Dalam
al-Qur’an surat an-nahl ayat 123 dijelaskan tentang firman Allah Swt. yang
menjelaskan bahwa: “Kemudian kami wahyukan engkau (Muhammad), hendaknya engkau
ikuti ajaran Ibrahim sebagai seorang
hanif, dia bukanlah tergolong kaum yang musyrik.
Jadi
dengan jelas tergambarkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah
agama Ibrahim yang hanif dan muslim, dengan demikian agama Nabi Muhammad adalah
“kembali ke dasar” yakni kembali pada agama Nabi Ibrahim yang menyerukan
tentang ajaran tauhid yaitu keyakinan akan keesaan Allah Swt., namun kemudian
terjadi perkembangan-perkembangan baru pada agama tersebut yang tidak selamanya
sesuai dengan dasar agama tersebut.
Ini
berarti ada garis kelanjutan antara agama Nabi Muhammad saw dengan agama-agama
sebelumnya, serta sekaligus ada garis kemurnian dan pengembangan, dan Nabi
Ibrahimlah yang tampil sebagai orang pertama yang mengetengahkan secara
sistematis faham ketuhanan yang Maha Esa (tauhid) dan konsep kehanifan
(hanifiyyah).
Karena
itu, garis kontinuitas agama Nabi Muhammad dengan agama-agama sebelumnya secara
efektif dimulai dari titik ajaran Ibrahim. Itulah sebabnya Allah Swt.
memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengikuti agama Ibrahim yang hanif itu.
Dan
sebagian karakteristik utama kehanifan itu ialah kelapangan (samhah) yang tulus
dan bersih, yang fitri dan alami. Maka kehanifan dan kemusliman disebut agama
fitrah. Karena titik pangkal efektif dari kelanjutan agama itu ialah ajaran
Nabi Ibrahim yang hanif, maka Nabi Muhammad menegaskan bahwa “sebaik-baik agama
ialah kehanifan yang lapang”.
Kelapangan
atau samhah merupakan bagian integral dari kehanifan, karena kehanifan sebagai
naluri paling mendalam pada manusia untuk mencari, merindukan, dan akhirnya
memihak atau condong kepada kebenaran, kesucian dan kebaikan harus dibiarkan
bekerja dan berproses secara lapang, justru untuk keberhasilan yang murni dalam
mencapai tujuannya.
Segi
kelapangan ini juga ditegaskan oleh Nabi dalam sebuah hadits, “hari ini biarlah
kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita terdapat kelapangan. Sesungguhnya aku
diutus dengan kehanifan yang lapang”.[1]
Jadi
monotheisme yang diajarkan oleh Ibrahim bukanlah sekedar merupakan hakikat
keagamaan yang benar, akan tetapi sekaligus merupakan penunjang akal ilmiah
manusia yang lebih tepat, lebih teliti dan lebih meyakinkan.[2]
Wajar
jika beliau dijadikan teladan untuk seluruh umat manusia, seperti yang
ditegaskan di al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 127: “Dan (ingatlah) ketika
Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Ismail (seraya
berdo’a) “ya Allah Tuhan kami terimalah dari pada kami (amalan kami)
sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui.
Keteladanan
tersebut, diwujudkan dalam bentuk ibadah haji dengan berkunjung ke Mekkah,
karena beliaulah bersama putranya Ismail yang membangun (kembali)
fondasi-fondasi ka’bah, dan beliaulah yang diperitahkan untuk mengumandangkan
syari’at haji.
Keteladanan
yang diwujudkan dalam bentuk ibadah tersebut dan yang praktek-praktek ritualnya
berkaitan dengan peristiwa yang dialami oleh beliau dan keluarganya, pada
hakikatnya merupakan penegasan kembali dari setiap jama’ah haji.
Tentang
keterkaitannya dengan prinsip-prinsip keyakinan yang dianut oleh Nabi Ibrahim,
intinya adalah sebagai berikut:
1.
Pengakuan akan keEsaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala macam dan
bentuk kesyirikan, baik berupa patung-patung, bintang, bulan,dan matahari bahkan juga segala sesuatu selain
Allah Swt..
2.
Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini yang
puncaknya akan diperoleh setiap makhluk kelak pada hari kebangkitan.
3. Keyakinan tentang manusia yang bersifat
universal, tiada perbedaan di dalam kemanusiaan seseorang dengan yang lainnya,
betapapun terdapat perbedaan antara mereka dalam hal-hal lain.
