ILMU LADUNI, BISAKAH DICARI

khot
Assalamu’alaikum wr. wb
Pak Ustadz, akhir-akhir ini marak iklan dan pengumuman di mana-mana menawarkan ilmu makrifat, ilmu laduni, ilmu apa saja. Saya jadi tambah puyeng, tambah takut jangan-jangan hidup saya tambah tersesat.
Yang saya tanyakan, apa benar ilmu laduni itu bisa dicari, dan kalau memang bisa apakah yang selama ini ada itu benar-benar ilmu laduni atau ilmu jin/sihir/sontoloyo? tolong dijelaskan soal ilmu laduni ini Pak Kiai….Terima kasih sebanyak-banyaknya.
Wassalam
Abdul Azim
Mahasiswa UI Depok
 
BEGINI Mas, memang benar kegelisahan Anda juga mewakili kegelisahan yang lain. Soal ilmu laduni ini sesungguhnya tidak bisa dicari. Semata-mata anugerah Allah pada hamba-Nya yang dikehendaki, Allah berfirman:
“Dan Kami telah mengajarkan kepadanya, ilmu dari sisi-Ku”
Banyak umat Islam yang tidak percaya adanya ilmu laduni. Sebagaimana mereka juga tidak mempercayai adanya karomah-karomah para auliya’, makomat-makomat dalam dunia sufi, dan lebih ekstrim lagi, dunia kewalian itu dianggap tidak ada.
Mengapa mereka tidak mempercayainya? Tentu beberapa faktor pemahaman terhadap ilmu-ilmu Islam itu sendiri yang membuat mereka berbeda, karena sejak dari akar pemahamannya memang jauh dari substansi dan hakikatnya. Bisa saja, karena cara pandang mengenai ilmu itu sendiri baru di tahap ilmu Yaqin, sementara ‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, tidak tersentuh sama sekali.
Pendekatan Islam terhadap ilmu laduni ini, tentu tidak secara sistematis, dijabarkan oleh Allah dan oleh Rasulullah SAW. Tetapi Allah cukup mengilustrasikan “drama ilmu pengetahuan” dalam kisah Khidir dan Musa ‘alaihimassalam. Ketika Musa merasa paling representatif sebagai pendakwah agama, dan pengungkap kebenaran paling utama, tiba-tiba Allah SWT, mengingatkan adanya seorang hamba Allah yang tak dikenal oleh khalayak, dan memiliki segudang rahasia ilmu pengetahuan yang tidak dicapai oleh Nabiyullah Musa as. Dan kisah dramatis dalam al-Qur’an itu sebagai populer, karena dijelaskan oleh Rasulullah SAW, dalam hadits-Nya.
Ditambah sejumlah data-data hadist Nabi mengenai Uwais al-Qarany yang memiliki kehebatan-kehebatan luar biasa. Lalu sejumlah kisah pengetahuan yang muncul secara supra-intuitaf melalui ketersingkapan rahasia ilahi, yang pernah didapatkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan sejumlah ulama salaf lainnya.
Maka tulisan ini, merupakan sekian dari ribuan pledoi intelektual kaum sufi atas kenyataan, fakta, dan hikmah ilmu laduni tersebut. Bahkan, seorang ulama sufi besar di abad 7 hijriah, Syaikh Abu Muhammad Abdullah bin As’adalah al-Yafi’i (697-768 H) dalam kitabnya Kifayatul Mu’taqid wa-Nikayatul Muntaqid, membuat pledoi tebal tentang sejumlah kontroversi kritik yang diajukan oleh para ulama penentang tasawuf termasuk di dalamnya soal ilmu laduni.
Ketika menjawab soal kontrofersi ilmu laduni itu, beliau uraikan panjang lebar dengan bahasa sastra yang luhur. Bahkan dari uangkapan sastra sufistiknya saja, sudah terlintas bagaimana prosesi ilmu laduni itu melimpah pada hamba-hamba Allah yang dipilih-Nya ia memulai:
