PEMBERIAN ASI MENURUT AL-QUR’AN

susu
Salah satu bentuk perwujudan perhatian orang tua terhadap kesehatan anak adalah dengan memperhatikan kebutuhan mereka dikala bayi, yakni dengan memberikan ASI oleh seorang ibu kepada anaknya. Hal ini relevan dengan firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 233.
و الوالدات يرضعن أولادهنّ حولين كاملين لمن أراد أن يتمّ الرضاعة
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya……”
Kata al-walidaat dalam penggunaan al-Qur’an berbeda dengan kata ummahat yang merupakan bentuk jamak dari kata umm. Kata ummahat biasanya digunakan untuk menunjuk ibu kandung. Sedangkan kata al-walidat maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Ini berarti bahwa al-Qur’an sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung maupun bukan, adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun demikian, tentunya air susu ibu kandung lebih baik dari selainnya.
Dengan menyusu pada ibu kandung, anak merasa lebih tenteram, sebab menurut penelitian ilmuwan, ketika itu bayi mendengar suara detak detik jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak dalam perut. Detak detik jantung itu berbeda antar seorang wanita dengan wanita yang lain.[1]
Sejak kelahiran hingga dua tahun penuh, para ibu diperintahkan untuk menyusukan anak-anaknya. Dua tahun adalah batas maksimal dari kesempurnaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan itu juga mengisyaratkan bahwa yang menyusu setelah usia tersebut bukanlah penyusuan yang mempunyai dampak hukum yang mengakibatkan anak yang disusui berstatus sama dalam sejumlah hal dengan anak kandung yang menyusunya.
Penyusuan yang selama dua tahun itu, walaupun diperintahkan, tetapi bukanlah kewajiban. Ini dipahami dari penggalan ayat yang mengatakan, bagi yang ingin menyumpurnakan penyusuan. Namun demikian, ia adalah anjuran yang sangat ditekankah, seakan-akan ia adalah perintah wajib. Jika ibu- bapak sepakat untuk mengurangi masa tersebut, maka tidak apa-apa. Tetapi, hendaknya jangan berlebih dari dua tahun, karena dua tahun telah dinilai sempurna oleh Allah. Di sisi lain, penetapan waktu dua tahun itu, adalah untuk menjadi tolok ukur bila terjadi perbedaan pendapat misalnya ibu atau bapak ingin memperpanjang masa penyusuan.[2]
Masa penyusuan tidak harus selalu 24 jam, karena Qs. Al-Ahqaf:15 menyatakan, bahwa masa kehamilan dan penyusuan adalah tiga puluh bulan. Ini berarti, jika janin dikandung selama sembilan bulan maka penyusuannya selama dua puluh satu bulan, sedangkan jika dikandung hanya enam bulan, maka ketika itu masa penyusuannya adalah 24 bulan.
Tentu saja ibu yang menyusukan memerlukan biaya agar kesehatannya tidak terganggu dan air susunya selalu tersedia. Atas dasar itu, lanjutan ayat menyatakan: merupakan kewajiban atas yang dilahirkan untuknya, yakni ayah, memberi makan dan pakaian kepada para ibu (kalau ibu anak-anak yang disusukan itu telah diceraikannya secara ba’in, bukan raj’i).
Adapun jika ibu anak itu masih berstatus isteri walau telah ditalak raj’i, maka kewajiban memberi makan dan pakaian adalah kewajiban atas dasar hubungan suami-istri, sehingga bila mereka menuntut imbalan penyusuan anaknya, maka suami wajib memenuhinya selama tuntutan imbalan itu dinilai wajar.
Mengapa menjadi kewajiban ayah? Karena anak itu membawa nama ayah, seakan-akan anak lahir untuknya, karena nama ayah akan disandang oleh sang anak, yakni dinisbahkan kepada ayahnya. Kewajiban memberi makan dan pakaian itu hendaknya dilaksanakan dengan cara yang makruf, yakni yang dijelaskan maknanya dengan penggalan ayat berikut yaitu, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, yakni jangan sampai ayah mengurangi hak yang wajar bagi seorang ibu dalam pemberian nafkah dan penyediaan pakaian, karena mengandalkan kasih sayang ibu kepada anaknya. Dan juga seorang ayah menderita karena ibu menuntut sesuatu di atas kemampuan sang ayah dengan dalih kebutuhan anak yang disusukannya.[3]
Dengan tuntunan ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan jaminan tersebut harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah meninggal dunia, karena para warispun berkewajiban demikian, yakni berkewajiban memenuhi kebutuhan ibu sang anak, agar ia dapat melaksanakan penyusuan dan pemeliharaan anak itu dengan baik.
Adapun yang dimaksud dengan para waris adalah yang mewarisi sang ayah, yakni anak yang disusukan. Dalam arti, warisan yang menjadi hak anak dari ayahnya yang meninggal, digunakan antara lain untuk biaya penyusuan bahkan makan dan minum ibu yang menyusuinya. Ada juga yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan para waris adalah para ibu yang menyusui itu. Betapapun, ayat ini memberi jaminan bukan untuk kelangsungan hidup dan pemeliharaan anak.
Apabila keduanya, yakni ayah dan ibu anak itu, ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya, bukan akibat paksaan dari siapapun, dan dengan permusyawaratan, yakni dengan mendiskusikan serta mengambil keputusan yang terbaik, maka tidak ada dosa atas keduanya untuk untuk mengurangi masa penyusuan dua tahun itu.
Di sini dipahami adanya tingkat penyusuan: Pertama, tingkat sempurna, yaitu dua tahun atau tiga puluh bulan kurang masa kandungan; Kedua, masa cukup, yaitu yang kurang dari masa tingkat sempurna, dan tingkat ketiga, masa yang tidak cukup kalau enggan berkata “kurang”, dan ini dapat mengakibatkan dosa, yaitu enggan menyusui anaknya. Karena itu, bagi yang tidak mencapai tingkat cukup, baik dengan alasan yang dapat dibenarkan-misalnya karena sakit-maupun alasan yang dapat menimbulkan kecaman,-misalnya karena ibu meminta bayaran yang tidak wajar- maka ayah harus mencari seseorang yang dapat menyusui anaknya. Inilah yang dipesankan oleh lanjutan ayat di atas dengan pesannya, jika kamu, wahai para ayah, ingin anak kamu disusukan oleh wanita lain, dan ibunya tidak bersedia menyusuinya, maka tidak ada dosa bagi kamu apabila kamu memberikan kepada wanita lain itu berupa upah atau hadiah menurut yang patut.
Menurut Dr. Abdul Hakim al-Sayyid Abdullah bahwasanya fiirman Allah diatas menunjukkan perintah yang wajib dilaksanakan oleh sebagian ibu, namun sunah bagi sebagian ibu yang lain. Artinya, bagi para ibu yang tidak ada hambatan atau halangan dalam menyusukan anaknya, maka wajib ibu tersebut menyusui. Sebaliknya ibu-ibu yang apabila menyusui bayinya justru mengakibatkan bahaya, baik bagi bayi maupun ibunya, maka sunah hukumnya. Bahaya itu bisa disebabkan ASI kering, ASI terkena bibit penyakit, dan alasan lain yang sah untuk tidak menyusui bayinya dengan ASI. Hal ini untuk menjaga agar kondisi fisik anak tetap terawat dan tidak terjangkit suatu penyakit yang membahayakan anak.[4]
Pemberian ASI selama dua tahun sebenarnya telah memenuhi standar gizi yang cukup memadahi bagi si bayi, tidak boleh lebih atau kurang. Karenanya, ASI merupakan hak bayi yang harus dipenuhi oleh orang tua. Sebab ini langkah proporsional.[5]
Dalam kondisi bagaimanapun, dalam sebuah keluarga, perhatian seorang ibu kepada anaknya harus tetap terjaga. Perintah Allah menyusui anak selama dua tahun itu, karena diketahui bahwa pada masa-masa itu bayi benar-benar membutuhkan kasih sayang murni seorang ibu.
Keinginan dari kedua orang tua –dalam hal ini ibu dan bapak- untuk menghentikan penyusuan atau menyapih anaknya sebelum genap berusia dua tahun, hendaknya memang dipertimbangkan secara matang. Langkah ini patut ditempuh agar tidak membawa dampak negatif pada pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik maupun psikis di kemudian hari. Selain itu, penyapihan anak hendaknya dilakukan dengan pertimbangan dan alas an yang tepat dan bukan semata-mata karena kedua orang tua ingin mencari kesenangan sendiri.
Meskipun agama Islam telah memerintahkan seorang ibu untuk menyusui anaknya sendiri dengan ASI, namun ada sebagian ibu yang mendapat pengecualian untuk tidak menyusui bayinya, bahkan ada yang dilarang sama sekali.
Pengecualian ini diberikan terutama kepada ibu yang mengidap penyakit berat yang apabila memberikan air susunya kepada anaknya justru akan membuat bahaya bagi si anak atau ibu itu sendiri. Penyakit-penyakit berat itu misalnya ibu menderita demam tinggi, buah dada ibu membengkak, ibu menderita penyakit gondok dan berbagai penyakit lain yang mungkin ibu tidak bisa menyusui anaknya.
Untuk mengahadapi hal tersebut, Islam memberikan jalan keluar kepada para orang tua untuk menyusukan pada orang lain. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
و إن أردتم أن تسترضعوا أولادكم فلا جناح عليكم إذا سلّمتم ما ءاتيتم بالمعروف
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Apabila seorang anak akan disusukan kepada orang lain, maka perempuan yang akan menyusukannya itu haruslah orang yang sehat jasmani dan rohaninya, serta memiliki akhlak yang baik. Anak itu harus diasuh dan disusukan oleh seorang perempuan yang saleh. Makanan berupa susu yang berasal dari sumber yang tidak halal akan menjerumuskan tabiatnya ke arah yang buruk. Dengan demikian, inilah nampak bahwa Islam sangat melindungi kebersihan dan Islam pun tidak suka dengan ditinggalkannya tanggungjawab kepada orang lain yang tidak tannggap.[6]

