Showing posts with label Pengobatan. Show all posts
Showing posts with label Pengobatan. Show all posts

HALAL DAN HARAM DALAM MAKANAN


Kata halal berasal dari bahasa arab yang berarti “melepaskan” dan “tidak terikat”. Secara etimologi halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Prinsip dasar yang ditetapkan Islam, pada asalnya segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah itu halal. Tidak ada yang haram kecuali jika ada nash (dalil) yang shahih (tidak cacat periwayatnya) dan sharih (jelas maknanya) dari pemilik syari’at (Allah swt). Kalau tidak ada nash yang sah dikarenakan ada sebahagian hadist lemah atau tidak ada nash yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut sebagaimana asalnya yaitu mubah.[1]
Agama Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk memakan makanan yang halal dan baik. Makanan “Halal” maksudnya makanan yang diperoleh dari usaha yang diridhai Allah. Sedangkan makanan yang “baik” adalah yang bermanfaat bagi tubuh, bersifat bersih, higienis, makanan bergizi, berkualitas dan bermutu baik.
Dalam mengkonsumsi makanan, kita harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariat. Di antara aturan itu adalah yang terdapat dalam surat Al-Nahl ayat 144, Allah berfirman:

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللهُ حَلاَلاً طَيِّباً وَ اشْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَاهُ تَعْبُدُونَ
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”. (QS.An-Nahl:144).
Adapun kriteria halal-haram untuk pangan, obat, dan kosmetik yang menjadi hal penting yang harus diketahui oleh konsumen. Kriteria halal tersebut adalah thayyib (baik). Sedangkan kriteria haram itu ada lima, yaitu khabits (buruk), berbahaya, najis, memabukkan, dan terbuat dari organ tubuh manusia.[2]
Sedangkan yang dimaksud dengan makanan halal menurut Himpunan Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah makanan yang dibolehkan untuk dikonsumsi menurut ajaran Islam. Adapun syarat-syarat produk makanan halal menurut syari’at Islam antara lain:
1.    Halal zatnya, artinya halal dari hukum asalnya misalkan sayuran.
2.    Halal cara memperolehnya, artinya cara memperolehnya sesuai dengan syari’at Islam misalkan tidak dengan mencuri.
3.    Halal dalam memprosesnya, misalkan proses menyembelih binatang dengan syari’at Islam misalkan dengan membaca basmalah.
4.    Halal dalam penyimpananya, tempat penyimpananya, tidak mengandung barang yang diharamkan, seperti babi dan anjing (binatang yang diharamkan oleh Allah).
5.    Halal dalam pengangkutanya, misalkan binatang yang mati dalam pengangkutan sekalipun baru sebentar, tidak boleh ikut disembelih dan dikonsumsi oleh manusia.
6.    Halal dalam penyajianya, artinya dalam penyajian tidak mengandung barang yang diharamkan menurut syari’at Islam.
يَآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّماَ الْخَمْرُ وَ الْمَيْسِرُ وَ الأَنْصَابُ وَ الأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطاَنِ فَاجْتَنْبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan itu) agar kamu beruntung.” (QS.Al-Maidah: 90).
Berdasar surat di atas yang berkaitan dengan pembolehan dan pelarangan memakan dan meminum sesuatu, jika seseorang mengkonsumsi minuman dan makanan yang haram maka akan tercermin sikap dan perilaku yang tidak baik. Sehingga memilih makanan yang baik dan halal merupakan kewajiban yang harus dijalankan bagi setiap muslim khususnya. Maka para Ulama menyimpulkan dalam suatu kaidah bahwa:
Hukum asal sesuatu boleh, sehingga ada dalil yang mengharamkannya”.
Dengan demikian, sepanjang tidak ada dalil yang melarang memakan dan meminum sesuatu, maka hukum memakan dan meminum sesuatu itu boleh.



[1] Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2007, hlm 36.
[2] Ali Mustafa Yaqup, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, Dan Kosmetika Menurut al-Qur’an Dan Hadist, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2009, hlm173.

SERTIFIKASI HALAL


Sertifikasi halal merupakan langkah awal pencantuman label halal, proses mendapatkan sertifikasi halal, yaitu melalui MUI yang memiliki perangkat yaitu LP POM dan komisi fatwa. LP POM melakukan pegkajian dan pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi. Jika berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan kejelasan maka hasilnya dibawa ke komisi fatwa yang akan dibahas dari tinjauan syariah.
Pertemuan sains dan syariah inilah yang akan dijadikan dasar penetapan fatwa oleh komisi fatwa, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk sertifikat halal oleh MUI. Jadi, sertifikasi halal adalah suatu fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam.
Adapun kriteria produk sertifikat halal yaitu:
1. Produk tidak mengandung babi atau produk-produk yang mengandung babi.
2.    Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti: bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dsb.
3.    Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari’at islam.
4.    Semua makanan dan minuman tidak mengandung khamar.
5.  Semua tempat yang digunakan dalam proses pembuatan harus dalam keadaan bersih dan digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan babi.
Sertifikasi juga menjadi keharusan bagi produsen, berbagai peraturan yang mendorong sertifikai halal adalah sebagai berikut:
1.    Menurut UU No. 7 / 1996 tentang pangan, pasal 30 yang mengatakan bahwa LABEL memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai:
a.    Nama produk.
b.    Daftar bahan yang digunakan.
c.     Berat bersih atau isi bersih.
d.    Nama dan alamat perusahaan (produsen/importir).
e.     Keterangan tentang halal.
f.      Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
Pasal 41, juga yang mengatakan bahwa produsen bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksi.
2.    UU No.8 / 1999 tentang perlindungan konsumen. Pasal 4 huruf C mengatakan konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Pasal 8 ayat (1) huruf h mengatakan, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label.
Setiap produsen yang mengajukan sertifikat halal bagi produknya, diwajibkan mengisi formulir yang telah disediakan dengan melampirkan:
1.    Spesifikasi dan sertifikasi halal bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta bagan alur proses produksi.
2.    Sertifikat halal atau surat keterangan halal dari MUI daerah (produk lokal) atau sertifikat halal dari lembaga Islam yang telah diakui oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunanya.
3.    Sistem jaminan halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaanya.
Adapun proses sertifikasi halal yang dilakukan LP POM MUI adalah sebagai berikut:
1.    Tim auditor LP POM MUI melakukan pemerikasaan atau audit ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampiran-lampiranya dikembalikan ke LP POM MUI dan diperiksa kelengkapanya.
2.    Hasil pemeriksaan atau audit dan hasil labolatorium dievaluasi dalam rapat tenaga ahli LP POM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil udit untuk diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalanya. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan.
3.    Sertifikat halal dikeluarkan oleh majelis ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalanya oleh Komisi Fatwa MUI.
4.    Perusahaan yang produknya telah mendapat sertifikat halal, harus mengangkat auditor halal internal sebagai bagian dari sistem jaminan halal. Jika kemudian ada perubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada proses produksinya, auditor halal internal diwajibkan segera melaporkan untuk mendapat “ketidak beratan penggunaanya”. Bila ada perusahaan yang terkait dengan produk halal hasil dikonsultasikan dengan LP POM MUI oleh auditor halal internal.



