SULUK


1.  Pengertian Suluk 

Secara etimologis, kata suluk berarti jalan atau cara, bisa juga diartikan kelakuan atau tingkah laku, sehingka husnu al-suluk berarti kelakuan yang baik. Kata suluk adalah bentuk masdar yang diturunkan dari bentuk verbal "salaka yasluku" yang secara harfiah mengandung beberapa arti yaitu "Memasuki, melalui jalan, bertindak dan memasukkan".[1]

Secara garis besar suluk merupakan kegiatan seseorang untuk menuju  kedekatan  diri  kepada  Allah,  suluk  hampir  sama  dengan  tarekat, yakni cara mendekakan diri kepada Tuhan. Hanya saja, kalau tarekat masih bersifat konseptual, sedangkan suluk sudah dalam bentuk teknis oprasional.[2] Oprasional dalam arti yang sesungguhnya: bukan hanya sekedar teori melainkan langsung dipraktikkan dalam tingkah laku keseharian, kata suluk berasal dari terminologi dalam  al-Qur’an  Fasluki dalam surat an-Nahl (16) Ayat 69:[3]

 “Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimud ahkan (bagimu). Dari perut  lebah  itu  keluar  minuman  (madu)  yang  bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat  tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. ”

Kata fasluki disini adalah kata perintah dari Allah untuk selalu berjalan di jalan-Nya jalan yang lurus.  

Suluk di dalam istilah tasawuf adalah jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah SWT atau cara memperoleh ma'rifat. Dalam istilah selanjutnya istilah ini digunakan untuk sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar ia dapat mencapai suatu ikhwal (keadaan mental) atau maqam tertentu.[4]

Di dalam kunci memahami tasawuf, suluk diartikan sebagai perjalanan spiritual menuju Sang Sumber. Ini adalah metode perjalanan melalui berbagai keadaan dan kedudukan. Seseorang yang menempuh jalan ini disebut salik Sang hamba yang telah jauh berjalan menuju Allah adalah yang telah sungguh-sungguh menunjukkan  penghambaanya kepada Allah.[5]

Khan Sahib Kahja Khan (pakar bidang tasawuf dari India) mangatakan bahwa salik ialah orang yang tengah menempuh  perjalan rohani (suluk).[6]

Cgril Glasse dalam Ensiklopedi Islam, yang dimaksud suluk adalah keadaan jiwa atau tindakan kalangan shufi yang dipandang sebagai sebuah perjalanan kepada Allah.[7]

Menurut Imam al-Gazali, suluk berarti menjernihkan akhlaq, amal pengetahuan. Suluk dilakukan dengan cara aktif berkecimpung dengan amal lahir dan amal bathin. Semua kesibukan hamba dicurahkan kepada Tuhannya, dengan membersihkan bathinnya  untuk  persiapan  wushul kepada-Nya.[8]

Gufron A. Mas'adi dalam Ensiklopedi Islam, mengatakan: suluk merupakan keadaan jiwa atau tindakan kalangan shufi yang dipandang sebagai sebuah perjalanan kepada Tuhan.

Istilah ini juga menunjukkan pada sebuah quasi magis dan sebuah ucapan spiritualis yang bercorak lokal Indonesia dikenal sebagai upacara suluk. Dalam upacara ini pelakunya berusaha mencapai kekuatan psikis atau magis  dengan mempertahankan diri dari serangan dunia spirit selama satu malam, yang mana seseorang dimatikan secara simbolik.[9]

Adapun hakekat suluk, ialah mengosongkan diri dari sifat-sifat madzmumah atau buruk (dari maksiat lahir  dan dari maksiat bathin) dan mengisinya dari sifat-sifat yang terpuji atau mahmudah (dengan taat lahir  dan bathin).[10]

Phase-phase yang harus ditempuh ke arah mencapai hakikat suluk adalah:

a. Marhalah  Amal Lahir yaitu melakukan  amal  ibadah  yang  bersifat lahir atau nyata. 

b. Marhalah Amal Bathin atau muroqobah (mendekatkan diri  kepada Allah) dengan jalan membersihkan diri dari maksiat lahir dan batin.

c. Marhalah Riyadlah atau melatih diri dan mujahadah atau mendorong diri untuk selau berusaha lebih dekat dengan Allah. Seperti dalam firman-Nya dalam surat Al-Ankabut ayat 69:

"Dan mereka yang mujahadah atau bersungguh-sungguh mencari Allah, sungguh kami (Allah) akan menunjukkan jalan tarekat kepada kami dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebajikan.”[11]

Maksud mujahadah ini adalah melakukan jihad lahir untuk menambah kuatnya kekuasaan rohani atas jasmani guna  membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa-apa yang bersifat suci, sehingga mustahiq  memperoleh berbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesarannya.[12]

2.  Macam-Macam Suluk

Secara umum suluk dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: Suluk Ibadah, Suluk Riyadah dan Suluk Mujahadah. 

a.  Suluk Dalam Bentuk Ibadah.

Bentuk dari suluk ini adalah dengan melakukan aktifitas ibadah, baik ibadah wajib maupun sunah, seperti berwudlu, shalat dan puasa, kemudian melakukan kesunahan-kesunahan lain, begitu juga dzikir dan wirid.

