Nikah Mut’ah
menjadi varian dalam pernikahan yang diatur oleh Islam yang diperdebatkan
keabsahannya antara kaum Sunni dan Syi’ah. Secara umum (mayoritas mutlak), kaum
Sunni menganggap pernikahan mut’ah adalah jenis pernikahan yang tidak sah atau
haram berdasarkan keterangan hadis, fatwa Umar ibn Khattab dan Ijma’ ulama
Sunni. Sedangkan kaum Syi’ah, khususnya Syi’ah Itsna ‘Asy’ariyah (Syi’ah Imam
Dua Belas), menganggap pernikahan muth’ah adalah boleh atau halal, walaupun
dalam prakteknya mereka berbeda pada beberapa sisi pelaksanaannya.
Di Indonesia,
karena mayoritas umat Islam adalah kaum Sunni, maka pandangan terhadap nikah
muth’ah sejalan dengan pandangan kaum Sunni secara umum, yaitu pernikahan jenis
ini adalah terlarang. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI
(Kompilasi Hukum Islam Indonesia) tidak memberi ruang sedikitpun terhadap
praktek nikah mut’ah di Indonesia. Sehingga, dalam masyarakat Muslim Indonesia,
sangat jarang dijumpai praktek nikah muth’ah, kecuali hanya sedikit
dipraktikkan oleh kalangan Syi’ah Indonesia dan beberapa kelompok kecil
lainnya. Beberapa mahasiswa Bandung dan Yogyakarta dilaporkan telah melakukan
praktek nikah muth’ah yang setelah diteliti ternyata motifnya adalah faktor
ekonomi.
Nikah mut’ah di
Indonesia sampai hari ini bukanlah gejala yang mengkhawatirkan yang perlu
disikapi secara lebih. Pandangan kaum Sunni yang secara tegas mengharamkan
nikah mut’ah, telah menjadi pemahaman mainstream (arus besar) umat Islam di
Indonesia. Andaikan kajian tentang nikah mut’ah masih diperlukan, maka ini
hanya sebatas kajian komparatif antara pemahaman Sunni dan Syi’ah tentang nikah
muth’ah.
1. Pengertian
Nikah Mut’ah
Nikah Mut’ah
adalah sebuah pernikahan yang dinyatakan berjalan selama batas waktu tertentu.
Disebut juga pernikahan sementara (al-zawaj al-mu’aqqat). Menurut Sayyid Sabiq,
dinamakan mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara
waktu saja. Mut’ah merupakan perjanjian pribadi dan verbal antara pria dan
wanita yang tidak terikat pernikahan (gadis, janda cerai maupun janda ditinggal
mati).
Dalam nikah
mut’ah, jangka waktu perjanjian pernikahan (ajal) dan besarnya mahar (mas
kawin) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang
hendak dinikahi (mahr, ajr), dinyatakan secara spesifik dan eksplisit. Seperti
dinyatakan di muka, tujuan nikah mut’ah adalah kenikmatan seksual (istimta’),
sehingga berbeda dengan tujuan penikahan permanen, yaitu prokreasi (taulid
an-nasl).
Hanya sedikit
kewajiban timbal-balik dari pasangan nikah muth’ah ini. Pihak laki-laki tidak
berkewajiban menyediakan kebutuhan sehari-hari (nafaqah) untuk isteri
sementaranya, sebagaimana yang harus ia lakukan dalam pernikahan permanen.
Sejalan dengan itu, pihak isteri juga mempunyai kewajiban yang sedikit untuk
menaati suami, kecuali dalam urusan seksual.
Dalam pernikahan
permanen, pihak isteri, mau tidak mau, harus menerima laki-laki yang menikah
dengannya sebagain kepala rumah tangga. Dalam pernikahan mut’ah, segala sesuatu
tergantung kepada ketentuan yang mereka putuskan bersama. Dalam pernikahan permanen,
pihak isteri atau suami, baik mereka suka atau tidak, akan saling berhak
menerima warisan secara timbal balik, tetapi dalam pernikahan mut’ah keadaanya
tidak demikian.