JAGALAH HATIMU

Qalb  dalam arti psikis, dalam pengertian lathifah rabbaniyyah ruhaniyyah, adalah sesuatu yang halus yang memiliki sifat ketuhanan dan keruhaniahan.[1] Halus maksudnya ialah mengemukakan sifat keadaannya, dimana kita bisa merasa sedih, duka, kesal, gembira, kagum, hormat, benci, marah dan cinta, inilah yang merupakan hakekat dari manusia yang dapat menerima pengetahuan, dapat beramal sekaligus menjadi obyek perintah dan larangan dari Allah.
Jika fisik memiliki indra lahir, maka rohani memiliki indra batin. Dengan indra batin itulah diri kita melihat yang tak dapat dilihat oleh penglihatan lahir, karena ia berkaitan erat dengan hati yang bertubuh. Keduanya berhubungan seperti hubungan sifat (aradh) dengan tubuh (jisim), hubungan antara sifat dengan disifati (maushuf) atau hubungan pemakai alat dengan alatnya. Orang yang senantiasa menyucikan batinnya, niscaya hatinya akan bersih dan indra batinnya akan lebih tajam.
Hati dari arti lathifah rabbaniyyah ruhaniyyah inilah yang menjadi tumpuan dan pandangan dari Tuhan. Tuhan hanya memperhatikan hati, karena hati itulah yang menjadi hakekat manusia. Karakter seseorang berbeda dengan yang lain karena mempunyai hati yang berbeda. Perbedaan itulah yang menyebabkan perbedaan manusia dalam tingkah laku dan perbuatannya dan akan membedakan peringkat manusia dihadapan Tuhan.
Dalam diri kita, kita dapat mengenal macam-macam kondisi qolb (hati), yaitu ketika hati sehat, hati mati dan hati sakit. Menurut Imam al-Ghazali:
Pertama, hati yang shahih (sehat) bisa menjadikan manusia selalu (salim) selamat. Dalam hati yang sehat ini manusia mempunyai hal-hal kebaikan, dengan selalu mensyukuri nikmat-Nya. Mempunyai iman yang kokoh, tidak hidup serakah, hidupnya tentram, khusyu’ dalam ibadah, banyak melakukan dzikir sehabis shalat, jika melakukan kelalaian selalu langsung sadar, dan di dalam dirinya selalu diliputi perbuatan baik. Serta bila salah selalu langsung bertaubat. Inilah yang diinginkan oleh Allah, dan kita akan mudah dekat dengan-Nya.
Kedua, hati yang mayyit (mati), hati ini kaku keras, yang membawa pada sifat-sifat yang jelek, sehingga banyak melakukan dosan, dalam dirinya. Selalu mengingkari nikmat Allah,  iman yang mendorong untuk kebaikan itu tipis dan terkadang imannya kosong, selalu dikuasai hawa nafsu, berburuk sangka, tingkah lakunya selalu menyimpang dari norma-norma agama, egois, keras kepala, selalu ingin menang dari perbuatan dosa-dosa yang dilakukan, maka akan jauh dari Allah. 
Ketiga, hati yang maridl (sakit), dalam hati ini ada campuran antara sehat dan mati, yang di dalamnya ada iman, ada ibadah, ada pahala, tetapi ada kemaksiatan dan perbuatan dosa kecil atau besar. Seperti hatinya yang tidak tenang (gelisah), suka marah, tidak pernah punya rasa puas, susah menghargai orang lain, penderitaan lahir batin, tidak bahagia.[2]



[1] Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin (Mengembangkan Ilmu-ilmu Agama), Jilid 2, terjemahan Prof. TK. H Ismal Yakub MA, SH., Pustaka Nasional Pte led, Singapore, 1988, hlm. 898.
[2] Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA., dan Dra. Hj. Fatimah Usman, M.Si, Insan Kamil Kontemporer (Paket Pelatihan Seni Menata Hati (SMHI)), CV. Bima Sejati, Semarang, 2004, hlm. 14.

DOA DAN KESEHATAN MENTAL

berdoa
Menurut Mujib dan Mudzakir melakukan do'a sama nilainya dengan terapi relaksasi (relaxation therapy), yaitu satu bentuk terapi dengan menekankan upaya mengantarkan pasien bagaimana cara ia harus beristirahat dan bersantai-santai melalui pengurangan ketegangan atau tekanan psikologis. Banyak dari kalangan psikolog-sufistik memiliki ketenangan dan kedamaian jiwa yang luar biasa. Hidup bagi mereka terasa tanpa beban, bahkan dengan musibah pun mereka dapat menikmatinya.[1]
Menurut Mujib dan Mudzakir bahwa do'a merupakan kebutuhan manusia karena dalam do'a terdapat harapan dan permohonan kepada Allah SWT agar segala gangguan dan penyakit jiwa yang dideritanya hilang. Allah Swt yang membuat penyakit dan Dia pula yang memberikan kesembuhan (QS. al-Syu'ara: 80). Doa dan munajah banyak didapat dalam setiap ibadah, baik dalam shalat, puasa, haji, maupun dalam beraktivitas sehari-hari.[2]
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Najati bahwa ketekunan seorang mukmin dalam berdo'a dan berzikir kepada Allah Swt baik dengan bertasbih, bertakbir, beristigfar, berdoa, maupun membaca al-Qur'an, akan menimbulkan kesucian dan kebersihan jiwanya serta perasaan aman dan tentram.[3]
Najati lebih lanjut menjelaskan bahwa dan do'a dan dzikrullah, karena dapat menimbulkan ketenangan dan ketentraman dalam jiwa, tak diragukan lagi merupakan obat kegelisahan yang dirasakan manusia saat mendapatkan dirinya lemah tak berdaya dihadapkan berbagai tekanan dan bahaya hidup, serta tak ada tempat bersandar dan penolong. Dengan demikian zikir dan do'a memiliki relevansi/kontribusi bagi terciptanya kesehatan mental (teoritis/praktis).[4]


[1] Mujib, Abdul dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 238
[2] Ibid.
[3] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, Terj. Zaka al-Farisi, Bandung: CV Pustaka Setia, 2005, hlm. 472
[4] Ibid., hlm. 474