[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Ciputat tahun 2000 cet 1 hal 470.
[2] Ibid., hal. 472
[3] Ibid, hal 474
[4] Abdul Hakim Al-Sayyid Abdullah, Keutamaan Air Susu Ibu, Fikahati Aneska, Jakarta, 1993, hal 23.
[5] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Al-Mizan, Bandung, 2001 cet-12 hal 127.
[6] M. Abu Quasem, M.A.Kamil, Ph.D., Etika Al-Ghazali, ter. J.Mahyudin, Pustaka, Bandung, 1988, hal 103






























AKHLAK NABI DALAM KITAB AL-BARZANJÎ

SHALAWAT
Mengkaji isi kitab maulid al-Barzanjî yang ditulis oleh Sayyid Ja'far ternyata mengandung ajaran-ajaran akhlak yang pantas diikuti umat Islam secara menyeluruh. Sehingga kitab tersebut mempunyai andil besar dalam rangka membentuk pribadi-pribadi muslim. Dalam Kitab Maulid al-Barzanjî banyak dibahas langkah-langkah (akhlak) yang dapat membentuk manusia yang berpribadi luhur. Andil besar kitab tersebut dapat dipahami dari beberapa aspek berikut ini :
Pertama, instrospeksi diri. Dalam beberapa literatur yang berkaitan dengan akhlak Rasulullah SAW terhadap orang-orang yang berjasa, dapat dipahami mengandung ajaran yang sangat berguna bagi manusia muslim, terurama pada upaya melakukan introspeksi diri. Beliau (Rasulullah) mempunyai rasa introspeksi yang sangat kuat. Hal ini sebagaimana terdapat dalam syairnya pada paragraf kelima:
و أنه الحبيب الذي حسنت طباعه و سجياه
Sebenarnya dia memang kekasih Allah yang bagus watak dan budi pekertinya.
Paragraf keenam berbunyi:
إرهاصا لنبوّته و إعلاما بأنه مختار الله تعالى و مجتباه
Kesemuanya itu sebagai ketetapan kenabiannya, dan pemberitahuan bahwa beliau adalah Nabi pilihan Allah.
Hal itu dapat dipahami betapa beliau sangat menghormati orang yang telah menyusuinya, yakni Suwaibah Aslamiyah dan Halimah Sa'diyah. Karena ketinggian rasa tahu diri Rasulullah, maka beliau berupaya membalas kebaikan budi kedua orang yang telah menyusuinya itu.
Wujud rasa tahu diri Rasulullah itu berupa penghormatan, penghargaan berupa pemberian materi. Padahal kedua orang itu bukan orang tua kandung beliau. Oleh karena itu dapat difahami seberapa tinggi rasa tahu diri beliau terhadap orang tua kandung maupun saudaranya. Perilaku Rasulullah tersebut di atas tidak mungkin terwujud sedemikian luhur tanpa adanya instrospeksi diri beliau yang tinggi pula.
Kemampuan introspeksi diri seseorang merupakan salah satu tahapan dalam rangka mencapai akhlak al-karimah. Sebab dengan mampu melakukan introspeksi diri akan terjelma perilaku rendah diri, menghormati orang lain, tenggang rasa dan murah hati. Apabila perilaku di atas dapat diwujudkan secara utuh, maka tidak mustahil bagi seorang muslim dapat mencapai predikat orang yang berkepribadian Islami. Maksud kepribadian Islam adalah kepribadian kemanusiaan yang utuh, yang mampu memberikan kekhasan tentang konsep keseimbangan hidup. Seimbang antara sifat-sifat dan karakteristik pribadinya, baik secara idealitas maupun realitas yang sebenarnya.
Kedua, santun dan pemaaf. Di dalam Kitab Maulid al-Barzanjî, Rasulullah dilukiskan sebagai hamba Allah yang mempunyai karakteristik santun dan pemaaf. Dalam paragraf kesembilan bunyi syairnya:
بعثه الله تعالى للعالمين بشيرا و نذيرا فعمّهم برحماه
Allah mengangkatnya menjadi Rasul sebagai pembawa berita gembira dan pembawa peringatan, dengan tujuan demi untuk merahmati umat seluruh alam.
Dilukiskan pula bahwa beliau berkenan memberikan salam kepada setiap orang yang dijumpai, bersalaman dengan orang lain, sayang pada anak-anak kecil dan ramah terhadap orang fakir miskin. Juga dikatakan bahwa Rasulullah sebagai hamba Allah pemurah dan pemberi maaf, bahkan yang menarik untuk diteladani adalah Rasulullah berkenan memberikan maaf atau pertolongan kepada orang yang telah mencaci maki, melukai dengan batu sampai dengan orang yang akan membunuh beliau, seperti Suraqah. Kedua perilaku Rasulullah itu (santun dan pemaaf) dapat menjadi kaca cerminan agar setiap umat manusia, khususnya manusia muslim.
Rasulullah Saw benar-benar sebagai hamba Allah yang mmiliki sifat sabar dan santun. Dari kisah Rasulullah sudah barang tentu mengandung ajaran bagi umatnya, dan agar hal tersebut dapat diteladani dan mengkristal dalam kepribadian umat Islam di mana mereka berada. Selanjutnya umat yang mampu mengamalkan ajaran Rasulullah itu dalam setiap gerak langkah hidupnya. maka akan terjelma akhlak yang luhur.
Ketiga, Kitab Maulid al-Barzanjî juga membahas tentang perilaku (akhlak) Rasulullah yang adil dan sabar. Perilaku adil dan bijaksana beliau dapat dipahami dari peristiwa pertengkaran kabilah-kabilah Quraisy tatkala berebut meletakkan Hajar Aswad padatempatnya. Sedangkan perilaku sabar beliau dikisahkan dalam peristiwa Rasulullah dihina, dilukai oleh orang Badui, dilempar batu dan hendak dibunuh oleh Suraqah.
Kabilah-kabilah Quraisy dengan keadilan Rasulullah dalam menyelesaikan peristiwa Hajar Aswad tersebut merasa puas dan saling menerima. Bahkan mereka mengakui atas kebijaksanaan beliau. Dapat dipetik hikmah dari perilaku adil Rasulullah Saw tersebut bagi setiap umat muslim untuk diterapkan dalam kehidupan dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kemudian mengenai perilaku sabar Rasulullah Saw tercermin dari lapang dada beliau terhadap musibah yang menimpa dirinya. Bahkan dari pihak orang yang memusuhinya pula Rasulullah berlaku sabar (lapang dada). Oleh karena itu, beliau seharusnya senantiasa dijadikan tolak ukur bagi umatnya dalam menghadapi setiap masalah (musibah).
Berdasarkan aspek-aspek yang diuraikan di muka, maka dapat ditarik pengertian bahwa Kitab Maulid al-Barzanjî mempunyai andil besar bagi upaya pembentukan akhlak umat Islam. Andil itu minimal berlaku bagi sebagian umat Islam yang menerima dan mengamalkan kandungan kitab tersebut. Sebab tidak semua umat muslim mengakui dan menerima bahasan Kitab Maulid al-Barzanjî itu.
و يحب الفقراء و المساكين و يجلس معهم و يعود مرضاهم و يشيّع جنائزهم و لا يحقر فقيرا أدقعه الفقر و أشواه
Dan beliau menyukai orang fakir dan miskin dan suka duduk bersama-sama mereka, mau meninjau orang-orang yang sakit diantara mereka, sudi mengantar jenazah mereka, dan tidak mau mencemoohkan orang yang sangat fakir.
و لا يهاب الملوك و يغضب لله تعالى و يرضى لرضاه
Beliau tidak pernah merasa gentar menghadapi para raja, dan andaikata marah, semata-mata hanyalah karena Allah, dan kerelaannya juga karena-Nya jua.
و يمشي خلف أصحابه و يقول خلّوا ظهري لملائكة الروحانية
Beliau suka berjalan dibelakang para sahabatnya, seraya bersabda: "Kosongkanlah tempat dibelakang saya untuk para malaikat".
و يركب البعير و الفرس و البغلة و حمارا بعض الملوك إليه أهداه
Mau berkendaraan unta, kuda, bighal, dan keledai dari hadiah sebagian raja-raja.
و يعصب على بطنه الحجر من الجوع و قد أوتي مفاتيح الخزائن الأرضية
Jika perutnya lapar, maka disumbatnya dengan batu, toh kunci gedung perbendaharaan bumi berada di tangannya.
و راودته الجبال بأن تكون له ذهبا فأباه
Dan gunung-gunungpun bersedia menjadi emas untuk keperluannya, namun beliau juga enggan menerimanya.
و كان صلى الله عليه و سلم يقلّ اللغو و يبدأ من لقيه بالسلام و يطيل الصلاة و يقصر الخطب الجمعيّة
Beliau jarang sekali, melakukan hal-hal yang kurang berguna, dan suka mulai memberi salam kepada orang yang dijumpainya, suka memperlamakan shalat dan mempersingkat khutbah jum'at.
و يتألّف أهل الشرف و يكرم أهل الفضل و يمزح و لا يقول إلاّ حقا يحبه الله تعالى و يرضاه
Menyukai orang yang mulia, dan menghormat orang utama, juga man bersenda gurau dengan sahabat-sahabatnya. Beliau tidak pernah bersabda melainkan yang benar, dan. justru Allah Swt menyukai dan rela kepadanya.
Ditinjau dari isi teksnya, bahwa al-Barzanjî merupakan sebuah karya tulis seni sastra yang memuat kehidupan Nabi Muhammad Saw. Karya sastra ini dibaca dalam berbagai upacara keagamaan di dunia Islam, termasuk di Indonesia, sebagai bagian yang menonjol dalam kehidupan beragama tradisional. Dengan membacanya dapat ditingkatkan iman dan kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw dan diperoleh banyak manfaat.
Kitab ini memuat riwayat kehidupan Nabi Muhammad Saw: silsilah keturunannya serta kehidupannya semasa kanak-kanak, remaja, dan pemuda, hingga ia diangkat menjadi rasul. Al-Barzanjî juga mengisahkan sifat Nabi Saw serta perjuangannya dalam menyiarkan Islam dan menggambarkan kepribadiannya yang agung untuk diteladani oleh umat manusia.
Akhlak Nabi Muhammad Saw senantiasa menekankan pada pemberian contoh yang dimulai dari dirinya sendiri. Nabi Muhammad Saw tidak pernah menyuruh kepada seseorang sebelum dipraktikkan oleh dirinya sendiri. Kondisi inilah yang menyebabkan kawan dan lawan Nabi Saw mengaguminya. Praktik pembinaan akhlak yang telah ditanamkan kepada umatnya terbukti telah membuahkan hasil yang besar.
Bangsa Arab yang semula biadab kemudian berubah menjadi bangsa yang beradab dengan memiliki akhlak al-karimah hanya dalam tempo kurang lebih 23 tahun. Masa tersebut terhitung sangat singkat jika dibandingkan dengan kerusakan akhlak manusia saat itu. Itulah sebabnya para orientalis menganggap Nabi Saw sebagai sosok manusia yang berhasil membina masyarakat Arab melalui praktik yang dijalankan Nabi Saw dalam perjalanan hidupnya.
Allah Swt mengutus Muhammad Saw untuk membawa agama yang suci dan mulia dengan ajarannya yang lengkap dan sempurna yang mampu membawa manusia ke puncak ketinggian moral dan menghantarkan mereka kepada keselamatan lahir dan batin serta menjamin terwujudnya kebahagiaan mereka baik dalam kehidupannya di dunia kini maupun di akhirat kelak. Dalam tempo lebih kurang 23 tahun yang dilalui Rasulullah Saw dalam menyeru manusia kepada jalan yang benar, tercapailah olehnya tujuan yang dimaksud, yaitu menanamkan praktik pendidikan akhlak.[1]
Menurut ajaran al-Quran bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh risalah Muhammad atau missi Islam ialah membersihkan dan mensucikan jiwa dengan jalan mengenal Allah serta beribadah kepada-Nya dan mengokohkan hubungan antara manusia dengan menegakkannya di atas dasar kasih sayang, persamaan dan keadilan. Sehingga dengan demikian, tercapailah kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup dan kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Allah Swt dalam surah al-Jumu'ah ayat 2 menegaskan bahwa apa yang disampaikan Rasulullah, semuanya bersumber dari wahyu Ilahi, seperti firman Allah Swt dalam surah al-Najm ayat 1-4.[2]
Dalam al-Barzanji juga ditegaskan, diutusnya Muhammad sebagai rasul adalah pembawa rahmat untuk seluruh alam. Karena itu, tujuan risalahnya adalah memberikan kebahagiaan, kedamaian bagi umat manusia atau rahmat bagi alam semesta.
Firman Allah dalam surah al-Anbiya ayat 107 menurut sebuah riwayat, Rasulullah Saw pernah menyatakan bahwa beliau diutus sebagai rasul adalah untuk menyempurnakan akhlak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa risalah Muhammad akan sampai kepada tujuannya (memberi rahmat bagi umat manusia dan alam sekitarnya) manakala ajaran yang dibawa oleh Muhammad berupa norma-norma yang menuntun orang agar berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk dapat diikuti dengan sempurna. Dengan kata lain, menjalankan akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang buruk merupakan syarat mutlak untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian dan kenyamanan hidup umat manusia dan alam sekitarnya.[3]


