IMPLEMENTASI HAKIKAT MEMBACA DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-‘ALAQ AYAT 1-5 DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



A. Urgensi Membaca dalam Surat al-‘Alaq ayat 1-5 dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Membaca merupakan suatu proses menangkap atau memperoleh konsep-konsep yang dimaksud oleh  pengarangnya, menginterpretasi, mengevaluasi konsep-konsep pengarang, dan merefleksikan atau bertindak sebagaimana yang dimaksud dari konsep-konsep itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan membaca tidak hanya mengoperasikan pelbagai ketrampilan untuk memahami kata-kata dan kalimat, tetapi juga kemampuan menginterpretasi, mengevaluasi, sehingga memperoleh pemahaman yang komprehensif.

Sebagaimana diketahui, bahwa dewasa ini membaca memiliki peran yang sangat penting, karena barangsiapa kurang mampu atau sama sekali tidak dapat membaca, maka akan ketinggalan informasi. Dalam pengertian lain, seseorang yang tidak dapat  menggunakan waktunya untuk kegiatan membaca dan memahami apa yang dibaca, maka orang tersebut akan ketinggalan informasi dan ketinggalan dalam segala hal dalam kehidupan ini. Oleh karenanya sumber daya manusia perlu ditingkatkan mutunya melalui pembinaan minat dan kebiasaan membaca.[1]

Perintah membaca juga dijelaskan Firman Allah SWT. dalam surat al-‘Alaq 1-5 sebagai wahyu pertama dan memuat perintah Nabi untuk membaca:
(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan (2) Dialah Yang Menciptakan manusia dari segumpal darah (3)Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam (5) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S. al-‘Alaq: 1-5)[2]

Mengkritisi ayat di atas, Abdurrahman Mas’ud berpendapat, bahwa wahyu pertama Nabi merupakan pembebasan dan pencerdasan umat (liberating and civilizing). Surat Iqra’ merupakan satu seruan pencerahan intelektual yang telah terbukti dalam sejarah mampu mengubah peradaban manusia dari masa kegelapan moral intelektual kepada peradaban tinggi di bawah petunjuk Ilahi. 

Di sinilah, maka pentingnya sebuah tulisan. Dia netral dan sebagai bagian dari pendekatan budaya dan diyakini sebagai lambang dan wujud dari transfer of knowledge, information, culture and civilization. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ditemukan fakta bahwa bagian dari kitab suci al-Qur’an yang pertama kali turun  ke bumi adalah surat yang bercerita soal penulisan dan al-Qalam.[3]

Dengan demikian, maka pesan pertama wahyu al-Qur’an adalah mengajarkan manusia untuk belajar, sehingga dengan belajar ini, manusia dapat memperoleh Ilmu pengetahuan.

Hal ini dipertegas pendapat al-Maraghi, yang mengatakan, bahwa Allah SWT. menjadikan pena ini sebagai sarana berkomunikasi antara sesama manusia, sekalipun letaknya  saling berjauhan. Ia tidak ubahnya lisan yang bicara, qalam adalah benda mati yang tidak bisa memberikan pengertian. Oleh sebab itu, Allah menciptakan benda  mati bisa menjadi alat komunikasi, sehingga tidak ada kesulitan bagi nabi Muhammad saw. bisa membaca dan memberikan penjelasan serta pengajaran, karena jika tidak ada  qalam, maka manusia tidak akan dapat memahami berbagai ilmu pengetahuan.[4]

Pengetahuaan adalah sangat penting peranannya bagi manusia. Barang siapa menguasai pengetahuan, maka dia dapat berkuasa (knowledge is power). Pengetahuan bersumber dari perangkat mata pelajaran yang disampaikan di sekolah, sehingga para pakar yang mendukung teori ini berpendapat bahwa mata pelajaran itu  berasal dari pengalaman orang tua, masa lampau yang berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Pengalaman-pengalaman itu diselidiki, disusun secara sistematis dan logis, sehingga tercipta berbagai bentuk mata pelajaran. Mata pelajaran-mata pelajaran itu diuraikan, disusun dan dimuat dalam buku pelajaran dan berbagai referensi lainnya.[5]