MAKNA HIDUP

lampu tangan
1. Pengertian Makna Hidup
Makna hidup adalah hal yang dianggap sangat penting dan berharga, serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila hal itu berhasil dipenuhi akan menyebabkan seseorang merasakan kehidupan yang berarti yang pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia. Dan makna hidup ternyata ada dalam kehidupan itu sendiri, dan dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan.
Ungkapan seperti “makna dalam derita” (meaning in suffering) atau “hikmah dalam musibah” (blessing in disguise) menunjukkan bahwa dalam penderitaan sekalipun makna hidup tetap dapat ditemukan. Bila hasrat ini dipenuhi, maka kehidupan yang dirasakan berguna, berharga, dan berarti akan dialami. Sebaliknya, bila hasrat tidak terpenuhi, maka akan menjadikan kehidupan terasa tidak bermakna.
Pengertian mengenai makna hidup menunjukkan, bahwa dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Mengingat antara makna hidup dan tujuan hidup tak dapat dipisahkan, maka untuk keperluan praktis pengertian keduanya disamakan.[1]
2. Sumber-sumber Makna Hidup
Sumber makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, betapa pun buruknya kehidupan tersebut. Makna hidup tidak saja ditemukan dalam keadaan-keadaan yang menyenangkan, tetapi juga dapat ditemukan dalam penderitaan sekalipun.
Dalam kehidupan ini terdapat tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup di dalamnya apabila nilai-nilai itu diterapkan dan dipenuhi. Ketiga nilai (values) ini adalah creative values, experiential values, dan attitudinal values.
Creative values (nilai-nilai kreatif) adalah kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Menekuni suatu pekerjaan dan meningkatkan keterlibatan pribadi terhadap tugas serta berusaha untuk mengerjakannya dengan sebaik-baiknya, merupakan salah satu contoh dari kegiatan berkarya.
Melalui karya dan kerja seseorang dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. Bekerja itu dapat menimbulkan makna dalam hidup, secara nyata dapat dialami sendiri apabila seorang yang telah lama tak berhasil mendapat pekerjaan, kemudian seorang teman menawari suatu pekerjaan untuknya, kalau pun ternyata gajinya tidak terlalu besar maka kemungkinan ia akan menerima tawaran itu, karena ia akan merasa berarti dengan memiliki pekerjaan daripada tidak memiliki sama sekali.[2]
Experiential values (nilai-nilai penghayatan) adalah keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebijakan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya. Tidak sedikit orang-orang yag merasa menemukan arti hidup dari agama yang diyakininya, atau ada orang yang menghabiskan sebagian besar usianya untuk menekuni suatu cabang seni tertentu. Cinta kasih dapat menjadikan pula seseorang dapat menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Dengan mencintai dan merasa dicintai, seseorang akan merasakan hidupnya penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan.[3]
Attitudinal values (nilai-nilai bersikap),adalah menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian atas segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan, kematian, dan menjelang kematian, setelah segala upaya dan ikhtiar dilakukan dengan maksimal. Perlu dijelaskan dalam hal ini yang dirubah bukan keadaannya, melainkan sikap yang diambil dalam menghadapi keadaan tersebut. Ini berarti apabila seseorang menghadapi keadaan yang tidak mungkin dirubah atau dihindari, sikap yang tepatlah yang masih dapat dikembangkan.
Sikap menerima yang penuh ikhlas dan tabah, hal-hal yang tragis dan tidak mungkin dielakkan lagi dapat mengubah pandangan seseorang dari yang semula diwarnai penderitaan semata-mata menjadi pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan. Penderitaan memang dapat memberikan makna dan guna, apabila kita dapat mengubah sikap terhadap penderitaan menjadi lebih baik lagi. Ini berarti bahwa dalam keadaan bagaimanapun, arti hidup masih dapat ditemukan, asalkan saja seseorang dapat mengambil sikap yang tepat dalam menghadapinya.[4]
3. Harapan Sebagai Makna Hidup/Hopeful Values (Nilai Pengharapan)
Selain tiga ragam nilai yang dikemukakan Viktor Frankl, ada nilai lain yang dapat menjadikan seseorang menjadi bermakna, yaitu harapan (hope)/nilai pengharapan (hopeful values), yang memiliki pengertian, keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baikatau perubahan yang menguntungkan dikemudian hari. Harapan dapat diibaratkan seorang yang hampir putus asa karena berhari-hari tersesat duka yang gelap pekat, tiba-tiba melihat cahaya dari kejauhan, tentunya orang yang hampir putus harapan itu sekarang menjadi optimis dan penuh harapan. Tetapi harapan sekalipun belum tentu menjadi kenyataan, menjanjikan sebuah peluang dan solusi serta peluang baru yang menjanjikan, yang dapat menimbulkan semangat dan optimisme. Harapan mungkin sekedar impian, tetapi tidak menutup kemungkinan impian menjadi kenyataan.
4. Karakteristik Makna Hidup
Makna hidup memiliki sifat yang unik, pribadi dan temporer, artinya apa yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti pula oleh orang lain. Mungkin pula apa yang dianggap penting dan bermakna pada sat ini bagi seseorang, belum tentu sama bermaknanya pada saat yang lain pada seseorang. Dalam hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya biasanya sifatnya khusus, berbeda dan tidak sama dengan makna hidup orang lain, serta mungkin pula dari waktu ke waktu dapat berubah. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari, dijajaki, dan ditemukan sendiri oleh seseorang yang menginginkan makna hidup tersebut hinggap pada dirinya.
Sifat lain dari makna hidup adalah memberi pedoman dan arahan terhadap kegiatan-kegiatan yang kita lakukan, sehingga makna hidup itu seakan-akan “menantang” kita untuk memenuhinya. Dalam hal ini begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, seakan-akan seseorang terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan kita pun menjadi lebih terarah kepada pemenuhan itu.[5]
5. Makna Hidup dan Hidup Bahagia
Berbicara tentang kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning) dan makna hidup (the meaning of life) sering menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah makna hidup sama dengan kebahagiaan? Apakah hidup secara bermakna identik dengan hidup bahagia? Bagaimana kebahagiaan dapat dicapai?” Dapat diajukan pandangan bahwa makna hidup tidak identik dengan kebahagiaan, kesusahan ataupun kekayaan dan kekuasaan, walaupun semuanya ada hubungannya.
Dalam hal ini, kebahagiaan adalah ganjaran dari usaha yang telah dijalankan dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna, sedangkan kekayaan dan kekuasaan merupakan salah satu sarana yang dapat menunjang kegiatan-kegiatan bermakna.[6]


[1] H.D. Bastaman, Logo Terapi (Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 45-46
[2] Ibid., hlm. 46-47
[3] Ibid., hlm. 48-49
[4] Ibid., hlm. 48-50
[5] Ibid., hlm. 50-54
[6] Ibid., hlm. 45-55

























