MAKNA FITRAH MANUSIA

fitrah
Secara etimologis, asal kata fitrah dari bahasa Arab yaitu fitratun jamaknya fitarun, artinya perangai, tabiat, kejadian asli, agama, dan ciptaan. Fitrah juga terambil dari akar kata al-fathira yang berarti belahan. Dari makna ini lahir makna-makna lain, antara lain pencipta atau kejadian.[1]
Ayat-ayat al-Qur' an yang menyebutkan kata fitrah terdapat dalam 17 surat. Di antara ayat yang banyak diperhatikan dalam usaha mencari pengertian fitrah, yaitu QS. al-Rum: 30,
فأقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيّم و لكنّ أكثر الناس لا يعلمون
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.[2] (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Dalam beberapa kitab tafsir terdapat beberapa makna yang beragam, diantaranya ialah, fitrah berarti agama, kejadian; fitrah Allah berarti ciptaan Allah; fitrah berarti ciptaan, kodrat jiwa, dan budi nurani; fitrah berarti mengakui keesaan Allah (al-tauhid);[3] fitrah berarti ikhlas;[4] dan fitrah yang berarti potensi dasar manusia.[5]
Menurut al-Ghazali, makna fitrah adalah dasar manusia sejak lahir. Fitrah menurutnya mempunyai keistimewaan-keistimewaan, yaitu: (a) beriman kepada Allah; (b) mampu dan bersedia menerima kebaikan dan keturunan (dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran); (c) dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya untuk berfikir; (d) dorongan-dorongan biologis berupa syahwat, ghadhab, dan tabiat (instinct); dan (e) kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan.
Berkaitan dengan fitrah manusia, Muthahhari menyatakan:
“…fitrah manusia merupakan bawaan alami. Artinya, ia merupakan suatu yang melekat dalam diri manusia (bawaan), bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha (muktasabah). Fitri mirip dengan kesadaran. Sebab manusia menyadari bahwa dirinya mengetahuai apa yang dia ketahui. Artinya, dalam diri manusia terdapat sekumpulan hal yang bersifat fitrah dan dia tahu betul tentang hal itu”.[6]
Muthahhari membedakan antara naluri dan fitrah. Naluri berkaitan dengan hal-hal yang bersifat fisik, sedangkan fitrah berkaitan dengan masalah-masalah yang disebut dangan urusan kemanusiaan. Dalam diri manusia terdapat kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan yang bersifat pilihan dan berdasarkan kesadaran, dan yang disebut “peri-kemanusiaan” sesungguhnya tak lain adalah kecenderungan-kecenderungan tersebut.
Muthahhari menyusun kecenderungan-kecenderungan tersebut menjadi lima bagian,[7] yaitu:
Pertama, mencari kebenaran. Mencari kebenaran adalah sesuatu yang biasa disebut dengan istilah pengetahuan. Dorongan ini terdapat dalam diri manusia, yaitu dorongan untuk menemukan berbagai hakikat seperti apa adanya. Artinya, manusia ingin memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda dalam keadaan yang sesungguhnya.
Kebenaran adalah sesuatu yang dimaksud dengan istilah hikmah atau falsafah. Manusia tidak cenderung pada filsafat kecuali karena adanya kecenderungan dan dorongan untuk mengetahui dan menalar hakikat berbagai benda, sehingga dapat disebut dengan kesadaran filosofis atau pencarian kebenaran.
Kedua, moral (akhlak). Berpegang pada nilai-nilai moral tergolong pada kategori nilai-nilai utama yang disebut dengan akhlak yang baik. Manusia mempunyai kecenderungan terhadap banyak hal, diantaranya adalah yang bisa memberi manfaat secara fisik kepadanya. Lebih luas, manusia mempunyai kecenderungan itu bukan hanya kerena hal-hal itu bermanfaat baginya, tetapi karena hal-hal itu merupakan suatu keutamaan dan kebajikan, dalam arti ia tergolong sebagai kegiatan spiritual.
Manfaat adalah kebaikan materil, sedangkan keutamaan adalah kebaikan spiritual. Manusia menyukai kejujuran karena ia baik, dan membenci kebohongan karena ia bertentangan dengan kejujuran. Ketergantungan terhadap kejujuran, amanah, ketaqwaan, dan kesucian termasuk ketergantungan terhadap keutamaan.
Ketiga, estetika. Manusia tertarik secara total pada keindahan, baik keindahan dalam ahklak maupun dalam bentuk. Karena itu, manusia selalu berusaha menampilkan keindahan dalam hidupnya Keempat, kreasi dan penciptaan.
Manusia selalu terdorong untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum dibuat orang. Kreatifitas dan daya pikirnya diaktualisasikan dalam bentuk yang berbeda, dalam memenuhi kebutuhan pribadi atau masyarakat.
Kelima, kerinduan dan ibadah. Kategori ini memberikan penjelasan bahwa kerinduan mampu memusatkan perhatian seseorang pada titik yang menjadi pusat perasaan yaitu sesuatu yang dirindukan. Dengan kerinduan tersebut, seseorang dapat memperoleh kondisi “menyatu” dengan orang yang dirindukan.
Kerinduan dapat mengantarkan seseorang pada suatu tingkat yang disitu dia ingin menjadikan ma’syuq (yang dirindukan) sebagai Tuhan (sesuatu yang dipuja) dan dirinya sebagai hamba-Nya. Dengan demikian, dia melihat ma’syuq-nya dengan al-wujud, yakni al-wujud al-mutlaq (yang mutlak ada).
Senada dengan di atas, dalam penjelasan Muhaimin, fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang dibawa sejak lahir dan berpusat pada potensi dasar untuk berkembang. Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh dan menggerakkan seluruh aspek menuju ke arah tujuan tertentu.
Aspek-aspek fitrah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk pendidikan. Adapun komponen-komponen dasar tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, bakat, yaitu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu pada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (profesional) dalam berbagai bidang kehidupan.
Kedua, insting (gharizah), suatu kemampuan berbuat tanpa melalui proses belajar mengajar (dalam psikologi pendidikan disebut kapabilitas).
Ketiga, nafsu dan dorongan-dorongannya, yaitu nafsu lawwamah yang mendorong ke arah perbuatan tercela dan merendahkan orang lain, nafsu amarah yang mendorong ke arah perbuatan yang merusak, nafsu birahi yang mendorong perbuatan seksual dan nafsu muthmainnah (religius) yang mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan.
Keempat, karakter atau tabiat. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral, sosial serta etis seseorang yang terbentuk dari dalam diri manusia.
Kelima, heriditas atau keturunan, merupakan faktor menerima kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri psikologis dan filosofis yang diwariskan orang tuanya, baik dalam garis yang dekat maupun dari garis yang telah jauh.
Keenam, intuisi, kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi ini menggerakkan hati manusia yang membimbingnya ke arah perbuatan dalam situasi khusus di luar kesadaran manusia, namun mengandung makna yang konstruktif.[8]
Filosof Perancis Bergson, memandang intuisi sebagai elemen vital (kekuatan pokok) yang mendorong manusia berfikir dan berbuat. Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih yang terdapat di dalam fitrah manusia (human nature) berpusat pada kemampuan berpikir sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dari yang salah. Sedangkan seseorang yang mampu menjatuhkan pilihan yang benar secara tepat hanyalah orang yang berpendidikan sehat.

[1] M. Quraish Shihab, 2003, Wawasan Alqur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, hlm. 283.
[2] Fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah, manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar, mereka yang tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.
[3] Imaduddin Ibnu Fida’ Ismail Ibnu Katsir, tt., Tafsir Ibnu Katsir, III, Dar al-Qalam al-‘Araby, hlm. 53-54.
[4] Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarid al-Thabari, tt., Tafsir al-Thabari, al-Musamma Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, X, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyahlm. hlm. 182-185.
[5] Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad Anshor al-Qurthubi, tt., Tafsir al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, VI, Kairo: Daarus Sa’ab, hlm. 5108
[6] Murtadho Muththahhari, 1992, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, Bandung: Mizan, hlm. 20.
[7] Ibid, hlm. 51-66.
[8] Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigen Karya, hlm. 23-25.

