[1] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2004), hlm. 8.
[2] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 15
[3] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 100













































BIOGRAFI JA’FAR AL-BARZANJÎ AL-MADANI

al-barzanji
Kitab al-Barzanjî ditulis oleh Syekh Ja'far al-Barzanjî al-Madani, Seorang khatib Mesjid Nabawi di Madinah (wafat 1763 M/1177 H), menjadi terkenal karena kumpulan syair-syairnya yang menggambarkan sentralnya kelahiran Nabi Muhammad bagi umat manusia. Kumpulan tersebut sebenarnya dinamai "Cerita tentang Kelahiran Nabi" (Qisshah al-Maulid an-Nabawi), namun menjadi terkenal dengan sebutan al-Barzanji.
Di beberapa masyarakat Islam, termasuk Indonesia, al-Barzanji bersama-sama dengan karya-karya lain yang sejenis seperti al-Burdah dan Dziba’, sering dibaca pada upacara-upacara keagamaan tertentu khususnya pada peringatan hari lahirnya Nabi (Maulid Nabi). Dalam membaca Barzanji dan sejenisnya dimasukkan juga berbagai ritus yang bisa bercorak gerakan, improvisasi pembacaan dan penyediaan materi-materi tertentu. Selama bulan Maulid (Rabiul Awal) bisa saja al-Barzanji dibaca tiap malam sebulan penuh berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain dalam suatu lingkungan kelompok muslim.[1]
Pada abad ke-19 dan ke-20, keluarga Barzinji merupakan salah satu dari keluarga yang sangat terkemuka di Kurdistan bagian selatan, sebuah keluarga ulama dan syaikh tarekat Qadiriyah yang mempunyai pengaruh politik yang sangat besar. Pada tahun 1920-an, Syaikh Mahmud Barzinji memberontak terhadap Inggris dan menyatakan dirinya sendiri sebagai raja Kurdistan. Pada tahun-tahun berikutnya, keluarga tersebut juga nienjalankan peranan penting dalam kehidupan politik Irak.
Sebagaimana juga dalam perang Irak-Iran baru-baru ini, ditemukan seorang anggota keluarga tersebut, Syaikh Muhammad Najib Barzinji, memimpin kelompok gerilya kecil ciptaan Iran melawan pemerintah Irak. Anggota keluarga lainnya Ja'far 'Abd al-Karim Barzinji, di lain pihak, mencapai posisi yang tinggi dalam pemerintahan Irak; Dia ketika itu adalah presiden dari dewan eksekutif wilayah Kurdi yang otonom. Fakta-fakta ini membenarkan persepsi baik pemerintah Irak maupun Iran bahwa mereka memerlukan karisma keluarga. tersebut jika mereka ingin menanamkan pengaruh di kalangan orang-orang Kurdi.[2]
Keluarga Barzinji mengaku dirinya sebagai keturunan Nabi melalui Imam Musa al-Kazhim, dan mengambil namanya dari desa Barzinja di Syahrazur, dekat kota Sulaimaniyyah sekarang, tempat founding father keluarga ini berada – Sayyid Isa (menurut cerita orang) menetap di sana pada pertengahan abad ke-13. Sejarah keluargatersebut diungkapkan secara selintas oleh Edmonds dan Tawakkuli berdasarkan tradisi mereka sendiri. Menarik untuk dicatat bahwa orang yang dianggap pendiri sekte Ahl al-Haqq yang heterodoks juga adalah salah seorang putra dari Sayyid Isa ini.[3]
Edmonds menunjukkan bahwa nenek moyang yang sama dari semua orang Barzinji yang sekarang ada di Irak, Turki, Syria dan Hijaz, adalah seorang yang bernama Baba Rasul, yang termasuk generasi ke tujuh setelah Sayyid Isa dan dapat dipastikan telah berkembang meluas pada awal abad ke-17. Silsilah keluarga yang dilaporkan oleh Edmonds menunjukkan bahwa salah seorang dari 18 putra Baba Rasul, Muhammad “Madani” menetap di Madinah; semua orang Barzanji yang berada di Hijaz dan India dianggap sebagai keturunannya.[4]
Muhammad “Madani” yang dimaksud tentu saja adalah rekan Ibrahim al-Kurani yang tadi sudah disebut, Muhammad Ibn 'Abd al-Rasul Barzinji. Riwayat pendidikannya agak menyerupai riwayat pendidikan Ibrahim: pendidikan awal oleh bapaknya dan para ulama lain di Syahrazur, diikuti dengan belajar di Hamadan (Iran), Baghdad, Mardin, Damaskus, Istanbul, Kairo dan Makkah, dan akhirnya belajar kepada Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani di Madinah.
Dia juga seorang yang ahli mengenai Ibnu 'Arabi dan menerjemahkan dari bahasa Persia ke bahasa Arab sebuah buku tentang Ibnu 'Arabi yang ditulis oleh seorang keluarganya, Sayyid Muhammad Muzhanar Barzinji. Ketika para ulama India meminta fatwa dari Ibrahim al-Kurani tentang berbagai gagasan kontroversial Ahmad Sirhindi, “sang Mujaddid al-Alf al-Tsani” Muhammad Barzinji-lah yang menulis dua risalah yang secara berapi-api mengkritik Sirhindi, yang didukung oleh ulama-ulama terkemuka lain di Hijaz.
Keturunan Barzinji yang menjadikan nama keluarga tersebut meniadi nama yang dikenal luas di Indonesia adalah cicitnya, Ja'far Ibn Hasan Ibn 'Abd al-Karim Ibn Muhammad (1690-1764), yang lahir di Madinah, dan menghabiskan seluruh usianya di sana. Dia menulis sejumlah karya tentang ibadah yang menjadi sangat populer di seluruh dunia Islam pada saat itu, dan tetap populer di Indonesia sampai sekarang ini.
Karya yang sekarang dikenal sebagai “al-Barzanjî” adalah buku maulidnya, yang diberi judul al-'Iqd al-Jawahir. Barangkali karya tersebut adalah karya yang paling populer dari semua buku maulid, dan di banyak tempat telah menjadi bagian dari ritual baku tarekat Qadiriyah. Sebagaimana dinyatakan oleh Trimingham, maulid tidaklah benar-benar diterima secara universal ke dalam praktik keagamaan populer, tetapi di Indonesia maulid al-Barzanji sampai sekarang merupakan teks keagamaan yang dikenal secara luas. Teks ini terdapat di Indonesia dengan banyak edisi yang berbeda-beda; bahkan beberapa ulama Indonesia sudah menerbitkan komentar-komentar tentangnya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa dan Indonesia.[5]

[1] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 168-169
[2] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 95
[3] Ibid, hlm. 96
[4] Ibid, hlm. 96
[5] Ibid, hlm. 96-97














