PERAN WALISONGO DALAM PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI JAWA



Perkembangan Islam di Jawa tidak dapat dilepaskan dari peranan para wali yang tergabung dalam organisasi walisongo, dimana pembentukan lembaga walisongo ternyata pertama kali dilakukan oleh sultan Turki Muhammad I, yang memerintah pada tahun 1394-1421. Pada waktu sultan Muhamamd I menerima laporan dari para saudagar Gujarat (India) bahwa dipulau Jawa jumlah pemeluk Agama Islam masih sangat sedikit.

Sultan muhamamd I kemudian mengirim sebuah tim yang anggotanya dipilih orang-orang yang memiliki kemampuan diberbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja. Untuk membentuk tim, sultan Muhamamd I mengirim surat kepada para pembesar di Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai ‘karomah”.

Berdasarkan perintah sultan Muhamad  I itu lalu dibentuk sebuah tim yang berintikan 9 orang yang ditugaskan menjadi penyebar Islam di pulau Jawa, kemudian tim diberangkatkan kepulau Jawa pada tahun 1404, di mana tim tersebut diketuai oleh maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki, seorang ahli agama dan juga ahli irigasi yang dianggap piawai dalam mengatur Negara. 

Begitu tiba di Jawa tim sembilan ini langsung melakukan pertemuan untuk menyusun rencana kerja, oleh karena itu pertemuan tahun 1404 yang dihadiri lengkap anggotanya dianggap sebagai sidang walisongo pertama kemudian disebut sebagai walisongo angkatan pertama; istilah walisongo sendiri baru muncul setelah ada beberapa wali pribumi dari kalangan bangsawan Jawa yang menjadi anggota tim bahkan ada yang menyebutkan bahwa istilah walisongo muncul pada abad ke-18 atau abad ke-19.[1]

Para wali ini menjadi pemimpin di pusat-pusat pendidikan Islam. System pendidikan yang dikembangkan lama-lama mengungguli system pendidikan istana. Apalagi para wali banyak yang berpengaruh karena memiliki daya keramat dan kesaktian. Pada zaman itu orang Jawa sangat mengagungkan kesaktian sebagai kekuatan untuk kepercayaan diri dan bela diri. Wali yang memiliki kesaktian lebih akan memiliki pengikut yang lebih banyak.[2]

Semua sepakat bahwa dakwah yang dilakukan oleh para wali dengan mempertimbangkan aspek kebijaksanaan hidup. Tak mengherankan apabila syiar dakwahnya mudah diterima dan dipahami. Walisongo yang disebutkan dalam sumber Babad sebagai penyebar agama Islam cukup menarik jika dilihat peranannya sebagai penyebar agama atau sebagai cultural broker, pada saat itu kelompok pedagang dan petani yang sebagian besar telah memeluk Islam merupakan golongan menengah seperti halnya kiai, guru tarekat.[3]

Diplomasi keagaman yang dilakukan oleh walisongo bertujuan untuk memperlancar jalannya dakwah Islamiyah walisongo bisa menjadi tumpuan harapan bagi banyak pihak. Kepentingan rakyat dan kesultanan Demak mampu dijembatani secara harmonis oleh walisongo. 

Disamping itu, keberadaan para saudagar muslim dikawasan pesisir utara juga mendapat bimbingan spiritual dari walisongo, sehingga terjalin hubungan yang selaras antara penguasa dan pengusaha tanpa ada pihak yang dirugikan. Disinilah keunggulan diplomasi walisongo dalam bidang keagamaan.[4]

Dalam menjalankan tugas dakwah (menanamkan nilai-nilai Islam) tentulah model dakwah walisongo tersebut sesuai dengan tujuan dakwah Islam itu sendiri. M. Mansyur Amin menjabarkan tujuan dakwah menjadi tiga hal:

1. Menanamkan aqidah yang mantap disetiap hati seseorang, sehingga keyakinannya tentang ajaran Islam tidak dicampuri dengan rasa keraguan, salah satu upaya walisongo dalam rangka menanamkan aqidah Islam kepada masyarakat Jawa salah satunya adalah dengan menggunakan sarana mitologi Hindu sebagai model untuk menanamkan aqidah Islam oleh para walisongo adalah dilakukannya “de-dewanisasi” yang berupa cerita-cerita yang berkaitan dengan kelemahan dan kekurangan dewa sebagai sesembahan manusia.