Jalan yang ditempuh dalam suluk semacam ini mengenai perbaikan syariat, yang sebenarnya merupakan kehidupan orang Islam sehari-hari itu menjadi lebih sempurna. Meskipun demikian menurut anggapan shufi petunjuk yang diperoleh dalam amal yang demikian itu sama, ada yang lekas mencapainya, ada yang sampai bertahun-tahun perbuatannya dalam beribadah itu belum berubah yang berkepentingan belum dapat menangkap hikmah-hikmah dan kegemaran dalam ibadah lahir itu.[13]

b.  Suluk Dalam Bentuk Riyadah.

Suluk Riyadlah ini adalah pelajaran akhlak untuk melatih diri agar jiwa ini selalu dekat dengan Allah seperti yang diperintah dalam Islam. 

Begitu juga hal-hal lainnya yang berkaitan dengan suluk dalam bentuk  riyadah semua  sifat-sifat  baik (akhlaqul karimah) dijadikan perbuatan dan amalan sehari-hari, supanya perbuatannya bisa terhindar dari sifat-sifat madzmumah.

c.  Suluk Mujahadah 

Suluk yang ketiga ini adalah untuk latihan hidup menderita. Salah satu usaha shufi untuk menormalisir kepribadian ini ialah  berkelana  dalam daerah-daerah yang belum dikenalnya, adapun bentuk amalan suluk mujahadah  yang dimaksud adalah seperti:

1) Membantu orang yang membutuhkan di derah-derah yang di datangi.
2) Melakukan perjalan ke tempat yang sama sekali yang belum pernah di datanginya seperti naik turun ke gunung dan jurang, masuk  hutan.

Sedang tujuannya adalah untuk:

1)  Merubah akhlaq yang kikir menjadi orang yang dermawan.
2)  Menambah akhlaq menjadi penyayang terhadap sesama.
3)  Merubah akhlaq menjadi peka terhadap keadaan .

Di dalam buku Tasawuf Dari Shufisme Klasik ke Neo-Shufisme penulis A. Rivay Siregar menambahkan dalam ragam suluk yaitu:

a. Suluk Penderitaan, yakni suluk yang dijalani melalui berbagai rintangan dan kesulitan yang menuntut keuletan dan keberanian, kesabaran dan ketabahan.

Suluk model ini biasanya dijalani melalui pengembaraan atau berkelana keberbagai kawasan. Suluk penderitaan ini tidak mesti ragawi, tetapi juga bisa dilaksanakan melalui pengembaraan dan penjelajahanspiritual. Tujuannya lebih terfokus pada pembacaan kepribadian yang merdeka, mandiri dan percanya diri. Hal ini menandakan jiwa kita sudah bebas dari belenggu-belenggu kedunawian yang membuat diri kita tidak bebas.

b. Suluk Pengabdian, dalam hal ini pengabdian pada sesama, yaitu suluk yang bersifat humanistik, bersifat satria yang bertujuan tumbuh suburnya rasa solidaritas dan cinta sesama makhluk Tuhan.[14]

 Semua itu  dalam  rangka  untuk membentuk  kepribadian  yang mencerminkan akhlakul karimah. Jadi orang yang bersuluk adalah orang yang menginginkan kedekatan dengan  Allah. Melalui berbagai cara riyadloh dohir maupaun bathin. 

3.  Bentuk-Bentuk Suluk

Bersuluk adalah melakukan berbagi laku yang tujuannya untuk mendekakan diri kepada Allah seperti berikut ini:

a.   ‘Uzlah

‘Uzlah secara epistimologis berasal dari kata ‘azala, ya’zilu, azlan yang artinya menjauhkan diri atau memisahkan dari masyarakat.[15] Dalam istilah tasawuf uzlah berarti mengasingkan atau memisahkan diri dari masyarakat, terutama yang di dalamnya terdapat banyak terjadi maksiat dan kejahatan, karena (masyarakat yang demikian) dianggap dapat mengganggu dzikir  kepada Allah bahkan lebih dari itu dapat menyeret pada kejahatan dan kehancuran pribadi.[16]

Imam al-Gazali menegaskan bahwa uzlah adalah jalan memusatkan diri  untuk beribadah, bertafakur, dan menjalankan hati dengan bermunajat kepada Allah SWT sekaligus untuk menghindarkan diri dari pergaulan dengan makhluk. Kecuali itu untuk menggunakan waktu dengan menyingkapkan segala rahasia ciptaan Tuhan baik dengan urusan duniawi maupun ukhrawi, alam langit dan bumi serta alam malakut yang tidak terjangkau oleh panca indra. Hal demikian tidak akan tercapai tanpa mengasingkan diri atau uzlah dari kesibukan dan pergaulan sehari-hari dengan orang lain.[17]

Ada yang mengatakan bawa amalan uzlah adalah amalan yang paling baik atau pilihan yang paling tepat, hal ini sesuai hadist yang di riwayatkan oleh Abi Sa’id al-Khudzri: 

Diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudzri, bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah dan bertanya, siapa manusia yang  paling utama ya Rasulullah? Rasululah menjawab: Ia adalah orang yang berjihad dengan diri dan harta bendanya di jalan Allah, kemudian seseorang tadi bertanya, kemaudian siapa ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: Ia adalah orang yang pergi beruzlah naik turun gunung dengan  selalu  beribadah  kepada Tuhannya.”[18] 

Hadist di atas menggambarkan betapa mulianya orang yang beruzlah, riyadlah pergi dari rumah untuk beribadah kepada Allah, yaitu untuk mendapatkan ketenangan dan kejernihan jiwa. 

