TIRAKAT MLAKU

Untuk mencapai kedekatan dengan Allah SWT banyak sufi yang mencari jalan keluar atau bahasa kasarnya melarikan diri dari godaan dunia yang berat, yaitu melakukan pengembaraan (safar) untuk  beruzlah dan berkhalwat di suatu tempat, seperti di masjid dan makam-makam para wali. Karena ketika seseorang sudah bertekat bulat melarikan diri dari berkumpul dengan keluarga, teman, dan orang-orang yang membuatnya terganggu menuju Allah SWT, maka ia akan nekat melakukan apapun dan godaan-godaan akan  diterjangnya  dengan  sekuat  tenaga.

Ini berbeda dengan ketika tidak menjauh dari hiruk pikuk dunia ini dan berada dilingkaran itu, terasa sangat berat sekali. Sebagai mana orang ketika berpuasa di bulan ramadhan yang begitu nikmat dijalani, karena situasi dan kondisi ikut mendukung. Seluruh orang muslim berpuasa, warung-warung pada tutup, dan tidak ada masakan di dapur. Ini berbeda jika berpuasa pada bulan-bulan yang lain-lain tanpa didasari niat dan tekat yang bulat, niscaya akan kadas dijalan tujuan itu. Oleh karena itu bisa dipahami jika al-Ghazali mensyaratkan uzlah dan kholwat untuk mencapai tingkatan yang tinggi dihadapan Allah SWT : 

Puncak dari Riyadhah adalah hatinya selalu bersama Allah SWT. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali dengan berkholwat (menyepi) dari yang lain. Berkholwat tidak akan mendapat apa-apa kecuali tanpa disertai mujahadah yang lama. Ketika hatinya sudah bersama Allah SWT, maka akan terbuka (mukasyafah) baginya keagungan ketuhanaNya, tampak jelas (tajalli) Allah Yang Maha Haq, dan kelihatan  rahasia-rahasia (lathaaif) Allah SWT.”[1]  

Bagitu juga yang dikatakan Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, dalam kitab Tanwir al-Qulub :

Ketahuilah, tidak mungkin wusul mencapai makrifat al ushul, dan tersinarinya hati untuk musyahadah kepada dzat yang dicintai kecuali dengan kholwat. Pada khususnya untuk orang yang mengharapkan dipetunjukkan ke dzat yang di maksud (Allah SWT).[2]

Mengetahui hal itu, banyak aliran-aliran thoriqoh (lembaga) yang memasukkan ‘uzlah dan kholwat sebagai bagian dari pendidikan ruhaniyah di dalamnya. Selain itu banyak juga sufi yang menjalankan tuntunan ini, di antaranya seperti Hujjah al-Islam (al-Ghazali) yang banyak iqâmah (tidak pergi kemana-mana) dan tidak safar kecuali ada kepentingan.

Sebagian sufi lain ada yang menghabiskan waktunya hingga meninggal dalam bersafar, seperti Abi Abdillah al-Maghrabi dan Ibrahim bin Adham. Namun ada juga yang lebih banyak iqâmah seperti al-Junaidi, Sahl bin Abdillah, Abi Yazid al-Bustami, Abi Hafsin  dan lainnya meski kebanyakan para sufi bersafar pada masa mudanya kemudian mereka berhenti di akhir ahwalnya, seperti Said bin Islail al-Hairi dan Dalfi as-Syibli. Mereka membangun jalan sendiri untuk mencapai Allah SWT.[3]

Bagi al-Ghazali jika seseorang dalam berkumpul dengan orang lain (mukhâlatah) mempunyai niat untuk mengagungkan agamanya dengan cara memperbanyak pengikut (artinya menjadi da’i atau kiai), maka uzlah lebih baik baginya walupun berada di kuburan (para wali atau orang-orang shalih). Dan sebenarnya jika seseorang itu mempunyai niat untuk riyadhah an-nafs ketika ‘uzlah, itu lebih baik baginya dari pada hanya sekedar ‘uzlah.[4] 

Namun di sisi lain, al-Ghazali mensyaratkan seorang yang menempuh perjalanan beruzlah harus mempunyai ilmu agama yang banyak.  Tidak diperkenankan baginya orang awam dan orang bodoh menempuh jalan ini, karena ia tidak tahu apa yang membuat ibadahnya menjadi baik dan apa yang harus dilakukannya. Ibrahim an-Nakha’i dan lainnya mengatakan,
                                     
Pahamilah (ilmu-ilmu agama), dan kemudian pergilah beruzlah. Karena seseorang yang beruzlah sebelum ia mempelajari ilmu agama (dengan matang), maka kebanyakan waktunya akan diisi dengan tidur dan pikirannya selalu gelisah”.[5]
  