ISI KITAB MAULID AL-BARZANJÎ NATSR

barzanji
Dapat dipahami bahwa tradisi keagamaan pembacaan maulid merupakan salah satu sarana penyebaran Islam di Indonesia. Islam tidak mungkin dapat segera tersebar dan diterima masyarakat luas di Indonesia, jika saja proses penyebarannya tidak melibatkan tradisi-tradisi keagamaan.
Azyumardi Azra sebagaimana dikutip oleh Yunasril Ali mengemukakan bahwa penyebaran agama Islam, yang sejak abad ke-13 M semakin cepat meluas di Nusantara, adalah terutama atas kegiatan kaum sufi, yang mampu menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menekankan kontinuitas kebudayaan masyarakat dalam konteks Islam.[1]
Yang jelas terdapat fakta yang kuat bahwa tradisi pembacaan maulid merupakan salah satu ciri kaum muslimin tradisional di Indonesia dan umumnya dilakukan oleh kalangan penganut sufi. Maka dari segi ini dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa masuknya perayaan maulid berikut pembacaan kitab-kitab maulid bersamaan dengan proses masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh pendakwah, yang umumnya merupakan kaum sufi.[2]
Berdasarkan keterangan di atas, pembacaan kitab-kitab maulid dilaksanakan dalam suasana yang dikondisikan secara khusus, terutama pada hari-hari dan momentum yang dipilih. Misalnya sebagai wirid rutin, dipilihlah malam Senin yang dipercaya sebagai malam hari kelahiran Rasulullah, atau malam Jum'at sebagai hari agung umat Islam. Demikian pula, pembacaan dilaksanakan secara terus menerus selama bulan Rabi' al-Awwal sebagai bulan kelahiran Rasulullah, terutama pada tanggal 1 sampai 12 pada bulan tersebut.
Selain itu, kitab maulid dibacakan saat kelahiran bayi, serta segala upacara yang berhubungan dengan siklus kemanusiaan. Kesakralan suasana terbangun oleh alunan pelantun dan pembaca prosa lirik maulid dan kekhusyukan para peserta, yang untuk beberapa daerahsering pula memberikan senggakan berupa lafadz “Allah” setiap satu kalimat selesai dibaca.
Di samping itu, sakralitas pembacaan maulid juga terjadi pada lagu-lagu pujian (shalawat) terhadap Rasulullah yang dinyanyikan berkali-kali. Pada kelompok masyarakat tertentu, sering pula disertai dengan iringan musik serta tarian, yang menambah kekhusyukan peserta. Hal-hal yang mendatangkan kekhusyukan itulah yang sering mendatangkan kerinduan pada peserta, untuk tetap merengkuh pembacaan kitab maulid sebagai bagian tak terpisahkan dari tradisi keagamaannya.
Yang juga tidak kalah menarik adalah fenomena saat srakalan (mahal al-qiyam). Suasana yang terbangun sangat sakral. Pada saat berdiri untuk melantunkan shalawat asyraqal-badru, setelah imam atau orang yang membaca prosa lirik sampai pada cerita kelahiran Nabi, suasananya sangat khusyuk. Hal ini merupakan ekspresi kegembiraan yang luar biasa atas kelahiran Nabi. Walaupun hal ini merupakan sesuatu yang tidak atau sulit diterima pemikiran logis, namun bagi kalangan pengikut pembacaan dipegang secara kuat.
Al-Barzanji, merupakan sebuah karya tulis seni sastra yang memuat kehidupan Nabi Muhammad Saw. Karya sastra ini dibaca dalam berbagai upacara keagamaan di dunia Islam, termasuk di Indonesia, sebagai bagian yang menonjol dalam kehidupan beragama tradisional. Dengan membacanya dapat ditingkatkan iman dan kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw dan diperoleh banyak manfaat.
Kitab ini memuat riwayat kehidupan Nabi Muhammad Saw: silsilah keturunannya serta kehidupannya semasa kanak-kanak, remaja, dan pemuda. hingga ia diangkat menjadi rasul. Al-Barzanjî juga mengisahkan sifat Nabi Saw serta perjuangannya dalam menyiarkan Islam dan menggambarkan kepribadiannya yang agung untuk diteladani oleh umat manusia.[3]
Kitab 'Iqd al-Jawahir (Kalung Permata) yang lebih terkenal dengan sebutan al-Barzanji ditulis oleh Syekh Ja'far al-Barzanjî bin Husin bin Abdul Karim yang lahir (1690) dan meninggal (1766) di Madinah. Nama al-Barzanji dibangsakan kepada nama penulisnya yang juga diambil dari tempat asal keturunannya yakni daerah Barzinj (Kurdistan). Nama tersebut menjadi populer di dunia Islam pada tahun 1920-an ketika Syekh Mahmud al-Barzanjî memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.
Kitab al-Barzanjî ditulis untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw dan agar umat Islam meneladani kepribadiannya, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Quran surah al-Ahzab (33) ayat 21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”[4]
Di dalam al-Barzanjî dilukiskan riwayat hidup Nabi Muhammad Saw dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi serta prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik perhatian pembaca/pendengarnya, apalagi yang memahami arti dan maksudnya. Secara garis besar paparan al-Barzanjî dapat diringkas sebagai berikut.
1) Silsilah Nabi Muhammad SAW adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka'b bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan.
2) Pada masa kanak-kanaknya banyak kelihatan hal luar biasa pada diri Muhammad Saw, misalnya malaikat membelah dadanya dan mengeluarkan segala kotoran dari dalamnya.
3) Pada masa remajanya, ketika berumur 12 tahun, ia dibawa pamannya berniaga ke Syam (Suriah). Dalam perjalanan pulang. seorang pendeta melihat tanda-tanda kenabian pada dirinya.
4) Pada waktu berumur 25 tahun ia melangsungkan pernikahannya dengan Khadijah binti Khuwailid.
5) Pada saat berumur 40 tahun ia diangkat menjadi rasul. Sejak saat itu ia menyiarkan agama Islam sampai ia berumur 62 tahun dalam dua periode, yakni Mekah dan Madinah, dan meninggal dunia di Madinah sewaktu berumur 62 tahun setelah dakwahnya dianggap sempurna oleh Allah Swt.
Kitab al-Barzanjî dalam bahasa aslinya (Arab) dibaca di mana-mana pada berbagai kesempatan. Antara lain pada peringatan maulid Nabi Saw (hari lahir), upacara pemberian nama bagi seorang anak/bayi, acara khitanan (Khitan), upacara pernikahan, upacara memasuki rumah baru, berbagai upacara syukuran dan ritus peralihan lainnya sebagai sebuah acara ritual yang dianggap dapat meningkatkan iman dan membawa banyak manfaat.
Dalam acara-acara tersebut al-Barzanjî dilagukan dengan bermacam-macam lagu yaitu:
1) lagu Rekby, dibacakan dengan perlahan-lahan;
2) lagu Hejas. dibacakan dengan menaikkan tekanan suara dari lagu Rekby;
3) lagu Ras, dibacakan dengan tekanan suara yang lebih tinggi dari lagu Hejas, dengan irama yang beraneka ragam;
4) lagu Husain, dibacakan dengan tekanan suara yang tenang;
5) lagu Nakwan, dibacakan dengan suara tinggi dengan irama yang sama dengan lagu Ras; dan
6) lagu Masyry, dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang dalam.[5]
Ada yang membacanya secara berkelompok sampai tujuh kelompok yang bersahut-sahutan, dan ada pula yang tidak dalam kelompok, tetapi membacanya secara bergiliran satu per-satu dari awal sampai akhir.
Kitab al-Barzanjî telah dikomentari oleh ulama Indonesia dalam bahasa Jawa, Indonesia, dan Arab. Mereka antara lain adalah:
1) Syeikh Nawani al-Bantani (1813 -1897), Madarij as-Su'ud ila Iktisa' al-Burud (Jalan Naik untuk Dapat Memakai Kain yang Bagus), komentar dalam bahasa Arab dan telah diterbitkan beberapa kali;
2) Syeikh Abu Ahmad Abdul hamid al-Kandali/Kendal, Sabil al-Munji (Jalan bagi Penyelamat), terjemahan dan komentar dalam bahasa Jawa, diterbitkan oleh Menara Kudus;
3) Syeikh Ahmad Subki Masyhadi, Nur al-Lail ad-Daji wa Miftah Bab al-Yasar (Cahaya di malam gelap dan kunci pintu kemudahan), terjemahan dan komentar dalam bahasa Jawa, diterbitkan oleh Hasan al-Attas, Pekalongan;
4) Syeikh Asrari Ahmad, Munyat al-Martaji al-Tarjamah Maulid al-Barzanjî (Harapan bagi Pengharap dalam Riwayat Hidup Nabi Tulisan al-Barzanjî), terjemahan dan komentar dalam bahasa Jawa, diterbitkan oleh Menara Kudus;
5) Syeikh Mundzir Nadzii, al-Qaul al-Munji 'ala Ma'ani al-Barzanjî (Ucapan yang Menyelamatkan dalam Makna-Makna al-Barzanjî), terjemahan dan komentar bahasa Jawa. diterbitkan oleh Sa'ad bin Nashir bin Nabhan, Surabaya; dan
6) Syeikh M. Mizan Asrani Muhammad, Badr ad-Daji fi Tarjamah Maulid al-Barzanjî (Purnama Gelap Gulita dalam Sejarah Nabi yang Ditulis al-Barzanjî), terjemahan Indonesia diterbitkan oleh Karya Utama, Surabaya.[6]

[1] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina,1997), hlm. 182.
[2] Ibid
[3] Abdul Aziz Dahlan, dkk (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Juz I, (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997), hlm. 199
[4] Ibid
[5] Ibid, hlm. 200
[6] Ibid.





































PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD

Perayaan-Maulid-Nabi-Muhammad-SAW
Kegiatan Maulid Nabi belum dilaksanakan pada zaman Nabi, tetapi pekerjaan itu dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya secara umum. Walaupun tidak ada nash yang nyata tetapi secara tersirat Allah dan Rasul-Nya menyuruh kaum muslimin untuk merayakan suatu hari yang menjadi peringatan-peringatan seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, tahun baru Islam, hari Asyura’ dan lain-lain.[1]
Di antara 40 dalil yang menjadi dasar Maulid Nabi antara lain:
Dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: bahwasanya Rasulullah ketika di Madinah beliau dapat orang Yahudi puasa pada hari Asyura, maka Nabi bertanya kepada mereka: hari apakah yang kamu puasakan ini? Jawab mereka: ini hari besar di mana Allah telah membebaskan Musa dan kaumnya, maka Musa berpuasa pada hari semacam ini karena bersyukur kepada Allah dan kamipun mempuasakan pula untuk menghormati Musa disbanding kamu. Maka Nabi berpuasa pada hari Asyura itu dan beliau menyuruh umat Islam untuk berpuasa pada hari itu.” (HR. Bukhari Muslim)[2]
Al-Hafid Ibnu Hajar Asqalani yaitu pengarang Shahih Bukhari yang bernama Fatkhul Bari’ mengatakan bahwa dari hadis tersebut dapat dipetik hukum:
1. Umat Islam dibolehkan bahkan dianjurkan agar memperingati hari-hari bersejarah, hari-hari yang dianggap besar seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan lain-lain.
2. Nabi pun memperingati hari karamnya Fir’aun dan bebasnya Musa dengan melakukan puasa Asyura sebagai rasa syukur atas hapusnya yang bathil dan tegaknya yang hak.[3]
Selanjutnya dalil yang berkaitan dengan Maulid Nabi sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah SWT. Surat al-A’raf ayat 157:
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf: 157).
Dalam ayat ini dinyatakan dengan tegas bahwa orang yang memuliakan Nabi Muhammad SAW, adalah orang yang beruntung. Merayakan Maulid Nabi termasuk dalam rangka memuliakannya. Ayat di atas sangat umum dan luas. Artinya, apa saja yang dikerjakan kalau diniatkan untuk memuliakan Nabi maka akan mendapat pahala. Yang dikecualikan ialah kalau memuliakan Nabi dengan suatu yang setelah nyata haramnya dilarang oleh Nabi seperti merayakan Maulid Nabi dengan judi, mabuk-mabukan dan lain sebagainya.[4]
Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193M). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.
Fakta yang sesungguhnya dari kehidupan Rasulullah SAW menegaskan bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pada tiap ulang tahun kelahirannya melakukan ritual tertentu. Bahkan para shahabat beliau pun tidak pernah kita baca dalam sejarah pernah mengadakan ihtifal (seremoni) secara khusus setiap tahun untuk mewujudkan kegembiraan karena memperingati kelahiran Nabi SAW. Bahkan upacara secara khusus untuk merayakan ritual maulid Nabi SAW. juga tidak pernah kita dari generasi tabi'in hingga generasi salaf selanjutnya.
Perayaan seperti ini secara fakta memang tidak pernah diajarkan, tidak pernah dicontohkan dan juga tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullah SAW, para shahabat bahkan para ulama salaf di masa selanjutnya. Perayaan mauled Nabi SAW secara khusus baru dilakukan di kemudian hari, dan ada banyak versi tentang siapa yang memulai tradisi ini. Sebagian mengatakan bahwa Shalahuddin Al-Ayyubi yang mula-mula melakukannya, sebagai reaksi atas perayaan natal umat Nasrani. Karena saat itu di Palestina, umat Islam dan Nasrani hidup berdampingan. Sehingga terjadi interaksi yang majemuk dan melahirkan berbagai pengaruh satu sama lain.
Versi lain menyatakan bahwa perayaan maulid ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fatimiyyah di Mesir pada akhir abad keempat hijriyah. Hal itu seperti yang ditulis pada kitab Al-A'yad wa atsaruha alal Muslimin oleh Sulaiman bin Salim As-Suhaimi hal 285-287. Disebutkan bahwa para khalifah Bani Fatimiyyah mengadakan perayaan-perayaan setiap tahunnya, di antaranya adalah perayaan tahun baru, asyura, maulid Nabi SAW. bahwa termasuk maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husein serta maulid Fatimah dll. Versi lainnya lagi menyebutkan bahwa perayaan maulid dimulai tahun 604 H oleh Malik Mudaffar Abu Sa'id Kukburi.
Hukum Merayakan Maulid Nabi SAW
Bagi mereka yang sekarang ini banyak merayakan maulid Nabi SAW, seringkali mengemukakan dalil. Di antaranya:
Mereka berargumentasi dengan apa yang ditulis oleh Imam al-Suyuti di dalam kitab beliau, Hawi li al-Fatawa Syaikhul Islam tentang Maulid serta Ibn Hajar al-Asqalani ketika ditanya mengenai perbuatan menyambut kelahiran Nabi SAW. Beliau telah memberi jawaban secara bertulis:
Adapun perbuatan menyambut maulid merupakan bid'ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafush-shaleh pada 300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan itu penuh dengan kebaikan dan perkara-perkara yang terpuji, meski tidak jarang dicacat oleh perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya. Jika sambutan maulid itu terpelihara dari perkara-perkara yang melanggar syari'ah, maka tergolong dalam perbuatan bid'ah hasanah. Akan tetapi, jika sambutan tersebut terselip perkara-perkara yang melanggar syari'ah, maka tidak tergolong di dalam bid'ah hasanah.
Selain pendapat di atas, mereka juga berargumentasi dengan dalil hadits yang menceritakan bahwa siksaan Abu Lahab di neraka setiap hari Senin diringankan. Hal itu karena Abu Lahab ikut bergembira ketika mendengar kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad SAW. Meski dia sediri tidak pernah mau mengakuinya sebagai Nabi. Bahkan ekspresi kegembiraannya diimplementasikan dengan cara membebaskan budaknya, Tsuwaibah, yang saat itu memberi kabar kelahiran Nabi SAW. Perkara ini dinyatakan dalam Shahih Bukhari dalam kitab Nikah. Bahkan Ibnu Katsir juga membicarakannya dalam kitabnya Siratun Nabi jilid 1 halaman 124.
Syamsuddin Muhammad bin Nasiruddin ad-Dimasyqi menulis dalam kitabnya Mawrid as-sadi fi Mawlid al-Hadi: "Jika seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal di dalamnya" (surat Al-Lahab ayat 111) diringankan siksa kuburnya tiap Senin, apalagi dengan hamba Allah yang seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran Ahmad dan meninggal dengan menyebut "Ahad".
Hujjah lainnya yang juga diajukan oleh para pendukung Maulid Nabi SAW adalah apa yang mereka katakan sebagai pujian dari Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani. Menurut mereka, Ibnu Hajar telah menulis di dalam kitabnya, 'Al-Durar al-Kamina Fi 'ayn al-Mi'at al-Thamina' bahwa Ibnu Kathsir telah menulis sebuah kitab yang bertajuk maulid Nabi di penghujung hidupnya,
Malam kelahiran Nabi SAW merupakan malam yang mulia, utama, dan malam yang diberkahi, malam yang suci, malam yang menggembirakan bagi kaum mukmin, malam yang bercahaya-cahaya, terang benderang dan bersinar-sinar dan malam yang tidak ternilai.
Para pendukung maulid Nabi SAW juga melandaskan pendapat mereka di atas hadits bahwa motivasi Rasulullah SAW berpuasa hari Senin karena itu adalah hari kelahirannya. Selain karena hari itu merupakan hari dinaikkannya laporan amal manusia. Abu Qatadah al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari Senin, menjawab, "Itulah hari aku dilahirkan dan itulah juga hari aku diangkat menjadi Rasul." Hadits ini bisa kita dapat di dalam Sahih Muslim, kitab as-siyam (puasa).
Pendapat yang Menentang Maulid Nabi SAW
Pendapat yang menentang maulid Nabi SAW berpendapat bahwa argumentasi ini dianggap belum bisa dijadikan landasan dasar pensyariatan seremoni Maulid Nabi SAW. Misalnya cerita tentang diringankannya siksa Abu Lahab itu, mereka mengatakan bahwa Abu Lahab yang diringankan siksanya itu pun hanya sekali saja bergembiranya, yaitu saat kelahiran. Dia tidak setiap tahun merayakan kelahiran Nabi dengan berbagai ragam seremoni. Kalau pun kegembiraan Abu Lahab itu melahirkan keringanan siksanya di neraka tiap hari Senin, bukan berarti orang yang tiap tahun merayakan lahirnya Nabi SAW akan mendapatkan keringanan siksa.
Demikian juga dengan pujian dari Ibnu Katsir, sama sekali tidak bisa dijadiakan landasan perintah untuk melakukan seremonial khusus di hari itu. Sebab Ibnu Katsir hanya memuji malam hari di mana Nabi SAW lahir, namun tidak sampai memerintahkan penyelenggaraan seremonial.
Demikian juga dengan alasan bahwa Rasulullah SAW berpuasa di hari Senin, karena hari itu merupakan hari kelahirannya. Hujjah ini tidak bisa dipakai, karena yang saat dilakukan bukan berpuasa, tapi melakukan berbagai macam aktifitas setahun sekali.[5]
Kalau pun mau ber-ittiba' pada hadits itu, seharusnya umat Islam memperbanyak puasa sunnah hari Senin, bukan menyelenggarakan seremoni maulid setahun sekali. Bahkan mereka yang menentang perayaan maulid Nabi ini mengaitkannya dengan kebiasaan dari agama sebelum Islam. Di mana umat Yahudi, Nasrani dan agama syirik lainnya punya kebiasaan ini. Buat kalangan mereka, kebiasaan agama lain itu haram hukumnya untuk diikuti. Sebaliknya harus dijauhi. Apalagi Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkannya atau mencontohkannya. Dahulu para penguasa Mesir dan orang-orang Yunani mengadakan perayaan untuk tuhan-tuhan mereka. Lalu perayaan-perayaan ini di warisi oleh orang-orang Kristen, di antara perayaan-perayaan yang penting bagi mereka adalah perayaan hari kelahiran Isa al-Masih, mereka menjadikannya hari raya dan hari libur serta bersenang-senang. Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat makanan-makanan khusus serta mengadakan hal-hal yang diharamkan.