Orang harus melakuan pengasingan diri, sehingga ia untuk beberapa lama tidak terlibat dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dengan begitu diharapakan dia akan mampu merenung tentang diri dan masyarakatnya secara jujur, karena tidak mungkin memahami suatu masalah secara benar jika kita sendiri terlibat dalam masalah itu.

Keterlibatan kita tentu akan mempengaruhi pandangan dan penilaian, sehingga terjadi kekeliruan. Sebab pada umumnya seseorang memandang sesuatu hanya  sesuai  dengan  keinginannya  sendiri,[19]

Seperti halnya Rasulullah pada masa itu sering pergi (memutuskan interaksi dengan mayarakat sesaat) ke gua Hira’  untuk  mencari pencerahan atas probelmatika sosial saat itu. 

Syekh Abu Bakar al-Waraq berkata: ketika dunia sudah dilanda fitnah, masyarakatnya sudah mengalami dekandensi moral, agama sudah ditinggal-kan maka orang yang paling dekat dengan keselamatan  adalah orang yang beruzlah, meninggalkan  kerumunan orang yang penuh maksiat.[20]

Uzlah menjadi suatu keharusan bagi seorang salik yangutama jika zaman sudah rusak, yang dimaksud zaman rusak adalah: ketika  kondisi sosial sudah banyak mengalami kerusakan, kerusakan moral agama, banyaknya orang-orang bodoh, manusia sudah tidak  menepati janji dan sering terjadi huru-hara dan pembunuhan. Di dalam sebuah hadist di terangkan bahwa,

Sesungguhnya dibelakang kalian ada hari-hari, yang di dalamnya diturunkan banyak orang bodoh, dan dia ngkatnya ilmu, dan banyaknya al-harju, sahabat bertanya, wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan al-harju? Rasulullah menjawab: (al-harju adalah) pembunuhan”.[21]

 Yang kedua, khawatir melakuan ha-hal yang diharamkan,[22] jadi sebetulnya  uzlah adalah fase di mana seorang salik menyendiri untuk mencari sebuah kebenaran, inspirasi, tafakur, perenungan dan menghindar dari kerusakan.

Manfaat  uzlah  menurut  Imam  Al-Gazali  meliputi dua hal, yakni  manfaat keagamaan dan manfaat keduniawian. Diantara manfaat keagamaan adalah dimungkinkannya seseorang lebih dapat melakukan ketaatan-ketaatan agama secara lebih  serius dan  intensif seperi rajin beribadah, bertafakur, dan juga menghindari larangan-larangan agama seperti munculnya sifat riya’, gibah, dengki serta terseret pada pergaulan-pergaulan buruk lainnya. 

Adapun manfaat-manfaat yang bersifat keduniawian, seperti lebih berkonsentarsi dalam berkerja, terhidar dari pertikaian, peperangan, konflik yang berkepanjangan dan lain sebagainnya.[23]

Menurut pensyarah Al-Hikam, Syekh Zaruq, membagi ‘uzlah dalam tiga kategori:

Pertama, manusia yang ‘uzlah kalbunya, sementara fisiknya tidak. Inilah yang merupakan eksistensi yang nyata dan perjalanan yang cemerlang. Situasi dan kondisi mistikalnya adalah kondisi manusia-manusia  muttaqin dan  telah  mencapai keparipurnaan. 

Kedua, manusia yang menyendiri dalam fisiknya tetapi kalbunya tidak. Kondisi ini lumanyan baik, namun harus memenuhi beberapa syarat, untuk menyongsong  arus  Rahmat  Allah  dalam kondisinya. 

Dan ketiga, ‘uzlah lahir dan batin. Yaitu mereka yang disebut dengan al-Mutakhalli atau Takhalli. Kondisi ketiga ini nantinya akan memasuki tahalli (berias dengan akhlak mulia), dilanjutkan dengan tajalli (menjadi manifestasi  cahaya  Ilahi). 

Kategori manusia yang ‘uzlah lahir dan batin itu, terbagi pula menjadi tiga:

1)  Orang yang ‘uzlah agar dirinya bisa selamat,
2)  Orang yang ‘uzlah karena ingin meraih sesuatu, dan 
3)  Orang yang ‘uzlah untuk mendapatkan kenikmatan.[24]

Uzlah dipandang dari sifatnya dibagi dua macam yaitu:

1) Uzlah bathin adalah kondisi bathin yang selalu berusaha, riyadlah, pergi, meninggalkan kesenangan duniawi selalu mendekatkan diri kepada Allah walaupun masih tinggal dan hidup bersama masyarakat. 