PELESTARIAN LINGKUNGAN MENURUT AL-QUR’AN

lingkungan
Konsep Islam tentang lingkungan dalam pengertian luas merupakan upaya untuk merevitalisasi misi asal ekologi, back to basic ecology. Misi asal ekologi adalah untuk mengkaji keterhubungan timbal balik antar komponen dalam ekosistem. Dalam hal ini tidak terbatas hanya komponen manusia dan ekosistemnya, melainkan seluruh komponen dalam ekosistem.
Dengan demikian, visi Islam tentang lingkungan adalah visi lingkungan yang utuh menyeluruh, holistik integralistik. Visi lingkungan yang holistik integralistik diproyeksikan mampu menjadi garda depan dalam pengembangan kesadaran lingkungan gunamelestarikan keseimbangan ekosistem. Sebab seluruh komponen dalam ekosistem diperhatikan kepentingannya secara proporsional tidak ada yang dipentingkan dan tidak ada pula yang diterlantarkan oleh visi lingkungan Islam yang holistik integralistik.
Pelestarian merupakan upaya mengabadikan, memelihara dan melindungi sesuatu dariperubahan. Dalam bahasa Arab pelestarian semakna dengan kata al-ib'ah atau al-ishlah yang berarti menjadikan sesuatu tetap adanya. Menjaga keberadaannya karena dilandasi rasa kasih dan sayang. Dengan demikian pelestarian lingkungan (ibqa' al-bay'ah) berarti menjaga keberadaan lingkungan karena dilandasi rasa cinta dan kasih sayang. Sedangkan secara terminologis, makna fungsional ekologis kelompok kata pelestarian lingkungan, ishlah al-hayah, dimaksudkan sebagai istilah yang memiliki arti spesifik yakni pelestarian terhadap daya dukung lingkungan yang dapat menopang secara terlanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang diupayakan oleh pembangunan.
Secara faktual yang dilestarikan bukan lingkungan itu sendiri, melainkan daya dukung lingkungan. Karena, lingkungan sendiri adalah bersifat dinamis selalu berubah, bahkan terlalu kecil peluang melestarikannya dalam pengertian etimologis. Perubahan lingkungan dapat terjadi secara alamiah, natural, maupun sebagai akibat perilaku ekologis manusia, antropogenik. Perubahan lingkungan yang bersifat alami adalah perubahan melalui proses geologis, volkanologis dsb.
Sedangkan perubahan lingkungan antropogenik adalah perubahan lingkungan yang terjadi karena intervensi manusia terhadap lingkungan. Perubahan tersebut ada yang direncanakan dan ada yang tidak direncanakan. Perubahan lingkungan yang direncanakan lazim dikenal dengan istilah pembangunan. Dengan demikian, pembangunan hakikatnya adalah pengelolaan perubahan lingkungan yang dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengurangi resiko negatif lingkungan dan memperbesar manfaat dan daya dukung lingkungan.
Islam memiliki sistem keyakinan yang cukup jelas bahwa Allah swt telah menjadikan sumber daya alam dan lingkungan daya dukung bagi kehidupan. Fakta spiritual menunjukkan bahwa Allah swt telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, secara teologis berpeluang dinyatakan bahwa ekoteologi Islam meyakini pelestarian lingkungan termasuk bagian integral dari sistem keberimanan seseorang. Hal ini didasarkan pada dua pendekatan yakni pendekatan ekologis dan pendekatan teologis Islam.
Secara ekologis, pelestarian lingkungan merupakan keniscayaan ekologis yang tidak dapat ditawar oleh siapa pun dan kapan pun bagi keberlangsungan kehidupan. Oleh karena itu, pelestarian lingkungan mutlak harus dilakukan oleh manusia. Sedangkan secara ekoteologis Islam, Allah swt secara definitif menyatakan secara eksplisit akan kepedulian-Nya terhadap pelestarian lingkungan. Hal ini antara lain diungkapkan dalam al-Qur'an surat Luqman ayat 20:
ألم ترى أن الله سخّر لكم ما في السماوات و ما في الأرض و أسبغ عليكم نعمه ظاهرة و باطنة و من الناس من يجادل في الله بغير علم و لا هدى و لا كتاب منير
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. (QS. Luqman: 20).
Pesan inti ayat ini terdapat pada kalimat yang artinya: “Tidakkah kau cermati bahwa Allah swt telah menjadikan sumber daya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia secara optimum”.
Makna fungsional ekologis dariungkapan ini dapat dinyatakan bahwa ungkapan oratorik yang digunakan dalam ayat tersebut mengandung arti keharusan yang lebih serius untuk dilakukan dibandingkan dengan ungkapan perintah biasa. Oleh karena itu, pelestarian lingkungan menuntut perhatian serius dari manusia dan harus dilakukan.
Dengan demikian, perlu dirumuskan bahwa pelestarian lingkungan termasuk dalam sistem keberimanan masyarakat beragama. Dalam pengertian bahwa sumber daya alam dan lingkungan diciptakan oleh Allah sebagai daya dukung bagi kehidupan secara optimum. Agar optimasi daya dukung lingkungan dapat dipertahankan maka harus dilestarikan oleh manusia.
و سخّر لكم ما في السماوات و ما في الأرض جميعا منه إن في ذلك لآياتلقوم يتفكّرون
Dan Dia menundukkan untukmuapa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari padanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Jatsiyah: 13)
Pokok pikiran ayat ini terdapat pada kalimat yang artinya: “...yang demikian hanya ditangkap oleh orang-orang yang memiliki daya nalar memadai. Dalam perspektif ekoteologi Islam, yang dimaksud dengan orang-orang yang memiliki daya nalar memadai dalam ayat ini adalah orang-orang yang memiliki kesadaran lingkungan dan kearifan lingkungan serta memiliki kepedulian lingkungan cukup tinggi.
Selanjutnya, kesadaran, kearifan dan kepedulian lingkungan tersebut dikristalisasikan dalam tindak pelestarian lingkungan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pelestarian lingkungan sebagai kristalisasi dari kesadaran, kearifan dan kepedulian lingkungan menjadi bagianintegral dari keberimanan masyarakat beragama Islam.
Teologi pelestarian lingkungan dapat dijabarkan dalam berbagai bentuk mulai dari perumusan supra struktur ekologis, struktur ekologis maupun infra struktur yang berwawasan lingkungan. Perumusan supra struktur ekologis antara lain dapat diciptakan sistem teologi pelestarian lingkungan. Sedangkan penciptaan struktur ekologis antara lain dapat dibuat rumusan tatanan hukum, pranata sosial, lembaga sosial yang berwawasan lingkungan.
Adapun penjabaran infra struktur-ekologis dapat dilakukan dengan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kondusif bagi pelestarian lingkungan. Singkatnya, teologi pelestarian lingkungan merupakan teologi reflektif bukan teologi verbalistis.
Berdasarkan pendalaman dan pengembangan makna fungsional ekologis dari dua ayat al-Qur'an tersebut di atas dapat diambil natijah bahwa berdasarkan pendekatan rasional ekologis dan spiritual religius Islam pengembangan kesadaran, kearifan dan kepedulian lingkungan menjadi keniscayaan yang tidak dapat ditawar sedikitpun. Sebab, secara rasional ekologis pelestarian lingkungan merupakan keniscayaan ekologis, the objective of environment. Hal ini karena manusia merupakan makhluk lingkungan. Antara manusia dengan lingkungan memiliki keterhubungan mutual simbiosis cukup kuat Manusia membutuhkan lingkungan sebagai tempat melangsungkan kehidupannya. Fakta menunjukkan bahwa manusia tidak dapat hidup di luar lingkungan. Sebab, lingkungan telah menyediakan fasilitas kehidupan bagi manusia berupa daya dukung lingkungan secara optimum.
Di sisi lain, lingkungan juga membutuhkan manusia. Sebab, manusia merupakan makhluk yang paling berpeluang menjadi makhluk yang bertanggungjawab dalam tindak pelestarian lingkungan. Dengan ungkapan lain, manusia sebagai subyek pengelola lingkungan mampu membuat perencanaan, mampu melaksanakan dan mampu mengawasi tindak pelestarian lingkungan baik yang dilakukan oleh manusia sendiri ataupun yang dilakukan oleh komponen lain. Dengan demikian, pelestarian lingkungan memerlukan partisipasi aktif dari manusia. Inilah relevansinya dinyatakan bahwa antara manusia dengan lingkungan memiliki keterhubungan mutual simbiosis cukup kuat.
Dalam al-Qur'an ditegaskan bahwa semua kerusakan lingkungan hidup tidak lain merupakan akibat dari keserakahan manusia, sehingga mengeksploitasi alam lingkungannya habis-habisan. Oleh karena itu, sejak awal Allah memperingatkan akan adanya akibat ulah manusia tersebut.
ظهر الفساد في البر و البحر بما كسبت أيدي الناس ليذيقهم بعض الذي عملوا لعلهم يرجعون
Telah nampak (nyata) kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang lurus). (QS. Ar-Rum: 41)
Demikianlah tuntunan al-Qur'an bagaimana seharusnya sikap manusia terhadap lingkungan hidupnya dan Allah telah menjanjikan pahala yang tiada taranya bagi yang senantiasa memelihara dan melestarikan lingkungan hidup serta tidak membuat kerusakan. Jika semua manusia bersikap terhadap lingkungan hidup sesuai tuntunan Allah dapat dipastikan bahwa manusia tidak akan ditimpa malapetaka akibat ulahnya sendiri.
Terhadap al-Qur'an surat ar-Rumayat 41, Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa surat ar-Rum ayat 41 itu menjadi petunjuk bahwa berkurangnya hasil tanam-tanaman dan buah-buahan adalah karena banyak perbuatan maksiat yang dikerjakan oleh para penghuninya. Abul Aliyah mengatakan bahwa barang siapa yang berbuat durhaka kepada Allah di bumi, berarti dia telah berbuat kerusakan di bumi, karena terpeliharanya kelestarian bumi dan langit adalah dengan ketaatan.
Ahmad Mustafâ al-Marâgî, dalam Tafsîr al-Marâgî memberi komentar terhadap surat ar-Rum ayat41, bahwa ayat itu menjadi isyarat bahwa telah muncul berbagai kerusakan di dunia ini sebagai akibat dari peperangan dan penyerbuan pasukan-pasukan, pesawat-pesawat terbang, kapal-kapal perang dan kapal-kapal selam.Hal itu tiada lain karena akibat dari apa yang dilakukan oleh umat manusia berupa kezaliman, banyaknya lenyapnya perasaan dari pengawasan Yang Maha Pencipta.
Mereka melupakan sama sekali akan hari hisab, hawa nafsu terlepas bebas dari kalangan sehingga menimbulkan berbagai macam kerusakan di muka bumi. Karena tidak ada lagi kesadaran yang timbul dari dalam diri mereka, dan agama tidak dapat berfungsi lagi untuk mengekang kebinalan hawa nafsunya serta mencegah keliarannya. Akhirnya Allah SWT merasakan kepada mereka balasan dari sebagian apa yang telah merekakerjakan berupa kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan lalu yang berdosa. Barangkali mereka mau kembali dari kesesatannya lalu bertaubat dan kembali kepada jalan petunjuk. Mereka kembali ingat bahwa setelah kehidupan ini ada hari yang pada hari itu semua manusia akan menjalani penghisaban amal perbuatannya. Maka apabila ternyata perbuatannya buruk, maka pembalasannya pun buruk pula. Sehingga keadilan menaungi masyarakat semuanya, orang kuat merasa kasih sayang kepada orang yang lemah, dan adalah manusia mempunyai hak yang sama di dalam menggunakan fasilitas-fasilitas yang bersifat umum dan masyarakat semuanya bekerja dengan kemampuan yang seoptimal mungkin.
Sesudah Allah menjelaskan bahwa timbulnya kerusakan sebagai akibat dari perbuatan tangan manusia sendiri, lalu Dia memberikan petunjuk kepada mereka, bahwa orang-orang sebelum mereka pernah melakukan hal yang sama seperti apa yang telah dilakukan oleh mereka. Akhirnya mereka tertimpa azab dari sisi-Nya, sehingga mereka dijadikan pelajaran buat orang-orang yang sesudah mereka dan sebagai perumpamaan-perumpamaan bagi generasi selanjutnya.
Terhadap keterangan dua ahli tafsir tersebut, Hamka dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kadang-kadang termenung kagum kita memikirkan ayat ini. Sebab dia dapat saja ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman sekarang ini. Ahli-ahli fikir yang memikirkan apa yang akan terjadi kelak, ilmu yang diberi nama “Futurologi”, yang berarti pengetahuan tentang yang akan kejadian karena memperhitungkan perkembangan yang sekarang. Misalnya tentang kerusakan yang terjadi di darat karena bekas buatan manusia ialah apa yang mereka namai polusi, yang berarti pengotoran udara, akibat asap dari zat-zat pembakar, minyak tanah, bensin, solar dan sebagainya. Bagaimana bahaya dari asap pabrik-pabrik yang besar-besar bersama dengan asap mobil dan kendaraan bermotor yang jadi kendaraan orang ke mana-mana. Udara yang telah kotor itu dihisap tiap saat, sehingga paru-paru manusia penuh dengan kotoran.
Kemudian diperhitungkan orang pula kerusakan yang timbul di lautan. Air laut yang rusak karena kapal tangki yang besar-besar membawa minyak tanah atau bensin pecah di laut. Demikian pula air dari pabrik-pabrik kimia yang mengalir melalui sungai-sungai menuju lautan, kian lama kian banyak. Hingga air laut penuh racun dan ikan-ikan jadi mati. Pernah sungai Seine di Eropa menghempaskan bangkai seluruh ikan yang hidup dalam air itu, terdampar ke tepi sungaijadi membusuk, tidak bisa dimakan. Demikian pula pernah beratus ribu, berjuta ikan mati terdampar ke tepi pantai Selat Teberau di antara Ujung Semenanjung Tanah Melayu dan pulau Singapura. Besar kemungkinan bahwa ikan-ikan itu keracunan.
Apabila mengkaji keterangan para ahli tafsir tersebut, maka menurut penulis, timbulnya kerusakan alam atau lingkungan hidup adalah sebagai akibat perbuatan manusia. Karenamanusia yang diberi tanggungjawab sebagai khalifah di bumi banyak yang tidak melaksanakan dengan baik. Padahal manusia mempunyai daya inisatif dan kreatif, sedangkan makhluk-makhluk lain tidak memilikinya.
Kebudayaan manusia makin lama makin maju sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan kemajuan tersebut, perkembangan persenjataan dan alat perusak lingkungan maju pula. Banyak contoh yang dapat dilihat dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan ulah manusia. Misalnya banyak pohon atau hutan ditebang dan dibakar tanpa ada usaha untuk menanamnya kembali. Bukit dan gunung digali untuk menimbun daratan rendah yang akan dijadikan pemukiman. Akibatnya banyak musibah terjadi seperti gangguan asap, banjir, tanah longsor, dan sebagainya terjadi di mana-mana.
Lingkungan bertambah parah dengan banyaknya kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik yang menimbulkan pencemaran udara (polusi). Pencemaran tersebut membahayakan keselamatan hidup manusia dan kehidupan sekelilingnya. Limbah-limbah pabrik seringkali dibuang seenaknya ke sungai yang akhirnya bermuara ke laut. Demikian pula kapal-kapal tanker yang membawa minyak sering mengalami kebocoran, sehingga minyaknya tumpah ke laut. Akibatnya air sungai dan laut beracun yang menyebabkan mati atau tercemarnya ikan dengan zat beracun, dan yang lebih dahsyat adalah kerusakan lingkungan akibat perang.
Semua kerusakan sebagaimana dikemukakan di atas merupakan akibat dari keserakahan manusia, sehingga mengeksploitasi alam lingkungannya habis-habisan. Oleh karena itu, sejak awal Allah memperingatkan akan adanya akibat ulah manusia tersebut.
ظهر الفساد في البر و البحر بما كسبت أيدي الناس ليذيقهم بعض الذي عملوا لعلهم يرجعون
Telah nampak (nyata) kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang lurus). (QS. Ar-Rum: 41)
Demikianlah, tuntunan Allah bagaimana seharusnya sikap manusia terhadap lingkungan hidup dan Allah telah menjanjikan pahala yang tiada taranya bagi orang yang senantiasa memelihara dan melestarikan lingkungan hidup serta tidak membuat kerusakan. Jika semua manusia bersikap terhadap lingkungan hidup sesuai tuntunan Allah dapat dipastikan bahwa manusia tidak akan ditimpa malapetaka akibat ulahnya sendiri.




