QIYAMULLAIL MEMBENTUK MENTAL POSITIF

MUNAJAT
Manusia selalu dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang terjadi mulai pagi hingga petang. Permasalahan itu mengendap di dalam memori otak, bila dibiarkan dan tidak bisa dipecahkan maka akan menjadikan depresi, terjadi kesuntukan-kesuntukan yang berpengaruh terhadap jiwa. Akhirnya jiwa kita tidak sehat dan berdampak pula terhadap kesehatan fisik.
Dalam Islam telah diberikan cara untuk mengembalikan memori otak menjadi segar bugar setelah sepanjang hari dipakai untuk berpikir, yaitu dengan ber-qiyamullail. Seseorang akan ber-latih mengendapkan pikiran sehingga mendapat jiwa yang jernih setelah ber-qiyamullail. Karena suasana sunyi, udara segar, seseorang duduk menyendiri dan bermunajat kepada Tuhannya. Segala permasalahan yang dihadapi diadukan kepada Tuhannya. Maka secara disadari atau tidak kita akan menemukan jalan keluar dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, qiyamullail dianggap sebagai latihan (riyadhah) untuk membebaskan jiwa dari segala penyakit dan tekanan. Abu Hasan an-Nadwi berpendapat bahwa penyucian jiwa dengan ber-qiyamullail, berdakwah pada kebaikan dan memahami batin adalah termasuk cabang yang paling utama dari sifat Nabi.[1]
Sesungguhnya ketahanan mental dan kebersihan jiwa manusia dapat dibentuk melalui latihan-latihan (riyadhah). Riyadhah yang paling utama dan paling baik adalah dengan ber-qiyamullail. Orang-orang shalih jaman dahulu memiliki semangat jihad dan keikhlasan tinggi. Turun di medan perang tidak cukup hanya dengan mengandalkan kekuatan tubuh jika tidak didukung dengan semangat dan keikhlasan.
Qiyamullail dapat membentuk jiwa ikhlas berkorban di jalan Allah, mempunyai dorongan untuk bersedekah, menyantuni anak yatim dan fakir miskin dan perbuatan baik lainnya. Sungguh sangat berbeda orang yang ahli ber-qiyamullail dan yang tidak. Orang yang mempunyai mental dan keikhlasan hati, ia tidak akan mudah putus asa dalam menghadapi segala bentuk kehidupan. Namun, selalu berpengharapan baik dan selalu berusaha untuk mencapai sesuatu yang utama bagi dirinya. Rasulullah mewariskan ajaran agama berupa shalat qiyamullail untuk penggemblengan mental. Mengapa tidak kita manfaatkan? Oleh sebab itu, bagi orang-orang yang telah merasakan hasil dari shalat malam, maka ia menjadi tergila-gila untuk terus melakukannya. Mereka me-rindukan malam untuk segera datang sehingga ia bisa berjumpa dengan Allah melalui ibadahnya.
Dari berbagai manfaat qiyamullail di atas, dapat diambil pelajaran bahwa qiyamullail akan membentuk pribadi yang tawadhu’, tidak sombong dan mental seseorang untuk giat beribadah dan bekerja dalam hidup di dunia dan mencari bekal untuk hidup di akhirat. Karena setiap malam selalu berhadapan langsung dengan Allah Swt ketika sedang melakukan shalat malam dan bermunajat memohon ampunan dari Allah.[2]


[1] Abu Fajar al-Qalami, Misteri Qiyamul Lail dan Shalat Subuh, (Gita Media, tth.), hlm. 107.
[2] Muhammad Muhyidin, Menagih Janji Tahajjud; Rahasia-rahasia Keagungan Fadhilah Tahajjud yang Belum Terungkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), Cet. II, hlm. 185.






