Secara
etimologis dalam kamus Besar Bahasa Indonesia hasil karya Prof. H. Mahmud
Yunus, dzikir berasal dari kata (ذكر – يذكر - ذكرا) yang berarti menyebut atau mengingat.[1]
Sedangkan secara terminology, dzikrullah adalah mengingat dan menyebut nama
Allah, baik dengan lisan (ucapan) dengan hati atau anggota badan. Dzikir lisan
yaitu memuji Allah dengan ucapan-ucapan tasbih, tahmid, dan lain-lain. Dzikir
dengan hati yaitu memikirkan (bertafakur) mengenai zat dan sifat-sifat Allah. Sedangkan
dzikir dengan anggota badan yaitu menjadikan keseluruhan anggota badan tunduk
dan patuh kepada Allah.[2]
Dalam
artian umum, dzikrullah adalah mengingat Allah serta keagungan-Nya, yang
mencakup hampir semua bentuk ibadah dan perbuatan terpuji. Sedangkan dalam arti
yang lebih khusus, dzikurullah adalah
menyebut nama-nama Allah sebanyak-banyaknya dengan memenuhi tata tertib,
metode, rukun dan syaratnya. Dzikrullah
adalah perintah Allah dan Rasul-Nya, dan bukan ciptaan atau buatan manusia,[3]
sebagaimana firman Allah surat Ali imran ayat 41.
“Dan sebutlah (nama)
Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.”[4]
Menurut
Prof. Dr. H. Aboebakar Aceh dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Sejarah Sufi
dan Tasawuf” dzikir artinya mengingat pada Allah, tetapi di dalam tareqat mengingat kepada Allah iui di Bantu dengan
bermacam-macam ucapan, kata-kata yang mengingatkan mereka kepada Allah.[5]
Dzikir
adalah salah satu kata yang penting di dalam kerangka pemahaman ajaran Islam.
Bahkan kata ini tampak sangat bernilai, karena
dzikir menjadi salah satu nama laindari kitab suci Al-Qur’an,
sebagaimana firman Allah surat Al-Hijr ayat 9,
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[6]
Dzikir
memiliki dua makna yang amat menonjol, pertama sebagai dinamika internal
yang memusat yang ada di dalam diri manusia dan sifatnya isoteris. Kedua
sebagai warning dalam mengendalikan tindakan manusia yang kasat mata dan
sifatnya eksoteris.
Makna
yang pertama, di dalam Al-Qur’an selalu dikaitkan dengan Allah SWT dan dzikrullah. Jadi Allah-lah yang menjadi pusat (center)
arah dan dinamika internal. Untuk dapat sampai kesatu-satunya titik pusat tersebut
terjadi perjuangan batin yang panjang dan membutuhkan kegigihan untuk dapat
terlepas dari rintangan, yaitu berupa dorongan dari kehidupan provan. Karena
itulah salah satu formulasi dzikir adalah terlebih dahulu harus meniadakan sama
sekali Tuhan “laa ilaaha” kemudian menegaskan ”illa Allah”. Sebagaimana telah disebut di atas ia adalah
semacam warning bagi umat dalam berinteraksi dengan sesamanya.
Disini
dzikir sebenarnya juga mengandung arti pemusatan (konsentrasi) terhadap
tindakan-tindakan manusia yang sifatnya eksoteris. Di dalam Al-Qur’an, dzikir
yang mengandung makna sebagai warning (peringatan) bagi manusia, walaupun tidak
selalu akan tetapi sering dikaitkan dengan manusia dalam kapasitasnya sebagai
hamba yang beriman. Kapasitas manusia sebagai hamba yang beriman sekaligus makhluk
yang berakal ini menjadi prasarana bagi dirinya untuk dapat mengamalkan dzikir
yang bersifat eksoteris.[7]
Berdasarkan
pengertian dzikir di atas, maka dzikir dapat dibedakan menjadi iga macam:
a. Dzikir bil al lisan
Yaitu dzikir dengan ucapan, yang dmaksud dzikir dengan ucapan yaitu dengan
melafadzkan kalimat-kalimat seperti tahlil, tahmid, takbir, istighfar, hasbalah,
hauqalah, dan lain-lain.
b. Dzikir al qalbi
Yaitu dzikir dengan hati, maksudnya adalah bertafakur
merenungi ke Mahabenaran dan ke Mahabesaran Allah. Mengingat dan mengenang
kebijaksanaan, keutamaan, dan banyaknya nikmat Allah yag telah di anugerahkan
kepadanya. Ia selalu mengingat Allah di setiap waktu dan keadaan dibiarkan
berlalu begitu saja, kecuali di isi dan digunakannya untuk bertafakur (memikirkan) tentang penciptaan langit
dan bumi. Memikirkan keajaiban-keajaiban yang ada di dalamnya yang
menggambarkan kesempurnaan Allah dan kekuasaan Allah SWT.[8]
c. Dzikir al Jawarih
Yang dimaksud dengan dzikir al jawarih
atau dzikir dengan anggota badan adalah menjadikan seluruh panca indera dan
anggota badan tunduk dan patuh dalam melaksanakan segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangannya. Dzikir al jawarih contohnya seperti menuntut ilmu,
mencari rizki yang diridhai Allah, membersihkan sesuatu atau bersedekah dan
lain-lain.
Sedangkan
menurut orang sufi dzikir meliputi tujuh bentuk. Pertama, dzikir kedua
belah mata dengan menangis, kedua, dzikir kedua daun telinga dengan
mendengarkan ayat-ayat Allah, ketiga, dzikir lisan dengan memuji Allah, Keempat, dzikir
tangan dengan bersedekah, Kelima, dzikir badan dengan kejujuran dan memenuhi
segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Keenam, dzikir hati
dengan khuf dan raja’ (khawatir akan siksa dan azab Allah di akhirat serta
berharap keridhoan-Nya). Ketujuh, dzikir ruh dengan taslim dan rid’ (penyerahan diri seikhlas-ikhlasnya dan ridha atas segala
keputusan-Nya).
[1] Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Jakarta,
1973, hlm. 134
[2] WJS.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hlm.
250
[3] Hanna Djumhana
Bastaman, Integritas Psikologi denga Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997,
hlm. 158.
[4] Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag
RI, CV. Gema Risalah Press, Bandung, 1993, hlm. 82.
[5] Aboebakar Aceh,
Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Ramadhani, Semarang, 195, hlm. 347
[6] Yayasan
penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, op. cit., hlm. 391.
[7] Malik Fajar,
Kemanusiaan dalam Era Pasca Industrialisasi, ICMI WIL. Jawa Tengah, Auditorium
RRI, Semarang, 1992, hlm. 105.
[8] Tim Tashih
Departemen Agama, Al-Qur’an dan tafsirnya, Jilid V, Effhar Offset, Semarang,
1987, hlm. 105.
No comments:
Post a Comment