LAHIRNYA MAZHAB ASY’ARIYAH

Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut Maturudiyah, mangaku termasuk golongan ahlus sunnah wal jama’ah.[1] Pendiri teologi Asy'ariyah ini adalah Imam Asy'ari (Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari. Abu Hasan al-Asy'ari, nama lengkapnya adalah Abul Hasan bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Abdillah bin Musa bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy'ari. Ia adalah seorang ulama yang dikenal sebagai salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Abul Hasan al-Asy'ari lahir di Basrah pada 260 H/873 M dan meninggal di Bagdad pada 324 H/935 M.
Dalam suasana Mu’tazilah yang sedang keruh, al-Asy'ari dibesarkan dan dididik sampai mencapai usia lanjut. Ia telah membela aliran Mu’tazilah sebaik-baiknya, tetapi kemudian aliran ini ditinggalkannya bahkan dianggapnya sebagai lawan.[2] Al-Asy'ari semula dikenal sebagai tokoh Mu’tazilah, dia adalah murid dari al-Juba’i, seorang yang cerdas yang dapat dibanggakan serta pandai berdebat, sehingga al-Juba’i sering menyuruh al-Asy'ari untuk menggantikannya bila terjadi suatu perdebatan. Dia menjadi pengikut aliran Mu’tazilah sampai berumur 40 tahun. Pada 300 H, yaitu ketika beliau mencapai umur 40 tahun, dia menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan membentuk aliran teologi sendiriyang kemudian dikenal dengan nama Asy'ariyah. Sebabnya Imam al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah tidak begitu jelas.[3]
Al-Asy'ari, sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang biasa disebut, yang berasal dari al-Subki dan ibn Asyakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy'ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad saw, mengatakan padanya bahwa madzhab ahli haditslah yang benar, dan madzhab Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asy'ari berdebat dengan gurunya al-Jubba’i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid.
Salah satu perdebatan itu, menurut al-Subki, sebagai berikut:
Al-Asy'ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir, dan anak diakherat.
Al-Jubba’i : Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy'ari : Kalau yang kcil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah itu?
Al-Jubba’i : tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu karena kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa itu.
Al-Asy'ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-Jubba’i : Allah akan menjawab: “aku tahu bahwa jika Engkau terus hidup Engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu aku cabut nyawamu sebelum Engkau sampai kepada umur tanggung jawab”.
Al-Asy'ari : Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?” Di sini al-Jubbai terpaksa diam.[4]
Terlepas dari soal sesuai atau tidak sesuainya uraian-uraian al-Subki dengan fakta sejarah, jelas kelihatan bahwa al-Asy'ari sedang dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy'ari mengasingkan diri di rumah selama 15 hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke masjid, naik mimbar dan menyatakan:
Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang keterangan-keterangan dari dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh karena itu, saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini.[5]
Di sini timbul pertanyaan, apa sebenarnya yang menimbulkan perasaan ragu dalam diri al-Asy'ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan paham Mu’tazilah? Berbagai tafsiran diberikan untuk menjelaskan hal ini.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi keraguan itu timbul karena al-Asy'ari menganut madzhab Syafi’i. al-Syafi’i mempunyai pendapat teologi yang berlainan dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah, umpamanya al-Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur'an tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akherat nanti.[6]
Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran seperti yang diperoleh al-Asy'ari dari al-Jubba’i menimbulkan persoalan-persoalan yang tak mendapat penyelesaikan yang memuaskan.[7] Umpamanya soal mukmin, kafir, dan anak kecil tersebut di atas. Dari kalangan kaum orientalis, Mac Donald berpendapat bahwa darah Arab Padang Pasir yang mengalir dalam tubuh al-Asy'ari yang mungkin membawanya kepada perubahan mazhab itu.[8] Arab padang pasir bersifat tradisional dan patalistis sedang kaum Mu’tazilah bersifat rasionil dan percaya kepada kebebasan dalam kemauan dan perbuatan.
Patut juga diperhatikan pendapat Ali Musthafa al-Ghurabi bahwa keadaan al-Asy'ari 40 tahun menjadi penganut Mu’tazilah, membuat kita tidak mudah percaya bahwa al-Asy'ari meninggalkan paham Mu’tazilah hanya karena di dalam perdebatan, dimana al-Jubba’i gurunya tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Sayyed Amir Ali menuduh, mungkin sekali karena faktor ambisi, sehingga al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah. Dengan caranya yang licik, dia dapat mempengaruhi dan meyakinkan orang banyak serta menggabungkan diri dengan golongan Ahmad bin Hanbal (Ahlul Hadits) yang waktu itu mendapat simpati Khalifah dan masyarakat.[9]
Bagaimanapun juga banyak analisa orang dikemukakan tentang alasan keluarnya al-Asy'ari dari Mu’tazilah dan dalam suatu perdebatan tidak mendapat jawaban yang memuaskan baginya, sehingga menimbulkan keraguan. Harus pula diakui bahwa saat itu golongan Mu’tazilah sedang berada dalam masa kemunduran. Demikian pula pertentangan paham sesama kaum muslimin seperti tak akan bisa teratasi.
Al-Asy'ari, sebagai seorang ulama yang gairah akan keselamatan dan keutuhan Islam serta kaum muslimin, ia sangat khawatir perbedaan dan pertentangan pendapat pada waktu itu, akan menyeret ke dalam situasi yang tak diinginkan. Oleh sebab itu, perlu segera adanya pedoman yang dapat jadi pegangan umat. Faktor-faktor inilah yang lebih dekat kepada kemungkinan, mengapa al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah, di mana kemudian membentuk aliran teologi baru.



[1] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 131.
[2] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Cet. 8, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003, hlm. 127. Lihat juga A. Hanafi, Tologi Islam Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 54.
[3] Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, al-Nahdah, Kairo, 1965, hlm. 65.
[4] Ahmad Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam, Dar al Kutub al-Jamiah, Kairo, 1969, hlm. 187.
[5] Ahmad Amin, Op.Cit, hlm. 67.
[6] Ahmad Mahmud Subhi, Op.Cit, hlm. 13.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. 5, Universitas Indonesia (UI Press), 1986, hlm. 67.
[8] Abu al-Husein Abd al-Rahim ibn Muhammad ibn Ustman, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, Lahore, 1964, hlm. 187.
[9] Nurchilis Majid, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm. 28.


























KHAUF DAN RAJÂ’ DALAM TASAWUF

download (12)
Khauf dan rajâ’ dalam tasawuf digolongkan oleh sebagian sufi sebagai bagian dari ahwâl perjalanan spiritual, yaitu sesuatu yang menempati atau menghiasi hati yang merupakan karunia. Sedangkan sebagian sufi yang lain menggolongkan khauf dan rajâ’ sebagai tahapan dalam maqâmât. Maqâm adalah tahapan adab seorang hamba dalam wushul kepada Allah melaui jalan ibadah, riyâdah dan mujâhadah. Al-Qusyairy merupakan salah satu sufi yang menggolongkan khauf dan rajâ’ ke dalam maqâmât. Sedangkan menurut al-Sarraj al-Thusi, khauf dan rajâ’ merupakan bagian dari ahwâl.[1]
Berikut berbagai tanggapan para sufi mengenai khaufdan rajâ’:
Al-Wasithy menegaskan, “Takut (khauf) dan harap (rajâ’) adalah kendali bagi diri agar ia tidak dibiarkan dengan kesia-siaannya.” Ia juga berkata, “Jika Tuhan menguasai wujud manusia yang paling dalam (sirr), maka harapan dan ketakutan tidak akan tersisa lagi. Sebab takut dan harap itu sendiri merupakan akibat-akibat belaka dari rasa indera hukum kemanusiaan.”[2]
Abu Ali ar-Rudbary berkomentar, “Khauf dan rajâ’ adalah seperti sepasang sayap burung. Manakala kedua belah sayap itu seimbang, si burung pun akan terbang dengan sempurna dan seimbang. Tetapi manakala salah satunya kurang berfungsi, maka hal ini akan menjadikan si burung kehilangan kemampuannya untuk terbang. Apabila khauf dan rajâ’ keduanya tidak ada, maka si burung akan terlempar ke jurang kematiannya.”[3]
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj berkata, “Barangsiapa takut akan sesuatu selain Allah atau berharap sesuatu selain Dia, maka semua pintu akan tertutup baginya dan rasa takut akan mendominasinya, menabiri hatinya dengan tujuh puluh tabir, yang paling tipis diantaranya adalah keraguan. Yang membuatnya takut adalah perenungannya atas akibat-akibat nanti dan perasaan khasyyah jika perilakunya berubah.”[4]
Menurut Imam Ahmad bin ‘Atha’, pada khauf dan rajâ’ ada dua hal yang harus diperhatikan hingga ia menjemput maut, yaitu jangan sampai ia terlalu merasa aman secara berlebihan dalam harapan dan jangan sampai putus asa akan kepastian Allah.[5]
Abu Bakar al-Wasithy menyatakan bahwa khauf dan rajâ’ adalah pasangan yang saling beriringan. Saat hati dalam tahanan khauf, maka saat pancaran cahaya bintang menembus, cahaya rajâ’ pun jadi penguasa yang menerangi. Cinta, takut dan harapan akan senantiasa berjalan beriringan secara bergantian.[6] Manakala khauf dilengkapi dengan rajâ’, seseorang akan menemukan keberanian yang mampu menghancurkan penyakit-penyakit dalam dirinya. Khauf kepada Allah membawa pengetahuan tentang Allah yang membuka pintu cinta kepada Allah.
Menurut al-Muhasibi, khauf dan rajâ’ penting dalam perjalanan spiritual seseorang membersihkan jiwa. Al-Muhasibi mengaitkan khauf dan rajâ’ dengan etika-etika keagamaan lainnya. Menurutnya, ketika disifati dengan dua sifat tersebut, seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat-sifat lainnya. Khauf berhubungan dengan sikap wara’, karena sikap wara’ adalah buahnya. Pangkat wara’ menurut al-Muhasibi adalah ketakwaan, pangkat ketakwaan adalah muhâsabah al-nafs, pangkat muhâsabah al-nafs adalah khauf dan rajâ’, dan pangkat khauf dan rajâ’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah.[7]