Pada  perkembangan  selanjutnya  lahir  pula  mitologi  dewa-dewa Hindu yang sudah diadopsi sedemikian rupa. Dikisahkan dalam  Babad Mataram misalnya. Sebagaimana dikutip oleh Agus Sunyoto, bahwa dewa-dewa pada dasarnya adalah keturunan nabi Adam dan Ibu hawa.[5]

Dengan munculnya kisah-kisah dewa yang asal usulnya dari keturunan Adam maka jelaslah penanaman aqidah Islam mulai makin lama makin diyakini banyak orang dan lambat laun mengalahkan kisah mitologi Hindu yang asli. Munculnya kisah-kisah karangan ulama tersebut, maka orientasi perang idiologi para ulama semakin jelas mengarah kepada perombakan setting budaya dan tradisi keagamaan yang ada.

2.  Tujuan hukum, maka dakwah harus diarahkan kepada kepatuhan setiap orang tetapi hukum yang telah disyariatkan oleh Allah SWT. Salah satu upaya para wali dengan menyebarluaskan nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa agar mau mematuhi hukum syariat Islam adalah dengan membentuk nilai tandingan bagi ajaran yoga-Tantra yang berasaskan malima.[6]

Pertarungan yang terjadi antara mendakwahkan konsep yang bersumber dari Islam dan bersumber dari ajaran syiwaisme, khususnya sekte yang mengajar yoga-Tantra pada dasarnya berlangsung secara berkesinambungan dari generasi dengan berbagai sarana dan media. Bahkan pertarungan konsep terlihat paling tidak sampai keabad-19, yaitu saat lahirnya dua karya sastra kejawen yang berjudul Darmogandul dan Gatoloco.

3. Menanamkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat Jawa sehingga terbentuk pribadi Muslim yang berbudi luhur, dihiasi dengan sifat-sifat terpuji dan bersih dari sifat-sifat tercela. Para wali dalam menanamkan dakwah Islam di tanah Jawa ditempuh dengan cara-cara yang sangat bijak dan adiluhung.

4. Strategi dakwah yang dilakukan oleh walisongo untuk menguasai dan mendayagunakan segala sumberdaya untuk mencapai tujuan bisa diartikan segala cara yang ditempuh oleh para  wali untuk mengajak manusia ke jalan Allah dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki. Dalam berdakwah cara walisongo menerapkan siasat yang bijaksana yaitu melalui beberapa jalur yang ditempuh diantaranya:

a.  Jalur Pendidikan

Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama. Kiai-kiai dan ulama-ulama. Di Pesanren atau pondok mereka mendapat pendidikan agama.[7]

Kehadiran pesantren sebagai upaya untuk mendakwahkan agama bagi orang-orang Jawa ternyata lambat laun mengalami perluasan peran. Ia kemudian menjelma menjadi lembaga pendidikan yang bermanfaat untuk mendidik orang Islam menjadi alim dan cerdas dalam dan pengetahuan agamanya, peran pendidikan tidak sekedar mengalihkan ilmu-ilmu keagamaan yang berkenaan dengan penanaman aspek penghayatan agama yang bersifat kesalehan personal (ETIKA) melalui pengenalan dan praktek tasawuf, melainkan juga melebar kepengajaran ilmu-ilmu syariat yang bekaitan dengan aturan atau tata pergaulan kemasyarakatan.[8]

Dengan mengambil model institusi pondok, perlahan-lahan ia menjelma menjadi lembaga keagamaan yang mengalami pergeseran makna yang bernuansa Islam, bahkan menjadi institusi Islam. Dalam hal ini pondok atau pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, oleh karena itu dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keIslaman, tetapi juga mengandung identitas keaslian. Sebab lembaga ini sebenarnya sudah ada sejak masa Hindu-Budha.[9]

Meskipun pada mulanya pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang bercorak keagamaan, dan menjadi pusat pertumbuhan dari system zawiyah (qilda) yang dikembangkan oleh kaum sufi dengan berbagai aliran tarekatnya, justru dalam pertumbuhannya yang tidak disadari, pesantren malah berubah menjadi markas gerakan yang bernuansa politik. Dengan demikian, kedua orientasi tersebut terdapat di pesantren tersebut ternyata membawa dampak bagi santri untuk mengartikulasikan ajaran agamanya di tengah-tengah masyarakat Jawa.