Memperhatikan fenomena di atas, maka kegiatan pembelajaran pada dasarnya adalah satu usaha yang bersifat sadar hukum, yang sistematik terarah pada perubahan tingkah laku. Perubahan yang dimaksud menunjukkan pada suatu proses yang harus dilalui. Karena tanpa proses perubahan tidak memungkinkan terjadi dan tujuan tidak akan tercapai. Proses yang dimaksud di sini adalah kegiatan pembelajaran sebagai proses interaksi edukatif.[6]

Sementara itu, dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam juga harus berusaha mengidentifikasikan dan mendeskripsikan faktor-faktor yang termasuk dalam kondisi pembelajaran yang meliputi tiga hal, yaitu: tujuan dan karakteristik bidang studi pendidikan agama Islam, kendala dan karakteristik bidang studi pendidikan agama Islam, dan karakteristik peserta didik. Tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam adalah pernyataan tentang hasil pembelajaran pendidikan agama Islam atas apa yang diharapkan. Tujuan pembelajaran ini dapat bersifat umum, dalam bentuk kontinum umum–khusus dan bisa berifat khusus. 

Tujuan pendidikan agama Islam yang bersifat umum tercermin dalam GBPP mata pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah. Pernyataan tujuan tersebut masih sangat luas, idealis dan sangat umum, sehingga perlu dijabarkan unsur-unsur yang terkandung dalam rumusan tujuan tersebut pada tataran yang lebih rinci (khusus) dan operasional tujuan dan kontinum umum-khusus, misalnya siswa memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap lingkungan serta terbiasa menampilkan perilaku agamis dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan ini masih perlu  dijabarkan lebih khusus, misalnya 1) peserta didik dapat menghargai lingkungan yang bersih, sehat, indah dan agamis; 2), peserta didik dapat berperilaku menjaga lingkungan yang bersih, sehat, indah dan agamis.[7]

Hal di atas menunjukkan, bahwa karakteristik bidang studi pendidikan agama Islam pada dasarnya terletak pada aspek-aspeknya yang terbangun dalam struktur isi dan konstruk/tipe isi bidang studi pendidikan agama Islam berupa fakta, konsep, dalil/hukum, prinsip/kaidah, prosedur dan keimanan yang menjadi landasan dalam melaksanakan strategi pembelajaran.

Di samping aspek itu, kendala pembelajaran pendidikan agama Islam adalah berkisar pada keterbatasan sumber belajar yang ada, keterbatasn alokasi waktu dan keterbatasan dana yang tersedia. Karakateristik peserta didik adalah kualitas perseorangan peserta didik, seperti bakat, kemampuan awal yang dimiliki, motivasi belajar dan kemungkinan hasil belajar yang akan dicapai.

Memperhatikan hal di atas, maka kaitan membaca dengan pembelajaran PAI adalah sebagai dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Hal ini ditegaskan oleh Lerner sebagaimana dikutip oleh Mulyono Abdurrahman, bahwa jika anak pada usia sekolah permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai materi bidang studi pada kelas-kelas berikutnya. Oleh karena itu, anak harus belajar membaca agar ia dapat membaca untuk belajar.[8]

Membaca sebagai bagian dari belajar dalam konteks ini merupakan perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang terjadi karena latihan dan pengalaman.[9]  

Sedangkan tujuan belajar dapat di kemukakan menjadi dua hal: yaitu tujuan belajar yang ditentukan oleh yang belajar itu sendiri dan tujuan belajar oleh orang lain yang sedang belajar.[10]

Dalam proses belajar diperlukan adanya pendekatan, baik dalam belajar individual maupun belajar kelompok. Salah satu kunci dari berbagai pendekatan belajar individual adalah sumber belajar dan pusat sumber belajar, di mana banyak tersimpan materi pelajaran dan alat bantu yang disediakan untuk menunjang belajar mandiri (self learning). 

Sumber belajar resaunces atau resaunces learning merupakan satu set bahan atau situasi belajar yang dengan sengaja diciptakan agar siswa secara individual dapat belajar sehingga memungkinkan keseluruhan kegiatan belajar dilakukan dengan menggunakan sumber belajar, baik manusia maupun bahan belajar non manusia dalam situasi belajar yang diatur secara efektif.[11] Karena pembelajaran itu sendiri adalah usaha untuk membantu siswa mengembangkaan potensi intelektual yang ada padanya.