[1] Abdullah bin Ali as-Sarraj at-Tusi, al-Luma’ fî Târîkh at-Tasawuf al-Islâmi, (Libanon: Dar Al-Qatab Al-Ilmiyah, 2007), hlm. 40-41.
[2] Al-Qusyairy al-Naisabury, Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi At-Tasawufi, terj. Mohammad Luqman Hakim dengan judul Risâlatul Qusyairiyyah: Induk Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 127
[3] Ibid., hlm. 134.
[4] Ibid., hlm. 127.
[5] Abdullah bin Ali as-Sarraj at-Tusi, Op. Cit., hlm. 58.
[6] Ibid., hlm. 58.
[7] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Penerbit Amzah, 2005), hlm. 120.














KARAKTERISTIK DOA DALAM ISLAM

doa
Beberapa karakteristik doa dalam al-Qur’an, di antaranya;
Pertama, ia merupakan percakapan dan dialog dengan Allah. Di dalamnya, sifat-sifat, kedudukan dan Dzat Tuhan serta hubungannya dengan makhluk, terutama manusia. Dalam doa demikian nampak seperti text-book teologi, dan sama sekali tidak serupa dengan doa-doa lazimnya. Yakni, doa tidak lagi menggambarkan seseorang yang memohon sesuatu dati Allah, tetapi doa itu merupakan percakapan dengan-Nya. Doa Islam adalah sebuah ucapan dan seruan yang tingkat keindahan, ketelitian, dan kedalamannya layak untuk dijadikan argumen terkuat, terdalam, dan terjeli akan wujud Allah.[1]
Kedua, iradat atau kehendak Ilahi yang meluap di dalam doa. Iradat ini bukanlah berasal dari hasrat dan kebutuhan material yang sering kita saksikan dan dikenali. Tetapi, ia adalah sesuatu yang berasal dati perangai-perangai yang terpuji dan keutamaan-keutamaan yang mulia.[2]
Dalam beberapa hal, doa tidak hanya berperan secara vertical, yang berarti hubungan atau suatu bentuk komunikasi antara manusia dan Tuhan saja. Namun, doa yang dilakukan manusia juga mempunyai kecenderungan sosial, menjadi suatu etika sosial dan landasan moral manusia ke arah pemahaman mengenai arti kelemahan dan kehinaan.
Di dalam doa-doa Islam, terdapat komposisi di antaranya;
Pertama, doa-doa terhimpun dalam bahasa yang lugas dan elok. Teks-teks doa Islami adalah karya kesusastraan yang paling indah yang pernah ada. Ia adalah model bacaan terbaik bagi para pengagum sastra berkenaan dengan kefasihan, kelugasan, dan keelokannya.
Di lain sisi, doa dalam ajaran Islam merupakan bukti perhatian Islam akan estetika dan seni pada umumnva, selama keduanya mampu mendukung penyempurnaan spiritual manusia. Islam tidak hanya mempedulikan hal-ihwal estetika dan seni, tetapi juga dengan tegas meminta perhatian serius manusia kepada keduanya. Seperti dalam firman Allah,
و لله الأسماء الحسنى فادعوه بها و ذروا الذين يلحدون في أسمآئه سيجزون ما كانوا يعملون
Hanya milik Allah asma al-husna (nama-nama yang indah), Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Qs. Al-A’raaf: 180)
Kedua, adalah komponen musical yang terkandung dalam doa. Doa-doa Islami tergabung dalam diksi-diksi (pilihan kata) yang tepat, yang dilantunkan secara serasi akan menjadi sebuah lagu yang indah. Ucapan yang indah itu akan sangat berkesan pada jiwa manusia. Impresi (kesan) yang menyongsong kecintaan, kekuatan, serta pengaruh doa padanya. Misalnya, bacaan shalawat kepada Rasulullah Saw, yang terangkum dalam beberapa buku Maulid ad-Daiba’i, Maulid al-Barzanji, dan sebagainya.[3]
Ketiga, doa mengandung komposisi ideologis. Menyatukan manusia sebagai satu reflek kehendak. Doa bukanlah permintaan seseorang akan sesuatu hal belaka melainkan deklarasi gelora, hasrat, identitas dan pandangan hidup. Maka dalam hal ini doa memiliki nilai keutamaan yang tidak kecil nilainya, bila hanya diartikan sebatas sebagai suatu “pemenuhan kebutuhan”. Contohnya saat berdoa, umat Islam dianjurkan untuk berdoa menghadap kiblat (Makkah), karena Makkah adalah pusat kelahiran Islam. Di samping kesadaran berdoa dengan cara itu, maka tumbuhlah dalam diri seorang muslim rasa kesatuan dan solidaritas. Dengan demikian, persaudaraan yang meliputi seluruh dunia diteguhkan.
Islam merupakan suatu bentuk terakhir dari hubungan dengan Allah dan sebagai agama yang benar, sempurna dan penuh kepastian yang dimungkinkan di dunia ini. Makna religius dari hubungan antara manusia dengan Tuhan, secara autentik diwujudkan dalam doa.[4] Dalam hal ini, Muhammad Iqbal mengartikan doa sebagai sarana pencerahan spiritual dan merupakan tindakan normal yang sangat penting, yang mana sebagian kecil dari kepribadian manusia menemukan situasinya dalam suatu keseluruhan hidup yang besar. Doa merupakan simbol sebagai peneguhan tauhid, dan menemukan martabat dan pembenaran dirinya sendiri sebagai suatu faktor dinamis dalam kehidupan alam raya.[5]

[1] Ali Syari’ati, Makna Doa dalam Islam, (terj.), (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), Cet. I, hlm. 47
[2] Ibid
[3] Ibid, hlm. 50
[4] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), cet.I, hlm. 71
[5] Ibid.