PEMBERIAN ASI MENURUT AL-QUR’AN

susu
Salah satu bentuk perwujudan perhatian orang tua terhadap kesehatan anak adalah dengan memperhatikan kebutuhan mereka dikala bayi, yakni dengan memberikan ASI oleh seorang ibu kepada anaknya. Hal ini relevan dengan firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 233.
و الوالدات يرضعن أولادهنّ حولين كاملين لمن أراد أن يتمّ الرضاعة
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya……”
Kata al-walidaat dalam penggunaan al-Qur’an berbeda dengan kata ummahat yang merupakan bentuk jamak dari kata umm. Kata ummahat biasanya digunakan untuk menunjuk ibu kandung. Sedangkan kata al-walidat maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Ini berarti bahwa al-Qur’an sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung maupun bukan, adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun demikian, tentunya air susu ibu kandung lebih baik dari selainnya.
Dengan menyusu pada ibu kandung, anak merasa lebih tenteram, sebab menurut penelitian ilmuwan, ketika itu bayi mendengar suara detak detik jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak dalam perut. Detak detik jantung itu berbeda antar seorang wanita dengan wanita yang lain.[1]
Sejak kelahiran hingga dua tahun penuh, para ibu diperintahkan untuk menyusukan anak-anaknya. Dua tahun adalah batas maksimal dari kesempurnaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan itu juga mengisyaratkan bahwa yang menyusu setelah usia tersebut bukanlah penyusuan yang mempunyai dampak hukum yang mengakibatkan anak yang disusui berstatus sama dalam sejumlah hal dengan anak kandung yang menyusunya.
Penyusuan yang selama dua tahun itu, walaupun diperintahkan, tetapi bukanlah kewajiban. Ini dipahami dari penggalan ayat yang mengatakan, bagi yang ingin menyumpurnakan penyusuan. Namun demikian, ia adalah anjuran yang sangat ditekankah, seakan-akan ia adalah perintah wajib. Jika ibu- bapak sepakat untuk mengurangi masa tersebut, maka tidak apa-apa. Tetapi, hendaknya jangan berlebih dari dua tahun, karena dua tahun telah dinilai sempurna oleh Allah. Di sisi lain, penetapan waktu dua tahun itu, adalah untuk menjadi tolok ukur bila terjadi perbedaan pendapat misalnya ibu atau bapak ingin memperpanjang masa penyusuan.[2]
Masa penyusuan tidak harus selalu 24 jam, karena Qs. Al-Ahqaf:15 menyatakan, bahwa masa kehamilan dan penyusuan adalah tiga puluh bulan. Ini berarti, jika janin dikandung selama sembilan bulan maka penyusuannya selama dua puluh satu bulan, sedangkan jika dikandung hanya enam bulan, maka ketika itu masa penyusuannya adalah 24 bulan.
Tentu saja ibu yang menyusukan memerlukan biaya agar kesehatannya tidak terganggu dan air susunya selalu tersedia. Atas dasar itu, lanjutan ayat menyatakan: merupakan kewajiban atas yang dilahirkan untuknya, yakni ayah, memberi makan dan pakaian kepada para ibu (kalau ibu anak-anak yang disusukan itu telah diceraikannya secara ba’in, bukan raj’i).
Adapun jika ibu anak itu masih berstatus isteri walau telah ditalak raj’i, maka kewajiban memberi makan dan pakaian adalah kewajiban atas dasar hubungan suami-istri, sehingga bila mereka menuntut imbalan penyusuan anaknya, maka suami wajib memenuhinya selama tuntutan imbalan itu dinilai wajar.
Mengapa menjadi kewajiban ayah? Karena anak itu membawa nama ayah, seakan-akan anak lahir untuknya, karena nama ayah akan disandang oleh sang anak, yakni dinisbahkan kepada ayahnya. Kewajiban memberi makan dan pakaian itu hendaknya dilaksanakan dengan cara yang makruf, yakni yang dijelaskan maknanya dengan penggalan ayat berikut yaitu, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, yakni jangan sampai ayah mengurangi hak yang wajar bagi seorang ibu dalam pemberian nafkah dan penyediaan pakaian, karena mengandalkan kasih sayang ibu kepada anaknya. Dan juga seorang ayah menderita karena ibu menuntut sesuatu di atas kemampuan sang ayah dengan dalih kebutuhan anak yang disusukannya.[3]
Dengan tuntunan ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan jaminan tersebut harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah meninggal dunia, karena para warispun berkewajiban demikian, yakni berkewajiban memenuhi kebutuhan ibu sang anak, agar ia dapat melaksanakan penyusuan dan pemeliharaan anak itu dengan baik.
Adapun yang dimaksud dengan para waris adalah yang mewarisi sang ayah, yakni anak yang disusukan. Dalam arti, warisan yang menjadi hak anak dari ayahnya yang meninggal, digunakan antara lain untuk biaya penyusuan bahkan makan dan minum ibu yang menyusuinya. Ada juga yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan para waris adalah para ibu yang menyusui itu. Betapapun, ayat ini memberi jaminan bukan untuk kelangsungan hidup dan pemeliharaan anak.
Apabila keduanya, yakni ayah dan ibu anak itu, ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya, bukan akibat paksaan dari siapapun, dan dengan permusyawaratan, yakni dengan mendiskusikan serta mengambil keputusan yang terbaik, maka tidak ada dosa atas keduanya untuk untuk mengurangi masa penyusuan dua tahun itu.
Di sini dipahami adanya tingkat penyusuan: Pertama, tingkat sempurna, yaitu dua tahun atau tiga puluh bulan kurang masa kandungan; Kedua, masa cukup, yaitu yang kurang dari masa tingkat sempurna, dan tingkat ketiga, masa yang tidak cukup kalau enggan berkata “kurang”, dan ini dapat mengakibatkan dosa, yaitu enggan menyusui anaknya. Karena itu, bagi yang tidak mencapai tingkat cukup, baik dengan alasan yang dapat dibenarkan-misalnya karena sakit-maupun alasan yang dapat menimbulkan kecaman,-misalnya karena ibu meminta bayaran yang tidak wajar- maka ayah harus mencari seseorang yang dapat menyusui anaknya. Inilah yang dipesankan oleh lanjutan ayat di atas dengan pesannya, jika kamu, wahai para ayah, ingin anak kamu disusukan oleh wanita lain, dan ibunya tidak bersedia menyusuinya, maka tidak ada dosa bagi kamu apabila kamu memberikan kepada wanita lain itu berupa upah atau hadiah menurut yang patut.
Menurut Dr. Abdul Hakim al-Sayyid Abdullah bahwasanya fiirman Allah diatas menunjukkan perintah yang wajib dilaksanakan oleh sebagian ibu, namun sunah bagi sebagian ibu yang lain. Artinya, bagi para ibu yang tidak ada hambatan atau halangan dalam menyusukan anaknya, maka wajib ibu tersebut menyusui. Sebaliknya ibu-ibu yang apabila menyusui bayinya justru mengakibatkan bahaya, baik bagi bayi maupun ibunya, maka sunah hukumnya. Bahaya itu bisa disebabkan ASI kering, ASI terkena bibit penyakit, dan alasan lain yang sah untuk tidak menyusui bayinya dengan ASI. Hal ini untuk menjaga agar kondisi fisik anak tetap terawat dan tidak terjangkit suatu penyakit yang membahayakan anak.[4]
Pemberian ASI selama dua tahun sebenarnya telah memenuhi standar gizi yang cukup memadahi bagi si bayi, tidak boleh lebih atau kurang. Karenanya, ASI merupakan hak bayi yang harus dipenuhi oleh orang tua. Sebab ini langkah proporsional.[5]
Dalam kondisi bagaimanapun, dalam sebuah keluarga, perhatian seorang ibu kepada anaknya harus tetap terjaga. Perintah Allah menyusui anak selama dua tahun itu, karena diketahui bahwa pada masa-masa itu bayi benar-benar membutuhkan kasih sayang murni seorang ibu.
Keinginan dari kedua orang tua –dalam hal ini ibu dan bapak- untuk menghentikan penyusuan atau menyapih anaknya sebelum genap berusia dua tahun, hendaknya memang dipertimbangkan secara matang. Langkah ini patut ditempuh agar tidak membawa dampak negatif pada pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik maupun psikis di kemudian hari. Selain itu, penyapihan anak hendaknya dilakukan dengan pertimbangan dan alas an yang tepat dan bukan semata-mata karena kedua orang tua ingin mencari kesenangan sendiri.
Meskipun agama Islam telah memerintahkan seorang ibu untuk menyusui anaknya sendiri dengan ASI, namun ada sebagian ibu yang mendapat pengecualian untuk tidak menyusui bayinya, bahkan ada yang dilarang sama sekali.
Pengecualian ini diberikan terutama kepada ibu yang mengidap penyakit berat yang apabila memberikan air susunya kepada anaknya justru akan membuat bahaya bagi si anak atau ibu itu sendiri. Penyakit-penyakit berat itu misalnya ibu menderita demam tinggi, buah dada ibu membengkak, ibu menderita penyakit gondok dan berbagai penyakit lain yang mungkin ibu tidak bisa menyusui anaknya.
Untuk mengahadapi hal tersebut, Islam memberikan jalan keluar kepada para orang tua untuk menyusukan pada orang lain. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
و إن أردتم أن تسترضعوا أولادكم فلا جناح عليكم إذا سلّمتم ما ءاتيتم بالمعروف
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Apabila seorang anak akan disusukan kepada orang lain, maka perempuan yang akan menyusukannya itu haruslah orang yang sehat jasmani dan rohaninya, serta memiliki akhlak yang baik. Anak itu harus diasuh dan disusukan oleh seorang perempuan yang saleh. Makanan berupa susu yang berasal dari sumber yang tidak halal akan menjerumuskan tabiatnya ke arah yang buruk. Dengan demikian, inilah nampak bahwa Islam sangat melindungi kebersihan dan Islam pun tidak suka dengan ditinggalkannya tanggungjawab kepada orang lain yang tidak tannggap.[6]

[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Ciputat tahun 2000 cet 1 hal 470.
[2] Ibid., hal. 472
[3] Ibid, hal 474
[4] Abdul Hakim Al-Sayyid Abdullah, Keutamaan Air Susu Ibu, Fikahati Aneska, Jakarta, 1993, hal 23.
[5] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Al-Mizan, Bandung, 2001 cet-12 hal 127.
[6] M. Abu Quasem, M.A.Kamil, Ph.D., Etika Al-Ghazali, ter. J.Mahyudin, Pustaka, Bandung, 1988, hal 103






