Kemampuan membaca tidak hanya memungkinkan seseorang meningkat-kan ketrampilan kerja dan penguasaan berbagai bidang akademik, tetapi juga memungkinkan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial budaya, politik dan memenuhi kebutuhan emosional. Meskipun membaca juga memiliki manfaat sebagai sarana rekreasi atau untuk memperoleh kesenangan, namun demikian membaca juga merupakan suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan, sehingga anak harus belajar membaca dan kesulitan belajar membaca harus sedini mungkin bagi anak yang berkesulitan membaca. Hal ini sesuai dengan wahyu pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw., yakni al-‘Alaq ayat 1-5.

Surat al-‘Alaq yang diajarkan kepada nabi Muhammad saw. pada dasarnya merupakan konsep dasar  Islam tentang pembelajaran, yang dikenalkan melalui konsep baca dan tulis yang dianggap sebagai alat yang efektif untuk pendidikan. Dengan kedua instrumen inilah, menurut Sahal Mahfudh mengatakan bahwa ayat Allah, baik yang tertulis (qauliyah) maupun yang tidak tertulis (kauniyah) dapat dibaca dan ditelaah oleh umat manusia.

Karena sejarah mencatat, budaya baca dan tulis yang maju pesat pada masa Islam klasik telah menghantarkan umat Islam mencapai zaman keemasannya, sehingga menjadi umat yang memiliki pengetahuan dan peradaban yang paling tinggi pada masanya. Oleh karena itu tidak mustahil fakta sejarah ini menjadi terulang kembali, apabila kedua instrumen di atas menjadi budaya umat Islam dalam mempelajari ayat-ayat Allah, baik  qauliyah maupun kauniyah.[12]

Makna penting kegiatan baca dan pena sebagai lambang tulis menulis dan wahyu pertama turunnya al-Qur’an ini telah ditafsirkan oleh Muhammad Asad yang dikutip Abdurrahman Mas’ud yang mengatakan, bahwa pena digunakan sebagai simbol aktivitas menulis atau lebih spesifik simbol semua pengetahuan yang diabadikan melalui jalan penulisan. Hal ini menerangkan ajakan simbolis “bacalah” dalam surat al-‘Alaq ayat 1 dan 3. 

Manusia disebutkan dalam al-Qur’an diajari oleh Tuhan sesuatu yang tiada satupun orang tahu, yang tidak mungkin tahu  dengan cara dirinya sendiri, yakni, kemampuan unik manusia untuk menyebarluaskan atau meneruskan tulis menulis, pikiran-pikiran, pengalaman-pengalaman dan wawasan dari satu individu ke individu, generasi ke generasi dan satu komunitas budaya satu pada budaya lain, memberkahi semua manusia yang terlibat aktivitas ini dengan satu cara atau cara lain, dalam akumulasi pengetahuan yang berkesinambungan.[13]

Dari uraian di atas jelas, bahwa membaca dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam sangat penting perannya dalan rangka untuk memahami agama Islam. Membaca yang dimaksudkan di sini sebagaimana telah dijelaskan dalam surat al-‘Alaq  ayat 1-5 tidak hanya sekedar membaca teks dalam bentuk tulisan, namun lebih dari itu adalah memahami maksud dan tujuan agama Islam itu sendiri, sehingga dengan membaca ini seseorang yang mengamalkan dalam kehidupan sehari. Oleh karena itu, hasil membaca itu sendiri sinkron dengan tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam yang tidak sekedar mampu memahami dan mengetahui (menguasai aspek kognitif), namun juga menyentuh aspek afektif dan psikomotorik.

B. Implementasi Isi dan Kandungan Surat al-‘Alaq Ayat 1-5 tentang Hakikat Membaca dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Membaca adalah kegiatan kompleks dan disengaja, dalam hal ini berupa proses berpikir  yang  di dalamnya  terdiri dari pelbagai  aksi pikir yang bekerja  secara terpadu mengarah kepada satu tujuan yaitu memahami makna paparan tertulis secara keseluruan. Aksi-aksi pada waktu membaca tersebut berupa memperoleh pengetahuan dari simbol-simbol huruf atau gambar  yang diamati, pemecahan masalah-masalah  yang timbul serta  menginterpretasi-kan simbol-simbol huruf atau gambar, dan sebagainya. 