2) Uzlah dzahir ialah uzlah yang membawa seganap  jiwa  dan  raga bukan yang bersifat simbolik, melainkan bersifat dzahir, (riyadlah bersifat fisik) semisal pergi kegunung-gunung, hutan, berjalan menjadi musafir untuk bertafakur, beribadah kepada Allah supaya mendapatkan rindla -Nya.[25]

Untuk beruzlah sebenarnya butuh satu niat yaitu bertekad  untuk menjadi  lebih  baik,  dan  beristiqamah  di jalan  Allah,  karena  uzlah  akan sia-sia mana kala niat dan tekatnya kurang kuat. Hal ini  yang diperlukan adalah riyadlah  atau latihan ruhani.  

b.  Khalwat

Khalwat[26] jama’nya khalawat secara etimologi adalah tempat yang sunyi, atau tersembunyi[27] sedangakan menurut terminologi tasawuf khalwat dilihat secara dzohir dan batin. Khalwat zahir ialah apabila seseorang mengambil keputusan untuk memisahkan dirinya daripada dunia, memencilkan dirinya di dalam satu ruangan yang terpisah daripada orang ramai supaya manusia dan makhluk di dalam dunia selamat daripada kelakuan dan kewujudannya yang tidak  diingini. Dia juga berharap pengasingan itu akan mendidik egonya.[28]

Dalam Ensiklopedi Islam, khalwat di artikan menyendiri pada satu tempat tertentu, jauh dari keramaian dan orang banyak, selama beberapa waku untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.[29]

Ibrahim Baisyni mengatakan bahwa khalawat merupakan salah satu  bentuk riyadhah yang paling efektif dan dicintai oleh para shufi, karena  dengan khalwat akan dapat memfokuskan arah jiwa shufi dan ia akan menjadi cermat serta menyiapkan diri untuk memperoleh kesucian dan pencerahan jiwa[30] dan sifatnya juga untuk menyembunyikan amal, karena dengan menyembunyikan amal bisa terhidar dari sifat takabur, dan riya’, para shufi lebih mengutamakan kerahasiaan amal dari pada amalnya diketahui oleh banyak orang.  Karena khalwat dimaksudkan untuk belajar menetapkan hati, melatih jiwa  dan  hati  untuk  selalu  ingat  kepada  Allah Ta’ala.[31]

Imam al-Gazali berpendapat bahwa berkhalwat itu meneladani Nabi Muhamad saw yang pernah melakukan khalwat di gua Hira’ sebelum menerima wahyu.[32] Khalwat juga menjadi sifatnya orang-orang shufi.[33]

Jadi khalwat adalah salah satu cara bagaimana salik bisa lebih dekat dengan Khaliqnya melalui penyendirian. Hati yang berkhalwat bisa saja dalam keadaan bersama masyrakat karena khalwat bisa secara bathin yaitu keadaan hati yang selalu menyendiri dari  pengaruh  duniawi  dan disibukkan bersama Ilahi. 

c.  Zuhud

1)  Makna Zuhud

Secara etimologis zuhud[34] berarti “raghaba’an syai’in wa tara kahu” yang artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. “Zahada Fi al dun-ya” berarti mengosongkan diri dari  kesenangan  dunia  untuk  ibadah. Orang yang melakukan zuhud dinamakan zahid, zuhad atau zahidun. Zahidin jamaknya Zuhdan, artinya kecil atau sedikit. Dan zuhud di sini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia, dan mengingkari kelezatan itu meskipun  halal.

Dengan jalan berpuasa dan kadang-kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yaitu ridla  bertemu dan ma’rifat Allah SWT.[35]

Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. Terutama saat di hadapannya terbentang lebar kesempatan untuk meraih dunia dengan segala macam perbendaharaannya. Apakah itu kekuasaan, harta, kedudukan, dan segala fasilitas lainnya. 

Karenanya, zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Jika tidak memiliki keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak dapat dibedakan lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia. Rasulullah pernah bersaba tentang zuhud sebagai berikut:[36]

Zuhudlah terhadap dunia niscaya kamu di cinta Allah, zuhudlah terhadap apa yang dimiliki ma nusia niscaya kamu akan di cintai oleh mereka.” 

Dalam pandangan kaum shufi bahwa dunia dan segala kehidupan materi dan isinya adalah merupakan sumber kemaksiatan, kemungkaran yang dapat menjauhkannya dari Tuhan, menyebabkan kejahatan dan dosa. Karena hasrat, keinginan dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai ghayah (tujuan akhir) dalam hidupnya, sehingga memalingkannya dari Tuhan. Oleh karena itu, maka seorang shufi dituntut untuk terlebih dahulu meninggalkan atau memalingkan seluruh aktifitas jasmani dan ruhani dari ha-hal yang bersifat duniawi. 