WUDHU SEBAGAI SYARAT SAH DAN KESEMPURNAAN SHALAT

images (73)
Wudhu merupakan suatu syarat untuk melaksanakan shalat, didalamnya terdapat nilai pendidikan, wudhu juga merupakan perantara langsung untuk mengerjakan shalat. Tidak sah shalat seseorang tanpa berwudhu terlebih dahulu. Berwudhu dilakukan dengan cara membasuh anggota-anggota tertentu dari tubuh seseorang sehingga menjadi suci dari hadats.[1]
Allah hanya menerima shalat yang dikerjakan oleh mereka yang suci dari hadats. Karenanya, Allah Swt. tidak menerima shalat mereka yang sedang berhadats (yang dikerjakan dalam keadaan berhadats).[2] Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda :
قال النبي صلى الله عليه و سلم لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ
Nabi Saw. Berasabda: Allah tidak menerima shalat salah seorang kamu apabila ia berhadats, sehingga ia berwudhu.” (Al Lu’lu-u wal Marjan 1:62).[3]
Wudhu sering tidak mendapat perhatian serius dalam setiap mau melaksanakan ibadah. Syariat wudhu mudah dilakukan dan sangat sederhana. Di mulai dari membasuh muka, tangan, telinga, mengusap rambut, dan membasuh kaki. Apalagi sering kali keadaan yang dibasuh sudah bersih dari najis, sehingga tidaklah terlalu susah membasuh semua bagian tubuh ini. Padahal wudhu adalah ibadah dzikir yang merupakan pembersih jiwa, yang dimulai dari sisi paling luar (fisik) sampai dalam rohaninya.[4]
Dengan demikian, kesempurnaan shalat sangat tergantung kepada kesempurnaan wudhunya, karena shalat seseorang tidak akan sah jika wudhunya sendiri tidak sah. Shalat tidak akan sempurna jika wudhunya tidak sempurna. Jika wudhunya tidak dalam keadaan ingat Allah (lalai) maka wudhunya tidak diterima oleh Allah. Ketika berwudhu hendaknya kita melakukan peribadatan seperti melakukan shalat, karena wudhu merupakan proses pembersihan jiwa. Cara ini ditempuh dalam rangka mempersiapkan diri menghadap Allah Swt.
Wudhu merupakan proses ibadah yang dipersiapkan untuk membersihkan jiwa agar mampu melakukan komunikasi dengan Allah Swt. Abu Sangkan memberi makna dalam setiap aktivitas berwudhu antara lain:
1. Membasuh Tangan
Membasuh tangan sambil merasakan aliran air yang lembut menyentuh syaraf-syaraf tangan. Air yang mengalir lembut dengan suhu dingin memberikan rasa segar dan menenangkan pikiran, apalagi disaat tubuh terasa lelah dan suhubadan meninggi. Ketika merasakan sentuhan air, maka pikiran akan bersatu dengan aliran air yang menyebabkan pikiran beristirahat. Melakukan wudhu dengan dalam keadaan benar-benar merasa santai, suasana seperti inilah saat yang paling tepat untuk mengarahkan jiwa dengan niat mengingat Allah untuk membersihkan diri.
Dalam berwudhu, disamping melakukan relaksasi dengan terapi air, pengendoran ruhani jauhlebih penting. Pengendoran ruhani bisa terjadi hanya dengan menyerahkan diri kepada Allah. Dengan menyebut nama Allah, lalu membiarkan ruh menghampiri Allah untuk memohon dibersihkan jiwanya, dilanjutkan dengan merasakan sentuhan Allah mengalirkan rasa sejuk kedalam batin kita.[5] Dengan demikian jiwa akan terasa sejuk dan terang.
2. Mencuci Mulut
Mulut adalah organ yang paling penting untuk dibersihkan. Ditempat inilah segala makanan dikunyah. Sisa-sisa makanan yang tertinggal disela-sela gigi akan merangsang pertumbuhan kuman-kuman yang merusak kesehatan mulut kita. Namun demikian kesehatan mulut saja tidaklah cukup. Yang lebih penting adalah kesehatan ruhani, karena mulut memiliki potensi untuk menyakiti orang lain.
Pepatah mengatakan lidah memang tidak bertulang tetapi bahayanya melebihi tajamnya pedang. Untuk itu perlunya membersihkan mulut kita selain dapat menyehatkan jasmani yaitu bersih dan sucinya mulut, juga secara ruhani dapat mencegah mulut dari perkataan yang dapat menyakiti orang lain.
3. Mencuci Lubang Hidung
Bulu-bulu yang tumbuh didinding lubang hidung tidak cukup mampu untuk menyaring kotoran-kotoran udara yang penuh polusi, termasuk bibit kuman yang ikut berterbangan. Dengan sering membersihkan kotoran-kotoran tersebut, hidung akan bersih dan pernafasan akan lebih lancar sehingga baik untuk kesehatan pada paru-paru. Dari sisi psikologis dapat menjadikan pernafasan lancar, dan ketika pernafasan lancar, maka dapat memperoleh ketenangan dalam melaksanakan ibadah.
4. Mencuci Muka
Mencuci muka dilakukan dengan membasuh seluruh wajah secara perlahan-lahan dan hati-hati dengan kedua tangan sambil memijat lembut. Dengan diulangi beberapa kali sampai muka terasa tidak tegang. Membasuh muka akan dapat membuat wajah terasa bersih dan segar. Juga bermanfaat untuk melancarkan peredaran darah. Di saat membasuh muka, disertai dengan merasakan kesegaran air sambil dzikir kepada Allah agar muka mendapatkan getaran ilahi, yang membuat wajah semakin berseri dan lembut.
5. Membasuh Tangan dan Siku
Membasuh tangan dan siku bisa dilakukan dengan membenamkan kedua bagian tubuh dengan aliran air sambil menggosok-gosoknya sampai rata. Smedley, seorang ahli terapi, mengatakan bahwa membasuh tangan dan siku sangat bermanfaat untuk mengatasi kondisi pembengkakan di daerah tangan lengan dan bahu, disamping akan memulihkan fisik yang kelelahan.
6. Membasuh Kepala
Membasuh kepala dapat menurunkan ketegangan-ketegangan dan berfungsi juga untuk menurunkan suhu badan. Caranya membasuh dengan air sampai merata keseluruh kepala atau sebagian saja. Yang terasa akan segar kembali sehingga pikiran menjadi jernih.
Apabila ini dilakukan dengan sempurna dan diniatkan untuk terapi pikiran, maka membasuh kepala sangat baik untuk menghindari penyakit stress dan tekanan darah tinggi, serta melancarkan aliran darah ke otak dan berpusat sebagai penguat pusat-pusat syaraf.
Otaklah yang mengatur suhu badan, tekanan darah, keseimbangan kadar kimiawi oksigen dan oksida karbon dalam darah, serta kadar berbagai zat kimia yang dikirim oleh seluruh organ tubuh. Arus informasi dari semua bagian tubuh mengalir ke otak. Otak bertindak sebagai komputer yang mengatur seluruh pergerakan dan segala sesuatunya keseluruh tubuh.
Menyapukan air ke kepala berarti membasuh kulit kepala yang berhubungan langsung dengan pernafasan lewat pori-pori. Secara psikologis, air mempunyai efek menenteramkan pikiran dan jiwa, sehingga di saat akan melakukan shalat pikiran kita sudah siap menerima segala sesuatu yang disalurkan melalui getaran-getaran.
Hanya kepada hati dan pikiran yang jernihlah ilham diturunkan oleh Allah Swt. Disaat membasuh kepala, juga membasuh batin yang ada di dalam kepala dengan berdzikir kepada Allah agar pikiran dibersihkan oleh Allah dan digantikan dengan pimiran-pikiran ilahiyah yang akan menjadi saluran kehendak-Nya.
7. Mengusap Telinga
Pada saat marah atau tegang, terasa kedua telinga menjadi panas dan memerah. Hal ini akan hilang dan ketegangan akan menurun apabila di cuci dengan air. Lebih baik lagi dengan memijit-mijit, karena di area ini terdapat titik-titik syaraf yang berhubungan dengan organ-organ yang lainnya dapat dibangkitkan sehingga aliran darah yang tersumbat akan kembali lancar. Pijatan di telinga sebagai terapi dapat pula menurunkan emosi.
Menurut Prof. Hembing, telinga terdiri dua satuan fungsional, yaitu sebagai alat pendengaran dan sebagai bagian dari sistem keseimbangan tubuh. Dengan membersihkan telinga setiap saat, akan menghasilkan rasa lebih sensitif terhadap getaran suara yang ditangkap oleh sel-sel pendengaran yang berbentuk rambut-rambut halus. Bahkan jika dilakukan dengan benar, getaran gelombang suara akan tertangkap dengan baik.[6] Tetapi hal ini sulit dilakukan ketika jiwa tidak dalam keadaan tenang, hanya dengan melatih jiwa berdzikir mengingat kepada Allahlah kehalusan rasa kita akan tercapai.
8. Membasuh Kaki
Membasuh kaki dilakukan dengan merendamkan atau mengguyurkan air ke seluruh kaki setinggi lutut. Membasuh kaki dapat melancarkan aliran darah dan berfungsi untuk meguatkan kaki.
Membasuh kaki juga mempunyai efek menenangkan dan membuat tidur lebih nyenyak. Yaitu melakukannya dengan serius sambil membersihkan sela-sela jari-jari kaki dan menyentuhnya dengan lembut ke seluruh bagian tubuh dengan sempurna.[7] Melakukan wudhu merupakan proses pembersihan lahir dan batin. Air membersihkan lahir sedangkan dzikir membersihkan bhatin.
Dengan demikian persiapan perjalanan ruhani menuju Allah menjadi sempurna. Dengan berwudhu pula dapat menyempurnakan ibadah shalat, juga dapat memberikan ketenangan jiwa.