Dan akhirnya, para penentang maulid mengatakan bahwa semua bentuk perayaan maulid Nabi yang ada sekarang ini adalah bid'ah yang sesat. Sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk menyelenggarakannya atau ikut mensukseskannya.[6]
Jawaban dari Pendukung Maulid
Tentu saja para pendukung mauled Nabi SAW, tidak rela begitu saja dituduh sebagai pelaku bid'ah. Sebab dalam pandangan mereka, yang namanya bid'ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah (formal) saja, bukan dalam masalah sosial kemasyarakatan atau masalah muamalah.
Adapun seremonial maulid itu oleh para pendukungnya diletakkan di luar ritual ibadah formal. Sehingga tidak bisa diukur dengan ukuran bid'ah. Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis buku tentang kisah Nabi SAW. Padahal di masa Rasulullah SAW, tidak ada perintah atau anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa salah berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.
Lalu kalau sekarang ini umat Islam memiliki koleksi buku sirah nabawiyah, apakah hal itu mau dikatakan sebaga bid'ah? Tentu tidak, karena buku itu hanyalah sarana, bukan bagian dari ritual ibadah. Dan keberadaan buku-buku itu justru akan membuat umat Islam semakin mengenal sosok beliau. Bahkan seharusnya umat Islam lebih banyak lagi menulis dan mengkaji buku-buku itu.
Dalam logika berpikir pendukung maulid, kira-kira seremonial maulid itu didudukkan pada posisi seperti buku. Bedanya, sejarah Nabi SAW tidak ditulis, melainkan dibacakan, dipelajari, bahkan disampaikan dalam bentuk seni syair tingkat tinggi. Sehingga bukan melulu untuk konsumsi otak, tetapi juga menjadi konsumsi hati dan batin, karena kisah Nabi disampaikan dalam bentuk syair yang indah. Dan semua itu bukan termasuk wilayah ibadah formal (mahdhah) melainkan bidang mu’amalah. Di mana hukum yang berlaku bahwa segala sesuatu asalnya boleh, kecuali bila ada dalil yang secara langsung melarangnya secara eksplisit.
Kesimpulan sebagai bagian dari umat Islam, barangkali kita ada di salah satu pihak dari dua pendapat yang berbeda. Kalau pun kita mendukung salah satunya, tentu saja bukan pada tempatnya untuk menjadikan perbedaan pandangan ini sebagai bahan baku saling menjelekkan, saling tuding, saling caci dan saling menghujat.
Perbedaan pandangan tentang hukum merayakan Maulid Nabi SAW, suka atau tidak suka, memang telah kita warisi dari zaman dulu. Para pendahulu kita sudah berbeda pendapat sejak masa yang panjang. Sehingga bukan masanya lagi buat kita untuk meninggalkan banyak kewajiban hanya lantaran masih saja meributkan peninggalan perbedaan pendapat di masa lalu.
Sementara di masa sekarang ini, sebagai umat Islam, bukanlah waktu yang tepat bila kita saling bertarung dengan sesama saudara kita sendiri, hanya lantaran masalah ini. Sebaliknya, kita justru harus saling membela, menguatkan, membantu dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan pandangan sudah pasti ada dan tidak akan pernah ada habisnya. Kalau kita terjebak untuk terus bertikai.
Menurut catatan sejarah, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali diperkenalkan seorang penguasa Dinasti Fatimiyah. Jauh sebelum Al-Barzanji lahir dan menciptakan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Langkah ini secara tidak langsung dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada khalayak, bahwa dinasti ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW. Setidaknya ada dimensi politis dalam kegiatan tersebut.
Selanjutnya peringatan Maulid menjadi sebuah rutinitas umat Islam di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi setelah Abu Sa’id al-Qakburi, Gubernur Irbil, Irak, mempopulerkannya pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1138-1193M). Waktu itu tujuannya untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara menghadapi serangan tentara salib dari Eropa, yang ingin merebut tanah suci Jerusalem dari tangan kaum muslimin.
Memuliakan keagungan pribadi junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW sudah menjadi ketentuan syari’at. Menyambut kegembiraan kelahirannya merupakan salah satu pertanda rasa terima kasih dan syukur kepada Allah SWT sekaligus merupakan bukti tentang keikhlasan menerima hidayah Illahi yang dibawa Nabi Muhammad SAW.[7]
Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat Nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acara Muludan juga dirayakan dengan perayaan dan permainan gamelan Sekaten.
Sebagian masyarakat muslim Sunni dan Syiah di dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awal sedangkan muslim Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.
Kaum ulama yang berpaham Salafiyah dan Wahabi, umumnya tidak merayakannya karena menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah Bid'ah, yaitu kegiatan yang bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatannya.
Maulid sebagai bagian dari tradisi keagamaan dapat dilihat dari dua segi, yakni segi historis dan segi sosial kebudayaan. Dari sudut historis, pada cacatan al-Sandubi dalam karyanya Tarikh al- ikhtilaf fi al-Maulid al-Nabawi, al-Mu’izz li-Dinillah (341-365/953-975), penguasa dari Fatimiyah yang pertama menetap di Mesir, adalah orang yang pertama yang menyelenggarakan perayaan kelahiran Nabi yang tercatat dalam sejarah Islam. Kemudian kurun-kurun berikutnya tradisi yang semula dirayakan hanya oleh sekelompok Syi’i ini juga dilaksanakan oleh kaum Sunni, di mana khalifah Nur al-Din, penguasa Syiria (511-569/1118-1174) adalah penguasa pertama yang tercatat merayakan Maulid Nabi. Pelaksanaan secara besar-besaran dilaksanakan untuk pertama kalinya oleh Raja Mudhaffar Abu Said al-Qakburi bin Zaid al-Din Ali bin Baktakin (549-643/1154-1232) penguasa Irbil 80 km tenggara Mosul Iran yakni pada awal abad ke 7H/ke 13 M.[8]
Adapun karya-karya mengenai maulid tercatat memiliki keterkaitan tarekat adalah al-Barzanji, yakni yang diadopsi dari tarekat tertua, Qadiriyyah, sedangkan kitab maulid al-Diba’i tidak memiliki kaitan dengan thariqah.[9] Namun hampir terdapat kepastian, bahwa munculnya kitab-kitab Maulid pada abad ke 15M/ke 9-10H sebagai ekspresi penggugah semangat kecintaan dan kerinduan pada Rasul terilhami dari budaya sufisme. Tentu saja antara tasawuf dan tarekat dengan kitab-kitab Maulid Nabi serta, serta tradisi pembacaannya memiliki garis hubungan spiritual yang menjadi titik tolak bertemunya doktrin tasawuf dengan isi atau kandungan kitab Maulid tersebut.
Antara sufisme dan maulid itu, dihubungkan dengan doktrin cinta (mahabbah dan al-hubb). Maka disini, posisi kitab Maulid dengan segala tradisinya menghubungkan antara pembaca dengan yang dicintai yakni Nabi Muhammad. Kecintaan kepada Nabi Muhammad ini dalam tradisi Maulid menjadi inti, sebagai sarana wushuliyyah menuju kecintaan kepada Allah. Sebab di dalamnya terdapat doktrin tentang Nur Muhammad sebagai pusat danmaksud penciptaan alam dan manusia.[10]
Belum didapatkan keterangan yang memuaskan mengenai bagaimana perayaan maulid berikut pembacaan kitab-kitab maulid masuk ke Indonesia. Namun terdapat indikasi bahwa orang-orang Arab Yaman yang banyak datang di wilayah ini adalah yang memperkenalkannya, disamping pendakwah-pendakwah dari Kurdistan. Ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa sampai saat ini banyak keturunan mereka maupun syaikh-syaikh mereka yang mempertahankan tradisi pembacaan Maulid. Di samping dua penulis kenamaan Maulid berasal dari Yaman (al-Diba’i) dan dari Kurdistan (al-Barzanji), yang jelas kedua penulis tersebut mendasarkan dirinya sebagai keturunan rasulullah, sebagaimana terlihat dalam kasidah-kasidahnya.[11]
Dapat dipahami bahwa tradisi keagaman pembacaan Maulid merupakan salah satu sarana penyebaran Islam di Indonesia, Islam tidak mungkin dapat tersebar dan diterima masyarakat luas di Indonesia, jika saja proses penyebarannya tidak melibatkan tradisi keagamaan tradisi keagamaan. Yang jelas terdapat fakta yang juat bahwa tradisi pembacaan mauled merupakan salah satu ciri kaum muslim tradisional di indonesia.[12] Dan umumnya dilakukan oleh kalangan sufi. Maka dari segi ini dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa masuknya Perayaan Maulid berikut pembacaan kitab-kitab maulid bersamaan dengan proses masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh pendakwah yang umumnya merupakan kaum sufi.[13]
Hal itu dilakukan karena dasar pandangan ahl al-sunnah wa al-jama’ah, corak Islam yang mendominasi warna Islam Indonesia, lebih fleksibel dan toleran dibanding dengan kelompok lain. Mempertahankan tradisi menjadi sangat penting maknanya dalam kehidupan keagamaan mereka, berdasarkan pada kaidah ushuliyah, al-muhafadzah li al qadim al- shalih, wa al-ahdza min jadid al ashlah. Inilah kemudian dalam wacana keilmuan disebut sebagai Islam Tradisional.
Justru karena kemampuan dalam menyesuaikan ajaran Islam dengan tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat inilah, maka kelompok tradisional Islam berhasil menggalang simpati dari berbagai pihak yang menjadi kekuatan pedukung. Rozikin Daman memandang bahwa hal inilah yang mendorong timbulnya kelompok tradisionalisme dan sekaligus menjadi salah satu faktor pendorong bagi tumbuhnya gerakan tradisionalisme Islam.[14]
Salah satu sarana efektif penggalangan simpati tersebut adalah pelestarian tradisi keagamaan yang populer di masyarakat, termasuk yang paling penting didalamya adalah peringatan maulid serta pembacaan kitab-kitab maulid, yang umumnya lebih dikenal sebagi diba’an atau berjanjen.


