SEJARAH MUNCULNYA TAREKAT DI INDONESIA

simbah ngaji 2
Melihat secara pasti darisegi historis, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga organisasi nampaknya agak begitu sulit. Kendatipun demikian, kemudian para peneliti mencoba mencari sejarah tahun berdirinya, tetapi mereka saling berbeda pendapat. Namun secara umum dapat dikemukakan bahwa tarekat-tarekat itu baru muncul atas nama masing-masing sekitar abad ke dua belas masehi. Karena kesulitan tersebut. Harun Nasution mencoba melihat secara tahapan perkembangannya saja, yaitu :
1. Tahap Khanaqah (pusat pertemuan Sufi) di sini Syekh memiliki sejumlah murid yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat.
Syekh menjadi mursyid yang dipatuhi, kontemplasi dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan secara kolektif. Kebiasaan ini menimbulkan pusat-pusat tasawuf yang belum mempunyai bentuk aristokratis.
2. Tahap Thariqah, yaitu pada abad ke-13 Masehi.
Pada masa ini sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan-peraturan dan metode tasawuf. Pada tahap inilah muncul pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilah masing-masing. Oleh karena itu berkembanglah metode-metode baru untuk mencapai kedekatan diri kepada Tuhan.
3. Tahap Ta’ifah, yaitu tahap ketiga. Tahap ini terjadi pada abad ke-15 Masehi.
Di sini terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada tahap ini pula muncul organisasi-organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di tempat lain. Pemuliaan kepada Syekh telah menjadi kebiasaan dan pada tahap inilah tasawuf telah mengambil bentuk kerakyatan. Pada tahap Ta’ifah ini, tarekat telah mengandung arti lain, yaitu sufi yang melestarikan ajaran-ajaran Syekh tertentu dan terdapatlah tarekat-tarekat.[1]
Adanya tarekat-tarekat kesufian di tanah air boleh dikatakan merupakan salah satu gejala keagamaan Islam yang menonjol. Tentang mengapa di Indonesia banyak berkembang tarekat, tentu terkait dengan teori yang telah umum diterima, yaitu bahwa Islam datang ke kawasan ini melalui gerakan kesufian dalam tarekat-tarekat. Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa tarekat telah masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia, dengan argumen bahwa masuknya tasawuf ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam karena Islam dibawake Indonesia oleh para Sufi.
Menurut perkiraan para peneliti, penyebaran Islam keIndonesia telah berlangsung sejak abad XIII M. A.H. Johns, seorang ahli filologi Australia menyatakan bahwa persebaran agama Islam yang sejak abad XIII makin lama makin meluas di kepulauan Indonesia ini, terutama terjadi berkat usaha para penyiar ajaran mistik Islam (sufi). Para penyiar itu menjadi anggota aliran mistik Islam (thariqat) yang melarikan diri dari Baghdad ketika kota itu diserbu orang Mongol dalam tahun 1258 M.[2]
Gagasan-gagasan mistik memang mendapat sambutan hangat di Jawa, karena sejak zaman sebelum masuknya agama Islam, tradisi kebudayaan Hindu-Buddha yang terdapat disana sudah didominasi oleh unsur-unsur mistik.
Adapun tarekat mulai berkembang dan mempunyai pengaruh besar pada abad ke-6 dan ke-7 H di Indonesia. Oleh karena itu, Dr. Mukti Ali menyatakan bahwa keberhasilan pengembangan Islam di Indonesia melalui tarekat dan tasawuf. Sejak masuknya Islam, bangsa Indonesia mengenal ahli fiqh (fuqaha) ahli teologi (mutakallimun) dan sebagainya. Namun yang sangat terkenal dalam sejarah adalah Syekh tarekat seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan Abdul al-Rauf Singkel.[3]
Sementara itu pengembang Islam lainnya yang termasyhur adalah Walisongo. Dari keterkenalan nama-nama para Walisongo di tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia, merupakan indikator bahwa penyebaran Islam di Indonesia dapat diterima oleh masyarakat Indonesia melalui tarekat. Apalagi sikap hidup dari para Syekh tarekat yang berpihak pada kepentingan rakyat, sehingga nama-nama dan ajarannya sangat berpengaruh besar dalam pembentukan pemikiran Islam rakyat maupun elit penguasa di Nusantara.[4]
Dengan demikian maka adanya corak kesufian yang kuat, yang melembaga dalam tarekat-tarekat, dalam penampilankeagamaan Islam di tanah air adalah bagian dari fakta sejarah masuk dan berkembang nya Islam di kawasan ini. Selanjutnya tarekat turut menjadi pemain utama dan penentu gerakan sosial politik dan ekonomi Nusantara. Sejarah menjadi saksi bahwa perlawanan bersenjata terhadap imperialis, kebanyakan digerakkan oleh parapemuka tarekat.
Di antara tarekat yang mula-mula muncul dan berkembang luas dalam perjalanan sejarah Nusantara adalah tarekat Qadiriyyah di Baghdad. Tarekat ini dinisbahkan kepada Muhyidin Abdul Qadir bin Abdullah al-Jili (w.1166 M). Tarekat yang lain adalah tarekat Rifa'iyah di Asia Barat yang didirikan oleh Syekh Ahmad Rifa’i (w.1182 M); tarekat Sadziliyah di Maroko dengan Nuruddin Ahmad bin Abdullah al-Syadzily (w.1228 M) sebagai Syekhnya. Dari Mesir berkembang tarekat Badawiyah atau Ahmadiyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad al-Badawi (w.1276 M), sementara dari Asia Tengah muncul tarekat al-Naqsabandi (w.1317 M). Selain itu bermunculan lagi tarekat lain seperti Bektasiyah di Turki, dan al-Tijaniyah di Afrika Utara.
Telah seringkali dikemukakan oleh para ahli sejarah, bahwa para penyebar Islam di Jawa hampir seluruhnya adalah pemimpin-pemimpin tarekat. Dengan kata lain, berbagai kualitas tarekat yang mampu menyerap pengikut dari bermacam-macam tingkatan kesadaran Islamnya, merupakan ujung panah yang sangat efektif bagi penyebaran Islam di Jawa.
Ada banyak alasan yang dapat menerangkan kenyataan ini. Pertama, tekanan tarekat pada amalan-amalan praktis dan etis cukup menarik perhatian bagikebanyakan anggota masyarakat. Dengan demikian penyebaran Islam tidak melalui ajaran-ajaran keagamaan secara teoritis, melainkan melalui contoh-contoh perbuatan dari para pengikut tarekat.
Di samping itu tekanan pada amalan praktisini juga dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional, terutama orang-orang tua yang mulai berkurang keinginan dan kebutuhannya terhadap tuntutan kehidupan yang bersifat duniawiyah. Dengan demikian, Islam yang disebarkan oleh organisasi-organisasi tarekat, bukan bersifat doktrin-doktrin formal yang kaku, melainkan menekankan perasaan keagamaan dan keintiman hubungan antara manusia dengan Tuhan maupun sesama manusia.
Alasan kedua, pertemuan secara teratur antara sesama anggota tarekat (yang biasanya diatur mingguan) dapat pula memenuhi kebutuhan sosial mereka.
Ketiga, organisasi-organisasi tarekat di Jawa mengajar partisipasi kaum wanita secara penuh, hal mana kurang memperoleh saluran yang cukup dalam lembaga-lembaga ke-Islaman yang lain. Sebagaimana prosentase kaum wanita dalam keanggotaan tarekat di Pesantren Tegalsari lebih besar dari kaum prianya.[5]


