Pada
suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika
perahu itu berada ditengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu
itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
Nakhoda
memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkinkah
perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya
menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang
digunakan menyim-pan barang berharga.
Nakhoda
memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua orang
terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok
dan rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa si bayi mungil
itu, tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi itu ke tengah lautan,
sungguh orang yang tidak berperikemanusiaan.
Nakhoda
kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali.
Tapi perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke
Gresik ternyata perahu itu melaju dengan pesatnya.
“Ini
benar-benar kejadian gaib, kejadian diluar perhitungan manusia biasa. Pertama
hanya karena peti perahu ini tak dapat bergerak, kemudian setelah peti ini kita
buka perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke
Gresik ternyata perahu itu melaju dengan pesatnya.
Perahu
itupun melaju cepat ke arah Gresik. Tanpa ada halangan dan rintangan. Padahal
berdasarkan perhitungan, berlayar ke arah barat saat itu sama dengan menentang
gelombang dan badai.
Mereka
tiba di pelabuhan Gresik dengan selamat. Tetapi Nyai Ageng Pinatih merasa cemas
melihat kapal perahu dagang miliknya kembali lebih cepat dari biasanya. “Apa
yang terjadi? Mengapa kalian pulang secepatnya ini ?”
Lebih-lebih
setelah diperiksa barang dagangan masih utuh seperti semula. Nyai Ageng Pinatih
mulai naik pitam.
Nakhoda
perahu tak banyak bicara, dia perintahkan anak buahnya membawa peti berisi bayi
ke hadapan Nyai Ageng Pinatih.
“Peti
inilah yang menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat
meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,” kata sang Nakhoda.
“Hanya
karena peti? Apa isinya? Harta karun?” hardik Nyai Ageng Pinatih.
“Inilah
isinya," kata Nakhoda sembari membuka tutup peti itu. Sepasang mata Nyai
Ageng Pinatih terbelalak heran melihat bayi montok, sehat dan rupawan menggerak-gerakkan
tangannya sembari menatap ke arahnya.
“Bayi
………. ? Bayi siapa ini ?” guman Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu
dari dalam peti.
Begitu
diangkat bayi itu tampak tersenyum. Hati Nyai Ageng Pinatih berbinar-binar,
seketika itu juga dia merasa sangat suka pada si bayi. Lebih-lebih dia itu
adalah seorang janda yang tidak dikaruniai seorang putrapun.
“Kami
menemukannya di tengah samodra Selat Bali, jawab nakhoda kapal.
“Tengah
samodra ?” ulang Nyai Ageng Pinatih.
“Benar
Nyai Ageng.”
“Lalu
apa rencana kalian atas bayi ini ?”
“Banyak
di antara kami yang menyukai bayi itu dan mengambilnya sebagai anak. Tapi kami
tahu betapa lama Nyai Ageng mendambahkan seorang putra, maka lebih tepat
kiranya bila Nyai Ageng yang merawat dan membesarkan bayi itu.”
“Jelasnya
kalian berikan bayi ini kepadaku ?” Nyai Ageng menegaskan.
“Benar
Nyai Ageng.”
Nyai
Ageng Pinatih merasa sangat berterima kasih kepada nakhoda dan anak buahnya.
Memang sudah lama dia mengingingkan seorang anak. Sebagai ungkapan rasa
senangnya.... Kepada nakhoda dan anak buahnya.
Selanjutnya
bayi itu diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih, seorang janda kaya raya
yang disegani masyarakat Gresik. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra
maka Nyai Ageng Pinati kemudian memberinya nama Joko Samodra.
Nyai
Ageng Pinatih adalah seorang muslimah yang baik, walau Joko Samodra bukan anak
kandungnya dia merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Terlebih
Joko Samodra itu ternyata mempunyai sifat yang baik, kepada ibunya dia sangat
berbakti selalu bersikap menyenangkan hati. Kepada orang yang lebih tua dia
selalu menghormati dan menjunjung tinggi. Kepada teman-teman sebayanya dia tak
pernah menyakiti atau berbuat usil. Pendek kata Joko Samodra benar-benar
merupakan profil anak yang menjadi buah hati orang tua dan pantas dibanggakan
setiap orang tua. Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko
Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya.
Menurut
beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan
Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta
supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Dalam
beberapa minggu saja Sunan Ampel telah dapat mengetahui bahwa Joko Samodra
bukanlah anak sembarangan. Muridnya yang satu ini memiliki kecerdasan luar
biasa. Semua pelajaran yang diberikan mampu dicerna dan dihafal dalam tempo
yang tidak terlalu lama.
Pada
suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna
melaksanakan shalat tahajjud, mendoákan murid-muridnya dan mendoákan ummat agar
selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudlu Raden Rahmat menyempatkan diri
melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba
Raden Rahmat terkejut. Ada
sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau
tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid
yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada pada sarung
murid itu.
Esok
harinya, sesudah shalat subuh, Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
“Siapakah
di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan ?” Tanya
Sunan Ampel.
“Saya
Kanjeng Sunan ………." acung Joko Samodra.
Melihat
yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu
pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih
datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan ini digunakan Sunan Ampel untuk
bertanya lebih jauh tentang asal usul Joko Samodra. Nyai Ageng Pinatih menjawab,
"Sejujur-jujurnya.
Bahwa Joko Samodra di temukan di tengah Selat Bali ketika masih bayi."
Peti
yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di
rumah Nyai Ageng Pinatih.
Sunan
Ampel kemudian menyempatkan diri datang ke Gresik untuk melihat peti yang masih
tersimpan rapi itu. Berdasarkan pengamatan Sunan Ampel peti itu memang berasal
dari kalangan istana Blambangan, hal itu diketahui dari ciri-ciri ukiran dan
tanda khusus pada peti itu. Yakinlah Sunan Ampel bahwa Joko Samodra adalah
putra Syekh Maulana Ishak yang dibuang ke tengah samodra.
Teringat
pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan
Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti
dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel,
dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan
juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.
No comments:
Post a Comment