[1] Sirajudin Abbas, 40 Masalah Agama 2, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004), hlm.182.
[2] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Libanon: Darul Fikr, t.th.), hlm. 241.
[3] Sirajudin Abbas, Op. Cit., hlm. 183.
[4] Sirajuddin Abbas, Op. Cit., hlm. 183-184.
[5] Hammad Abu Muawiyah As-Salafi, Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi, (PKG goa-Sulawesi Selatan: Al Maktabah al-Atsariyah Ma’had Tanwir as-Sunnah, 2007) hlm. 201
[6] Ibid., hlm 203
[7] Al-Hamid al-Husaini, Sekitar Maulid Nabi Muhammad SAW dan Dasar Hukum Syari’atnya, (Semarang: Toha Putra, 1987), hlm. 82.
[8] Nico Kaptein, Perayaan hari sejarah lahir nabi Muhammad SAW, Asal usul sampai abad ke 10/16, terj Lillian D. Tedjasudhana, INIS, Jakarta 1994, hal 10/ ke – 16 terjemah Lilian D. Tedjasudhana, INIS, Jakarta 1994, hlm 10-18, 20-23, 27-29, dan hal 41 bandingkan dengan Macahasin, Dibaan/Barjanjen dan identitas keagamaan umat, dalam jurnal Theologia, Fak Ushuluddin IAIN Walisongo, vol 12, no 1 Pebruari, 2001, hlm 24
[9] Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik Pengalaman Keagamaan Jamaah Maulid al-Diba’ Girikusumo, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2003) hlm.64
[10] Mengenai doktrin ini lihat Ahmd Muhammad Yunus Langka, Daqaiq al-Akbar, tt., hlm 2-3 lihat juga Abd Rahman al-Diba’i, Maulid al-Diba’i, dalam al-Mawlid Wa Ad’iyyah, tt, Surabaya, hlm. 169. Sedangkan mengenai hadits-hadits yang berkaitan dengan doktrin tersebut lihat Muhammad Nafisal Banjari, Durr al- Nafs, Singapura, 1928 hlm.21-22
[11] Bandingkan dengan Machasin, op. cit., Mengenai klaim penulis sebagai keturunan Rasulullah. Dalam kitab maulid al-Barzanji maupun al-Diba’i.
[12] Ibid., hlm 23
[13] Corak dengan kaum tradisional itu tidak lepas pula dari strategi dakwah yang diterapkan oleh para penyebar Islam mula-mula di Indonesia saat itu yang sebagian besar petani yang tinggal di daerah pedesaan dan tingkat pendidikannya yang sangat rendah, maka pola penyebaran Islampun disesuaikan dengan kemampuan pemahaman masyarakat. Sehingga materi dakwah pada waktu itu lebih diarahkan keyakinan serta ajaran ibadah yang bersifat pemujaan secara ritual. Selain itu ditopang oleh perilaku ibadah dan upacara ritual keagamaan yang dianggap akan makin memperkokoh keimanan dan keislaman mereka sangat dianjurkan, seperti tahlilan, yasinan, ziarah kubur, talqin, shadaqahan (kenduri/ kondangan, selamatan) haul upacara yang terkait dengan kematian dan sebagainya.
[14] Rozikin Daman, Membidik NU Dilema Percaturan Politik Nu Pasca Khittah, Yogyakarta: Gama Media, 2001).hlm 35































