[1] M. Hasbi Amiruddin, Tarikat: Sejarah Masuk dan Pengaruhnya di Indonesia, Madaniya, Nomor 2 / 2002, hlm. 21-22.
[2] Simuh, Sufisme Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, cet. III, 1999, hlm. 50-51
[3] M. Muchsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik Tafsir Sosial Sufisme Nusantara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I, 2005, hlm. 37.
[4] Ibid, hlm. 38
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, cet. I, 1982, hlm. 144-145.























MACAM-MACAM TAREKAT

ZIKIR
Dilihat dari ajaran sufi Islam, ada tarekat yang dipandang sah dan ada pula yang tidak sah. Suatu tarekat dikatakan sah atau mu’tabarah, jika amalan dalam tarekat itu dapat dipertanggung-jawabkan secara syari’at. Jika amalan tarekat tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syari’at, maka tarekat itu dianggap tidak memiliki dasar keabsahan. Tarekat dalam bentuk ini disebut tarekat ghairu mu’tabarah (tidak sah).[1]
Dalam pengertian yang lainnya dijelaskan bahwa tarekat yang memadukan antara syariat dan hakikat, adanya silsilah (mata rantai sampai kepada Nabi Saw), dan pemberian ijazah dari mursyid yang satu terhadap yang lainnya disebut tarekat mu’tabarah (absah), sedang yang tidak sesuai dengan kriteria itu disebut tarekat ghairu mu’tabarah (tidak absah).[2]
Kategori utama yang dijadikan patokan untuk menilai sebuah tarekat, apakah tergolong mu’tabarah atau tidak adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw, serta amalan para sahabat, baik yang dibiarkan atau disetujui oleh Nabi Saw. Semangat yang menjiwai tarekat mu’tabarah ini ialah keselarasan dan kesesuaian antara ajaran esoteris Islam dan eksoteriknya.
Semangat seperti ini telah dirintis al-Qusyairi, lalu dirumuskan oleh al-Ghazali, sehingga mencapai puncak kemapanannya. Dalam hal ini, al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw senantiasa menjadi kriteria utama untuk menentukan keabsahan suatu tarekat.[3]
Menurut Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah, jumlah nama-nama tarekat mu’tabarah ada 44, yaitu:
1. Umariyyah.
2. Naqsyabandiyyah.
3. Qodiriyyah.
4. Syadziliyyah.
5. Rifa’iyyah.
6. Ahmadiyyah.
7. Dasuqiyyah.
8. Akbariyyah.
9. Maulawiyyah.
10. Kubrowardiyyah.
11. Suhrowardiyyah.
12. Khalwatiyyah.
13. Jalwatiyyah.
14. Bakdasyiyyah.
15. Ghuzaliyyah.
16. Rumiyyah.
17. Sa’diyyah.
18. Justiyyah.
19. Sya’baniyyah.
20. Kalsyaniyyah.
21. Hamzawiyyah.
22. Bairumiyyah.
23. ‘Usy-Syaqiyyah.
24. Bakriyyah.
25. ‘Idurusyyah.
26. 'Utsmaniyyah.
27. ‘Alawiyyah.
28. ‘Abbasiyyah.
29. Zainiyyah.
30. ‘Isawiyyah.
31. Buhuriyyah.
32. Haddadiyyah.
33. Ghaibiyyah.
34. Kholidiyyah.
35. Syathoriyyah.
36. Bayuniyyah.
37. Malamiyyah.
38. Uwaisiyyah.
39. Idrisiyyah.
40. Akabiral Auliyah.
41. Matbuliyyah.
42. Sunbuliyyah.
43. Tijaniyyah.
44. Samaniyyah.[4]
Nama-nama tarekat tersebut, sebagai wadah dan tidak kesemuanya ada di Indonesia. Sedang dari tarekat ghairu mu’tabarah yang biasa dijadikan contoh di Indonesia ialah tarekat Haqaq atau tarekat Haur Kuning di Jawa Barat.[5] Di Indonesia wadah para pengamal tarekat mu’tabarah itu bernaung di bawah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah (Perkumpulan Tarekat yang sah) yang resmi dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1957.[6]
Perkumpulan ini antara lain bertujuan untuk memberikan arahan agar pengamalan tarekat di lingkungan organisasi para ulama itu tidak menyimpang dari ketentuan ajaran Islam. Meskipun demikian, wewenang untuk mengawasi amalan sebuah tarekat tidak sepenuhnya berada diatas pundak para ulama NU. Pengawasan dan pemberian label keabsahan bagi suatu tarekat adalah tanggungjawab kaum Muslim pada umumnya yang pelaksanaannya didelegasikan kepada ulama.
Dalam perkembanganya, karena ada faktor internal dan politis maka Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah ini belakangan dalam muktamar NU 1979 di Semarang, nama badan diganti menjadi Jam’iyyah Thariqah Mu’tabarah an-Nadliyah, dengan penambahan kata “an-Nadliyah”. Penambahan kata ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa badan federasi ini harus tetap berafiliasi pada Nahdlatul Ulama.
Sejak berdirinya, pimpinan badan federasi ini adalah para Kyai ternama dari pesantren-pesantren besar.[7] Dalam anggaran dasarnya dinyatakan bahwa badan ini bertujuan:
1. Meningkatkan pengamalan syariat Islam di kalangan masyarakat;
2. Mempertebal kesetiaan masyarakat kepada ajaran-ajaran dari salah satu mazhab yang empat;
3. Menganjurkan para anggota agar meningkatkan amalam-amalan ibadah dan mu’amalah, sesuai dengan yang dicontohkan para ulama salihin.[8]
Adapun alasan utama mendirikan badan federasi ini adalah :
1. Untuk membimbing organisasi-organisasi tarekat yang dinilai belum mengajarkan amalan-amalan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits;
2. Untuk mengawasi organisasi-organisasi tarekat agartidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak dibenarkan oleh ajaran-ajaran agama.[9]
Dengan demikian, kini ada dua organisasi penganut tarekat mu’tabarah. Pertama Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah Indonesia (JATMI) yang berpusat di Pondok Pesantren Darul Ulum RejosoPeterongan Jombang Jawa Timur dan kedua Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah an Nadliyah yang di bawah naungan Jam’iyah Nahdlatul Ulama berpusat di Jakarta, tepatnya di Pondok Pesantren Cipete.
Dengan adanya perkumpulan tarekat mu’tabarah itu maka tarekat-tarekat di Indonesia dapat sejauh mungkin dihindarkan dari penyimpangan yang dapat merugikan masyarakat. Dan dengan berpegang pada syari’at maka tarekat-tarekat itu secara lahiriah dapat diawasi.


