Kata
“keluarga” menurut makna sosiologi (Family-Inggris) berarti
kesatuan kemasyarakatan (sosial) berdasarkan hubungan perkawinan atau pertalian darah.[1]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan “Keluarga”: ibu bapak dengan anak-anaknya, satuan kekerabatan
yang sangat mendasar di masyarakat.[2]
Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun di atas
perkawinan/pernikahan terdiri dari ayah/suami, ibu/istri dan anak. Pernikahan
sebagai salah satuproses pembentukan suatu keluarga, merupakan perjanjian
sakral (mitsâqanghalidhâ) antara suami dan istri.[3]
Menurut
Abu Zahra bahwa institusi keluarga mencakup suami, istri, anak-anak dan keturunan mereka, kakek,
nenek, saudara-saudara kandung dan anak-anak mereka, dan mencakup pula saudara
kakek, nenek, paman dan bibi serta anak mereka (sepupu).[4]
Menurut psikologi, keluarga bisa diartikan sebagai dua orang yang berjanji
hidup bersama yang memiliki komitmen atas dasar cinta, menjalankan tugas dan fungsi
yang saling terkait karena sebuah ikatan batin.[5]
Kata
sakînah (Arab) mempunyai arti ketenangan dan ketentraman jiwa. Kata ini disebutkan
sebanyak enam kali dalam al-Qur’an, yaitu pada
surat al-Baqarah (2):248, surat
at-Taubah (9):26 dan 40, surat al-Fath (48): 4, 18, dan 26. Dalam ayat-ayat
tersebut dijelaskan bahwa sakînah itu didatangkan Allah SWT ke dalam hati para Nabi
dan orang-orang yang beriman agar tabah dan tidak gentar menghadapi tantangan,
rintangan, ujian, cobaan, ataupun musibah. Sehingga sakînah dapat juga dipahami
dengan “sesuatu yang memuaskan hati”.[6]
Istilah
“keluarga sakînah” merupakan dua kata yang saling melengkapi; kata sakinah sebagai kata
sifat, yaitu untuk
menyifati atau menerangkan
kata keluarga.
Keluarga
sakînah digunakan dengan pengertian keluarga yang tenang, tentram, bahagia, dan sejahtera lahir batin.
Munculnya
istilah keluarga sakînah ini sesuai dengan firman Allah surat ar-Rûm (30): 21, yang menyatakan bahwa tujuan berumah
tangga atau berkeluarga adalah untuk mencari ketenangan dan ketentraman atas dasar
mawaddah dan rahmah, saling mencintai, dan penuh rasa kasih sayang antara suami
istri.
Dalam keluarga sakînah, setiap anggotanya merasakan suasana
tentram, damai, bahagia, aman, dan sejahtera lahir dan batin. Sejahtera
lahir adalah bebas dari kemiskinan harta dan tekanan-tekanan penyakit
jasmani. Sedangkan sejahtera batin adalah bebas dari kemiskinan iman, serta mampu mengkomunikasikan nilai-nilai keagamaan dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat.[7]
Rumah
tangga adalah suatu lembaga dimana laki-laki dan perempuan bertemu, untuk
melakukan aktifitas bersama.
Lembaga ini adalah perwujudan hak dan kewajiban
seseorang. Artinya, kita
berhak untuk berumah tangga, karena disanalah kita akan memperoleh kebahagiaan kita. Tapi kita juga berkewajiban untuk berumah
tangga, karena didalamnya terdapat visi dan
misi mulia yang diberikan Allah kepada kita untuk
melestarikan kehidupan manusia di muka bumi.[8]
Karena
rumah tangga adalah organisasi, maka ia harus memiliki hirarki diantara anggotanya
sekaligus aturan main dalam berorganisasi, dan begitulah Islam memberikan petunjuknya.[9]
Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakînah, mawaddah,
warahmah. Untuk lebih memahaminya, maka
kita perlu mencermatinya
pengertian dari masing-masing kata sakînah, mawaddah dan rahmah sebagai
berikut:
1. Sakînah
Dari
sejumlah ungkapan yang diabadikan dalam al-Qur’an tentang sakînah, maka muncul
beberapa pengertian, sebagai berikut:
a)
Al-Isfahan (ahli fiqh dan tafsir)
mengartikan sakînah dengan
tidak adanya rasa gentar dalam
menghadapi sesuatu;
b)
Menurut al-Jurjani (ahli bahasa), sakînah adalah adanya ketentraman dalam hati pada
saat datangnya sesuatu
yang tidak diduga, dibarengi satu
nûr (cahaya) dalam hati yang memberi ketenangan
dan ketentraman pada yang menyaksikannya, dan merupakan keyakinan berdasarkan
penglihatan (ain al -yaqîn).
c)
Ada pula yang menyamakan sakînah itu dengan kata rahmah dan thuma’nî nah,
artinya tenang, tidak gundah dalam melaksanakan ibadah.[10]
Makna tentram
yaitu tidak terjadi
percekcokan, pertengkaran, atau apalagi perkelahian, ada kedamaian tersirat didalamnya. Boleh jadi masalah datang
silih berganti, tetapi bisa diatasi dengan hati dan kepala dingin. Ketentraman hanya
bisa muncul jika anggota keluarga itu memiliki persepsi yang sama tentang tujuan
berkeluarga. Jika tidak, yang terjadi adalah perselisihan dan pertengkaran. Si
suami ingin ke barat, sang istri ingin ke timur, si suami mengira itu baik, sang istri sebaliknya, dan seterusnya. Bagaimana mungkin rumah tangga demikian bisa tentram.
Maka ketentraman hanya akan muncul jika suami istri dan anak memiliki persepsi yang sama tentang segala hal yang berkait dengan aktifitas kaluarga. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Setidak-tidaknya
lakukanlah hal-hal berikut ini:
a.
