Kalam,
menurut ulama’ ahli Nahwu, adalah lafal yang bisa memberikan faidah dan
tersusun. Sedangkan Kalimah adalah lafal yang bisa memberikan faidah dan
sendirian atau tidak tersusun.
Didalam kalam harus terpenuhi
beberapa hal, diantaranya lafal, mufid (bisa memberikan faidah) dan wadl’u.[1]
Arti dari lafal adalah suara
yang mengandung sebagian dari huruf hija’iyyah, yang diawali dengan alif dan
diakhiri dengan ya’.
Lafal terbagi menjadi dua, yaitu Lafal
Muhmal dan Lafal Musta’mal.[2]
Lafal Muhmal adalah lafal
yang dibuat oleh pembuat bahasa tidak untuk menunjukkan pada makna, seperti
lafal (دَيْزٌ) yang merupakan kebalikan dari (زَيْدٌ).
Lafal Musta’mal adalah lafal
yang dibuat oleh pembuat bahasa untuk dapat menunjukkan pada makna, seperti (زَيْدٌ) yang menunjukkan pada orang yang
bernama Zaid.
Lafal Musta’mal terbagi lagi
menjadi tiga, yaitu lafal mufrad, lafal murakkab dan lafal
mu’allaf.[3]
Lafal Murakkab adalah lafal yang juz dari lafal itu tidak bisa menunjukkan pada makna dari lafal itu, namun bila dilihat dari sisi yang lain maka juz dari lafal itu bisa menunjukkan pada makna, seperti lafal (عَبْدُ اللهِ), karena kalau yang kita lihat pada penggabungan lafal itu adalah sebagai isim alam atau nama dari seseorang yang tidak akan bisa hasil dari bagiannya (: seperti, عَبْدٌ) penunjukan terhadap makna sama sekali, tetapi jika kita menjadikannya sebagai mudlaf-mudlaf ilaih, maka masing-masing dari lafal itu bisa menunjukkan pada makna, (: seperti عَبْدٌ maknanya adalah hamba).
Lafal Mu’allaf adalah lafal
yang dari segala sudut pandang, bagiannya bisa menunjukkan pada makna, seperti
lafal (اَلْعَالَمُ
حَادِثٌ).
Arti dari Mufid adalah lafal
itu bisa memberikan kepahaman kepada makna yang bisa diamnya orang yang diajak
bicara dianggap bagus, yaitu sekiranya orang yang mendengar tidak akan menunggu
pada perkara yang diqayyidi atau yang ditentukan dengan menunggu yang sempurna.
Seperti fi’il sudah menyebut fa’ilnya, mubtada’ sudah menyebut khabarnya dan
syarat sudah menyebut jawabnya, contoh (زَيْدٌ قَائِمٌ), (قَامَ
زَيْدٌ) dan (اِنْ قَامَ
زَيْدٌ قُمْتُ).[4]
Pada contoh-contoh tersebut
dinamakan mufid yang menunjukkan kepahaman pada arti (“Zaid berdiri”) (“Zaid
sudah berdiri”) dan (“jika Zaid berdiri, maka aku akan berdiri”),
sehingga diamnya orang yang mendengarnya dianggap baik, karena setalah
mendengar ucapan itu dia sudah langsung paham dan tidak lagi menunggu ucapan
mutakallim dengan sempurna lagi.
Dari kata “dengan menanti yang
sempurna” di atas, dapat kita pahami bahwa fi’il muta’addi yang sudah
menyebutkan fa’ilnya dan belum menyebutkan maf’ulnya bisa dikatakan mufid,
karena dalam menanti maf’ulnya membutuhkan waktu sedikit tidak selama kita
menantikan fa’il.
Perkara yang didengar yang bisa
memberikan faidah ada empat macam, yaitu adakalanya lafalnya tersusun dan makna-nya
juga tersusun, seperti (اَلْإِنِسَانُ حَيَوَانٌ) “manusia adalah hewan.”
Adakalanya lafalnya mufrad dan maknanya mufrad, seperti lafal (اللهُ) “Allah.” Adakalanya
lafalnya mufrad dan maknanya tersusun, seperti lafal (اِنْسَانٌ), karena lafal itu adalah mufrad
dan maknanya tersusun dari beberapa kompenen yang sangat banyak. Dan adakalanya
lafalnya tersusun dan maknanya mufrad, bagian ini adalah muhal adanya.
Arti dari musnad adalah
menggabungkan kalimah pada kalimah yang lainnya dengan cara yang bisa memberikan
faidah, seperti menggabungkan fi’il dan fa’il, dan mubtada’ dan khabarnya.[5]
Sehingga yang bisa dikatakan musnad dalam definisi ini hanyalah murakkab isnadi
atau jumlah.
Arti wadla’ adalah dalam mengucapkan lafal itu
harus disengaja serta dengan menggunakan bahasa Arab. Jadi, ucapan orang yang
mengigau, ucapan yang tidak meng-gunakan bahasa arab dan ucapan burung yang
dilatih tidak bisa dinamakan kalam menurut ulama’ ahli Nahwu.[6]
Tanbih
:
Definisi kalam bila ditinjau dari
istilah para ulama’ berbeda-beda,[7]
a. Menurut ahli lughat
Kalam adalah setiap perkara yang bisa memberikan faidah,
baik berupa tulisan, isyarah, genggaman tangan untuk menunjukkan hitungan,
mihrab untuk menunjukkan arah kiblat, kayu dibuat untuk tempat sandal atau
berupa lisanul haal (atau bahasa tubuh), seperti gerakan mondar-mandir
menunjukkan kebingungan, dan seperti syair,
اَشَارَتْ
بِطَرْفِ الْعَيْنِ خِيْفَةَ
اَهْلِهاَ * اِشَارَةَ مَحْـزُوْنٍ وَ لَـمْ تَتَكَلَّمِ
فَأَيْقَنْتُ
اَنَّ الطَّرْفَ قَدْ قَالَ مَرْحَباً
* وَ اَهْلاَ وَ سَهْلاً
بِالْحَبِيْبِ الْمُتَيَّمِ
“Dia (perempuan) berisyarah dengan matanya karena takut kepada
keluarganya // seperti isyarahnya orang yang sedang dilanda kesusahan dan dia
tidak bisa berkata-kata.
Kemudian aku yakin kalau matanya mengucapkan, “Selamat
datang // wahai kekasih yang aku damba.”
Dan juga kata hati bisa digolongkan
kalam, seperti syair,
اِنَّ الْكَلاَمَ
لَفِي الْفُؤَادِ وَ اِنَّمَا * جُعِلَ اللِّسَانُ عَلَى الْفُؤَادِ دَلِيْلاَ
“Sesungguhnya
kalam berada didalam hati // dan sesungguhnya lidah dijadikan sebagai
petunjuknya hati.”
b. Menurut ulama fiqih
Kalam adalah setiap ucapan yang bisa
membatalkan shalat, baik berupa satu huruf yang bisa memahamkan atau berupa dua
huruf meskipun tidak memahamkan, seperti perkataan (قِ) yang berarti, “jagalah dirimu.”
c. Menurut ulama mutakallim
Kalam adalah ungkapan dari sifat
yang qadim (awal tanpa permulaan) yang berada dalam dzatnya Allah yang tidak
berupa huruf dan suara.
d. Menurut ulama ahli ushul
Kalam adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw untuk mengalahkan musuh-musuhnya dan termasuk ibadah bila membacanya.
No comments:
Post a Comment