JENIS-JENIS MAKRIFAT

Dalam pengenalan terhadap Allah ada 2 (dua) jenis, yaitu mengenal Allah secara ilmu pengetahuan (ilmi) dan mengenali Allah secara perasaan (hali),[1] atau juga soal keadaan yang terjadi dalam hati manusia.

1.  Makrifat Ilmi

Makrifat ilmi yaitu mengenal Allah secara ilmiah. Menurut al-Hujwiri mengenal Allah secara  ilmi adalah dasar dari semua barokah di dunia ini dan di akhirat nanti. Karena hal yang paling penting bagi seorang pada setiap waktu dan dalam segala keadaan adalah pengetahuan tentang Tuhan, sebagaimana tertuang dalam Al Qur'an surat adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya:

“Dan Aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. 51: 56).

Namun sebagian manusia melalaikan kewajiban ini, kecuali mereka yang telah dipilih oleh Tuhan. Para Ahli hukum, ahli teologi memberi nama makrifat sebagai pengetahuan yang benar tentang Tuhan.[2]

2.  Makrifat Hali (keadaan dalam hati)

Makrifat hali yaitu mengenal Allah dengan hati.[3] Dalam hal ini hatinya telah hidup lewat Tuhan dan  pikiran-pikirannya telah berpaling dari semua yang bukan Tuhan. Martabat atau nilai kehidupan setiap orang bergantung pada makrifat.

Menurut syeikh-syeikh sufi perasaan yang benar (hal) terhadap Tuhan dengan nama makrifat. Dan mereka mengatakan bahwa makrifat lebih utama daripada pengetahuan (ilmi), sedang keadaan hati yang benar (hal) adalah hasil dari pengetahuan yang benar. Dalam pandangan sufi pengetahuan yang benar tidak sama dengan keadaan hati yang benar.[4]

Lain halnya dengan Tohari Musnamar, menurutnya ada lima jenis makrifatullah, empat dapat dicapai, satu tidak mungkin digapai dan empat dapat dimiliki, satu mutlak milik Ilahi.

1.  Ma’rifatul Asma (mengenal asma-asma Allah)

Allah memiliki sembilan puluh sembilan asma yang mengatakan bahwa Allah Maha sempurna, bila berdoa hendaklah disertai menyebut asma-Nya dan Allah sangat senang bila disebut asma-Nya, barang siapa hafal (Asma-ul Husna) niscaya masuk surga.

2.  Ma’rifatus-Sifat (mengenal sifat-sifat Allah)

Dengan mendalami makna Asma-ul Husna orang menjadi mengenal sifat-sifat Allah, mengenal sifat-sifat kesempurnaan Allah. Insan hendaknya berakhlak dengan sifat keutamaan-Nya tentu saja dalam batas kemampuan kemanusiaanya.

3.  Ma’rifatul-Af’al (mengenal karya-karya Allah)

Karya Allah terbentang luas di jagad raya. Tersusun rapi dalam organ tubuh manusia, jagad besar, jagad kecil, jagad madya adalah karya tertinggi tak ada bandingannya, itu adalah suatu bukti kebesaran Allah yang tiada taranya.

4.  Ma’rifatul-Iradah (mengenal kehendak Allah)

Mengenal maksud Allah menciptakan makhluk, yakni untuk apa Allah menggelar alam dunia, menciptakan manusia, mendeklarasikan agama dan lain sebagainya, semua itu adalah kodrat-iradat Allah dan pasti tidak akan sia-sia. Setiap iradah pasti ada makna dan maksudnya.

5.  Ma’rifatuldz-Dzat (mengenal dzat Allah)

Inilah bagian yang tidak dapat dicapai manusia, bagian khusus merupakan hak Tuhan. Karena pikir manusia tidak mungkin mencapai, akal manusia tidak mungkin menggapai. Allah Dzat yang Maha Gaib, Maha Tersembunyi, Maha Tinggi, Maha Suci, Maha Abadi.[5]

Dengan memahami nama-nama Allah yang luhur serta sifat-sifat-Nya yang sempurna akan dapat mengantarkan seseorang untuk bermakrifat kepada Allah. Dalam kaitannya dengan hal ini Allah berfirman dalam Al Qur'an Surat Al-Isro’: 51, yang artinya:

“Katakanlah; serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai  nama-nama yang baik”.

Syaikh Ibnu Atho’illah as-Sukandari mengatakan bahwa makrifat kepada Allah juga bisa dicapai dengan beribadah kepada-Nya. Dalam bukunya Hakekat Makrifat disebutkan bahwa:

“Barang siapa bercahaya pada permualaannya, niscaya bercahaya pula pada akhirnya”. 

Pernyataan di atas mempunyai penjelasan bahwa apabila seseorang itu pada awalnya sudah bercahaya, yakni banyak beribadah kepada-Nya, maka pada akhirnya pun ia akan bercahaya, yakni bisa bermakrifat kepada Allah, yang dengan makrifat ini ia akan mencapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak.[6]



[1] Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj, Suwardjo Muthari dan Abdul Hadi, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 242.
[2] Al-Hujwiri, ibid. hlm. 242.
[3] Hati (qalbu) dianggap mempunyai hubungan misterius dengan jantung atau hati jasmaniah, tetapi ia bukanlah daging atau darah, juga bukan hati dalam bahasa Inggris, yang sifatnya lebih menonjolkan intelek ketimbang emosi, sebab intelek saja tidak akan sampai pada pengetahuan sejati mengenai Tuhan. Hanya qalbu yang mempunyai kemampuan untuk mengenal esensi segala sesuatu, jika  qalbu disinari oleh iman dan pengetahuan, Maka akan tergambar seluruh kandungan pikiran keilahian. Dan kaum sufi membedakan tiga jenis orang tubuh untuk komunikasi rohaniah, yaitu; hati (qalbu), untuk mengetahui Tuhan; roh (ruh), untuk mencintai-Nya, dan sirr, untuk merenunginya. Selengkapnya lih. Reynold A Nicholson, op. cit., hlm. 52.
[4] Al-Hujwiri, op. cit.. hlm. 243.
[5] Tohari Musnamar, Jalan Lurus Menuju Ma’rifatullah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 44-45.
[6] Ibnu Atho’illah, as-Sakandari, Hakekat Ma’rifat, (Surabaya: Bintang Usaha jaya, t. th), hlm. 262

No comments:

Post a Comment