[1] Taufik Abdullah et.al, “Tarekat”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. 3, 2002, hlm. 317.
[2] H.M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual “Solusi Problem Manusia Modern”, Pustaka, Yogyakarta, cet. I, 2003, hlm. 45-46.
[3] Taufik Abdullah et.al, Op.Cit, hlm. 318.
[4] Jam'iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah, Konggres ke V, Madiun, 2-5 Agustus, 1975, hlm. 61.
[5] Taufik Abdullah et.al, op. cit.
[6] Moh. Saifulloh al-Aziz Senali, Risalah Memahami Ilmu Tashawwuf, Terbit Terang, Surabaya, 1998, hlm. 59.
[7] Ibid, hlm. 60
[8] Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukan Tasawuf: Gus Dur Wali?, Dar al-Falah, Jakarta, cet. I, 1999, hlm. 121.
[9] Ibid, hlm. 122.





































































POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

foto poligami
Berbicara mengenai hukum poligami dalam Islam, tentu erat kaitannya dengan ayat-ayat al-Qur’an seperti dalam surat al-Nisa’ dan beberapa Hadits Nabi Muhammad saw tentang poligami. Ayat-ayat dan beberapa Hadits tersebut yaitu:
و إن خفتم ألاّ تقسطوا في اليتمى فانكحزا ما طاب لكم من النساء مثنى و ثلث و ربع فإن خفتم ألاّ تعدلوا فوحدة أو ما ملكت أيمنكم ذلك أدنى ألاّ تعولوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlakuadil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Qs. An-Nisa: 3)
Ayat di atas, merupakan salah satu keterangan/dasar hukum yang sangat terkenal untuk mengetahui hukum poligami dalam agama Islam. Dengan kata lain, jika ada pembahasan poligami, dapat dipastikan ayat inilah (Qs. al-Nisa’: 3), satu-satunya yang paling laku digunakan. Wajar, karena ayat tersebut memang berisi penjelasan kebolehan poligami, atau menikah lebih dari satu wanita dalam waktu yang sama, dengan jumlah maksimal empat orang isteri, dengan syarat yaitu adil. Jika khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup dengan satu isteri saja (monogami).
Namun demikian, hukum “boleh” dalam pernikahan poligami, masih menyisakan beberapa paradigma baru dalam Islam. Menurut Muhammad Syahrur, sebagaimana dikutip Abdul Mustaqim, bahwa ayat 3 surat al-Nisa’, sering ditafsirkan parsial, sehingga seolah-olah poligami diperbolehkan begitu saja, tanpa memperhatikan bagaimana konteks turunnya ayat tersebut, dan apa sesungguhnya ide moral dibalik praktek poligami.[1] Dalam ayat 2 surat al-Nisa’ misalnya, yaitu sebagai berikut,
و ءاتوا اليتمى أموالهم و لا تتبدلوا الخبيث بالطيب و لا تأكلوا أموالهم إلى أموالكم إنه كان حوبا كبيرا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan itu, adalah dosa yang besar. (Qs. An-Nisa: 2)
Ayat di atas memberikan pelajaran, bahwa sebelum ayat ini diturunkan, sudah banyak pengampu anak-anak yatim yang menyalah-gunakan kekayaan anak-anak yatim serta memakannya secara batil. Selain itu, al-Qur'an juga memberikan solusi pilihan yang lebih baik, yaitu agar para pengampu yang ingin mengelola harta anak-anak yatim, dengan lebih baik mengawini gadis-gadis yatim itu, dari pada mengembalikan kekayaan mereka lantaran mereka ingin menikmati kekayaan tersebut. Hal ini tersebut dalam surat al-Nisa’ ayat 127:
و يستفتونك في النساء قل الله يفتيكم فيهنّ و ما يتلى عليكم في الكتب في يتمى النساء لا تؤتوهنّ ما كتب لهنّ و ترغبون أن تنكحوهنّ و المستطعفين من الولدان و أن تقوموا لليتمى بالقسط و ما تفعلوا من خير فإن الله كان به عليما
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakalah: “Allah Swt memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah Swt menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Swt adalah Maha Mengetahuinya. (Qs. An-Nisa: 127)
Dalam ayat 3 surat al-Nisa’, juga dinyatakan bahwa jika para pengelola (wali) ini tidak dapat berlaku adil terhadap kekayaan gadis-gadis yatim (dan mereka bersikeras untuk mengawininya), maka mereka boleh mengawini gadis-gadis yatim tersebut hingga empat, asal mereka dapat berlaku adil diantara isteri-isteri. Tetapi, jika khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap isteri-isteri tersebut, maka mereka disuruh menikahi seorang saja dari gadis-gadis yatim itu. Karena hal ini, merupakan perbuatan dimana mereka tidak akan melakukan kesalahan dan penyimpangan.
Adapun dalam paradigma usul fiqih, hukum poligami dapat dijelaskan dengan pertama-tama menggali beberapa lafaz/kata kunci dalam ayat 3 surat al-Nisa’, seperti fankihu, dan al-‘adlu. Kata fankihu, dalam ilmu usul fikih merupakan kata perintah/amr, yang berarti “maka nikahilah”. Menurut mayoritas pakar ilmu fiqih dan tafsir, bahwa kaidah umum mengenai “kata perintah” di dalam al-Qur'an, memiliki implikasi hukum wajib dan ilzam, kecuali jika ada qara’in yang mengharuskan kata perintah itu diartikan lain, selain wajib.
Dengan demikian, kata perintah dalam al-Qur'an menunjuk kepada dua implikasi hukum. Pertama, kata perintah yang tidak disertai qara’in, maka ia memiliki implikasi hukum wajib. Kedua, kata perintah yang disertai dengan qara’in, maka ia memiliki implikasi hukum mubah atau boleh.[2] Karena fankihu merupakan bentuk kata perintah dan bermakna perintah, serta memiliki qarinah, yaitu berupa pemenuhan syarat adil, maka hukum poligami dari segi kata fankihu berimplikasi hukum boleh. Meski lafaz fankihu sudah dapat diketahui maksudnya, hukum poligami belum dapat dihukumi hanya dengan pendekatan makna lafaz fankihu saja.
Selanjutnya, penelusuran kata berfokus pada lafaz al-‘adlu yang berarti adil. Dalam ayat 3 surat al-Nisa’, makna adil terdapat dalam 2 (dua) kata, yaitu kata al-‘adlu dan kata al-qistu. Dengan kata lain, kata al-‘adlu dan kata al-qistu memiliki makna sama yaitu adil.
Menurut M. Quraish Shihab,[3] kata al-‘adlu dan kata al-qistu sering disinonimkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi adil. Namun, ada sebagian ulama yang membedakan kedua kata tersebut dengan mengatakan bahwa kata al-‘adlu adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tetapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak. Sedangkan kata al-qistu adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, dan keadilan yang menjadikan keduanya senang. Akan tetapi, karena penerapan kedua kata tersebut berada pada barisan kalimat yang memiliki konteks yang berbeda, sudah barang tentu, makna antara kata al-‘adlu dan kata al-qistu berbeda pula maksudnya.