[1] Syaikh Abbas Kaararah, Shalat Menurut Empat Madzhab, (Jakarta: Pustaka Azam, 2003), hlm. 33
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Mutiara Hadits 2 “Thaharah dan Shalat”, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), hlm. 3
[3] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al –Lu’lu Wal Marjan “Koleksi Hadits yang Disepakati oleh Buchori dan Muslim”, (Semarang: Al-Ridha, 1993). Hlm. 20
[4] Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, (Jakarta: PT.Patrap Thursina Sejati, 2007), hlm. 62
[5] Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, op.cit, hlm 274
[6] Prof. HM Hembing Wijayakusuma, Hikmah Shalat untuk Pengobatan, (dalam Abu Sangkan, Pelatihan Shalat Khusyu’), Pustaka Kartini, 1994
[7] Abu Sangkan, op.cit., hlm 71-76






































PEMBERIAN ASI DITINJAU DARI KESEHATAN


Pemberian memiliki arti “proses, perbuatan cara memberi atau memberikan.” Sedangkan ASI atau air susu ibu adalah air yang keluar dari payudara ibu, baik itu ibu kandung, maupun ibu susuan. Jadi dapatlah dikatakan bahwa pemberian air susu ibu berarti proses memberikan air susu yang dikeluarkan oleh seorang ibu kepada anak. Memberikan ASI biasa disebut menyusui atau meneteki. Karena masa bayi adalah masa yang peka dalam kehidupan manusia, maka kegiatan menyusui oleh seorang ibu amatlah penting dan besar artinya bagi perkembangan dan pertumbuhan anak selanjutnya. 

Menurut dr. Hendrawan Nadesul, pilihan ibu tidak memberi bayinya ASI mengurangi hak anak. Hak untuk memperoleh makanan terbaiknya. Pada saat anak belum mampu memilih. Pada saat anak tidak mampu menolak. Padahal masa itu tak mungkin diputar balik. Masa yang menentukan itu akan berlalu.[1]

Pemberian ASI ditinjau dari kesehatan,

1. Kandungan ASI

Air susu ibu (ASI), makanan terbaik bagi bayi, makanan utama dan satu-satunya pilihan terunggul untuk bayi. Sampai sekarang belum ada susu sebaik ASI. ASI memiliki kandungan zat-zat yang sangat berguna bagi kesehatan bayi. F. Savage King menyebutkan kandungan ASI sebagai berikut :

a. ASI mengandung protein dan lemak yang paling cocok untuk bayi dalam jumlah tepat.

2. ASI mengandung lebih banyak laktosa (gula susu) daripada susu lainnya dan laktosa merupakan zat yang diperlukan bagi bayi. 

3. ASI mengandung vitamin yang cukup bagi bayi. Bayi selama 6 bulan pertama tidak memerlukan vitamin tambahan.

4. ASI mengandung zat besi yang cukup untuk bayi. Tidak terlalu banyak zat yang dikandung, tetapi zat ini diserap usus bayi dengan baik. Bayi yang disusui tidak akan menderita anemia kekuarangan zat besi. 

5. ASI mengandung cukup air bagi bayi bahkan pada iklim yang panas.

6. ASI mengandung garam, kalsium, dan dan fosfat dalam jumlah yang tepat.[2]

Menurut dr. Utami Roesli, SpA., MBA.,CIMI dalam bukunya yang berjudul “Mengenal ASI Eksklusif”, ASI mengandung lebih dari 200 unsur-unsur pokok, antara lain zat putih telur, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, faktoir pertumbuhan, hormon enzim, zat kekbalan,  dan sel darah putih. Semua zat ini terdapat secara proporsional dan seimbang satu dengan yang lainnya. Cairan hidup yang mempunyai keseimbangan biokimia yang sangat tepat ini bagai suatu ‘simfoni nutrisi bagi pertumbuhan bayi’-sehingga tidak mungkin ditiru oleh buatan manusia.[3]

Hal yang senada dikemukakan oleh Suhardjo dalam bukunya yang berjudul “Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak”. Menurutnya :

a. Air Susu Ibu (ASI) bersih. Memang ASI tidak pernah steril karena puting buah dada dapat terkontaminasi setiap waktu, namun  bakteri yang mungkin mencemarinya tidak lagi sempat berkembang  biak sebab air susu segera diminum bayi. 

b. ASI mengandung immunoglobulin terutama Ig.A. Antibodi ini terdapat banyak dalam susu berikutnya. Ig.A tidak diserap tertapi bekerja di usus dalam menahan bakteri tertentu, (misalnya E. Coli) dan virus. 

c. ASI mengandung lactoferin. Zat ini adalah protein yang dapat mengikat besi sehingga bakteri yang berbahaya yang terdapat dalam usus tidak memperoleh mineral ini untuk pertumbuhannya. 

d. ASI mengandung lisozim, yaitu suatu enzim yang terdapat cukup banyak (beberapa ribu kali) lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi. Zat ini menghancurkan sejumlah bakteri berbahaya dan berbagai virus. 

e. ASI mengandung sel-sel darah putih. Selama 2 minggu pertama, ASI mengandung sampai 4000 sel/ml. Sel-sel ini mengeluarkan Ag.A, laktoferin, lisozim, dan interferon. Interferon adalah suatu substansi yang dapat menghambat aktivitas virus-virus tertentu.

f. ASI mengandung faktor bifidus. Zat ini adalah karbohidrat yang mengandung nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri laktobasilus bifidus. Pada bayi yang diteteki, bakteri ini di dalam usus menghasilkan asam laktat dari beberapa laktosa susu. Asam ini menghambat pertumbuhan bakteri dan parasit yang berbahaya, serta membuat fases menjadi asam.[4]

Jelaslah ASI mempunyai beberapa kelebihan dibanding susu buatan atau yang lainnya. Bayi yang disusui ibunya umumnya lebih terlindung dari serangan infeksi terutama diare dan mempunyai  peluang yang lebih besar untuk hidup daripada bayi yang diberi susu botol.