Hal ini juga diceritakan oleh al-Ghazali dalam karyanya “Beberapa Jalan Menuju Kesufian”, menceritakan pengalamannya menjadi musafir:

Bagiku, ilmu lebih mudah daripada mengamalkannya. Aku pertama kali mengkaji kitab-kitab mereka seperti Qut al Qulub milik Abi Thalib al-Maki, beberapa kitabnya al-Harits al Muhasibi, beberapa serpihan yang berpisah-pisah dari perkataannya al Junaidi, as-Syibli, abi  Yazid  al-Bustami -semoga Allah SWT mensucika arwahnya-, dan selain mereka dari perkataan guru-guru mereka. Kemudian aku pelajari maksud-maksudnya secara ilmiah, dan aku mendapati jalan mereka dari belajar dan mendengar. Maka jelas bagiku, kekhususan-kekhususan (tingkatan yang paling tinggi) mereka tidak mungkin didapat dengan hanya belajar, tetapi didapat dengan rasa, hal, dan mengganti sifat-sifat buruk ke yang baik.”

Kemudian al-Ghazali mulai mengalami guncangan hebat dalam jiwanya, ia mengakui banyak mengarang ilmu syari’at dan pemikiran tentang iman. Ia mulai berpikir untuk pergi menjauh. Bahkan ia sempat menyesal,
 
Ketika aku banyak berhadapan dengan ilmu yang tidak penting dan bermanfaat guna mencapai akhirat. Aku juga berniat untuk memperdalam ilmu, tapi tiba-tiba bagiku itu tidak murni karena Allah SWT. Itu hanya dorongan untuk mencari pangkat dan ketenaran. aku mencari kesembuhan di dalam api (memasukan dirinya dalam api), apabila terus begini.

Aku belum beruzlah. Aku berpikir terus untuk itu. Aku terus berusaha. Tekatku bulat untuk keluar dari Baghdad. Di Hari yang berpisah dengan keadaan-keadan itu, hari yang membuat tekatku bulat, di  situ  aku berjalan kaki.

Keinginan nafsu dunia merasukiku, tapi Iman memanggilku “pergilah !!, Pergilah!!!”. Umurku tinggal sedikit, namun dihadapanku ada perjalanan yang sangat panjang. “Apabila kamu tidak menyelamatkan diri sekarang, kapan lagi?, apa bila kalu tidak memutus hubungan dengan hawa nafsu dunia, kapan kamu memutusnya?!!!”

Syaitan kembali merasukiku. Sampai aku dalam keadaan ragu antara syahwat dunia dan akhirat selama 6 bulan. Kemudian tekatku sangat bulat untuk keluar menuju Makkah. lalu aku masuk negara Syam  dan berdiam disana kurang lebih selama 2 tahun. Aku tidak sibuk apa-apa kecuali uzlah, khalwat, riyadhah, dan mujahadah. Aku juga sibuk tazkiyah an nafs, memperbaiki akhlak, membersihkan hati dengan berdzikir pada Allah SWT. Oleh karena itu aku mendapat ilmu tasawuf.

Aku i’tikaf selama itu di masjid Damsyik, naik di menaranya pada siang hari. Dan aku menutup pintunya sendiri. Selanjutnya aku pergi ke Bait al Muqaddas, tiap hari menutup pintunya sendiri. Aku melanjutkan perjalanan guna memenuhi panggilan kewajiban haji, dan mendapatkan barokahnya kota makkah dan madinah, ziarah makam rasulullah setelah selesai ziarah, aku jalan ke Hijaz.”[6]

Perjalanan al-Ghazali untuk mendapat kemakrifatan dari Allah SWT, hal ini tidak lepas dari banyaknya ilmu yang ia miliki dan al-Ghazali juga menjalankan serangkaian aturan dan tatakrama (adab)  selama  safar,  dan  ia kemukakan dalam kitab Ihya’ulumuddin.
  
Al-Ghazali berpesan supaya selalu ingat gurunya, orang-orang tasawuf yang faqir-faqir, jangan sampai tidak berziarah di makamnya orang-orang shalih sewaktu melewati suatu daerah atau Negara, jangan memperlihatkan hajatnya kecuali dalam keadaan sangat  terpaksa, dan selalu membaca al Qur’an. Selanjutnya ia memperingatkan,
 
Barang siapa yang safar tidak menambah keagamaannya, maka ia hanya menghinakan dirinya. Dan barangsiapa yang hanya mengikuti hawa nafsunya selama perjalanan, maka ia akan hina baik pada waktu itu atau yang akan datang[7]