Kata al-qistu yang dimaksud, berada pada kalimat:
و إن خفتم ألاّ تقسطوا في اليتمى
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim… (Q.S. al-Nisa’: 3)
Sedangkan kata al-‘adlu yang dimaksud, berada pada kalimat:
فإن خفتم ألاّ تعدلوا
… apabila kalian takut untuk tidak dapat berbuat adil… (Qs. al-Nisa’: 3)
Pada kata al-qistu, konteks kalimat dalam potongan ayat 3 surat al-Nisa’ adalah kekhawatiran tidak dapat berbuat adil pada konteks membagi harta. Oleh sebab itu, makna adil pada kata al-qistu tentu saja berorientasi pada makna adil secara material, artinya berbuat adil pada kebijakan angka yang bersifat kuantitatif.
Sedangkan kata al-‘adlu, pada kalimat dalam potongan ayat 3 surat al-Nisa’, merupakan kekhawatiran tidak dapat berbuat adil pada konteks membagi kasih sayang, cinta, perhatian, pengertian diantara isteri-isteri. Oleh karena itu, makna adil pada kata al-‘adlu diarahkan pada makna adil secara immaterial, artinya berbuat adil pada kebijakan nilai kasih sayang, cinta, perhatian, pengertian kepada isteri-isteri yang bersifat kualitatif. Karena poligami atau menikah atau memiliki isteri lebih dari satu menuntut syarat adil, yang mana adil tersebut berada pada kalimat:
فإن خفتم ألاّ تعدلوا
… apabila kalian takut untuk tidak dapat berbuat adil … (Qs. al-Nisa’: 3)
Maka, dapat disimpulkan, bahwa maksud ayat 3 surat al-Nisa’ adalah melarang poligami secara lembut, atau memperbolehkan poligami dengan syarat yang amat ketat, karena untuk memenuhi syarat adil secara kualitatif, sungguh sulit, bahkan tidak mungkin dapat dipenuhi.
Selain itu, dalam kajian usul fiqih, syarat apapun dalam sebuah ibadah maupun hukum perikatan, biasanya berada diluar perbuatan atau rukun. Konteks syarat adil dalam poligami, tampaknya sedikit berbeda. Syarat adil dalam poligami, memiliki sisi yang unik, karena berada dalam perbuatan dan rukun pernikahan, sebagaimana halnya maskawin. Maskawin merupakan syarat, tetapi berada di dalam dan berdampingan dengan rukun, tetapi bukan rukun.
Oleh sebab itu, karena syarat adil poligami memang seperti itu, dan adil tidaknya seorang suami kepada isteri-isterinya hanya dapat dibuktikan setelah poligami berlangsung, maka hukum poligami, dengan menempatkan syarat adil adalah sebuah prilaku yang dibangun berdasarkan komitmen jiwa dan moral tinggi. Menurut penulis, karakter manusia seperti ini, sungguh sulit ditemui, terlebih di zaman seperti sekarang ini. Oleh sebab itu, hukum poligami pada paradigma ini, adalah boleh tetapi harus memenuhi syarat yaitu adil.
Masih berkaitan dengan adil sebagai syarat dalam poligami, bahwa secara garis besar, adil meliputi dua hal yaitu adil dalam menggauli dan adil dalam hal memberikan keperluan hidup. Meski syarat adil yang dimaksudkan hanya sebatas pada hal-hal yang mungkin dapat dilakukan dan dikontrol manusia, keadilan pada tingkat kaulitatif tetap tidakakan mampu dilakukan mengingat keterbatasan sebagai manusia. Hal ini termaktub dalam al-Qur'an surat al-Nisa’ ayat 129:
و لن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء و لو حرصتم فلا تميلوا كل الميل فتذروها كالمعقة و إن تصلحوا و تتقوا فإن الله كان غفورا رحيما
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. (Qs. al-Nisa’: 129)
Adapun menurut Mahmud Saltut, sebagaimana dikutip Titik Triwulan Tutik menjelaskan,[4] bahwa adil yang dimaksud adalah supaya seorang suami tidak terlalu cenderung kepada salah seorang isterinya, dan membiarkan yang lain terlantar. Hal ini disebabkan adil secara keseluruhan baik yang disanggupi atau tidak, karena hal itu mustahil dipenuhi oleh manusia. Beliau mendasarkan pada Hadith Rasulullah Saw:
من كانت له امرأتان يميل لأحدهما على الأخرى جاء يوم القيامة يجرّ أحد شقيه ساقطا أو مائلا
Barangsiapa yang mempunyai dua isteri, tetapi dia lebih cenderung kepada yang salah satu, maka nanti dihari qiyamat dia akan datang dengan menyeret salah satu lambungnya dalam keadaan jatuh dan miring. (HR. Abu Daud)[5]
Sementara itu, menurut Yusuf Qardhawi,[6] adil dalam tataran praktis merupakan kepercayaan pada dirinya, bahwa dia mampu berbuat adil di antara isteri-isterinya dalam masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal, bermalam, dan nafkah. Jika tidak yakin akan kemampuan dirinya untuk menunaikan hak-hak tersebut secara adil dan imbang, maka haram baginya menikah lebih dari seorang.
Selain harus menempuh sebagaimana persyaratan dan prosedur di atas, yang tidak kalah pentingnya bagi seorang suami yang ingin poligami adalah adanya alasan yang realistis. Alasan inilah yang nantinya akan menjadi dasar layak tidaknya seorang suami untuk poligami. Dalam tafsir al-Maraghi, sebagaimana dikutip Tutik, menjelaskan bahwa alasan atau motif untuk dapat melaksanakan poligami, yaitu tidak mempunyai anak yang akan menyambung keturunan, (isteri I) menderita penyakit menahun yang tidak memungkinkannya melakukan tugas-tugas sebagaimana isteri umumnya, karakter laki-laki (suami) yang memiliki libido kuat, dan jumlah wanita yang lebih besar dari pria karena perang dan persoalan sosial lainnya.[7]
Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, setidaknya ada delapan keadaan. Antara lain, isteri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan, isteri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tak dapat melahirkan, isteri sakit ingatan, isteri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai isteri, isteri memiliki sifat buruk, isteri minggat dari rumah, adanya ledakan jumlah perempuan seperti perang, dan kebutuhan beristeri lebih dari satu dapat menimbulkan mudharat dalam kehidupan dan pekerjaannya jika tidak dipenuhi.[8]