Selain fiqih, mistisisme yang diajarkan dan dipraktikkan di pesantren melalui kitab-kitab tasawuf menemukan lahannya yang subur di Jawa. Tuhan dalam mitisisme Jawa yang besifat imanen sangat cocok dengan imanensi Allah dalam tradisi tasawuf.[10]

b.  Jalur Kesenian 

Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang, wayang sebagai hasil budaya Jawa di dalamnya memuat nilai-nilai edukatif yang lengkap. Tidak hanya contoh kepahlawanan saja, tetapi juga pendidikan moral, kesetiaan dan kejujuran.

Pada tahun 1443 saka, bersamaan dengan pergantian pemerintah Jawa yang berdasarkan Agama Budha (majapahit) kepemerintahan berdasarkan Islam (Demak) misalnya dalam wayang Beber, wujud wayang ini kemudian diubah menjadi wayang kulit yang tokohnya terperinci satu persatu, yang melakukan pengubahan ini adalah para wali. Dalam hal ini para pemuka Islam telah dapat menghilangkan unsur-unsur kemusrikan. Dalam Islam terdapat tiga macam hukum mengenai gambar-gambar yaitu mubah, makruh dan musyrik.[11]

 Para wali mengubah wayang kulit itu bukan sekedar untuk memberantas kemusyrikan, tetapi juga lebih untuk mengenalkan agama Islam, sehingga orang bersedia memeluk dan mengenalkan ajaran-ajarannya.

Dalam setiap lakon dapat diambil suri tauladan atau makna yang tersirat dan tersurat dalam setiap lakon agar manusia dapat mengambil hikmahnya. Dengan demikian, peranan wayang lebih sebagai dasar filosofi manusia Jawa. Disamping ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para pujangga Jawa dikatakan, sunan Kalijaga tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia mengarang lakon-lakon wayang yang baru, dan menjadi dalang pagelaran wayang yang mementaskan “kalimat syahadat” ia bersedia memainkan lakon wayang dengan syarat pihak penyelenggara pagelaran sudi mengucapkan syahadat sebagai tanda kerelaan memeluk Islam, dan dia  juga tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton juga untuk mengikutinya mengucapkan kalimat sahadat.[12]

Wayang bisa dipakai sebagai sumber nilai hidup, didalam memuat nilai-nilai keluhuran juga memuat nilai-nilai ketidak luhuran, nilai-nilai keluhuran diharapkan untuk ditiru karena mencerminkan kebaikan.

Disamping itu dalam berbagai lakon maupun gambaran para tokohnya menunjukkan nilai-nilai etis, misalnya nilai kebenaran sejati, kedudukan nilai kebenaran sejati dalam wayang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua kesatria yang baik dalam wayang selalu berusaha menjadi manusia kebenaran yang dilambangkan oleh tindakan mereka untuk melenyapkan ketidak kebenaran (sura dira jaya ningrat lebur dening pangastuti).

Ajaran tentang kebenaran dalam wayang merupakan ajaran pokok Resi Wiyasa dalam lakon wahyu purbasejati mengajarkan kepada manusia untuk percaya kepada enam hal. Yaitu: manembah (menyembah kepada Tuhan), menepi (tidak boleh bertengkar), maguru (berguru), mengabdi kepada anak isteri, dan makarya (bekerja) tanpa pamrih, maka perlahan-lahan ceritanya diarahkan kepada cerita yang mengenalkan ajaran Islam. Para wali itulah yang mula-mula memberikan pengaruh Islam kepada cerita-cerita mereka.[13]

Pertunjukan wayang yang jalannya ceritanya banyak digubah dari kitab aslinya yaitu kitab Mahabarata semuanya mempunyai tujuan utama, yaitu memberikan petunjuk kepada manusia kejalan yang baik dan benar, kejalan yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk memacu cipta rasa dan karsa manusia agar tergugah untuk ikut memperindah bebrayan agung untuk ikut mahayu hayuning bawana. Dengan demikian, pertunjukan wayang tidak hanya sebagai tuntunan dan alat penghibur, tetapi juga memuat tuntunan kehidupan manusia.[14]

Semua itu apabila kita telaah dengan teliti adalah merupakan perjuangan dan hasil kerja keras yang dilakukan oleh para walisongo untuk menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.