Melakukan komunikasi
b.
Menjaga kejujuran
c.
Membangun toleransi
d.
Berusaha saling memberi.[11]
2. Mawaddah/cinta
Rumah
tangga idaman muslim, selain memberikan ketentraman atau sakînah, juga penuh dengan rasa cinta
atau mawaddah. Perasaan cinta adalah fitrah antara laki-laki dan perempuan. Allah
mengistilahkan sebagai sebuah “kecenderungan” untuk saling tertarik, dan
kemudian tentram karenanya.[12]
Mawaddah
terambil dari akar kata yang maknanya berkisar
pada “kelapangan dan kekosongan”. Mawaddah adalah kelapangan dada dan
kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Ia
adalah cinta plus yang sejati. Bukankah yang mencintai disamping
akan terus berusaha mendekat-sesekali hatinya kesal juga, akankah cintanya pudar? Mawaddah tidak demikian, ia bukan sekadar cinta,
mawaddah adalah “cinta plus”, karena itu yang didalam hatinya bersemai mawaddah
tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada yang
bercinta.
Ini
disebabkan oleh karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari
pasangannya). Begitu kurang lebih komentar pakar al-Qur’an, Ibrahim al-Biqâi
tentang mawaddah. Mawaddah
adalah cinta yang tampak dampaknya pada perlakuan serupa
dengan tampaknya kepatuhan akibat rasa kagum dan hormat pada seseorang.[13]
3. Rahmah/kasih sayang
Rahmah
adalah kondisi psikologis yang muncul didalam hati akibat menyaksikan ketidak-berdayaan, sehingga
mendorong yang bersangkutan untuk melakukan
pemberdayaan. Karena itu -dalam
kehidupan keluarga masing-masing suami istri, akan sungguh-sungguh, bahkan
bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala
yang mengganggu dan mengeruhkannya.
Rahmah
menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu. Pemiliknya tidak angkuh, tidak mencari
keuntungan sendiri, tidak juga pemarah apalagi
pendendam. Ia menutupi segala sesuatu dan sabar menanggung segalanya.[14]
Dengan
pernikahan, ikatan mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang) antara suami dan istri akan semakin bertambah. Masing-masing merasakan ketenangan, kelembutan dan keramahan serta mendapatkan kebahagiaan
di bawah naungan satu dengan yang lain. Suami
yang selesai bekerja, kemudian kembali ke rumahnya di sore hari dan berkumpul bersama keluarga, ia akan melupakan semua duka yang ia
temui di siang hari dan segala kelelahan yang dirasakannya pada waktu bekerja,
demikian pula istrinya.
Demikianlah
masing-masing dari suami-istri tersebut, satu sama lain menemukan ketenangan
jiwa pada saat perjumpaannya. Keduanya
saling merasakan kedamaian hati dan kegembiraan pada detik-detik pertemuan. Di
lain pihak, anggotakeluarga lainnya juga merasa tentram disebabkan perhatian
dan tanggung jawab sang ayah. Semua tugas
dan peran masing-masing pihak dalam keluarga
dijalankan dengan baik, sehingga akan senantiasa hadir keharmonisan
hidup.[15]
Oleh
karena itu, apabila suami istri ingin mencapai keharmonisan dan mempertahankan mahligai keluarga dari hantaman ombak samudera, keduanya harus mampu memahami
kembali makna pernikahan dan konsep berkeluarga. Selain itu, keduanya harus
menghayati nilai-nalai yang mampu mendatangkan keniscayaan, mawaddah, dan rahmah
yang secara konsisten dijabarkan dalam
setiap dimensi kehidupan berkeluarga. Konsep tersebut itulah yang sering
dikenal dengan 3T yaitu: tâ’aruf (mengenal), tafâhum (saling memahami), dan takâful (senasib sepenanggungan). Nilai-nilai
inilah yang harus dimiliki oleh suami
istri untuk membangun, menerjemahkan hak
dan kewajiban dalam setiap derap
langkah keluarga.[16]
Suatu
pernikahan, pada prinsipnya memberikan kebaikan dari para pelakunya. Kebaikan tersebut meliputi hak adami sampai kepada
hubungannya kepada Allah SWT karena mempunyai nilai ibadah kepada Allah.
Dengan demikian, pernikahan selain mempunyai hukum tertentu, juga sebagai sarana kebaikan. Oleh
karena itu, jika suatu pernikahan semakin menambah permusuhan, tidak adanya
kedamaian, dan semakin menambah lahan maksiat, maka berarti pernikahan tersebut
tidak membawa kepada sakînah.[17]
[1] Lihat: Zaitunah
Subhan, Membina Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), 3.
[2] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., 471.
[3] Mufidah CH,
Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang, UIN Malang Press), 38.
[4] Muhammad Abu Zahra,
Tanzib al Islam li al-Mujtama’, dalam Mufidah CH, Loc. Cit.
[5] Mufidah CH, Loc.
Cit.
[6] Zaitunah Subhan,
Op. Cit, 3.
[7] Ibid, 6.
[8] Agus Mustofa, Op.
Cit., 130.
[9] Ibid, 132.
[10] Zaitunah Subhan,
Op. Cit, 5.
[11] Agus Mustofa, Op.
Cit, 167-169.
[12] Ibid, 175.
[13] Quraish Shihab,
Pengantin al -Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 88.
[14] Ibid, 91-92.
[15] Tim Al-Manar, Fikih
Nikah Panduan Syar’i Menuju Rumah Tangga Islami, (Bandung: PT Syaamil Cipta
Media, 2007), 5.
[16] Ibid, 69.
[17] Anshori Fahmi,
Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?, (Bandung, Pustaka Iiman, 2007), 31.
No comments:
Post a Comment