MACAM-MACAM HIDAYAH

hidayah
Al-Qur'an tidak secara jelas menggambarkan macam-macam hidayah, namun bila dilihat dari konteks redaksi ayat-ayat yang menggunakan kata dasar ha-da-ya, setidaknya ada empat hidayah yang dianugerahkan Allah kepada manusia, antara lain:
1. Kemampuan alamiah
Hidayah dalam bentuk ini dianugerahkan oleh Allah sejak manusia itu lahir, secara kodrati telah membawa sifat-sifat alamiah, seperti insting, panca indera, dan akal. Pengertian ini dapat kita simak dari ayat :
قَالَ رَبُّناَ الَّذِيْ أَعْطَى كُلَّ شَيئٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى (طه: 50)
Dia (Musa) berkata: Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. (Qs. Thaahaa: 50)
Maksud “memberi petunjuk” pada ayat di atas, menurut Departemen Agama RI adalah Allah menganugerahkan akal, insting (naluri), dan kodrat alamiah untuk kelangsungan hidupnya.[1]
Pendapat ini diperkuat oleh ayat al-Qur'an:
الَّذِيْ خَلَقَ فَسَوَّى وَ الَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى (الأعلى: 2-3)
Allah yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar masing-masing dan memberi petunjuk. (Q.S. al-A’laa: 2 – 3).
Dari pemahaman melalui ayat di atas, Allah Swt menuntun setiap makhluk kepada apa yang perlu dimilikinya dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dialah yang memberi hidayah kepada anak ayam memakan benih ketika baru saja menetas, atau lebah untuk membuat sarangnya dalam bentuk segi enam, karena bentuk tersebut lebih sesuai dengan bentuk badan dan kondisinya.[2]
Selanjutnya marilah kita bahas secara ringkas kemampuan alamiah yang dianugerahkan Allah tadi, antara lain :
a. Insting
Syeikh Thanthawi al-Jauhari menyebutkannya dengan hidayat al-ghariezati, menurut beliau ghariezah (instinc, instink) ialah gerak hati (impuls) yang terdapat dalam bakat manusia dan binatang.[3] Sedang arti insting menurut kamus besar bahasa Indonesia ialah salah satu daya dorong yang utama pada manusia bagi kelangsungan hidupnya (seprti nafsu birahi, rasa takut, dan dorongan untuk berkompetisi), dorongan secara tidak sadar bertindak yang tepat.[4]
Kemampuan alamiah ini dianugerahkan oleh Allah kepada manusia sejak bayi pertama kali lahir. Kita perhatikan ketika lahir seorang bayi, maka dia mulai menangis minta disantuni, lalu dengan dorongan naluri yang dimilikinya apabila didekatkan mulutnya pada buah dada ibunya, secara naluriah ia langsung menghisapnya dan ia merasa tentram.
b. Panca indera
Ahmad Musthafa al-Maraghi menyebutnya dengan istilah hidayat al hawasi. Menurut beliau “hawas ialah indera yakni perangkat badani yang peka terhadap rangsangan yang datang dari luar.”[5] Seperti rangsangan cahaya, bunyi dan sebagainya. Panca indera yang dimaksud ialah alat penglihat (mata), alat pendengar (telinga), alat pencium (hidung), alat perasa (lidah), alat peraba (tangan).
Keterangan mengenai hal ini bisa disimak melalui ayat-ayat berikut:
إِنَّا خَلَقْناَ الإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيْهِ فَجَعَلْناَهُ سَمِيْعاً بَصِيْراً إِناَّ هَدَيْناَهُ السَّبِيْلَ إِمَّا شَاكِراً وَ إِماَّ كَفُوراً (الإنسان: 2-3)
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya dengan perintah dan larangan, karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (Qs. Al-Insaan: 2 - 3).
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ وَ لِسَاناً وَ شَفَتَيْنِ وَ هَدَيْناَهُ النَّجْدَيْنِ (البلد: 8-10)
Bukankah telah Kami berikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Qs. al-Balad: 8 – 10)
وَ اللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئاً وَ جَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَ الأَبْصَارَ وَ الأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (النحل: 78)
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Qs. an-Nahl: 78).
c. Akal
Kata ini berasal dari bahasa Arab: al-‘aql, yang mengandung arti pengikat, penahan, pemahaman, dan kebijaksanaan.[6] Dalam pemahaman para ulama, akal bukanlah daya yang dimiliki oleh otak, tapi merupakan daya jiwa (roh), yang berfungsi memahami, dan mengetahui nilai-nilai etis (baik dan buruk), dan epistimologi (benar dan salah), serta memiliki fungsi sebagai pengikat, pemaham dan pengendali nafsu, sehingga berhasil mengangkat manusia menjadi makhluk yang bijaksana.
Akal ada secara potensial pada setiap bayi manusia, tapi tidak ada pada binatang. Ia yang menyebabkan manusia lebih unggul dari binatang, dan karena memiliki akal itulah manusia diberikan tanggung jawab besar untuk menegakkan kebaikan dan kebenaran di permukaan bumi ini. Akal yang ada secara potensial inilah yang harus diaktualkan semaksimal mungkin agar ia dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Dengan demikian, manusia yang menjadi pemilik akal mendapat pujian sebagai khalifah Tuhan seperti yang diharapkan. Bila akal itu tidak berfungsi dengan baik, tapi terseret dengan hawa nafsu, maka manusia lebih sesat dan berbahaya dari binatang.
Perlu digarisbawahi bahwa, ketiga bentuk kemampuan alamiah manusia memiliki keterbatasan masing-masing, sehingga bila melebihi batas tersebut masing-masing tidak akan berperan secara optimal, sehingga diperlukan adanya bentuk kekuasaan penuntun yang lebih tinggi lagi. Misalnya ketika naluri tidak merasa berdaya, maka panca indera memberikan bantuannya. Barulah kemudian mata melihat, telinga mendengar, lidah mengecap, tangan meraba dan hidung mencium. Dengan demikian, mulailah kita mengadakan kontak dengan dunia lahiriyah, akan tetapi panca indera pun beroperasi pada batas-batas tertentu saja, pada suatu panca indera harus mengakui kelemahannya dalam mengungkap kebenaran. Seperti mata mampu melakukan tugasnya untuk melihat hanya dengan kondisi tertentu, yakni hanya ada cahaya di sekeliling atau jarak yang tidak terlalu jauh, maka mata tidak bisa memandangnya. Contoh lain, ketika mata kita memandang tongkat di dalam air, seolah-olah tongkat itu bengkok padahal sebenarnya lurus. Begitu pula dengan pendengaran, penciuman dan sebagainya. Di sinilah dibutuhkan bentuk penuntun yang lebih tinggi, yakni akal atau daya nalar. Daya inilah yang mampu mendekati kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh panca indera.Tongkat yang seolah-olah bengkok tadi setelah dianalisa oleh akal ternyata di sana terjadi proses pembiasaan pada cahaya.
Akan tetapi, akal atau daya nalar pun tidak mampu menuntun kita ke alam kehidupan yang berada di luar jangkauan panca indera. Bahkan dalam khazaanah kegiatan lahiriyah yang diharapkan bisa memberi suatu tuntunan yang berdaya guna, di sana sini kadang akal bertentangan dengan hawa nafsu, dan seringkali justru nafsu itulah yang memang dan memaksa untuk mengabaikan nalar. Di samping itu, akal sendiri memiliki kelemahan-kelemahan, akal bukan hanya letih menghadapi persoalan-persoalan pelik tetapi ia juga tidak mampu memberi jawaban sekian banyak pertanyaan yang diajukan oleh manusia. Khususnya menyangkut alam metafisika, seta menyangkut kesudahan hidupnya.[7]
Akal hanya berfungsi dalam batas-batas tertentu dan bidang operasinya adalah alam nyata, bahkan dalam bidang inipun terkadang terpedaya oleh kesimpulan-kesimpulannya. “Logika” satu bidang ilmu yang dirumuskan oleh Aristoteles yang katanya mampu memelihara perumusnya sendiri dari sekian banyak kesalahan. Kalau demikian akal mempunyai keterbatasan, lalu apakah ada daya penuntun yang lebih tinggi pada saat akal terbukti tidak berdaya? Jawaban pertanyaan ini telah disinggung oleh Al-Qur'an, melalui ayat berikut
إِنَّا خَلَقْناَ الإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيْهِ فَجَعَلْناَهُ سَمِيْعاً بَصِيْراً إِناَّ هَدَيْناَهُ السَّبِيْلَ إِمَّا شَاكِراً وَ إِماَّ كَفُوراً (الإنسان: 2-3)
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya dengan perintah dan larangan, karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (Qs. al-Insaan: 2 - 3).