Ketiga
ajaran ini tercermin dengan jelas atau dilambangkan dalam praktek-praktek
ibadah haji ajaran Islam. Keyakinan akan keesaan Tuhan juga mengantar manusia
menyadari bahwa semua manusia berada dalam kedudukan yang sama dari segi nilai
kemanusiaan. Karena mereka semua diciptakan dan berada di bawah kekuasaan Allah
Swt.[3]
Keterkaitan
antara keyakinan akan keesaan Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan
ditunjukkan dalam al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 yaitu:
“Hai manusia,
sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah Swt. ialah
orang yang paling bertaqwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Swt. Maha
Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.[4]
Agama
Islam selalu menegaskan bahwa seluruh semangat ajarannya berpusat pada paham
yang Maha Esa itu, yang secara istilah disebut tauhid. Sepanjang ajaran Islam,
tauhid itulah ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa secara sebenarnya. Yang
pengajarannya secara lebih dimulai oleh
Nabi Ibrahim, nenek moyang bangsa Israel (Yahudi) dan bangsa Arab (terutama
Quraisy). Meskipun agama Islam menyerukan manusia pada ketuhanan yang Maha Esa
melalui ajakan dakwah, namun ia dengan tegas menganut paham tidak boleh ada
paksaan dalam agama.
Karena
itu dapatlah dikatakan bahwa melaksanakan prinsip tidak boleh ada paksaan dalam
agama, sepanjang ajaran Islam berarti memenuhi konsekuensi paham tauhid atau
ketuhanan yang Maha Esa secara benar.[5]
Jadi
dapat disimpulkan tentang makna hanif
dalam penafsiran modern (Quraish Shihab) yaitu bahwa agama Islam merupakan kelanjutan
dari agama hanif yang telah dibawa oleh Nabi Ibrahim yang ajarannya
dilestarikan kembali oleh Nabi Muhammad sampai sekarang ini.
Karena
perjalanan waktu yang cukup panjang, penduduk Mekkah melupakan inti dari ajaran
Nabi Ibrahim dan Ismail, meskipun mereka mempertahankan upacara-upacara ritual
keagamaan lahiriahnya (seperti haji, qurban, dan lain-lain).
Tapi
ada juga sejumlah kecil orang Mekkah yang masih bertahan dengan agama kehanifan
Ibrahim. Salah seorang dari mereka adalah Zaid Ibnu Umar Ibn Naufayl. Suatu
saat ia terlihat oleh Asma’ binti Abu Bakar berdiri dengan menyandarkan
punggungnya ke ka’bah lalu berseru: “wahai masyarakat Quraisy, demi Allah Swt.
tidak seorangpun dari kamu ada pada agama Ibrahim selain aku!”
Zaid
ini sealalu menolong anak perempuan yang dikubur hidup-hidup, dan selalu
berseru kepada setiap orang yang hendak membunuh anak perempuannya, “Jangan kau
bunuh dia! aku akan menanggung hidupnya!” Lalu ia ambil anak itu untuk
dipeliharanya, dan nanti jika sudah besar ia akan berkata pada ayahnya, dan
berkata, “Kalau engkau mau, kukembalikan anak ini padamu. Dan kalau kau mau aku
akan tanggung nafkahnya”.[6]
Karena
Ibrahim adalah hamba kebenaran yang mengikuti jalan lurus/hanif dan kesetaraan
sosial, cinta kasih serta persaudaraan, berarti dia (Ibrahim) mengikuti Islam
yang secara harfiah berarti ketundukan seseorang yang jujur kepada Allah Swt.
yaitu menjalankan ajaran agama secara benar. Dan Islam adalah agama yang benar
yang diridhoi oleh Allah Swt yang berdasarkan paham tauhid. Konsep tauhid pada
dasarnya memfokuskan pada kalimat “Laa Illaha Illa Allah” (tiada Tuhan selain
Allah).
[1] Olaf Scumann dan
Dr. Nur Cholish Madjid, Nabi Ibrahim Sebagai Bapak Orang Beriman, (Jakarta :
Paramadina, 1977), hlm. 16-19.
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan,
2000), hlm. 331
[3] Ibid., hlm. 332 –
333
[4] Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an,
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, (Jakarta : PT. Serajaya
Santra, 1987), hlm. 847
[5] Nurcholis Madjid, Cita-cita
Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1997), hlm. 76-77
[6] Olaf Scumann dan
Dr. Nur Cholish Madjid, op.cit., hlm. 20.
No comments:
Post a Comment