Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang
harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an
yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
S.
Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan
konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan
penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh
Nabi Muhammad saw.[1]
Kebijakan-kebijakan
beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan
kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat. Sehingga
sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah
satu metode Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan
ini.
1. Pengertian Adat Menurut Islam
Secara bahasa Al-adatu terambil dari
kata al-audu dan al-muaawadatu yang berarti pengulangan. Oleh karena
itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang
dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah
al-‘adah adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan.[2]
2. Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia
sering disinonimkan dengan adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata
ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima
oleh tabiat dan akal sehat manusia.[3]
Meskipun
arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya
keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila
berpisah maka artinya sama. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna
kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan ’urf
itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak
terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan
dengannya.
Dalam kajian ushul fiqh, ‘urf adalah
suatu kebiasaan masyarakat yang sangat dipatuhi dalam kehidupan mereka sehinga mereka
merasa tentram. Kebiasaan yang telah berlangsung lama itu dapat berupa ucapan dan
perbuatan, baik yang bersifat khusus maupun yang bersifat umum, dalam konteks
ini, istilah ‘urf sama dan semakna dengan istilah al-‘adaah (adat
kebiasaan).[4]
3. Dalil Kaidah Al-Qur’an
"Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf." (QS. Al-Baqarah : 180)
Maksud
dan ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia
yang berlaku. Dalam salah satu Hadist yang
diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan,
“Apa yang dipandang baik
oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik.”
Hadist
tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi
masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat
dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).[5]
Jadi,
karakteristik hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqi’iyah
(kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan penetapannya sangat memperhatikan
tradisi, kondisi sosiokultural, dan tempat
masyarakat sebagai objek (khitab),
dan sekaligus subjek
(pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam
menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan
perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat.
Tradisi,
kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan
dari manusia (masyarakat). Oleh
karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.
Tujuan
utama syari’at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia
sebagaimana di kemukakan as-Syatibi akan teralisir dengan konsep tersebut. Pada
gilirannya syari’at hukum Islam dapat akrab, membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus
meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. Sehingga dengan metode al-’urf ini,
sangat diharapkan berbagai macam problematika kehidupan dapat dipecahkan dengan
metode ushl fiqh
salah satunya al-’urf, yang
mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-Quran
dan as-Sunnah.[6]
4. ‘Urf Ditinjau dari Segi Objeknya
Dari segi obyeknya ‘Urf (adat
kebiasaan) dibagi pada al-‘urf al-lafzhi (adat kebiasaan/kebiasaan yang
menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-‘amali (adat istiadat/kebiasaan yang berbentuk
perbuatan).[7]
a.
Al-‘Urf al-lafzhi adalah adat atau kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan
ungkapan tertentu dalam meredaksikan sesuatu. Sehingga makna ungkapan itulah yangdipahami
dan terlintas dalam pikiran masyarakat.
b.
Al-‘Urf al-‘amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud dengan “perbuatan biasa” adalah perbuatan
masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan
orang lain.
5. ‘Urf Ditinjau dari Segi Cakupannya
Dari segi cakupannya, ‘Urf dibagi dua,
yaitu al-‘am (adat yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (adat
yang bersifat khusus).[8]
a.
Al-‘Urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah.
b.
Al-‘Urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
6. ‘Urf Ditinjau dari Segi
keabsahannya
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,
‘urf dibagi dua yaitu al-‘urf al-shahih
(adat yang sah) dan al-‘urf al-fasid (adat
yang dianggap rusak).[9]
a.
Al-‘urf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat
yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.
b.
Al-‘urf al-fasid adalah suatu kebiasaan yang telah berjalan dalam masyarakat,
tetapi kebiasaan itu bertentangandengan ajaran Islam atau menghalalkan yang
haram.[10]
7. Syarat-syarat ‘Urf
Syarat-syarat ‘urf dapat diterima oleh
hukum Islam adalah dengan:
a.
Tidak ada dalil yang khusus untuk suatu masalah baik dalam al Qur’an atau as
Sunnah.
b.
Pemakaian tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’at termasuk juga tidak
mengakibatkan mafsadat, kesulitan atau kesempitan.
c. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang
saja.[11]
‘Urf
sebagai landasan penetapan Hukum atau ‘Urf sendiri yang ditetapkan sebagai hukum bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan dan kemudahan,
terhadap kehidupan manusia. Dengan berpijak pada kemaslahatan ini pula manusia
menetapkan segala sesuatu yang mereka senangi dan mereka kenal. Adat kebiasaan seperti ini telah mengakar dalam
masyarakat sehingga sulit ditinggalkan karena terkait dengan berbagai
kepentingan hidup mereka.[12]
8. Kehujjahan ‘Urf dalam Hukum Islam
Para ulama berpendapat bahwa ‘urf yang
shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim
untuk menetapkan hukum atau keputusan Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan
perbuatan-perbuatan penduduk madinah.
Berarti
menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan
ketentuan tidak bertentangan dengan syara’ Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim
dan Qoul Jadid-nya, karena melihat praktek yang berlaku pada masyarakat
Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan ‘urf yang fasid tidak dapat
diterima, hal itu jelas karena bertentangan dengan syara’ nash maupun ketentuan
umum nash.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
‘urf dapat dipakai sebagai dalil mengistimbatkan hukum. Namun, ‘Urf
bukan dalil yang berdiri sendiri, ia menjadi dalil karena ada yang mendukung
dan ada sandarannya, baik berbentuk ijma’, maupun maslahat.[13]
[1] Amir Syarifudin,
Ushul Fiqh Metode
mengkaji dan memahami
Hukum Islam secara
Komprehensif, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), 93.
[2] Amir Syarifudin,
Ushul Fiqh Metode
mengkaji dan memahami
Hukum Islam secara
Komprehensif, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), 93.
[3] Amir Syarifudin.
Ibid. 93.
[4] Amir Syarifudin.
Ibid. 93.
[5] Point of
View in Islam.
Al-‘Urf sebagai salah satu
metode Ushul Fiqih
dalam meng-Istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan . htm
[6] Point of View in
Islam. Ibid.
[7] Abdul Wahhab
Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996), 134
[8] Abdul Wahhab
Khallaf, Ibid. 134
[9] Abdul Wahhab
Khallaf, Ibid. 134.
[10] Amir Syarifudin, Op
cit, 96
[11] Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian,
perkembangan, dan Penerapan H ukum
Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 89
[12] Amir Syarifudin, Op
cit, 100
[13] Amir Syarifudin, Op
cit, 107
No comments:
Post a Comment