2. Manfaat ASI bagi Anak

Setelah bayi lahir dan setelah tali pusat dipotong, secara lahiriyah terputuslah hubungan antara ibu dan anak. Hal ini menyebabkan semacam kegoncangan jiwa, baik bagi bayi maupun bagi ibu itu sendiri. Keduanya lalu mencari kontak fisik maupun psikis yang sangat tepat. Semua orang tua khususnya ibu-ibu mengakui bahwa air susu ibu merupakan makanan yang terbaik bagi bayi. Diantara manfaat ASI bagi bayi adalah : 

a. Perlindungan terhadap infeksi dan diare.

ASI mengandung berbagai zat antibodi yang mampu melindungi tubuh terhadap infeksi serta zar-zat lain yang dapat menghancurkan dinding sel bakteri dan bakteri-bakteri lainnya. 

b. Perlindungan terhadap alergi

Salah satu zat yang terkandung dalam ASI adalah immunoglobulin yang mampu melindungi tubuh terhadap alergi. Sedangkan immunoglobulin pada tubuh manusia baru terbentuk setelah bayi berusia bebrapa minggu. Oleh  sebab  itu  apabila  bayi  lahir  langsung  diberi  ASI,  kemungkinan terserrang alergi relatif kecil.

c. Mempererat hubungan dengan ibu

ASI bagi seorang bayi selain untuk memenuhi kebutuhan gizinya, juga untuk lebih bisa mengenal ibunya dan mendapatkan rasa nyaman. Belaian ibu pada saat menyusui anak akan membuatnya merasa  aman dan terlindung. 

d. Memperbagus gigi dan bentuk rahang

Pemberian ASI dapat mengurangi kerusakan pada gigi dan bentuk rahang.

e. Mengurangi kegemukan

Zat mineral yang terdapat dalam ASI hanya sedikit, jika dibandingkan dengan mineral yang terdapat pada susu sapi, sehingga bayi cenderung cepat haus dan orang tua cenderung memberikan kembali susu botol/sapi. Akibatnya bayi akan kelebihan kalori sehingga bayi tersebut menjadi gemuk (obese).

f. Perlindungan dan penyempurnaan otak.

ASI mampu memproduksi hormon tixoid yang dapat melindungi otak bayi. Walaupun bayi mampu memproduksi hormon tersebut namun kemampuannya terbatas. Selain hal tersebut asam lemak yang terkandung pada ASI sangat berperan dalam proses pertumbuhan dan penyempurnaan sel-sel otak. 

g. Dengan ASI bayi selalu mendapat susu yang segar. 

ASI yang masih tersimpan dalam payudara ibu, selalu bersih, aman, segar dan tidak pernah basi. Bagi ibu pekerja, sekembali dari bekerja, ASI dapat diberikan langsung kepada bayi, ibu tidak perlu membuang ASI terlebih dahulu. 
h. Semakin sering menyusukan semakin banyak produksi.

Beda dengan susu bubuk, apabila semakin sering diberikan kepada bayi semakin cepat habis (mahal). ASI justru sebaliknya semakin sering dihisap semakin banyak ASI diproduksi, khususnya pada tahun pertama menyusui.[5]

Oleh  karena itu, alangkah beruntungnya seorang ibu yang dapat menyusui  bayinya  dengan  ASI,  mengingat  ASI  dapat  memberikan  manfaat bagi  ibu  maupun  bayi.  Dalam bukunya yang berjudul  “Chlid   Growth dan Development”, Elizabeth B. Hurlock menyebutkan beberapa  manfaat  ASI bagi bayi sebagai berikut :

a. Breast-feeding eliminates any possibility of contamination of the milk.

b. The mother’s milk agrees with the baby better than any formula.

c. The mother’s milk contains certain ingredients beneficial to health which cannot be completely duplicated in a formula.

d. Disgestive disturbance and constipation are rare for breast-feed by a bottle.

e. The vigorous sucking needed to draw milk from the breast stimulate the development of the lower part of the baby’s face.[6]

Artinya : 

a. ASI terhindar dari kemungkinan pencemaran daripada susu buatan.

b. ASI lebih cocok bagi bayi daripada susu formula.

c. ASI  mengandung bahan-bahan yang bermanfaat untuk kesehatan  yang sama sekali tidak dapat ditemukan dalam susu formula.

d. Gangguan pencernaan dan sembelit jarang terjadi selama menyusui kecuali biasa memberi makan dengan botol.

e. Semangat menghisap dibutuhkan agar mengalirkan susu dari payudara yang merangsang perkembangan dengan menurunkan bagian permukaan bayi. 

Adapun manfaat ASI bagi ibu;

1.  Mengurangi pendarahan setelah melahirkan.

2.  Mengurangi terjadinya anemia.

3.  Menjarangkan kehamilan.

4.  Mengecilkan rahim.

5.  Lebih cepat langsing kembali.

6.  Mengurangi kemungkinan menderita kanker.

7.  Lebih ekonomis/murah.

8.  Tidak merepotkan dan hemat waktu.

9.  Portabel dan praktis.

10. Memberi kepuasan bagi ibu.




[1] Handrawan Nadesul,  Cara  Sehat  Mengasuh  Anak,  Puspa  Swara,  Jakarta,  1996, hal 10.
[2] F. Savage King, Menolong Ibu Menyusui, Terj. Sukwan Handali, Gramedia, Jakarta, 1991, hal 23.
[3] Ytami  Roesli,  SpA.,MBA.,CIMI,  Mengenal  ASI  Eksklusif,  Trubus  Agriwidya, Jakarta 2000 hal 24.
[4] Suhardjo,  Pemberian Makanan  pada  Bayi  dan  Anak,  Kanisius,  Yogyakarta,  1992, hal. 74-75.
[5] Departemen Agama, Buku Pedoman Peningkatan  Kesejahteraan  Ibu  dan Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) dalam Ajaran Islam, Depag RI, Jakarta, 1991 hal 103-105.
[6] Elizabeth  B.  Hurlock, Child  Growth  dan  Development,  Fourt  edition,  Mc. Graw Hill. Inc., USA, 1970, hal 82.