[1] Abdul Mustaqim, Konsep Poligami Menurut Muhammad Syahrur, Jurnal studi Ilmu-ilmu al-Qur'an dan Hadits, Volume 8, Nomor 1 (Januari, 2007), 48.
[2] Abdul Matin Salman, Pendidikan Poligami (Pemikiran dan Upaya Pencerahan Puspo Wardoyo Tentang Poligami), (Solo: CV. Bumi Wacana, 2008), 106. Bandingkan dengan Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawa’I al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min al-Qur’an, Juz I (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), 334.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an), Vol. II (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 338.
[4] Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah; Telaah Kontekstual Menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 71.
[5] Abu Daud, Sulayman ibn al-Ash’ath al-Sijistaniy, Sunan Abi Daud, (Kairo: Dar al-Fikr, t.t.), 133.
[6] Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Terj. Abu Sa’id Al-Falahi, (Jakarta: Robbani Press, 2000), 214.
[7] Tutik, Poligami Perspektif..., 73.
[8] Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no 1 tahun 1974sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 159.












































POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

poligami 2
1. Alasan Poligami
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasakan Ketuhanan yang Maha Esa. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam, pernikahan merupakan sebuah akad yang sangat kuat atau mithaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah Swt dan melaksanakannya merupakan ibadah.[1]
Lebih spesifik, Sayuti Thalib menjelaskan, bahwa pernikahan adalah perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara laki-laki dan perempuan. Yang dimaksud antara laki-laki dan perempuan, tentu saja satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan, bukan dengan banyak perempuan, atau lebih tepatnya berister i lebih dari seorang isteri.[2]
Berkaitan dengan poligami, secaraimplisit regulasi mengenai poligami di Indonesia, termaktub dalam berbagai peraturan perundang-undangan perkawinan. Regulasi tersebut, terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.[3]
Didalam peraturan perundang-undangan tersebut, telah diatur mekanisme poligami, mulai dari batasan maksimal jumlah isteri, alasan atau motif yang dijadikan dasar poligami, persyaratan-persyaratan hingga prosedur yang harus ditempuh dan dipenuhi oleh suami yang akan poligami.
Dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan kh ususnya mengenai poligami, alasan/motif diperbolehkannya poligami di Indonesia, dijelaskan dalam beberapa pasal. Pasal tersebut antara lain sebagai berikut:
Pasal 4
(2) Pengadilan dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberi ijin ke pada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau p enyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Alasan-alasan poligami pada pasal 4 ayat (2) UU. No. 1 tahun 1974 merupakan alasan-alasan yang bersifat alternati ve. Artinya, bagi seseorang suami yang akan melakukan poligami, dapat dijinkan dengan dasar alasan-alasan tersebut atau salah satu dari ketiga alasan.
Jika ketiga alasan tersebut justru terpenuhi, maka alasan yang menjadi dasar seorang suami melakukan poligami semakin kuat. Namun, jika seseorang mengajukan permohonan ijin poligami hanya dapat memenuhi satu alasan, maka hal tersebut tetap dan dianggap sudah memenuhi aturanpada pasal 4 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974.
Dalam Kompilasi Hukum Islam,[4] pembahasan tentang alasan-alasan poligami, dijelaskan sebagai berikut :
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberi ijin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Alasan-alasan poligami di atas, tidak hanya berlaku bagi masyarakat umum. Bagi Pegawai Negeri Sipil yang hendak melakukan perkawinan lebih dari seorang isteri, juga harus memenuhi alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas. Alasan-alasan poligami yang harus dipenuhi bagi PNS, yaitu terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) Nomor 08 /SE/1983,[5] sebagai berikut:
Pasal 10
(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau p enyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Jika melihat teks redaksinya, pemberlakuan alasan-alasan yang menjadi dasar poligami tampaknya sama. Baik alasan-alasan bagi masyarakat umum maupun PNS yang akan melakukan poligami. Alasan-alasan seperti di atas, tidak hanya berlaku bagi masyarakat umum maupun PNS, tetapi juga berlaku bagi TNI, POLRI dan pejabat Negara yang hendak poligami.
2. Prosedur Poligami
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai poligami, alasan-alasan yang menjadi dasar adalah sama. Baik bagi warga sipil, PNS, POLRI, TNI atau pejabat Negara tetap harus mendasarkan poligami, minimal pada salah satu al asan poligami di atas. Hal ini, sedikit berbeda pada tahap selanjutnya. Pada tahap prosedur yang harus ditempuh bagi suami yang akan poligami, antara masyarakat sipil/umum, PNS, POLRI, TNI berbeda-beda.
Adapun, mengenai prosedur poligami bagi masyarakat sipil/umum, yaitu sebagaimana terdapat dalam UU. No. 1tahun 1974 pasal 4, yaitu sebagai berikut :
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daerahtempat tinggalnya.
Surat permohonan yang diajukan, yaitu berupa surat permohonan tertulis, bukan dalam bentuk lisan. Jika pemohon tidak dapat menulis atau buta huruf, maka pihak pengadilan atau penasehat hukum dapat memberikan bantuan terhadap kesulitan seperti itu. Pengajuan permohonan ijin poligami secara tertulis, juga sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975, pasal 40sebagai berikut:
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan surat tertulis kepada pengadilan.
Selain tertulis, surat permohonan harus berisi identitas yang jelas dari kedua pihak, alasan-alasan yang menjadi dasar perm ohonan ijin poligami, dan dilengkapi dengan lampiran-lampiran penting, seperti terd apat dalam UU. No. 1 tahun 1974 pasal 5 yaitu :
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka.