[1] Banyak peneliti berpendapat istilah walisongo masih mengandung kekaburan sejarah, istilah walisongo baru muncul pada abad ke-19, setidaknya setelah keluarnya tulisan R Ng Ronggowarsito dimana dalam satu naskahnya menuliskan “kata wali” yang berjumlah sembilan. Menurut KHR Moch Adnan kata ‘walisongo” adalah berbahan lidah jawa untuk untuk mengucapkan tsana dalam bahasa Arab yangartinya mulia jadi walisongo berarti para wali yang mulia hal ini terbukti dalam salah satu buku tulisan sunan Giri II bukan tertulis walisongo, melainkan walisana, menurut Tjan Tjoe Siem, bilangan bagi masyarakat jawa sering dihubungkan dengan pandangan hidup manusia, ada pula yang klasidikasi dengan jumlah delapan arah mata angina ditambah satu sebagai pusat sedangkan menurut R Tanojo istilah walisana , kata sana dianggap menunjuk tempat, jadi walisana artinya wali yang menguasai dan bertempat tinggal di daerah tertentu, kemudian wali tersebut disebut Sunan yang merupakan kependekan dari susuhunan, artinya orang yang dimuliaklan menurut Simuh dan serat-serat babad fungsi walisongo digambarkan sebagai sembilan pemuka dewa-dewa Hindu, walisongo bermuara pada pemitosan tokoh-tokoh yang dianggap suci. Lih Hasan Simon, Misteri Syekh Siti JEnar; Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 48-93.
[2] M. Hariwijaya, op. cit., hlm. 185.
[3] Purwadi,  Dakwah Sunan Kalijaga; Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 27.
[4] Ibid., hlm. 34
[5] Menurut cerita bahwa suatu ketika Nabi Adam dan Ibu Hawa terlibat pada persoalan anak yang belum mereka miliki, karena itulah atas adanya Nabi Adan terbentuklah seberkas cahaya yang akhirnya menjadi bayi laki-laki yang tampan, kemudian idajil (iblis) menghasut kepada bayi agar meminta nama kepada Adam dan istrinya. Maka Nabi Adam yang wakista segera tahu atas ulah idajil, sehingga bayi itu diberi nama Sang Hyang Syis, sementara itu Ibu Hawa memberinama Jaya Kusuma. Lih Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi di Pulau Jawa; Walisongo Penyebar Islanm di Jawa, Menurut Penuturan Babad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 248.
[6] Kalau dikalangan pengikut-pengikut yoga-Tantrama istilah ma-lima berkonotasui sebagai suatu ajaran penyempurnaan batin, mereka pra ulama justru mentapkan bahwa apa yang disebut ma-lima adalah suatu konsep perbuatan yang tidak patut dilakukan oleh manusia yang berbudi, konsep ma-lima versi ulama adalah sebagai berikut: madat (memakan candu), main (berjudi)maling (mencuri), minum (minum-minuman keras), dan madon (berzina), Ibid., hlm, 250.
[7] Badri Yatim, op.cit., hlm. 203.
[8] Masroer Ch. Jb  The History of Java; Sejarah Perjumpaan Agama-agama di Jawa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), hlm. 44.
[9] Ibid., hlm. 42.
[10] Ibid., hlm. 45-47.
[11] Menurut Kisiwahan saya berpendapat bahwa yang dihukumi mubah ialah gambar-gambar yang menerangkan pelajaran hiasan rumah, gambar hutan, pegunungan dan sebagainya, dihukumi makruh ialah gambar-gambar yang melanggar kesusilaan dan menyulut penyelewengan, seperti gambar terlanjang dan sebagainya, dihukumi musyrik ialah gambar-gambar yang memicu pemujaan yang bisa mengurangi keimanan kepada Allah. Lih Purwadi, op. cit., hlm. 121.
[12] Ibid., hlm. 123.
[13] Ibid., hlm. 63.
[14] Sudarto, Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Pewayangan, dalam Darori Amin, Islam dan KEbudayaan JAwa, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 177.

No comments:

Post a Comment