INTERELASI ISLAM DENGAN KEPERCAYAAN DAN RITUAL JAWA


Dalam konteks kebatinan dikenal pula ajaran penghayatan dan pengalaman mistik mengenai hadirnya Tuhan, bukan saja sembarangan pertemuan dengan Tuhan dalam suara hati nurani melainkan kesatuan dengan Tuhan ditujukan pamoring kawula Gusti (kesatuan manusia dengan Tuhan).

Dalam teori kebatinan, tujuan itu dilukiskan sebagai kesadaran diri  manusia tenggelam dalam ketuhanan dan hilangnya kepribadian sendiri. Misalnya dalam Wirid Hidayat Jati, mengajarkan tentang paham kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Paham ini mengajarkan bahwa manusia  berasal dari Tuhan, oleh karena itu, ia harus berusaha untuk dapat bersatu kembali dengan Tuhan. 

Kesatuan  kembali antara manusia dengan Tuhan di dunia bisa  dicapai melalui  penghayatan  mistik,  seperti  pada umumnya  dalam  setiap ajaran mistik. Akan tetapi kesatuan yang sempurna antara manusia dengan Tuhan menurut Wirid Hidayat Jati adalah sesudah datangnya masa ajal atau mati.

Manusia yang sanggup mencapai penghayatan kesatuan dengan Tuhan, akan  menjadi orang  yang  waskitha  dan  menjadi manusia  yang sempurna hidupnya, yaitu orang yang tingkah lakunya mencerminkan perbuatan-perbuatan Tuhan. Lantaran Tuhan bersabda, mendengar, melihat, merasakan segala rasa serta berbuat mempergunakan  tubuh  manusia. Maka dalam Wirid Hidayat  Jati,  penjelasan  tentang  Tuhan  tidak dipisahkan  dengan  uraian tentang  manusia. Dalam arti manusia yang telah mencapai  tingkat  kesatuan dengan Tuhan.[1]

Pokok pikiran yang menjadi inti ajaran Wirid Hidayat Jati adalah konsep manuggaling kawula Gusti (kesatuan manusia dengan Tuhan). Artinya kita hidup yang harus dicapai oleh manusia untuk  mencapai kesatuan antara manusia dengan Tuhan adalah melakukan manekung amuntu samadi.[2]

Manunggaling kawula Gusti  juga  tercermin  dalam  ajaran  Bima sewaktu berguru dengan Dewa Ruci seperti termaktub dalam Serat Bima Suci karya  Yasadipura. Pada waktu Bima berhadapan dengan Dewa Ruci, dia menyembah, duduk  bersila dan berbahasa  krama. Bima merasa kecil bila ber-hadapan dengan Dewa Ruci. Hal ini memberi lambang bahwa manusia itu kecil sekali bila berhadapan dengan kekuasaan kebijaksanaan dan keberadaan Tuhan yang kekal transcendental, sehingga manusia harus sadar untuk menyembah, menyerahkan diri kepada Sang Pencipta.

Sewaktu Werkudara menyelam mengarungi samudera, dia membunuh Naga Nemburnyawa. Werkudara melambangkan manusia bertapa dan bermeditasi, maka seseorang harus menghilangkan nafsu rendah dan me-murnikan tekad batinnya. Dia mati sajroning urip  dengan tujuan urip sajroning mati, suatu sikap sempurna dalam filsafat Jawa.
Ketika  berada  dalam  pribadinya,  Werkudara  menemukan  apa  yang dicarinya, yaitu air hidup, asal-usul  dirinya,  sangkang  paraning  dumadi di dalam batinnya sendiri. Werkudara bersatu dengan Tuhannya di dasar sukmanya sendiri. Dia telah mencapai tingkat manunggaling kawula Gusti. Dia sudah menjadi manusia sempurna, insan kamil.[3]

Syeikh Siti Jenar yang memberikan pandangan tentang hidup sejati, yakni hidup yang telah berhasil membuka pintu pertemuan dengan sang kekasih, Allah SWT. Pintu inilah yang di dalam tasawuf disebut “makrifat”.

Makrifat kepada Allah bisa tercapai bila diri kita mampu mengungkapkan selubung eksistensi diri, berlatih meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia dan selalu mengaktualkan nama-nama  Allah ke dalam setiap aktivitas hidup. Hidup sejati baginya hanya bisa diraih apabila telah melepaskan nyawanya dan menyatu  dengan  Dzat Tuhan secara sempurna, maka hidup di dunia ini dianggapnya sebagai mati karena membawa sifat-sifat ketidak-langgengan.[4]

Menurut Syeik Siti Jenar, hidup itu tempatnya ada dalam uni nong ana nung. Inilah kehidupan sejati. Seseorang yang tidak bisa memposisikan diri dalam uni nong ana nung ini berarti ia  belum  tahu  akan  hidup,  sama  saja seperti bangkai yang berjalan.

Uni nong ana nung ini adalah Dzat Tuhan, yakni Aku. Dalam ajaran martabat tujuh, keadaan ini sama saja dengan martabat ahadiyah, yakni tingkat pertama penampakan Tuhan. Tuhan dalam keadaan ini digambarkan sebagai Dzat semata. Dia tidak memiliki nama untuk menyebut Diri-nya, maka Siti Jenar berani mengatakan bahwa nama Allah ada karena dzikir yang  dilakukan manusia.

Seseorang yang hendak mencapai kehidupan yang sejati, maka  ia harus mengetahui hakikat dirinya. Para ahli makrifat memberikan ungkapan man ’arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu; barang siapa  sudah  mengetahui dirinya maka dia sudah mengetahui Tuhannya.

Ungkapan di atas mengandung pesan bahwa tidak mungkin seseorang akan mengenal Tuhannya jika ia tidak mengenal hakikat dirinya. Untuk dapat mengenal hakikat diri, seseorang bisa memulainya dari bawah ke atas. Istilahnya taraqi (mendaki), yakni dari tingkatan paling bawah dalam martabat tujuh, lalu terus naik hingga sampai pada tingkatan tertinggi.

Mula-mula, ia mengenal dirinya sebagai manusia secara jasmani. Kemudian naik mengenal dirinya sabagai bangunan sebuah jiwa dengan segala pernak-pernik di dalamnya. Selanjutnya naik lagi, mengenal dirinya sebagai  roh,  lalu  ia  mengenal dirinya sebagai  satu kesatuan alam semesta yakni Nur Muhammad. Hingga akhirnya ia mengenal diri sesungguhnya, ia lebur jasmani dan rohaninya, lenyap dalam Dzat Tuhan yang nyata. 

Maka hilanglah semua yang ia rasakan, oleh karena tampaknya Dzat Tuhan yang satu itulah hakikat kehidupan hidup sejati yang dicapai melalui pelenyapan diri dan penyatuan dalam Dzat Tuhan yang maha Mulia, manuggaling kawula Gusti.[5]



[1] Simuh, Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: UII-Pres,, 1988), hlm. 282.
[2] Ibid., hlm. 289.
[3] Ibid., hlm. 234-235.
[4] Agus  Wahyudi, Makrifat  Jawa;  Makna  Hidup  Sejati  Syeikh  Siti  Jenar  dan  Walisongo, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2007), hlm. 121.
[5] Ibid., hlm. 122-124.

No comments:

Post a Comment