Dengan demikian segala apa yang dilakukan dalam kehidupan tidak lain hanyalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan,[37] sehingga dunia tidak berpengaruh dalam kehidupan, tidak menjadikan susah maupun senang, karena kesusahan menerutnya adalah ketika jiwa kita jauh dengan Tuhan dan kesenangan sejati adalah ketika dekat dengan-Nya. Karena susah dan senang dalam dunia  bersifat sementara, sesuai dengan firman Allah dalam QS An-Nisa’, 4: 77:

“…Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.”[38]

Akan tetapi zuhud tidak berarti sama sekali meniggalkan kehidupan dunia dan semata-mata mengurus kehidupan akhirat saja,[39] zuhud adalah bagai mana cara seseorang memandang dunia.

2)  Tanda-Tanda Zuhud

Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 3 tanda zuhud, yaitu: pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Kedua, sama saja di sisinya orang yang mencela dan mencacinya, baik terkait dengan harta maupun kedudukan. Ketiga, hendaknya senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan.[40]

Jadi, tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan karena adanya dominasi kedekatan kepada Allah SWT.

Biasanya sikap zuhud di tunjukkan dengan jalan mengasingkan hati dengan menjalankan serangkaian ibadah, seperti: shalat, puasa, dzikir maupun bentuk ritual badan yang lain.[41]

3)  Tingkatan-Tingkatan Zuhud

Adapun tingkatan-tingkatan zuhud ada tiga macam yaitu:[42]

a) Mutazahiddin, adalah orang-orang yang berusaha zuhud dan berusaha atau bermujahadah untuk memalingkan hatinya dari dunia.

b) Zahid ya’riffu fi Zuhdihi adalah orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan isinya karena Allah, akan tetapi masih  terbesit  sesuatu yang hilang (masih merasakan kehilangan).

c) Zuhdi fi Zuhdi adalah orang-orang yang zuhud yang sudah tidak merasakan kezuhudannya sebagai hal yang istimewa melainkan sebagai hal yang biasa. 

Jadi kezuhudan tidak bisa kita lihat dengan sedikitnya harta  benda, pangkat, jabatan atau embel-embel keduniawian yang lain, melainkan pengalaman psikis manusia berkaitan dengan bagaimana ia memandang materi dunia ini. 

d.  Tawakal

Tawakal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada  Allah SWT untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya,  baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.89 Allah SWT berfirman:

“…Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya  jalan keluar  dan  memberi  rizqi  dari arah yang tiada  ia  sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakal kepada  Allah, niscaya Allah akan mencukupkan  (keperluan)nya  …”  (QS:  Ath  Tholaq: 2-3)[43]

Secara harfiah tawakal berasal dari kata wakala[44] yang artinya menyerahkan, mempercayakan, atau mewakili urusan kepada orang lain. Tawakal adalah menyerahkan dan berserah diri sepenuhnya atas segala perkara dan usaha yang dilakukan kepada Allah SWT. Tawakal merupakan  ciri  orang  yang  beriman.

Tawakal bukan berarti bersifat pasif melainkan aktif, artinya adalah seseorang bertawakal harus disertai dengan usaha terlebih dahulu, mewujud-kan tawakal bukan berarti meniadakan usaha. Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berusaha sekaligus bertawakal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan bertawakal dengan  hati merupakan perwujudan iman kepada Allah.

Tawakal yang menjadi ciri mukmin sejati bukanlah tawakal dalam arti kemalasan yang menyebabkan tidak mau berusaha, karena tawakal diperintahkan untuk manusia agar manusia bisa merasa  tenang  dalam setiap usaha dan perilakunya. 

Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam bukunya Minhajul-Muslimin menyatakan bahwa tawakal yang merupakan bagian langsung dari iman dan aqidahnya ialah  taat  kepada Allah dengan menghadirkan  semua sebab yang diperlukan dalam semua perbuatan yang hendak dia kerjakan,[45] dengan demikian menjadikan hidup bukan hanya mengandai-andai, tidak bermalas-malasan karena dunia ini ada hukum sebab akibat, maka manusia harus berikhtiar untuk mencukupi kebutuhannya di dunia. Disamping itu juga ikhtiar adalah tanda  bahwa  kita  mensyukuri  nikmta-Nya.

Imam al-Gazali mengatakan bahwa maqam tawakal terdiri dari tiga unsur Ilmu, hal dan amalan, maksudnya adalah: hal merupakan tawakal dalam  dirinya sedangkan Ilmu adalah dasar dari tawakal, amal merupkan buwahnya.[46]

Seorang shufi berkata: Tawakal adalah merupakan hal yang rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya, yang pada hakikatnya meninggal-kan  usaha  yang bukan  karena  Allah,  mereka merasa selalu bersama  Allah  dimanapun berada.[47] Seperti halnya Sahl bin Abdullah ketika  ditanya  tentang  tawakal,  ia  menjelaskan  “Qalbu  yang  hidup bersama Allah SWT dan tidak tertarik kepada yang lain”. [48]

Ketawakalan  orang berbeda-bedada, tergantung kadar keimanan yang  dimiliki sebagai  bekal  dalam  berusaha  dan  bertindak,  Syeikh  Abu Ali ad-Daqqaq berkata, bahwa tawakal mempunyai tiga tingkatan pertama: Tawakal: maksudnya  adalah orang yang  bertawakal  akan merasa  tentram  dengan  janji-Nya. Kedua: Taslim: adalah orang yang merasa cukup dengan pengetahuan-Nya. Ketiga: Tafwidh:  adalah orang yang merasa puas dengan kebijaksanaan-Nya. Seperti digambarkan dalam perilaku makan tanpa tamak.[49]

