Qalb dalam arti psikis, dalam pengertian lathifah
rabbaniyyah ruhaniyyah, adalah sesuatu yang halus yang memiliki sifat
ketuhanan dan keruhaniahan.[1]
Halus maksudnya ialah mengemukakan sifat keadaannya, dimana kita bisa merasa
sedih, duka, kesal, gembira, kagum, hormat, benci, marah dan cinta, inilah yang
merupakan hakekat dari manusia yang dapat menerima pengetahuan, dapat beramal
sekaligus menjadi obyek perintah dan larangan dari Allah.
Jika fisik memiliki indra lahir, maka
rohani memiliki indra batin. Dengan indra batin itulah diri kita melihat yang
tak dapat dilihat oleh penglihatan lahir, karena ia berkaitan erat dengan hati
yang bertubuh. Keduanya berhubungan seperti hubungan sifat (aradh)
dengan tubuh (jisim), hubungan antara sifat dengan disifati (maushuf)
atau hubungan pemakai alat dengan alatnya. Orang yang senantiasa menyucikan
batinnya, niscaya hatinya akan bersih dan indra batinnya akan lebih tajam.
Hati dari arti lathifah rabbaniyyah
ruhaniyyah inilah yang menjadi tumpuan dan pandangan dari Tuhan. Tuhan
hanya memperhatikan hati, karena hati itulah yang menjadi hakekat manusia.
Karakter seseorang berbeda dengan yang lain karena mempunyai hati yang berbeda.
Perbedaan itulah yang menyebabkan perbedaan manusia dalam tingkah laku dan
perbuatannya dan akan membedakan peringkat manusia dihadapan Tuhan.
Dalam diri kita, kita dapat mengenal
macam-macam kondisi qolb (hati), yaitu ketika hati sehat, hati mati dan
hati sakit. Menurut Imam al-Ghazali:
Pertama, hati yang shahih
(sehat) bisa menjadikan manusia selalu (salim) selamat. Dalam hati yang
sehat ini manusia mempunyai hal-hal kebaikan, dengan selalu mensyukuri
nikmat-Nya. Mempunyai iman yang kokoh, tidak hidup serakah, hidupnya tentram, khusyu’
dalam ibadah, banyak melakukan dzikir sehabis shalat, jika melakukan kelalaian
selalu langsung sadar, dan di dalam dirinya selalu diliputi perbuatan baik.
Serta bila salah selalu langsung bertaubat. Inilah yang diinginkan oleh Allah,
dan kita akan mudah dekat dengan-Nya.
Kedua, hati yang mayyit
(mati), hati ini kaku keras, yang membawa pada sifat-sifat yang jelek, sehingga
banyak melakukan dosan, dalam dirinya. Selalu mengingkari nikmat Allah, iman yang mendorong untuk kebaikan itu tipis
dan terkadang imannya kosong, selalu dikuasai hawa nafsu, berburuk sangka,
tingkah lakunya selalu menyimpang dari norma-norma agama, egois, keras kepala,
selalu ingin menang dari perbuatan dosa-dosa yang dilakukan, maka akan jauh
dari Allah.
Ketiga, hati yang maridl
(sakit), dalam hati ini ada campuran antara sehat dan mati, yang di dalamnya
ada iman, ada ibadah, ada pahala, tetapi ada kemaksiatan dan perbuatan dosa
kecil atau besar. Seperti hatinya yang tidak tenang (gelisah), suka marah,
tidak pernah punya rasa puas, susah menghargai orang lain, penderitaan lahir
batin, tidak bahagia.[2]
[1] Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin
(Mengembangkan Ilmu-ilmu Agama), Jilid 2, terjemahan Prof. TK. H Ismal
Yakub MA, SH., Pustaka Nasional Pte led, Singapore, 1988, hlm. 898.
[2] Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA.,
dan Dra. Hj. Fatimah Usman, M.Si, Insan Kamil Kontemporer (Paket Pelatihan
Seni Menata Hati (SMHI)), CV. Bima Sejati, Semarang, 2004, hlm. 14.
No comments:
Post a Comment