2. Pandangan
Kaum Sunni
Seperti telah
dinyatakan di muka, pandangan kaum Sunni terhadap nikah mut’ah sangat jelas,
yakni haram. Alasan keharamannya adalah karena pernikahan model seperti ini
tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang dinyatakan dalam al-Qur’an.
Disamping itu, pernikahan mut’ah juga bertentangan dengan ketentuan dalam
pernikahan yang telah dinyatakan dalam al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu dalam
masalah thalaq, 'iddah dan warisan.
Diantara
ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi dasar tujuan pernikahan di antaranya adalah:
QS Adz-Dzariyat
[51]: 49
وَمِنْ كُلِّ
شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
QS An-Nisa’ [4]:
1
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
Q.S. Ar-Rum
[30]: 21
وَمِنْ ءَايَاتِهِ
أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Hadis-hadis yang
dipergunakan oleh kaum Sunni untuk mengharamkan nikah mut’ah di antaranya
adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ
أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي
الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ
سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا و حَدَّثَنَاه أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَبْدِ
الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْبَابِ وَهُوَ يَقُولُ
بِمِثْلِ حَدِيثِ ابْنِ نُمَيْرٍ
حَدَّثَنَا أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَبْدِ
الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ
الْوَدَاعِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْعُزْبَةَ قَدِ اشْتَدَّتْ
عَلَيْنَا قَالَ فَاسْتَمْتِعُوا مِنْ هَذِهِ النِّسَاءِ فَأَتَيْنَاهُنَّ فَأَبَيْنَ
أَنْ يَنْكِحْنَنَا إِلَّا أَنْ نَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا
فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
اجْعَلُوا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا فَخَرَجْتُ أَنَا وَابْنُ عَمٍّ لِي
مَعَهُ بُرْدٌ وَمَعِي بُرْدٌ وَبُرْدُهُ أَجْوَدُ مِنْ بُرْدِي وَأَنَا أَشَبُّ
مِنْهُ فَأَتَيْنَا عَلَى امْرَأَةٍ فَقَالَتْ بُرْدٌ كَبُرْدٍ فَتَزَوَّجْتُهَا
فَمَكَثْتُ عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ ثُمَّ غَدَوْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْبَابِ وَهُوَ يَقُولُ
أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ أَلَا
وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ
مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيلَهَا وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ
شَيْئًا
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ قَالَ أَخْبَرَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ
الْجُهَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَيْنَا عُمْرَتَنَا قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَمْتِعُوا مِنْ هَذِهِ النِّسَاءِ قَالَ
وَالِاسْتِمْتَاعُ عِنْدَنَا يَوْمُ التَّزْوِيجِ قَالَ فَعَرَضْنَا ذَلِكَ عَلَى
النِّسَاءِ فَأَبَيْنَ إِلَّا أَنْ يُضْرَبَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا
قَالَ فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
افْعَلُوا فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَابْنُ عَمٍّ لِي وَمَعَهُ بُرْدَةٌ وَمَعِي
بُرْدَةٌ وَبُرْدَتُهُ أَجْوَدُ مِنْ بُرْدَتِي وَأَنَا أَشَبُّ مِنْهُ
فَأَتَيْنَا امْرَأَةً فَعَرَضْنَا ذَلِكَ عَلَيْهَا فَأَعْجَبَهَا شَبَابِي
وَأَعْجَبَهَا بُرْدُ ابْنِ عَمِّي فَقَالَتْ بُرْدٌ كَبُرْدٍ قَالَ
فَتَزَوَّجْتُهَا فَكَانَ الْأَجَلُ بَيْنِي وَبَيْنَهَا عَشْرًا قَالَ فَبِتُّ
عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ ثُمَّ أَصْبَحْتُ غَادِيًا إِلَى الْمَسْجِدِ
فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْبَابِ
وَالْحَجَرِ يَخْطُبُ النَّاسَ يَقُولُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ كُنْتُ
أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ هَذِهِ النِّسَاءِ أَلَا وَإِنَّ
اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهَا وَلَا تَأْخُذُوا
مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
و حَدَّثَنَا أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ
الزُّهْرِيِّ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى يَوْمَ الْفَتْحِ عَنْ مُتْعَةِ
النِّسَاءِ
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ
بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ
الْإِنْسِيَّةِ و حَدَّثَنَاه عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ
الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا جُوَيْرِيَةُ عَنْ مَالِكٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ
سَمِعَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ يَقُولُ لِفُلَانٍ إِنَّكَ رَجُلٌ تَائِهٌ
نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ يَحْيَى
بْنِ يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ
Hadis-hadis di
atas tidak diragukan lagi nilai keshahihannya. Apalagi yang meriwayatkan
diantanya adalah al-Bukhari dan Muslim. Walaupun sebenarnya tinjauan sanad saja
tidak cukup untuk menjadikan hadis bisa dinilai otentik sebagai sumber ajaran
Islam. Akan tetapi, dengan dukungan nilai-nilai al-Qur’an tentang pernikahan
yang maknanya sesuai dengan semangat larangan nikah mut’ah dalam hadis-hadis
tersebut, maka kedudukannya menjadi sangat kokoh dan otentik sebagai sumber
ajaran Islam.