PRAKTIK POLIGAMI NABI MUHAMMAD SAW

mawar
Untuk dapat memahami poligami Nabi secara benar, terlebih dahulu harus mengerti aspek historis dari ajaran Islam. Khususnya mengerti dan menghayati sejarah perjalanan hidup pribadi Nabi Muhammad Saw. Diketahui secara luas bahwa jauh sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, figur Nabi Muhammad telah dikenal luas di kalangan masyarakat Arab sebagai orang yang paling alim dan paling jujur sehingga beliau digelari dengan sebutan al-amin.
Nabi menikah pertama kali dengan Khadijah binti Khuwailid bin Asad ketika beliau berumur 25 tahun. Pada waktu itu, Khadijah adalah seorang janda yang telah berumur 40 tahun. Selama 25 tahun mereka hidup bersama, yaitu 15 tahun sebelum diangkat menjadi Nabi dan 10 tahun setelah diangkatmenjadi Nabi. Kemudian Khadijah meninggal dunia 3 tahun sebelum hijrah.[1]
Setelah kepergian Khadijah, sekitar 3 tahun, Rasulullah tidak menikah lagi. Kemudian Rasulullah menikahi Saudah binti Zam’ah, yang ditinggal mati suaminya yaitu Sakran ibn Amr. Sakran dan Saudah adalah sahabat Rasul yang ikut hijrah keMadinah. Beliau kasihan karena Saudah hidup sebatangkara dan dikucilkan keluarganya yang kafir, akibat ia masuk Islam.
Beberapa bulan kemudian Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang merupakan satu-satunya istri Rasul yang bukan seorang janda. Pada waktu inilah Rasulullah baru memadu istrinya setelah berumur 53 tahun, artinya beliau berpoligami setelah berusia tua. Padahal nafsu laki-laki akan menurun pada umur empat puluhan dan hal itu telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah.
Waktu yang dihabiskan Rasulullah untuk beristeri satu adalah masa ketenangan dan kemantapan beliau. Adapun masa singkat yang tidak lebih dari 10 tahun, masa beliau berpoligami adalah masa pergolakan, perjuangan, dan peperangan. Hal ini membuktikan beliau berpoligami bukan karena dorongan syahwat, tetapi untuk kepentingan pelaksanaan syariat dan urusan politik serta kemanusiaan.[2]
Istri keempat Rasulullah yaitu Hafsah binti Umar bin Khattab. Dia adalah seorang janda dari Khanis yang wafat karena luka-luka yang dideritanya pada waktu perang badar. Rasulullah menikahinya karena rasa tanggung jawab dan kecintaan beliau kepada Umar. Dan untuk melindungi serta menghiburnya dari kehilangan suami yang telah syahid di medan perang.[3]
Istri Rasulullah berikutnya adalah Zainab binti Khuzaimah. Zainab adalah seorang janda yang memelihara anak-anak yatim dan orang-orang lemah sehingga rumahnya sebagai tempat penampungan mereka. Oleh sebab itu dia diberi gelar “ibu para fakir miskin”, lalu Rasulullah mengawininya sebagai balas jasa atas amalan kebaikannya. Kurang lebih 8 bulan setelah perkawinannya, Zainab jatuh sakit dan meninggal dunia. Empat bulan setelah Zainab wafat, Nabi Saw menikahi Ummu Salamah[4] yang berusia 29 tahun. Ia adalah janda Abu Salamah sepupu Nabi Saw.[5]
Di antara beberapa istri Nabi yang telah dipaparkan di atas dapat diketahui bahwa semua istri Nabi Saw adalah para janda kecuali Aisyah, satu-satunya perawan yang dinikahi Nabi Saw dalam usia muda. Seluruh perkawinan Nabi Saw mengandung tujuan yang jelas, di antaranya adalah untuk mengobati luka hati atau menghibur mereka karena suami mereka terbunuh. Perkawinan tersebut bertujuan menentramkan hati mereka tanpa tujuan hanya semata-mata untuk memuaskan nafsu.
Jika Rasulullah bertujuan untuk memuaskan nafsu maka tidak akan menikahi para janda yang sudah tua. Bagaimanapun beliau masih muda yang pada dasarnya masih memiliki keinginan kuat untuk memilih gadis-gadis perawan. Beliau pun sangat memahami bahwa perbedaan antara keduanya sangat besar.

[1] Ali Audah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Akar dan Awal, (Jakarta: PT Ightiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 81
[2] Musfir Husain Aj-Jahrani, Nazhratun fi Ta’addudi Az-Zaujat, diterjemahkan Muh. Suten Ritonga, Poligami dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 93-94
[3] Abu Fikri, Poligami Yang Tak Melukai Hati?, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hlm. 46
[4] Urutan penyebutan isteri Nabi dapat dilihat di Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Akar dan Awal, hlm. 130
[5] Badri Yatim, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Akar dan Awal, (Jakarta: PT Ightiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 129