Lampiran-lampiran penting sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) poin a, b, dan c, harus di penuhi seluruhnya. Artinya, ketiga-tiganya harus disertakan dan dimasukkan bersama surat permohonan. Pemenuhan ketiga surat/lampiran inilah yang dis ebut sebagai syarat kumulatif. Artinya, pemohon wajib melampirkan ketiga surat keterangan/lampiran tersebut.
Setelah surat permohonan masuk ke Pengadilan, prosedur selanjutnya sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 pasal 41, sebagai berikut:
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
(1) Ada tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi.
a. Bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan
(2) Ada tidaknya persetujuan dari isteri baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
(3) Ada tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya dengan memperlihatkan:
a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
b. Surat keterangan pajak penghasilan, atau
c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
(4) Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan persyaratan dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam, pembahasan tentang syarat dan prosedur poligami dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 55
(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
(2) Syarat utama berist eri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri -isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang dise but pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu orang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat ijin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan ijin dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa ijin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 59
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan ijin untuk beristeri lebih dari satu orang berda sarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian ijin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukanbanding atau kasasi.
Sedangkan prosedur poligami bagi PNS, diatur sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, dan Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) Nomor 08 /SE/1983, yaitu sebagai berikut :
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh ijin lebih dahulu dari pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diijinkan untuk menjadi isteri kedua, ketiga, keempat dari pegawai negeri sipil.
(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua, ketiga dan keempat dari bukan pegawai negeri sipil wajib mendapat ijin terlebih dahulu dari pejabat.
(4) Permintaan ijin sebagaimana maksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara tertulis.
(5) Dalam surat permintaan ijin dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan ijin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua, ketiga, dan keempat.
Pasal 5
(1) Permintaan ijin sebagaimana termaksud dalam pasal 3 dan pasal 4 diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki.
(2) Setiap atasan yang menerima permintaan ijin dari pegawai negeri sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau beristeri lebih dari seorang maupun untuk menjadi isteri kedua, ketiga, dan keempat wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan ijin dimaksud.
Pasal 6
(1) Pejabat yang menerima permintaan ijin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua, ketiga, dan keempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan ijin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
(2) Apabila alasan-alasan yang dikemukakan dalam permintaan ijin tersebut kurang meyakinkan, maka pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil tersebut atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.
(3) Sebelum mengambil keputusan, pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasihat.
Pasal 10
(1) Ijin untuk beristeri lebih dari seorang hanya di berikan oleh pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dengan ayat (2) dan ayat (3) pasal ini.
(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud ayat (1) ialah:
a. Ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
c. Ada jaminan dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(4) Ijin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh pejabat apabila:
a. Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b. Tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);
c. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat, dan atau;
e. Ada kemungkinan mengganggu tugas-tugas kedinasan.
Pasal 11
(1) Ijin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua, ketiga dan keempat sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (3), hanya diberikan oleh pejabat apabila:
a. Ada persetujuan tertulis dari isteri bakal suami,
b. Bakal suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan,dan
c. Ada jaminan tertulis dari calon suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(2) Ijin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua, ketiga dan keempat sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (3), hanya diberikan oleh pejabat apabila:
a. Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan atau calon suaminya;
b. Tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud ayat (1);
c. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan atau;
d. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
Sedangkan syarat dan prosedur poligami bagi POLRI dan TNI, hampir sama sebagaimana prosedur poligami bagi PNS, hanya saja pejabat berwenang yang memberi ijin, menyesuaikan pada jabatan dijajaran POLRI dan TNI masing-masing.


[1] Pasal 2 dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, 2000), 14
[2] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press, 2007), 47.
[3] Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, (Citramediawacana, 2008), 1-26.
[4] Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000), 34.
[5] Peraturan Pemerintah RepublikIndonesia Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.










































































