Dilihat dari
perspektif hadis (sebagaimana yang telah dikemukakan di atas), dapat
disimpulkan bahwa nikah mut’ah memang telah diharamkan oleh Rasulullah s.a.w..
Sebab-sebab pengharamannya telah banyak diulas oleh ulama-ulama Sunni, di
antaranya adalah karena nikah mut’ah semata-mata sebagai tempat untuk
melampiaskan nafsu syahwat, sehingga tidak jauh berbeda dengan zina (pemuasan
nafsu seksual).
Disamping itu,
nikah mut’ah menurut kalangan Sunni, telah menempatkan perempuan pada titik
bahaya, karena ibarat sebuah benda yang bisa pindah dari satu tangan ke tangan
yang lain. Pernikahan jenis ini juga dinilai merugikan anak-anak, karena mereka
tidak mendapatkan kasih sayang sempurna sebuah keluarga dan jaminan
kesejahteraan serta pendidikan yang baik.
Pernikahan,
seperti yang telah menjadi cita-cita Islam, haruslah bertumpu pada pondasi yang
kokoh, suatu pasangan, ketika mula-mula dipersatukan oleh sebuah ikatan
pernikahan, harus memandang diri meraka terpaut satu sama lain untuk selamanya,
dan gagasan perceraian tidak boleh memasuki pikiran mereka. Oleh karena itu,
sebagaimana pendapat kalangan Sunni, pernikahan mut’ah tidak dapat menjadi
tumpuan kebersamaan hidup suami isteri yang damai dan sejahtera.
3. Pandangan
Kaum Syi’ah (Itsna ‘Asy’ariyah)
Dasar legitimasi
kaum Syi’ah terhadap nikah mut’ah adalah al-Qur’an surat an-Nisa’ [4] ayat 24:
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ
مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا
حَكِيمًا
Dalam Tarikh
al-Fiqh al-Ja’fari dijelaskan, bahwa ketika Abu Nashrah bertanya kepada Ibn
Abbas tentang nikah mut’ah, Ibn Abbas menerangkan, nikah itu diperbolehkan
dengan bersarkan al-Qur’an surat an-Nisa’ [4] ayat 24 seperti telah ditulis di
atas. Akan tetapi menurut Ibn Abbas, lengkapnya ayat itu adalah (terdapat
kalimat tambahan الى اجل مسمي
):
فَمَا
اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ (الى اجل مسمي) فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
فَرِيضَةً
Sahabat lain
yang sependapat dengan Ibn Abbas (termasuk membenarkan bacaan Ibn Abbas
terhadap QS an-Nisa’ [4]: 24) adalah Ibn Mas’ud, Ubay Ibn Ka’ab, dan Said Ibn
Zubair.
Kaum Syi’ah
berpendirian bahwa praktik nikah muth’ah terdapat pada masa Nabi s.a.w. dan
Khalifah Pertama.
Baru pada
periode Khalifah Kedua, yakni Khalifah Umar Ibn Khattab, nikah mut’ah dilarang.