Perintah membaca dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5 pada dasarnya tidak sekedar melihat tulisan dalam bentuk catatan, namun lebih dalam konteks mencari kearifan (wisdom), sehingga implikasi membaca juga menjangkau pada membaca fenomena alam dan fenomena sosial dengan segala dinamika yang tidak pernah berhenti. Alam dan lingkungan seharusnya merupakan kelas terbuka untuk aktivitas pembelajaran.[14]

Dalam konteks pembelajaran pendidikan agama Islam, membaca merupakan aktivitas intelektual dan menulis yang dilambang dengan al-qalam adalah suatu bentuk proses belajar mengajar yang lebih luas. Hal ini dapat dilihat dari al-Qur’an sendiri, yang tidak merupakan buku panduan petunjuk (hudan li al-muttaqin), namun juga memuat seruan yang memberikan inspirasi terhadap upaya mencari ilmu pengetahuan.[15] Dengan demikian, maka antara membaca dan menulis merupakan hal yang sangat erat dan menunjang dalam pembelajaran. 

Melihat pentingnya membaca dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, maka menurut Muhammad ibn Husen al-Qummi al-Naisaburi, bahwa membaca harus berorietasi pada suatu aktivitas untuk memperoleh ilmu,[16] sehingga orientasi pembelajaran pendidikan agama Islam adalah untuk menanamkan iman dan takwa secara utuh dan terpadu, sehingga iman dan takwa yang ada pada diri seseorang tertanam dengan kokoh dan berpengaruh terhadap berbagai aktivitasnya dalam segala bidang kehidupan.[17]

Meskipun tujuan akhir membaca adalah untuk memahami isi bacaan, tujuan semacam itu ternyata belum dapat sepenuhnya dicapai oleh anak-anak, terutama pada awal belajar membaca. Banyak anak yang dapat membaca dengan lancar suatu bahan bacaan, tetapi tidak memahami isi bahan bacaan tersebut. Ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca bukan hanya terkait erat dengan kematangan gerak motorik mata, tetapi juga pada tahap perkembangan kognitif. Oleh karena  itu, untuk belajar membaca anak harus melalui proses yang panjang, baik dalam tahap kesiapan, membaca permulaan, ketrampilan membaca cepat, membaca luas dan membaca yang sesungguhnya.[18]

Berkaitan dengan hal di atas, maka minat baca seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor. Dawson dan Bamman sebagaimana dikutip oleh Abd. Rachman H.A. dkk. mengemukakan hal-hal yang mempengaruhi minat baca, yaitu sebagai berikut:

1) Seseorang dapat menemukan kebutuhan dasarnya lewat bahan-bahan bacaan jika topik, isi, pokok persoalan, tingkat kesulitan dan cara penyajiannya sesuai dengan kenyataan individunya. Berdasarkan prinsip ini, dapat dikatakan bahwa setiap murid memiliki kebutuhan dan kepentingan individu yang berbeda dengan murid lainnya. Perbedaan itu berpengaruh terhadap pilihan dan minat baca setiap individu murid, sehingga setiap  murid memilih buku atau bahan bacaan sesuai dengan kenyataan dan kepentingannya sendiri. Prinsip itu termasuk prinsip psikologis.
2) Kegiatan dan kebiasaan membaca dinyatakan atau dianggap berhasil atau bermanfaat jika murid memperoleh kepuasan dan dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu rasa aman, status dan kedudukan tertentu, kepuasan afektif dan kebebasan yang sesuai dengan kenyataan serta minat baca masing-masing individu. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh faktor biologis terhadap minat baca.
3) Tersedianya sarana buku bacaan keluarga atau rumah tangga merupakan salah satu faktor pendorong terhadap pilihan bahan bacaan dan minat baca setiap murid. Atas dasar prinsip inilah, maka dapat ditegaskan bahwa pilihan dan minat baca setiap individu murid ada kemungkinan didorong oleh kondisi atau status sosial ekonomis kehidupan keluarga atau rumah tangganya masing-masing. Dengan kata lain, perwujudan minat baca  murid didorong pula oleh faktor-faktor sosiologis.
4) Jumlah dan ragam bacaan yang disenangi oleh anggota-anggota keluarga (ayah, ibu dan saudara kandung) juga berfungsi sebagai salah satu pendorong terhadap pilihan bahan bacaan dan minat baca setiap individu murid. Atas dasar prinsip inilah, maka dapat ditegaskan bahwa minat baca setiap murid dapat timbul karena kebiasaan dan kesenangan anggota keluarganya  masing-masing. Kebiasaan dan kesenangan di kalangan anggota keluarga itu dapat dilihat sebagai salah satu faktor pendorong yang dimasukkan sebagai faktor sosiologis.
5) Tersedianya sarana perpustakaan yang relatif lengkap dan sempurna serta kemudahan proses peminjamannya merupakan faktor besar yang mendorong terhadap pemilihan bahan bacaan dan minat baca murid. Atas dasar prinsip inilah, maka dapat ditegaskan bahwa faktor-faktor kurikuler sangat mendorong terhadap timbulnya minat baca masyarakat.
6) Adanya program khusus kurikuler yang memberikan kesempatan murid membaca secara periodik di perpustakaan sekolah, sehingga dapat mendorong perkembangan dan peningkatan minat baca masyarakat. Prinsip ini menegaskan kegiatan pelaksanaan pengajaran membaca secara intensif dan ekstensif merupakan kegiatan kurikuler yang sangat mendorong dalam pembinaan, pengembangan dan peningkatan minat baca masyarakat. Dengan kata lain, bahwa faktor kurikuler yang berwujud pelaksanaan program membaca secara teratur di perpustakaan, baik dengan bimbingan guru ataupun tanpa bimbingan guru merupakan faktor dominan yang mendorong pembinaan, pengembangan dan peningkatan minat baca masyarakat.
7) Saran-saran dari luar sebagai faktor internal dapat mendorong timbulnya minat baca masyarakat. Prinsip ini menegaskan bahwa kegiatan belajar mengajar berupa tukar pengalaman, diskusi dan sumbangan saran yang dilakukan murid-murid dalam ruang kelas atau di luar kelas, baik dengan pengarahan dan bimbingan guru maupun tanpa pengarahan dan bimbingan guru dapat mendorong pemilihan bahan bacaan dan minat baca masyarakat. Kegiatan belajar mengajar yang memberikan kesempatan murid untuk saling mempengaruhi dan sumbang saran dalam hal pemilihan bahan-bahan bacaan merupakan salah satu bentuk kegiatan kurikuler yang perlu dimanfaatkan untuk pembinaan, pengembangan dan peningkatan minat baca masyarakat.
8) Faktor guru yang berupa kemampuan mengelola kegiatan dan interaksi belajar mengajar, khususnya dalam program pengajaran membaca, kejelian guru dalam memperhatikan perbedaan selera dan minat baca murid sangat mendorong pembinaan, pengembangan dan peningkatan minat baca masyarakat. Prinsip ini dapat dipahami bahwa kegiatan kurikuler merupakan faktor pendorong dalam pembinaan, pengembangan dan peningkatan minat baca.
9) Faktor jenis kelamin juga berfungsi sebagai pendorong perwujudan pemilihan buku bacaan dan minat baca murid. Prinsip itu menegaskan bahwa perbedaan jenis kelamin secara psikologis dapat mendorong perwujudan selera dan minat baca masyarakat.[19]

Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa minat baca sangat penting perannya dalam menumbuhkan dan memotivasi seseorang untuk belajar. Dalam lingkup sekolah, dengan menumbuhkan minat baca, maka akan mendorong siswa untuk belajar dengan baik dan bersungguh. Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan membaca merupakan modal awal untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan membaca, informasi yang diperoleh akan selalu bertambah dan sebagai bagian terpenting dalam hidupnya sebagai suatu gerbang untuk menunju intelektual.