CINTA DAN BENCI

cinta semu
Hati adalah wadah perasaan, seperti amarah, senang, benci, iman, ragu, tenang, gelisah, dan sebagainya. Kesemuanya tertampung di dalam hati. Setiap orang tentu pernah mengalami perbedaan gejolak hati dan perpindahan yang begitu cepat antara senang dan susah, kegelisahan dan ketenteraman, bahkan cinta dan benci. seseorang tentu pernah mengalami hatinya menginginkan sesuatu, tetapi akal orang itu menolaknya. Ini bukti bahwa orang itu tidak menguasai hatinya. Allah yang menguasainya.
Ketika terjadi gejolak yang berbolak itu, itu adalah bukti adanya peranan Tuhan dan kedekatan-Nya kepada hati manusia. Akan tetapi, jangan menduga bahwa semua yang tertampung di dalam hati atau perubahan dan terbolak-baliknya perasaan adalah hasil perbuatan Tuhan yang berlaku sewenang-wenang. Jangan menduga demikian karena nafsu dan setan pun ikut berperan dalam gejolak hati. Ada waswas dan rayuan yang dilakukan setan. Ada juga dorongan nafsu manusia. Jika bisikan berkaitan dengan tuntunan tauhid atau ajakan Nabi Muhammad Saw, ketika itu pilihlah ajakan tersebut karena yang menyerunya ketika itu adalah hati yang digerakkan oleh Allah.[1]
Al-Qur’an surat al-Anfal ayat 63, yang berbicara dalam konteks penyatuan hati dan jalinan hubungan harmonis antara dua kelompok masyarakat Madinah Aus dan Khazraj yang tadinya selama bertahun-tahun berperang, menegaskan bahwa:
Dia (Allah Yang Maha kuasa Yang mempersatukan hati mereka. Seandainya engkau membelanjakan semua apa yang berada di bumi, niscaya engkau tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan mereka. (Qs. al-Anfal: 63).
Ayat ini mengingatkan kita semua bahwa cinta tidak dapat dibeli dengan harta. la hanya dapat diraih dengan bantuan Allah melalui budi pekerti yang luhur.
Setiap orang memiliki naluri cinta dan benci. Cinta dan benci adalah dua hal yang tidak dapat lepas dari kehidupan. Seandainya semua orang hanya membenci, niscaya hidup tidak akan berhasil. Demikian juga sebaliknya, jika segala sesuatu disenangi atau dicintai termasuk yang bertolak belakang maka hidup pun tidak akan tegak.
Kebencian dapat bertambah bila keinginan dan kebutuhan tidak terpenuhi, padahal yang diinginkan itu dimiliki orang lain. Di sisi lain, kecintaan kepada sesuatu akan sangat dipertahankan bila sesuatu itu sangat dibutuhkan atau langka.
Kebencian melahirkan permusuhan yang pada gilirannya melahirkan perkelahian, bahkan pertumpahan darah serta pembinasaan jiwa dan harta. Allah Swt mempersatukan jiwa masyarakat Islam melalui ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Kekikiran dan kelobaan terhadap kenikmatan materi dikikis dengan menyadarkan manusia bahwa ada kenikmatan yang melebihinya, yakni kenikmatan ukhrawi. Hidup duniawi hanya bersifat sementara, dan ada hidup sempurna lagi abadi di akhirat nanti.[2]
Jalan meraih hal tersebut antara lain adalah kesediaan memberi dan berkorban untuk sesama. Demikian itu sebagian tuntunan Allah yang disampaikan oleh Rasul Saw, yang kemudian diterima dengan penuh kesadaran oleh kaum mukminin. Itulah yang melahirkan cinta dan menjauhkan benci dari hati mereka sehingga hati mereka saling terpaut dan pada akhirnya lahir hubungan harmonis. Di tempat lain ditegaskan-Nya bahwa,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Allah Yang Maha Pemurah akan menjadikan bagi mereka wudda (cinta plus). (Qs. Maryam: 96)
Dengan demikian, dia mampu memberi dan menerima mawaddah. Dia tidak akan bertepuk sebelah tangan.
Banyak sekali orang yang dinilai telah menjalin cinta antar-mereka sebelum pernikahan, tetapi ternyata, setelah pernikahan, cinta itu layu, bahkan terjadi perceraian dan permusuhan. Sebaliknya, dulu banyak pernikahan yang tidak didahului oleh cinta, bahkan oleh perkenalan pun, tetapi kehidupan rumah tangga mereka sedemikian kukuh dan ternyata antara mereka terjalin hubungan cinta yang demikian mesra melebihi kemesraan para muda-mudi dewasa ini yang “bercinta” sebelum pernikahan.
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa ada keterlibatan Allah dalam langgengnya cinta yang dianugerahkan-Nya kepada mereka yang beriman dan beramal saleh atau, dengan kata lain, kepada mereka yang mengikuti tuntunan-tuntunan-Nya.
Dua orang yang bercinta akan melakukan penyatuan diri sehingga masing-masing bagaikan berkata kepada kekasihnya: “Jika engkau berbicara maka kata hatiku yang engkau ucapkan, dan bila engkau berkeinginan maka keinginanmu yang aku cetuskan. Engkau adalah aku, dan aku adalah engkau”. Makna inilah yang diisyaratkan oleh kata anfusikum pada ayat dalam surat ar-Rum ayat 21.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Rum: 21)
Kata tersebut adalah bentuk jamak dari kata nafs yang antara lain berarti jenis, diri, atau totalitas sesuatu. Penggunaan kata anfusikum mengisyaratkan bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu sehingga menjadi nafsin wahidah diri yang satu, yakni menyatu dalam perasaan dan pikirannya, dalam cita dan harapannya, dalam gerak dan langkahnya, dalam keluh kesah dan perasaannya, bahkan dalam menarik dan mengembuskan napasnya. Itu sebabnya pernikahan dinamai zawaj, yang berarti keberpasangan, di samping dinamai juga nikah yang berarti penyatuan ruhani dan jasmani.
Penyatuan itu harus diperjuangkan. Dua orang yang lahir dari orang tua yang sama, hidup di tengah keluarga yang sama pula, tidak otomatis menyatu pikiran dan perasaan serta serupa kecenderungan dan keinginannya, apalagi dua orang yang berbeda jenis kelamin dan lahir serta besar dalam lingkungan keluarga yang berbeda.[3]

[1] M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2006, hlm. 146
[2] Ibid, hlm. 147
[3] Ibid, hlm. 147-148


