Ucapan Umar saat itu adalah:
“Saya telah
melarang dua jenis muth’ah yang ada di masa Nabi dan Abu Bakar, dan saya akan berikan
hukuman kepada mereka yang tidak mematuhi perintah-perintah saya. Kedua mut’ah
itu adalah mut’ah mengenahi haji dan muth’ah mengenai wanita.”
Kalau melihat
ucapan Khalifah Umar di atas, maka dapat dipahami bahwa nikah mut’ah
dipraktikkan oleh para sahabat pada baik pada masa Nabi s.a.w. maupun Khalifah
Abu Bakar. Dalam Sunnah Baihaqy 7: 206, terdapat pula keterangan yang
menunjukkan larangan Umar terhadap nikah mut’ah, walaupun banyak para shahabat
yang melakukannya di era Nabi dan Khalifah Kedua. Sehingga unggapan yang sering
dilontarkan kalangan Syi’ah dalam masalah ini adalah:
”Manakah yang
harus kita pegang: taqrir Nabi s.a.w. yang membiarkan shahabatnya melakukan
mut’ah atau hadis larangan Umar?”
Kaum Syi’ah yang
mengikuti ajaran-ajaran para Imam dari Ahlu al-Bait masih menganggap nikah
mut’ah tetap berlaku menurut syari’at sebagaimana halnya masa hidup Nabi s.a.w.
itu sendiri. Thabathaba’i dalam masalah ini mengutip beberapa ayat tentang
suami-istri:
QS al-Mu’minun
[23]: 5-7
وَالَّذِينَ هُمْ
لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5)إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(6)فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(7)
QS al-Ma’arij
[70]: 29-31
وَالَّذِينَ هُمْ
لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(29)إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(30)فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(31)
Menurut
Thabathaba’i, ayat-ayat ini diturunkan di Mekah, dan semenjak diturunkan hingga
hijrah, nikah mut’ah dipraktikkan oleh kaum Muslimin. Apabila nikah mut’ah itu
bukan merupakan pernikahan yang sebenarnya (halal/sah), dan para perempuan yang
telah menikah berdasarkan itu bukan isteri-isteri yang sah menurut syari’ah,
maka, lanjut Thabathaba’i, ayat-ayat al-Qur’an tersebut tentulah akan
menganggap para perempuan itu sebagai pelanggar hukum dan sudah pasti mereka
dilarang untuk mempraktikkan mut’ah. Sehingga Thabathaba’i menegaskan kembali
bahwa nikah mut’ah merupakan pernikahan yang sah menurut syari’ah dan bukan
bentuk perzinaan.
Sampai hari ini,
kaum Syi’ah, khususnya di Iran, masih tetap memelihara legitimasi pernikahan
mut’ah. Akan tetapi selama rezim Pahlevi (1925-1979), walaupun bukan ilegal,
pernikahan mut’ah dipandang secara negatif. Kebanyakan kaum terpelajar Iran dan
kelas menengah lainnya menganggap pernikahan seperti ini sebagai bentuk
pelecehan terhadap perempuan dan nilai moral universal, sehingga mereka tidak
tertarik untuk melakukannya. Sebaliknya, pernikahan mut’ah di Iran banyak
dilakukan oleh kaum perkotaan pinggiran, dan populer terutama di sekitar
pusat-pusat ziarah.
4. Tinjauan
Historis-Sosiologis
Sebagaimana
terdapat dalam sumber-sumber Syi’ah, nikah mut’ah merupakan suatu fakta sejarah
yang tidak dapat dipungkiri, bahwa pernikahan jenis ini dipraktikkan oleh para
shahabat sejak era permulaan Islam, yaitu sejak wahyu pertama dan hijrah Nabi
ke Madinah. Seperti dalam peristiwa Zubair Ash-Shahabi yang menikahi Asma’,
putri Abu Bakar dalam suatu pernikahan sementara (mut’ah).
Masih menurut
sumber Syi’ah, nikah mut’ah juga dipraktikkan semenjak hijrah hingga wafatnya
Nabi. Bahkan setelah peristiwa itu, selama pemerintahan Khalifah Pertama dan
sebagian dari masa pemerintahan Khalifah Kedua, kaum muslimin meneruskan
praktik itu sampai saat dilarang oleh Umar Ibn al-Khattab sebagai Khalifah
Kedua.