Amal  perbuatan  manusia  dalam  hubungannya dengan tawakal adalah antara usaha dan keyakinan, keyakinan bahwa yang  dikerjakan maupun yang diusahakan akan mendapatkan pertolongan dan bimbingan dari Allah SWT  yang  menjadikan  hati tenang dan tentram. Jadi tawakal adalah sikap  dalam  mengarungi samudra kehidupan kerena hati dan tindakannya selalu seimbang dan selaras dengan nilai-nilai keimanan. 

e.  Sabar

Sabar merupakan istilah dari bahasa Arab dan sudah menjadi istilah bahasa Indonesia. Asal katanya adalah shabara, yang membentuk infinitif (masdar) menjadi shabran. Atau Secara etimolgi sabar berasal dari kata shabara-yasbiru-shabran yang artinya tabah  hati berani (atas sesuatu)[50] sabar adalah menahan diri dari  bersikap,  berbicara, dan bertingkah laku yang tidak sesuai dengan yang diperintahan oleh  Allah SWT. Menguatkan makna seperti ini sesuai dengan  firman Allah dalam Al-Qur’an:

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan  janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti  hawa  nafsunya  dan  adalah  keada annya  itu melewati batas.” (QS.Al-Kahfi: 28)[51]

Perintah bersabar pada ayat di atas adalah untuk menahan diri dari keinginan ‘keluar’  dari  komunitas orang-orang yang menyeru  Rabbnya serta selalu mengharap keridla an-Nya. Perintah  sabar di atas sekaligus juga sebagai  pencegahan  dari  keinginan  manusia  yang  ingin  bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah SWT. Sedangkan dari segi  istilahnya, sabar adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan  rasa  emosi,  kemudian  menahan  lisan  dari  keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.[52]

Serta dalam berbagai keadaan yang  sulit,  berat,  mencemaskan, susah, senang dan bahagia. Sabar juga bermakana ketabahan dalam menerima  sesuatu  kepahitan  dan kesulitan,[53] atau dalam  keadaan berbahagia atau berduka baik secara jasmani maupun ruhani. Allah SWT berfirman dalam Surat an-Nahl: 127:

Bersabarlah, dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah… ” [54]

Kesabaran adalah perasaan menerima semua anugrah dari Allah dengan perasaan bahagia, karena kesabaransesungguhnya tanpa batas tergatung sebarapa jauh, atau seberapa kuat kualitasnya diri  kita dalam bersabar. Allah juga menjadikan sabar sebagai jalan untuk meminta pertolongan sesuai dengan firman-Nya:

Dan mintalah  pertolngan  dengan  Sabar…”  (QS.  Al- Baqarah: 45)[55]

Allah memerintahkan kepada kita untuk menjadikan sabar sebagai jalan untuk memohon pertolongan dalam memecahkan  problem kehidupan.[56] Hal tersebut mengindikasikan  bahwa  dalam  bersabar menjadikan ketenangan dalam bathin yang membuat kita  berfikir  lebih jernih sehingga orang sabar mampu mengatasi  berbagai  problem kehidupan yang ada.

Dalam buku 30 petunjuk Islam menangani setres dikatakan bahwa sabar ada dua macam dan mempunyai pengertian yang berbeda: pertama sabar yang berarti tenang, tabah dan dengan penuh kerelaan hati menghadapi berbagai macam cobaan. Kedua, mushabarah yang berarti menghadapi lawan di dalam memperebutkan sesuatu yang memerlukan ketabahan dan keteguhan.[57]

Di dalam Risalah al-Qusyairiyah membagi sabar dalam beberapa macam: sabar terhadap apa yang diupayakan, dan sabar terhadap apa yang tidak di upayakan. Mengenai sabar dengan upaya terbagi menjadi dua: sabar dalam menjalankan printah-Nya dan sabar dalam menjauhkan larangan-Nya. Mengenai sabar terhadap hal-hal yang tidak melalui upaya dari  hamba,  maka  kesabarannya  adalah  dalam  menjalani ketentuan-ketentuan-Nya yang menimbulkan kesukaran baginya.[58]

Kesabaran tidak terikat oleh tempat dan waku, kesabaran dalam berbagai keadan bagi seorang salik adalah sebuah keharusan sehingga mampu memahami diri yang bisa mendekatkan epada Allah. 

Kesabaran bukanlah hanya masalah bagaimana menata hati dalam menghadapi kehidupan akan tetapi dituntut juga bagaimana merealisasikan kesabaran kita dalam langkah yang kongkrit. Bukti bahwa kita mampu bersabar adalah ketika kita tidak mengeluh dengan apa yang datang dalam kehidupan kita bahkan  sebaliknya  kita akan merasa semangat dalam melihat hidup ini, karena dalam hati orang yang sabar dipenuhi ketenangan yaitu ketenangan bersama Allah, keluh kesah, beban hidup dipasrahkan kepada-Nya. Sebagai mana firman-Nya: 

“…Bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”  (QS. al-Anfal: 46)[59]

Jadi Allahlah teman sejati bagi orang yang bersabar. Karena Allah sangat menyayangi orang-orang yang berserah diri dan bersabar. 

Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa bertasawuf dan bersuluk adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan ibarat satu koin mata uang, satu sisi menguatkan sisi yang lain, orang yang mengaku bertasawuf sudah pasti bersuluk, karena makna dari  tasawuf  adalah bersuluk secara hakiki. 

Orang yang bersuluk tidak bisa dibatasi bagaimana amal, usaha atau lakunya, garis besarnya ialah tergantung pada niatan awal yaitu selalu ingin dekat dan ingin mendapat rindla dari Allah. Jadi seperti teori–teori yang digambarkan diatas mulai dari uzlah, khalwat, zuhud, tawakal, sabar  adalah sebagian kecil dari bertasawuf, dan salah satu laku seorang salik, yang menginginkan kebersamaan bersama Allah SWT. 

Allah Maha Agung, Maha Luas Karunianya, segala  sumber makluk yang tampak maupun yang tidak tampak, dzohir maupun batin di segala penjuru terdapat wajah-Nya. Maka untuk mendekati-Nya pun tergantung  seorang  shufi, akan tetapi teori-tori yang dituturkan di atas dibatasi agar pembahasannya tidak terlau melebar dan hanya berkutat pada masalah uzlah, khalwat, zuhud, tawakal dan sabar  karena menyesuaikan dengan tema yang di angkat.  

Maka bagi seseorang yang ingin menempuh jalan kepada llahi ber-tasawuf  dan  bersuluk  berjanlah  dengan  kebeningan hati, hati  yang bening menerima cahanya  jalan  yang  bersal  dari  Allah,  Allah memuliakan orang yang memuliakan dengan jalan-Nya. Allah berfirman:

Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka  azab  yang  keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Fathir: 10)[60]