CIRI-CIRI KELUARGA SAKINAH

umi
Syahrin Harahap merumuskan kriteria keluarga bahagia (sakinah) setidaknya memiliki sepuluh ciri, yaitu:
a. Saling menghormati dan saling menghargai antara suami isteri, sehingga terbina kehidupan yang rukun dan damai.
b. Setia dan saling mencintai sehingga dapat dicapai ketenangan dan keamanan lahir batin yang menjadi pokok kekalnya hubungan.
c. Mampu menghadapi segala persoalan dan segala kesukaran dengan arif dan bijaksana, tidak terburu-buru, tidak saling menyalahkan dan mencari jalan keluar dengan kepala dingin.
d. Saling mempercayai, tidak melakukan hal yang menimbulkan kecurigaan dan kegelisahan.
e. Saling memahami kelebihan dan kekurangan.
f. Konsultatif dan musyawarah, tidak segan minta maaf jika bersalah.
g. Tidak menyulitkan dan menyiksa pikiran tetapi secara lapang dada dan terbuka.
h. Dapat mengusahakan sumber penghasilan yang layak bagi seluruh keluarga.
i. Semua anggota keluarga memenuhi kebahagiaannya.
j. Menikmati hiburan yang layak.[1]
Sedangkan menurut Dadang Hawari, mengutip pemikiran Nick Stinnet dan John De Prain dari Universitas Nebraska, AS, dalam studinya berjudul The National Study of Family Strenght, ada enam kriteria untuk mewujudkan keluarga sakinah, yaitu:
a. Ciptakan kehidupan religius dalam keluarga. Sebab dalam agama terdapat nilai-nilai moral atau etika kehidupan yaitu antara lain kasih sayang, cinta mencintai dan kasih mengasihi dalam arti yang baik.
b. Tersedianya waktu untuk bersama-sama keluarga. Kita harus ada acara keluarga, tidak ingin diganggu urusan kantor, organisasi dan lain-lain.
c. Keluarga harus menciptakan hubungan yang baik antar anggota. Artinya, terjadi segi tiga interaksi, komunikasi yang baik, demokratis dan timbal balik antara ayah, ibu dan anak.
d. Saling menghargai dalam interaksi ayah, ibu dan anak.
e. Jika mengalami masalah, prioritas utama adalah keutuhan keluarga, maka disini diperlukan kesadaran masing-masing anggota keluarga untuk saling pengertian, lebih mengutamakan kebersamaan dan tidak egois.
f. Keluarga sebagai unit terkecil antara ayah, ibu dan anak adanya hubungan yang erat dan kuat.[2]

[1] Shahrin Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur’an dalam Kehidupan Modern Di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996, hlm. 164
[2] Dadang Hawari, al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Ilmu Kesehatan Jiwa. Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996, hlm. 117


















AKHLAK DAN PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH

muslim_family
Ketika sepasang manusia berlainan jenis mengambil keputusan untuk menikah, tentu mengharapkan dan mendambakan keluarga yang dibina akan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Keluarga yang di dalamnya tercipta suasana harmonis, penuh kebahagiaan dan ketentraman hidup bersama, adanya rasa saling menghormati, menghargai, penuh kedamaian, mengerti tugas masing-masing, adanya keseimbangan dan keselarasan, adanya kesatuan pandangan, pikiran, keyakinan dan cita-cita, adanya rasa tanggung jawab dan kasih sayang serta terpenuhinya material dan spriritual.
Upaya dalam pembentukan keluarga sakinah yang didamba-dambakan, peranan akhlak yang baik bagi sebuah keluarga sangatlah penting bagi terciptanya suasana tentram. Akhlak yang baik dalam kehidupan berkeluarga dapat mewujudkan keluarga yang bahagia. Hal tersebut berimplikasi kepada keharmonisan yang didambakan oleh semua orang.
Pentingnya peran akhlak yang baik dalam sebuah keluarga, menurut al-Ghifari, berimplikasi pada sikap:[1]
a. Saling setia
Setia mengandung makna yang sangat dalam menyangkut kepribadian seseorang yang teguh memegang prinsip yaitu isteri yang shalihah harus senantiasa memiliki sifat tersebut dalam kondisi apapun.
b. Saling terbuka
Rumah tangga adalah bangunan yang di bentuk atas kerjasama antara suami dan isteri kedua tidak boleh menyimpan rahasia, jika ada masalah harus di selesaikan dengan baik.
c. Tidak cemburu berlebihan
Isteri yang memilki cemburu yang berlebihan akan menyebabkan suami dalam posisi yang sulit, karena biasanya memiliki kecenderungan berburuk sangka, banyak was-was pada dirinya sendiri, takut yang berlebihan dan sulit menerima kebenaran secara obyektif.
d. Penuh keceriaan dan murah senyum
Sikap suami dan isteri yang penuh keceriaan dan murah senyum dapat membahagiakan kehidupan keluarga. Keceriaan isteri dan senyumnya ibarat air telaga di tengah padang pasir yang gersang yang menyejukkan dan menyegarkan. Meskipun demikian sifat murah senyum ini harus dibatasi terutama pada lawan jenis atau orang lain agar tidak menjadi fitnah. Oleh karenanya, akhlak yang sangat baik sangat berperan dalam menciptakan suasana hidup yang kondusif, dinamis, selaras dan seimbang.
Adapun pentingnya akhlak yang baik bagi kehidupan manusia antara lain sebagai ikatan iman yang kuat, kebutuhan pribadi dan sosial, wasiat Nabi Muhammad Saw, bekal individu dalam pergaulan, senjata yang aman dari niat buruk seseorang serta pembuka dan pembersih hati kita.
Kita tidak mungkin dapat hidup dengan tenang di dalam keluarga yang tidak memiliki akhlak yang baik. Padahal kehidupan manusia itu sendiri pada dasarnya adalah akhlak yang baik. Akhlak baik ini meliputi akhlak baik kepada Allah dan akhlak yang baik kepada sesama makhluk-Nya, termasuk manusia.
Akhlak yang baik kepada Allah pada pokoknya adalah mengenal-Nya dengan baik, mengesakan-Nya, mengingat-Nya, menyebut-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, berprasangka baik kepada-Nya, tawakkal, tawadhu dan senantiasa berharap kepada-Nya.
Adapun bentuk akhlak yang baik kepada sesama manusia juga sekomplek yang diajarkan dalam al-Qur’an dan hadits. Pokok-pokok akhlak yang baik kepada sesama manusia yaitu mengikuti jejak Rasulullah Saw, menghormati keberadaan para Nabi dan Rasul, menghormati para ulama, berbakti kepada orang tua dan lain-lain.
Akhlak merupakan cerminan diri pada apa yang ada dalam pikiran atau hati kita. Orang yang semakin kuat iman dan taqwanya akan semakin mulia akhlaknya. Dari kemuliaan akhlaknya itulah akan semakin menghantarkan kedekatannya baik pada sesama manusia yang berupa rasa dicintai oleh sesama maupun kedekatan kepada sang pencipta (Allah).
Jadi, pentingnya akhlak dalam kehidupan manusia merupakan faktor penting dalam mencapai kebahagiaan terutama dalam keluarga karena menimbulkan perilaku yang menyenangkan, diterima oleh masyarakat dan menentramkan jiwa serta terjalin hubungan yang baik dengan Allah dan sesama manusia.


[1] Abu al-Ghifari, Wanita Ideal Dambaan Pria Sejati, Bandung: Mujahid, 2003, hlm. 49-54