Sementara itu Smith, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman H.A. mengemukakan prinsip-prinsip dasar yang pernah dikemukakan oleh Dawson dan Bamman. Beberapa prinsip Smith  yang relevan dengan minat baca itu adalah sebagai berikut:

1)  Tidak pernah ada dua pembaca atau lebih yang memiliki minat baca yang sama mutlak karena masing-masing memiliki kemampuan alami yang berbeda-beda, baik dalam hal kemampuan membaca itu sendiri, latar belakang keluarga maupun tradisi yang dianutnya. Prinsip ini sejalan dengan Dawson dan Bamman yang sebagai dikutip oleh Abdurrahman H.A. yang menyatakan bahwa bahan bacaan dinyatakan bermanfaat jika sesuai dengan kenyataan individunya sendiri. Oleh karena itu menurut Dawson dan Bamman dijelaskan bahwa perbedaan dan kenyataan setiap individu itu disebabkan oleh intensitas faktor pendorong, baik secara eksternal maupun internal yang dimiliki oleh masing-masing individu.
2) Keragaman dan corak pengalaman yang diperoleh sejak kecil merupakan faktor pendorong yang dapat menyebabkan perbedaan pilihan bacaan dan minat baca murid. Prinsip ini juga menegaskan bahwa setiap individu memiliki kenyataan minat baca masing-masing yang disebabkan oleh faktor internal ataupun eksternal.[20]

Dari uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi minat baca adalah dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang muncul dari orang itu sendiri, misalnya keinginan dan minat seseorang untuk membaca, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar atau dorongan orang lain, misalnya karena tugas dari guru.

Mengembangkan minat baca dan kebiasaan membaca sebagaimana diungkapkan oleh UNESCO memiliki cakupan yang sangat luas, karena menyangkut masalah-masalah mulai dari keluarga sampai ke masyarakat sebagai upaya peningkatan intelektualisme. Di samping itu peran pemerintah mulai dari tingkat pemerintahan pusat hingga pemerintahan tingkat rendah di daerah sangat besar, sebab masing-masing tingkat pemerintahan berperan sesuai dengan tugas dan fungsinya serta kewenangannya. 

Pemerintah pusat misalnya, harus menentukan kebijakan dan strategi termasuk penyediaan anggaran yang mencukupi, sedangkan pemerintah tingkat provinsi menetapkan kebijakan dan strategi sesuai dengan kewenangannya, termasuk penyediaan anggaran operasionalnya. Pemerintah daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan dan strategi serta penyediaan anggaran operasional yang mencukupi guna melancarkan program pengembangan minat baca ini. Demikian seterusnya dari tingkat kecamatan, desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga hingga sampai pada keluarga.[21]

Minat baca para siswa yang rendah di atas, bila dikaitkan dengan tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam pada dasarnya memiliki keterkaitan. Hal ini karena, jika dalam lingkup sekolah anak yang tidak dapat membaca dengan baik, bahkan mungkin tidak dapat membaca sama sekali akan mempengaruhi proses pembelajaran pendidikan agama Islam. Hal ini terjadi, karena salah satu untuk memahami materi pendidikan agama Islam, siswa harus dapat membaca, sehingga dengan membaca ini siswa dapat memahami materi yang diajarkan dan pada akhrinya dapat menerapkan ilmu yang diperoleh untuk dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-harinya.



[1] Idris Kamah dkk, Pedoman Pembinaan Minat Baca, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2001), hlm. 1
[2] Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 1079
[3] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikhotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 13.
[4] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 29, (Mesir: Mustafa Bab al-Halabi, t.th.), hlm. 200.
[5] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 58.
[6] Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 215.
[7] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 150.
[8] Mulyono Abdurahman,  Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 200.
[9] Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001), hlm. 34
[10] Muh. Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1987), hlm. 112
[11] Syaiful Bahri Djamarah, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 1991), hlm. 65
[12] Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, (Semarang: Aneka Ilmu, 2004), hlm. xiii.
[13] Ibid., hlm. 70.
[14] Abdurrahman Mas’ud, Antologi ..., op. cit., hlm. 73.
[15] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikhotomik,  (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 23.
[16] Muhammad ibn Husen al-Qummi al-Naisaburi, Tafsir Gharib al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.), hlm. 529.
[17] Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam: Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 238.
[18] Mulyono Abdurahman, Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta: Rineka Cipta, 1998, hlm. 201.
[19] Abd. Rachman H.A. dkk., Minat Baca Murid Sekolah Dasar di Jawa Timur, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P&K, 1985), hlm. 6-8
[20] Ibid., hlm. 8-9
[21] Idris Kamah dkk, op. cit., hlm. 9

No comments:

Post a Comment