Pada ayat di atas teramat jelas, bahwa di samping Allah menganugerahkan panca indera kepada manusia. Dia juga memberi petunjuk-Nya berupa “jalan yang lurus”, yakni berupa tuntunan yang dibawa oleh hamba-hamba pilihan-Nya yang bersih, tuntunan dan syari’at serta penjelasan-penjelasan yang menyangkut ajaran-ajaran agama. Bisa disimak pula lewat ayat berikut :
وَ جَعَلْناَ مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِناَ لَماَّ صَبَرُوا وَ كاَنُوأ بِآياَتِناَ يُوقِنُونَ (السجدة: 24)
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (Qs. as-Sajdah: 24).
إِنَّماَ أَنْتَ مُنْذِرٌ وَ لِكُلِّ قَومٍ هَادٍ (الرعد: 7)
Sesungguhnya engkau (ya Rasul) adalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk. (Qs. ar-Ra’d: 7)
وَ إِنَّكَ لاَ تَهْدِيْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ (الشورى: 52)
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk, kepada jalan yang lurus. (Qs. asy-Syuura: 52)
وَ إِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلاَّ خَلاَ فِيْهاَ نَذِيْرٌ (فاطر: 24)
Dan tidak ada satu umat pun yang tidak disinggahi oleh pemberi peringatan. (Qs. Faathir: 24).
وَ لِكُلِّ أُمَّةٍ رَسُولٌ فَإِذَا جَاءَ رُسُلُهُمْ قُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ وَ هُمْ لاَ يُظْلَمُونَ (يونس: 47)
Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikit pun) tidak dianiaya. (Qs. Yunus: 47).
Dari penjelasan ayat-ayat di atas, dapat kita tarik satu kesimpulan bahwa di samping Allah memberikan tuntunan berupa anugerah akal, kemudian Dia melengkapinya hidayah (tuntunan wahyu) yang diturunkan kepada hamba-hamba pilihan-Nya, yang selanjutnya kita kenal dengan hidayah al wahy.
2. Tuntunan Wahyu
Anugrah lain yang Allah berikan kepada manusia sebagaimana dari keterangan di atas yang tidak lain memberikan petunjuk kepada manusia agar ia tidak tersesat dalam menghadapi kehidupannya yakni berupa tuntunan-tuntunan dan penjelasan tentang syari’at keagamaan. Lalu, apakah bentuk konkrit dari tuntunan wahyu itu, yang sampai saat ini masih dirasakan eksistensinya oleh manusia? Al-Qur'an menyatakan dirinya bahwa ia merupakan tuntunan wahyu Illahi yang tidak diragukan lagi kebenarannya, berlaku sepanjang masa, meliputi berbagai aspek kehidupan, sebagai pembeda yang hak dan yang bathil, serta membenarkan dan menjelaskan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Pendek kata, tidak ada yang tertinggal di dalam al-Qur'an. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
ماَ فَرَّطْناَ فِي الْكِتاَبِ مِنْ شَيئٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ (الأنعام: 38)
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (Qs. al-An’am: 38).
Dalam rangka memfungsikan al-Qur'an sebagai wahyu petunjuk untuk kehidupan manusia, Fazlur Rahman menjabarkan isi kandungan al-Qur'an ke dalam tujuh tema pokok antara lain : (1) tentang Tuhan, (2) tentang manusia, (3) tentang alam semesta, (4) tentang kenabian dan wahyu, (5) tentang eskatologis, (hari pembalasan), (6) tentang setan dan kejahatan, dan (7) tentang pembentukan masyarakat muslim.[8]
Lebih spesifik lagi, untuk menggambarkan secara jelas fungsi al-Qur'an sebagai kitab petunjuk ada baiknya disimak penjelasan Quraish Shihab dalam buku beliau “Membumikan al-Qur'an” sebagai berikut:
Dari sejarah diturunkannya al-Qur'an, dapat diambil kesimpulan bahwa al-Qur'an mempunyai tiga tujuan pokok:
a. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut manusia yang tersimpul dalam keimanan dan ke-Esa-an Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
b. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dan kehidupannya secara individual atau kolektif.
c. Petunjuk mengenai syari’at dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dengan hubungan dengan Tuhan dan sesamanya atau dengan kata lain yang lebih singkat, al-Qur'an adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.[9]
Petunjuk dalam bentuk wahyu Illahi ini memberikan petunjuk yang berkaitan dengan dalil-dalil yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil, yang benar dan yang salah.[10] Ia menamainya dirinya sebagai tuntunan universal, petunjuk untuk manusia secara keseluruhan yang selanjutnya kita pahami sebagai hidayah al-dien.
Lalu bagaimana menyikapi paman Nabi, Abu Thalib yang seolah-olah dia tidak diberi hidayah, walau nabi sendiri yang memohonnya, kita simak keterangan yang diungkap oleh Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya, ketika mengomentari asbab al-nuzul Qur’an surat al-Qashash ayat 56,
Banyak khabar menerangkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Thalib. Menurut ‘Abbas bin Humaid, Muslim, Tirmidzi, dan Baihaqi di dalam al Dalail, mengeluarkan riwayat dari Abu Hurairah, bahwa menjelang Abu Thalib wafat, Nabi seraya berkata : “Wahai pamanku, ucapkan Laa ilaha illa Allah, niscaya aku menjadi saksi bagimu akan hal itu di sisi Allah pada hari qiyamah. Abu Thalib menjawab: “Kalau saja kau tidak khawatir dicela oleh orang-orang Quraish yang akan berkata yang mendorong untuk mengucapkan kesaksian itu tidak lain adalah ketakutan akan mati, niscaya aku sudah melakukan yang membuatmu senang.” Maka turunlah ayat innaka la tahot man ahbabta, dan seterusnya.[11]
Dari keterangan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa, Abu Thalib tidak mau beriman, bukan berarti tidak menerima hidayah pada peringkat ini (hidayah al-dien), melainkan hidayah pada peringkat yang lebih tinggi. Nabi sekalipun tidak dapat memberikan hidayah pada peringkat ini, seperti pada firman Allah Swt:
إِنَّكَ لاَ تَهْدِيْ مَنْ أَحْبَبْتَ وَ لكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ (القصص: 56)
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (Qs. al-Qashash: 56).
Padahal pada kesempatan yang lain Allah menunjuki nabi sebagai pemberi hidayah. Firman Allah :
وَ إِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ (الشورى: 52)
Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Qs. as-Syuura: 52).
Untuk menyikapi ayat-ayat di atas yang seolah kontradiksi, secara sederhana dapat dikemukakan pendapat al-Ashfahany, yang menyatakan bahwa “apabila kata (يهدي) (memberi petunjuk), diikuti oleh (الى) (menuju/kepada), maka hidayah dimaksud adalah petunjuk sebagaimana di jelaskan di atas, yakni berupa penjelasan-penjelasan yang disimpulkan oleh para Nabi dan para pewarisnya yang menyangkut ajaran-ajaran agama secara umum. Oleh karenanya, tepat jika Nabi Saw dijuluki sebagai pemberi petunjuk dalam artian sebagai pemberi penjelasan yang menyangkut aturan-aturan agama (lihat surat asy-Syura ayat 52). Sedang bila kata (يهدي) tidak diikuti oleh (الى) yakni kemampuan aktual yang dianugerahkan Allah kepada manusia tertentu yang dikehendaki-Nya, sehingga mereka dapat melaksanakan petunjuk-petunjuk agama secara umum di atas, yang selanjutnya hidayah pada peringkat ini dinamakan dengan Hidayah at-Taufiq.[12]
3. Tuntunan Taufiq
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa kemampuan aktual yang dianugerahkan Allah kepada manusia tadi dinamakan hidayah at-taufiq atau hidayah al-ma’unah. Hidayah pada tingkat ini semata-mata monopoli Allah, Nabi sekalipun tidak berkompeten untuk memberikannya, seperti pada kasus paman Nabi tadi. Hidayah pada tingkat ini tidak dapat dijangkau oleh analisis dan aneka argumentasi aqliyah, atau yang bila diusahakan akan sangat memberatkan manusia.[13]
Kemudian ayat lain yang menyinggung tentang hidayah at-taufiq antara lain:
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَ لَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ (البقرة: 272)
Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk (taufiq), akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. (Qs. al Baqarah: 272).
قُلْ فَلِلهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ فَلَو شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِيْنَ (الأنعام: 149)
