perbuatan keji dan mingkar serta tidak didengarnya setiap do’a, adalah tertutupnya mata hati dari nur Ilahi. Oleh karena itu, pertama-tama konsentrasikan masalah mengurus hati dulu, jangan mempersoalkan hal yang lain, karena hati sedang “menderita sakit kronis”. Kita harus perhatikan dengan sungguh-sungguh, dan memasrahkan diri kepada Sang Pembuka Hati. Dialah yang menutup hati manusia, membutakan, menulikan, mengunci mati, dan tidak memberikan kefahaman atas ayat-ayat Allah yang turun ke dalam hati.[7] Kedudukan jiwa berada pada dunia yang lebih halus, sebuah dunia yang lebih dekat dengan tuhan.[8] Dimana dengan jiwa kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan, dengan jiwa pula dapat merasakan betapa dekat berada di sisi-Nya.
Jiwa dan roh adalah sama dalam hal penggunaaannya dalam kehidupan rohani orang percaya. Perbedaannya adalah dalam hal acuannya. “Jiwa” adalah pandangan manusia secara horizontal terhadap dunia. “Roh” adalah pandangan manusia secara vertikal dengan Tuhan. Adalah penting untuk memahami bahwa keduanya merujuk pada bagian non-materi dari manusia, namun hanya “roh” yang menunjuk pada kehidupan manusia dengan Tuhan. “Jiwa” menunjuk pada kehidupan manusia dalam dunia, baik secara materi maupun non-materi.[9]
Amin Syukur menjelaskan bahwa Nafs/jiwa bertempat pada roh halus yang bersifat ruhani dan ketuhanan, adapun kedudukan jiwa sendiri tempatnya tidak dapat diketahui tempatnya. Karena jiwa merupakan sesuatu non materi yangtidak bisa dilihat dan diraba. Secara spiritual, jiwa dialiri roh dan bersambung atau bertemu dengan Allah.
Hati merupakan sumber inspirasi akal, ilmu, kesabaran, keberanian, kemuliaan, cinta, kehendak, kerelaan, dan seluruh sifat-sifat yang terpuji. Seluruh anggota badan baik yang tampak maupun yang bersembunyi beserta seluruh kekuatannya, tidak lain hanyalah prajurit hati. Allah swt berfirman :
و لا تقف ما ليس لك به علم إنّ السمع و البصر و الفؤاد كل اولئك كان عنه مسئولا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al Isra’, 17: 36).
Abu Hurairah ra berkata, “Hati adalah raja dan anggota badan sebagai bala tentaranya. Bila rajanya baik, baik pula pasukannya dan bila jahat, maka jahat pula pasukannya”.[10] Jadi hati bersemayam di dalam dada, dilindungi, dikelilingi, dan dilayani oleh seluruh anggota badan yang lain. Hati memiliki fungsi sebagai penggerak dari seluruh anggota tubuh.
Jiwa yang yang sehat dan tenteram ialah qalbu yang himmah (keinginanya) pada sesuatu yang hanya menuju kepada Allah Swt, dengan mencintai sepenuhnya, jiwa raganya untuk Allah, segala bentuk amalan, tidur, bangun, dan bicaranya semata-mata hanya untuk-Nya. Ucapan tentang segala hal yang diridhai Allah lebih disukai dari pada segala pembicaraan yang lain, serta fikiran selalu tertuju kepada kepada apa saja yang diridhai dan dicintai Allah.[11] Dengan demikian, kebahagiaan dan ketenangan adalah bersama Allah.

[1] LPKN, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, LPKN, 1997,hlm. 426
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm. 475
[3] Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, (Jakarta: PT.Patrap Thursina Sejati, 2007), hlm. 63
[4] Ibid., hlm. 64
[5] Ibid., hlm. 65
[6] Ibid., hlm. 66
[7] Ibid., hlm, 75
[8] Robert Frager (Syekh Raghib al-Jerahi), Hati, Diri, Jiwa, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 40
[9] Apa Perbedaan antara Roh dan Jiwa, www.gotquestions.org. hlm. 01
[10] Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (Terjemah oleh Muhammad Babul Ulum), Tombo Ati, (Jakarta: Maghfiroh Pustaka, 2005), hlm. 29
[11] Abu Sangkan, Penyucian Jiwa, www.google.com. hlm 1-3