Tentu saja
historisitas seperti ini ditolak oleh kalangan Sunni yang menganggap Nabi
s.a.w. sudah melarang nikah mut’ah sejak Perang Khaibar dan peristiwa Fathu
Makkah, seperti tertuang dalam hadis yang telah dikemukakan di muka. Mengapa
kaum Syi’ah mengabaikan hadis-hadis seperti ini? Jawabnya adalah, karena kaum
Syi’ah mempunyi argumen tersendiri mengenai jalur-jalur sanad dalam sebuah
periwayatan hadis. Kaum Syi’ah hanya bisa menerima jalur sanad yang melalui
Ahlu al-Bait, dan jika terdapat hadis yang bertentangan dengan riwayat Ahlu
al-Bait, maka hadis tersebut ditolak.
Mengenai
larangan Umar terhadap praktek nikah mut’ah, menarik untuk dicermati bahwa
larangan ini juga diakui ada dalam beberapa kitab fiqih kaum Sunni. Analisis
yang bisa dikemukakan di sini adalah, apakah larangan itu terkait dengan
kewenangan Umar sebagai pemimpin agama atau ini hanya sekedar strategi dakwah
Islam (kebijakan politik).
Jika dipahami
ini sebagai kebijakan politik yang terkait dengan dakwah Islam, maka akan
ditemukan relevansinya dengan persoalan umat saat itu. Pada era Umar, umat
Islam (para shahabat) banyak yang bertebaran di wilayah-wilayah taklukan dan
mereka bercampur-baur dengan masyarakat yang baru saja memeluk Islam. Jika para
shahabat itu diberi kebebasan untuk melakukan nikah mut’ah, maka yang
dikhawatirkan adalah akan muncul generasi-generasi baru Islam hasil pernikahan
mut’ah yang tidak jelas warna (corak) keislamannya. Dengan alasan inilah, maka
Umar melarang nikah mut’ah. Sehingga dapat dipahami, larangan ini bukan
larangan permanen, tetapi hanya sementara waktu karena terkait dengan persoalan
keummatan saat itu.
Sepintas, nikah
mut’ah adalah implementasi paling kasat mata bagaimana kedudukan perempuan
tidak begitu dihargai. Berbeda dengan nikah permanen yang diasumsikan telah
menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Menurut Ustadz Ahmad Baraghbah,
nikah mut’ah justeru meningkatkan derajat kaum perempuan. Alasannya, dalam
mut’ah perempuan dimungkinkan membuat persyaratan tertentu yang harus disetujui
oleh pihak laki-laki. Dengan kewenangan ini, masih menurut Baraghbah, perempuan
dapat meningkatkan bargainning position-nya bila akan melaksanakan nikah
mut’ah.
Secara
sosiologis, nikah mut’ah menjadi bukan persoalan serius ketika dipraktikkan
dalam kondisi masyarakat Muslim yang sudah mempunyai tingkat kesejahteraan yang
memadai dan pendidikan yang maju. Anggota masyarakat Muslim ini mempunyi
otonomi pribadi atau kewenangan individual yang penuh dalam menentukan
nasibnya. Dalam tradisi Persia atau Iran sekarang, nikah mut’ah bukanlah sumber
penyakit sosial seperti yang diasumsikan oleh kalangan Sunni.
Para perempuan
Iran khususnya, mempunyai nilai tawar yang tinggi sebelum melakukan nikah
mut’ah, sehingga dalam praktiknya mereka jarang yang melakukan pernikahan model
ini. Tetapi, kondisinya adalah jauh berbeda jika nikah mut’ah dilegalisasi di
dalam komunitas masyarakat Muslim yang tingkat kesejahteraan dan pendikannya
masih rendah, seperti di Indonesia misalnya. Nikah mut’ah dalam komunitas
masyarakat Muslim yang rata-rata miskin dan bodoh, hanya menjadi komuditas
pemuas nafsu laki-laki berkuasa yang pada akhirnya akan mengakibatkan
kesengsaraan berlipat bagi perempuan dan anak-anak.
sumber: alfaiz.wordpers.com
keren gan infonya, mantap.....
ReplyDeleteSouvenir Pernikahan Murah Kediri