Katakanlah: Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya. (Qs. al An’am: 149).
Untuk menggambarkan lebih jelas lagi tentang hidayah at taufiq ini, bisa kita ambil ilustrasi seperti berikut: Jika Anda ingin ke pasar, Anda bertanya kepada seseorang di manalokasi pasar yang Anda tuju, lalu ada yang memberi informasi tentang lokasi pasar itu, bahkan mengantar Anda langsung menuju pasar yang Anda tuju dengan kendaraannya. Dalam kasus semacam ini, terjadi proses pertemuan antara keinginan Anda ke pasar dan kesediaan orang itu mengantarkan Anda dengan kendaraannya. Dapat kita artikan di sini bahwa hidayah at-taufiq, adalah pertemuan antara kehendak Tuhan dan kehendak Anda, dan kita diperintahkan untuk selalu memohon agar Allah Swt memberi hidayah dalam bentuk ini, yakni terdapat dalam surat al-Fatihah ayat 6 :
إِهْدِناَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (الفاتحة: 6)
Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (Qs. al-Fatihah : 6).
4. Tuntunan berupa jalan ke Surga.
Bentuk hidayah yang terakhir ini pun merupakan otoritas Allah semata yang memberikan sama seperti bentuk hidayah yang ketiga. Manusia hanya mampu berdo’a dan memintanya, serta berusaha meniti jalan yang telah ditetapkan Allah melalui petunjuk hamba-hamba pilihan-Nya dalam bentuk syari’at dan ajaran-ajaran agama yang harus dipatuhi oleh manusia. Apabila ingin memperolehnya, ia harus mematuhi segala apa yang diperintahkan-Nya dan mematuhi serta meninggalkan segala apa yang dilarang-Nya. Dengan kata lain bentuk hidayah ini diperoleh melalui wahyu atau ilham yang shahih, atau limpahan kecerahan (tajalliyat) yang tercurah dari Allah Swt.[14]
Adapun argumentasi adanya hidayah dalam bentuk keempat ini, bisa kita simak melalui konteks ayat di bawah ini :
وَ نَزَعْناَ ماَ فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الأَنْهَارُ وَ قَالُوا الْحَمْدُ للهِ الَّذِي هَدَاناَ لِهَذَا وَ ماَ كُناَّ لِنَهْتَدِيَ لَولاَ أَنْ هَدَاناَ اللهُ لَقَدْ جَائَتْ رُسُلُ رَبِّناَ بِالْحَقِّ وَ نُوْدُوْا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُوْرِثْتُمُوهاَ بِماَ كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (الأعراف: 43)
Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran." Dan diserukan kepada mereka: "ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan." (Qs. al-A’raaf : 43)
Ayat ini menggambarkan kepada orang yang mendapat petunjuk Allah Swt berupa anugerah kenikmatan surga karena sebab mereka beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.[15]
Jadi kesimpulannya, secara garis besar makna al-hidayah dalam al-Qur'an mengandung 2 pengertian : pertama, berarti “menunjukkan” (al-dalalah) dan kedua “pertolongan” (al-jannah), sebagaimana masing-masing dari pengertian di atas, telah diisyaratkan oleh al-Qur'an, sebagai berikut :
Pertama: al-dalalah, yang berarti “menunjukkan” diisyaratkan oleh firman Allah SWT:
وَ أَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى فَأَخَذَتْهُمْ صَاعِقَةُ الْعَذَابِ الْهُونِ بِماَ كَانُوا يَكْسِبُونَ (فصلت: 17)
Dan adapun kaum Tsamud, maka Kami telah menunjukkan kepada mereka, tetapi merekatelah menyukai kesesatan daripada petunjuk, maka mereka disambar petir yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. (Qs. Fushshilat: 17).
Kata hadainahum pada ayat di atas, harus dipahami sebagai dalalnahum, yang berarti: Kami tunjukkan kepada jalan yang mengantar mereka kepada kebaikan (iman). Dalam arti bahwa semua orang terbagi sama di dalamnya, baik mu’min maupun kafir karena ayat itu mengisyaratkan bahwa Allah menunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, dengan mengutus para Rasul dan menurunkan wahyu, akan tetapi banyak manusia dengan ikhtiyarnya berpaling dan lebih menyukai kesesatan daripada kebenaran dan petunjuk. Tentang kelompok yang menolak kebenaran ini dan berpaling dari Allah serta mendustakan para Rasul-Nya diabaikan oleh al-Qur'an dalam surat Fushshilat ayat 17 di atas.
Kedua: al-jannah, yang berarti pertolongan dan dorongan untuk melakukan kebaikan, pengertian ini diisyaratkan oleh al-Qur'an melalui ayat:
وَ الَّذِينَ اهْتَدَواْ زَادَهُمْ هُدًى وَ آتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ (محمد: 17)
Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya. (Qs. Muhammad: 17).
Kata zaadahum huda, pada ayat di atas, harus difahami sebagai a’anahum, yang berarti “menolong mereka” untuk mendapatkan petunjuk dan dorongan mereka untuk melakukan kebaikan. Dari ayat ini pula dapat kita pahami bahwa pertolongan dan dorongan melakukan kebaikan itu hanya dianugrahkan khusus bagi orang-orang yang mau menerima petunjuk (al-dalalah), dalam arti kepada-Nya, serta membenarkan para utusan-Nya. Baru kemudian mereka mendapat “pertolongan Allah” serta mendapat dorongan untuk melakukan kebaikan, karena ungkapan (زادهم هدى) di atas, sebelumnya didahului (الذين اهتدوا) yang berarti: “orang yang menerima petunjuk.”
Lalu bagaimana kita menyikapi sebuah ayat al-Qur'an di bawah ini:
يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ (النحل: 93)
Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Qs. an-Nahl: 93).
Dari ayat di atas, dapat kita pahami bahwa Allah dalam “menunjuki” dan “menyesatkan” adalah mutlak, sesuai dengan kemahakuasaan-Nya, Allah juga melihat tidak perlu dipertanyakan apa yang ia perbuat. Tetapi pada saat yang sama, Allah juga bersifat adil, dan tidak akan menyesatkan orang yang berhak mendapat petunjuk begitupun sebaliknya. Firman Allah Swt:
إِنَّ اللهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ (النساء: 40)
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah. (Qs. an-Nisaa’: 40).
وَ ماَ رَبُّكَ بِظَلاَّمِ لِلْعِبَادِ (فصلت: 46)
Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya. (Qs. Fushshilat: 46).
Dan siapakah mereka yang dikehendaki-Nya mendapatkan pertolongan (petunjuk), adalah mereka yang membuka hatinya kepada petunjuk, yang membuka akalnya kepada kebenaran, yang mencari dan menerima manhaj-Nya dengan ikhlas dan jujur, dan tunduk kepada agamanya dengan perintah ketaatan dan menyerahkan diri. Mereka inilah yang akan ditolong Allah untuk mendapatkan “petunjuk”, dihantarkan kepadanya, didorong untuk melakukannya, serta ditambah keimanan dan petunjuk mereka di dalam kehidupan ini. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt :
وَ الَّذِينَ اهْتَدَواْ زَادَهُمْ هُدًى وَ آتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ (محمد: 17)
Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya. (Qs. Muhammad: 17).
Adapun orang-orang yang akan dikehendaki Allah untuk mendapatkan kesesatan adalah mereka yang lari dari kebenaran, yang berpaling dari petunjuk, dan menutup semua pintu yang ada dalam dirinya yang bisa mengantarnya kepada keimanan dan keselamatan mereka, bahkan tidak ada sama sekali dalam diri mereka kesediaan untuk menerima manhaj yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, atau yang telah digariskan dalam kitab-Nya, mereka tuli, bisu, buta, lalu mereka tidak dapat lagi berfikir. Atau mereka yang berputus asa dari rahmat Allah. Mereka tersebut dalam keseharian bisa disebut orang zalim, kafir, musyrik dan munafik.[16]
Jadi, mereka mengingkari Allah dan menolak agama-Nya, maka bagaimana mungkin Allah mau memberi petunjuk padanya sedang Allah telah berfirman:
و الله لاَ يَهْدِي قَومَ الْكَافِرِيْنَ (اليقرة: 264)
Jika mereka orang-orang fasik dan tidak mau mentaati Allah di dalam kehidupannya, maka bagaimana mungkin Allah memberi petunjuk sedangkan Allah telah berfirman:
و الله لاَ يَهْدِي قَومَ الْفَاسِقِيْنَ (المائدة: 108)
Dan terakhir bagaimana Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dalam hidupnya selalu berdusta dan sangat ingkar, sedang Allah telah berfirman:
و الله لاَ يَهْدِي قَومَ الظَّالِمِيْنَ (اليقرة: 258)