[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet.1, jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, hlm. 292
[2] A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Kalsik  ke  Neo-Sufisme, PT  Raja  Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 281
[3] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 523
[4] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 292
[5] Amatullah  Armstrong,  Kunci  Memasuki  Dunia  Tasawwuf:  Khasanah  Istilah  Sufi, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 268
[6] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 292
[7] Cgril  Glasse,  Ensiklopedi  Islam,  Terj.  Gufron  A.  Mas'adi,  cet.3,  Jakarta,  PT  Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 376
[8] Imam Al-Gazali, Taman Jiwa Kaum Sufi, Terj. Abu Hamid, Risalah Gusti, Surabaya, 1994.21
[9] Cgril Glasse, op. cit., hlm. 376
[10] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf,  Surabaya,  PT  Bina  Ilmu,  1979, hlm.251
[11] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 787
[12] Ibid., hlm.18
[13] Abubakar Aljeh, Pengantar Ilmu Tarekat , Ramadhani, Solo, 1992, hlm.122
[14] A. Rivay Siregar, op. cit., hlm. 282
[15] Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, Kamus Indonesai Arab al-Bisri, Pustaka Progresif, Surabaya, 1999, hlm. 495
[16] Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia,  Djambatan,  Jakarta,  1992,  hlm. 972
[17] Masharuddin,  Pembrontakan  Tasawuf  Kritik  Ibn  Taimiyyah  Atas  Rancang  Bangun Tasawuf , JP Books, Surabaya, 2007,  hlm. 178
[18] Sayidi Abdul Wahab as-Sya’rani, Minahus Saninyyah ‘ala  Wasiyah  al-Mutabauliyah, Toha Putar, Sematang, t. th, hlm. 11
[19] Nurcholis Majid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, cet. 2, 1995, hlm. 192
[20] Sayidi Abdul Wahab as-Sya’rani, op. cit., hlm. 11
[21] Lih. Al-Khafidz Abi ‘Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Darul Fikr, jilid 2, t. th, hlm. 1345
[22] Lihat dalam kitab Turast yang dikarang oleh Syeh Nawawi    bin Umar diterangkan bahwa Uzlah adalah hal yang sangat mulia  ketika zaman sudah rusak, dan sekarang ini adalah waktu yang  paling  utama untuk beruzlah. Syekh Nawawi bin Umar, Qami’ Tugyan ‘Ala Manzdumati Syu’bul Iman, hlml. 9-10
[23] Masharuddin, op. cit., hlm. 180
[24] http://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=73
[25] Kedua istilah uzlah ini hanya digunakan penulis untuk memudahkan pengertian bahwa ibadah    atau suluk uzlah bukan berarti hanya bersifat dzohir (lahir)  melainkan  ada  juga  yang bersifat bathin tanpa riyadloh  dzohir,  selain  itu  juga  untuk menghindari perdebatan dikalangan ulama’ berkaitan boleh tidaknya beruzlah.
[26] Pada dasarnya khalwat dengan uzlah adalah sama yaitu  meniadakan atau pemutusan hubungan dengan masyarakat untuk  bermunajat, bertafakur kepada Allah, akan tetapi perbedannya adalah  khalwat bersifat lebih sederhana yaitu menyendiri di tempat yang  sepi (misalanya sendiri di dalam kamar dan berdzikir kepada Allah)  sedangkan uzlah lebih membutukan tindakan yang lebih extrim (misalnya meninggalkan rumah pergi ke perbukitan atau pegunungan  yang belum pernah dilewati), ada juga yang mengatakan bahwa  sifatnya  uzlah adalah  khalwat,  uzlah  adalah  pemutusan  hubungan  dengan masyrakat kalau sudah memutuskan hubungan dengan  masyarakat secara otomatis kondisinya menjadi sendiri dan  menyendiri. Lihat Ibid, Pembrontakan  Tasawuf  Kritik  Ibn  Taimiyyah  Atas Rancang  Bangun Tasawuf,  hlm.  178. Lihat  juga  dalam  kitab  turast   karangan  Saidi Abdul Wahab as-Sya’rani,  Minhus  Saninyyah  ‘ala Wasiyah al-Mutabauliyah, Toha Putar, Sematang, t. th, hlm. 9
[27] Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, op. cit., hlm. 175
[28] http://tamansufi.tripod.com/asrar23.html
[29] Dewan Redaksi,  Ensiklopedi  Islam,  Cet.1, jilid IV,  Jakarta:  Ichtiar  Baru  van  Hoeve, 1993, hlm.36
[30] Masharuddin, op. cit., hlm. 178
[31] Abubakar Aceh, op. cit.,  hlm. 332
[32] Dewan Redaksi, op. cit.,  hlm.36
[33] Abd. Al-Karim ibn Hawazin al-Qusyayri, Risalah Sufi al-Qusyayri,  Terj.  Ahsin Muhammad, Mizan, Bandung, 1990, hlm. 18
[34] Trem zuhud dalam   Kamus  Indonesai  Arab  al-Bisri  diartikan  sebagai ketiadaan  perhatian. Jadi ketika kita zuhud terhadap sesuatu menjadikan kita tidak memperhatikan terhadap sesuatu itu. Lih. Ibid, Kamus Indonesai Arab al-Bisri, hlm. 301 dan juga dalam ayat dalam al-Qur’an yang  menyiratkan  tentang kezuhudan  teraktup dalam surat  al-Hasr: ayat 9. Zuhud  sering di sebut asketisme adalah maqamat yang kedua setelah taubah yang memiliki makna sebagai sikap menjauhkan diri dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kehidupan  duniawi.  Lihat. Buku Tasawuf  yang  ditulis  oleh  H.  Asep.  dkk.  PSW  UIN  Jakarta, 2005, hlm. 115
[35] Amin Syukur, Zuhud di Abad Moderen, Pustaka Pelajar. Jakarta: 1997
[36] Al-khafidz Abi ‘Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini op. cit., hlm. 1373-1374
[37] Hasyim  Muhammad,  Dialog  Antara  Tasawuf  dan  Psikologi,  Pustaka  Pelajar, Yogyakarta, 2002,  hlm. 35
[38] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm.  169
[39] Djamaluddin Ahmad Al-Buny, op. cit., hlm. 103
[40] http://www.dakwatuna.com/2007/zuhud/
[41] Asep Usmar Ismail, Wiwi St. Sajarah dan Surarin, op. cit., hlm. 115
[42] Lih. Ibnu Rajab al-Hambali, Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian  Jiwa  Menurut Ulama Salafusshalihin,   Ibid., hlm. 77
[43] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 1133
[44] Mahmud  Yunus,  Kamus  Arab  Indonesia,  PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, hlm. 506
[45] Ahmad  Yani,  Be  Excellent, Menjadi  Pribadi  Terpuji,  Al-Qalam,  Jakarta,  2007,  hlm. 53
[46] Sa’id Hawa, Tazkiyatun Nafs, Pena, Jakarta, 2006,  hlm, 353
[47] Abu  Bakar  M.  Kalabadzi,  Ajaran-Ajaran  Sufi,  Terj.  Drs.  Nasir  Yusuf,  Pustaka, Bandung,  1985, Hlm. 134
[48] Imam al-Qusyairy, Risalaul Qusyairiyah: Induk Ilmu  Tasawuf.  Terj.  Mohammad Lukman hakiem, Risalah Gusti, cet. 4, 2000, hlm183
[49] Ibid.,  hlm183
[50] Mahmud Yunus, Kamus  Arab  Indonesia,  PT.  Hidakarya  Agung,  Jakarta,    t.th,    hlm. 211
[51] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 569
[52] http://www.dakwatuna.com/2007/sabar-keajaiban-seorang-mukmin/
[53] Ahmad Yani, op. cit., hlm. 52
[54] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 537
[55] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 17
[56] Ouys Al-Kharani, Shalat Solution, Medina Center, Semarang, t.th, hlm. 6
[57] Muhamad  Thalib,  30  Petunjuk  Islam  Menangani  Setres,  Gema  Risalah  Press, Jakarta, 1997 hlm. 47
[58] Imam al-Qusyairy,  op. cit., hlm. 209
[59] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 347
[60] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 853