Ulama paling utama adalah ulama Billah. Yaitu para ulama yang mendapatkan limpahan ilmu pengetahuan melalui “tersingkapnya” tirai (rahasia ilahi). Mereka menyaksikan keindahan yang luhur, dan mereka mabuk dalam kecintaan ilahi, lalu mereka mengenal Asmaul Husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi secara hakiki. Kemudian mereka meriaskan sifat-sifat-Nya itu dengan estetika ruhani, lantas mereka saksikan keajaiban alam malaikat-Nya dan keanehan-keanehan yang menakjubkan di balik hikmah-nya kebesaran ayat-ayat-Nya Yang Agung.
Allah mendekatkan mereka dalam hadirat kemahasucian-Nya dan memajliskan mereka dihamparan kemesraannya. Sedangkan qalbu-qalbu mereka menjadi limpahan manifestasi sifat-sifat jamal dan jalal-Nya, bahkan qalbu itu menjadi cermin cahaya-cahaya-Nya, khazanah rahasia-rahasia-Nya, sumber pengetahuan dan hikmah-hikmah. Mereka adalah dian-dian hidayah, terbimbing dalam amaliah yang saleh, dan terjaga dalam ucapan maupun tindakan.
Sedangkan situasi ruhaninya dicemerlangkan, qalbunya melalui zikir dihidupkan, dibersihkan pula dari kotoran dan najis jiwanya. Kewalian mereka terpancar dalam tanda-tandanya, mereka pun memasrahkan gerak jiwanya pada kerajaan ilahi dan limpahan anugerah-Nya, bahkan kerinduannya senantiasa tergirahkan memandang wajah-Nya.
Mereka telah zuhud di dunia dan di akhirat, menghidupkan agama dan melimpahkan manfaat bagi para penempuh jalan ilahi. Mereka melakukan pembersihan jiwa umatnya, menata negaranya dan menyikap dan menghalau bencana-bencana.
Mereka bisa disebut sebagai orator-orator ilahi dari kedalaman hakiki, mereka adalah para Mursyid (Guru Ruhani) menuju jalan thariqah sufi. Mereka bicara dengan hikmah-hikmah dari lautan demi lautan suci yang bergolak ombak-ombaknya. Lalu mereka temukan mutiara-mutiara tauhid disana, lalu cahayanya memancar ke seluruh penjuru, menghampar dan memancar setiap zaman. Dari sana kemudian melahirkan para hamba-hamba Allah yang agung, mereka berdakwah melalui ilmu-ilmu laduni yang muncul dari mutiara-mutiara rahasia.
Lalu tersingkaplah hijab yang tinggi, mereka naik menuju tanjakan luhur sampai kesumber-sumbr cahaya ilahi. Mereka menetap di hamparan kemesraan illahiyah dan tersingkapkan bagi mereka, rahasia azaliyah.
Hasrat-hasrat mereka menanjak ke martabat luhur sampai di dataran ilmu-ilmu illahiyah dan nafas-nafas ruhaniyah. Maka, gamblanglah mereka, ilmu hakiki yang terlindungi, terbukalah kemudian rahasia yang terpendam (sirrul maknun).
Ruh-ruh mereka menegak minuman cinta di hadapan Al-Quds. Mabuklah mereka ketika memandang kemaha-indahan di hamparan kemesraan abadi itu, lalu mereka berputar-putar dalam kebimbangan di lautan makrifat rahasia-rahasia. Mereka menyucikan ilahi di taman terbitnya cahaya. Merekalah para sufi (Ashfiya’), yang dilimpahi cinta-Nya, para peserta majelis ilahi yang muqarrabun.
Indah nian ilustrasi tersebut. Gambaran tentang dunia laduni. Bahwa ilmu laduni itu berkelindan dengan tanjakan-tanjakan hakikat ruhani, dan karenanya ilmu laduni itu memang tidak bisa dicari, ditempuh seperti para penempuh akademi.
Para ulama itu sendiri bisa disebut mulia, karena kemuliaan ilmu yang dimilikinya. Sedangkan ilmu paling mulia, diukur menurut derajat keterkaitan sumbernya. Ilmu makrifat.
*dikutip dari Majalah POSMO edisi Edisi 300*

























No comments:

Post a Comment