[1] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Depag, Jakarta, 1992, hlm. 481
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, Vol. 1. Lentera Hati, Jakarta, 2004, hlm. 63
[3] Asy Syeikh Thanthawi al-Jauhari, al-Jawahir Fi Tafsir al-Qur'an al-Karim, Juz I, Cet. II, hlm. 8
[4] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Cet. III, 1990, hlm. 334
[5] Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz I, Daar al Fikr, Mesir, Cet.I, 1953, hlm. 35 – 36
[6] Tim Penyusun IAIN, Ensiklopedia Islam, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 95
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah, Pustaka Kartini, Jakarta,1992, hlm. 56 - 57
[8] Penjelasan lebih rincinya bisa disimak Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur'an, Penerbit Pustaka, Bandung, Cet. II, 1996, hlm. vii
[9] Ibid.,hlm. 40
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Op. Cit., hlm. 65
[11] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Op. Cit., Juz V, hlm 74
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah, Op.Cit., hlm 180-181.
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Op. Cit., hlm 65.
[14] Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Op. Cit., hlm. 65
[15] Lihat ayat sebelumnya yakni Qs. Al A’raaf: 42.
[16] Wahyono Abdul Ghofur, Mendialogkan Teks dengan Konteks, Penerbit eLSAQ Press, Yogyakarta, Cet.I, 2005, hlm. 288