Disyari’atkan ziarah, maka sudah barang tentu berjalan menuju kebaikan itu adalah merupakan perkara yang baik pula, apalagi jika dengan beruzlah  dan berkholwat. Sayyid Muhammad dengan tegas mengatakan bahwa,
 
Tidak ada salah satu pun dari golongan ahl as-sunnah wal al-jama’ah yang mengingkari disyari’atkannya ziarah ke makam Rasulullah SAW, dan begitu juga pergi (safar) dengan tujuan ziarah kemakam beliau.[8] Karena hal ini pernah dilakuan oleh sahabat Bilal bin Robah, salah seorang mu’adzinnya nabi saw. Ia berjalan dari Syam ke Madinah hanya untuk berziarah. Sampai di depan makan nabi, Bilal menagis dan kemudian ia  diciumi oleh cucunya nabi SAW, Hasan dan  Husain ra.”[9]
 
Mengenai hal ini banyak ulama’ merujuk pada hadits yang berkaitan dengan perjalanan untuk melakukan ziarah ini :

Janganlah kamu memasang pelana (bepergian) kecuali di tiga masjid, yaitu masjid Haram, masjid ini (Nabawi), dan masjid al Aqso.”[10]
 
Menurut al-Ghazali, hadits di atas sebagai dalil sebagian ulama’ dengan tidak diperbolehkannya berziarah ke makam rasul SAW. Namum bagi al Ghazali sendiri, ziarah adalah perkara yang diperintahkan. Sehingga makna hadits di atas bukan untuk ziarah. Meski begitu, al-Ghazali membolehkan bepergian untuk berziarah ke makam-makam para wali, ulama’, dan orang-orang sholeh.[11]
  
Sedang Ibnu Hajar al-Asqalani ketika memberi penjelasan (syarah) hadits tersebut, bahwa memang terdapat perselisihan dalam hal bepergian ke masjid Nabawi dengan bertujuan untuk berziarah makan Nabi SAW. Begitu pula berziarah orang-orang shalih yang  masih hidup atau sudah meninggal, bertujuan ke tempat-tempat yang utama dengan niat mendapatkan barokah, dan sholat di dalamnya.
 
Syaikh Abu Muhammad al-Juwaini mengharamkan bepergian dengan tujuan selain tiga masjid itu karena melihat dhohirnya hadits. Fatwa yang shohih dari Imam Haramin dan yang lainnya dari Madzhab Syafi’i, bahwa mereka tidak mengharamkan bepergian dengan tujuan lain ke tiga masjid itu. Makna hadis ini tidak berkutat pada masjid itu, namun juga berlaku pada masjid-masjid yang lain. Adapun jika bertujuan lain seperti berziarah orang-orang shalih, saudara, dan sahabatnya. Begitu juga mencari ilmu dan  berdagang,  maka  hal  itu  tidak  masuk dalam larangan.[12]

Sayyid Muhammad menukil pendapat Ibnu Taimiyah,

Pemahaman hadits di atas bahwa, pertama, bepergian (safar) ke makamnya Nabi SAW, adalah pada hakikatnya pergi ke masjidnya nabi. Ini adalah kesunahan yang terdapat dalam nash dan ijma’. Kedua, pergi ke kuburan beliau Saw adalah pergi ke masjid pada saat beliau masih hidup dan sesudah dikubur serta sebelum dan sesudah kamar masuk dalam bagian masjid. Berarti pergi ke kuburan beliau SAW adalah pergi ke masjid baik di situ ada kuburan atau tidak. Maka bepergian ke kuburan yang tidak ada masjidnya tidak bisa disamakan dengan bepergian ke kuburan Nabi SAW.”

Selanjutnya Ibnu  Taimiyyah  mengatakan,
 
Keenam, bepergian menuju masjid Nabi Saw –yang disebut bepergian untuk berziarah kepada kuburan beliau– adalah ijma’ ulama dari generasi ke generasi. Adapun bepergian untuk berziarah ke kuburan-kuburan lain maka tidak ada status hukum yang dikutip dari para sahabat, bahkan dari atba’ at-tabi’in.”

Kemudian  Ibnu  Taimiyyah  berkata,
 
Maksudnya adalah bahwa kaum muslimin tidak henti-hentinya pergi menuju masjid Nabi Saw dan tidak pergi ke kuburan para nabi seperti kuburan Nabi Musa dan Nabi Ibrahim al-Khalil. Tidak ada informasi dari salah seorang sahabat bahwa ia bepergian ke kuburan Nabi  Ibrahim meskipun mereka seringkali pergi ke Syam dan Baitul  Maqdis. Maka bagaimana mungkin pergi ke masjid Rasulullah SAW yang disebut sebagian orang dengan ziarah ke kuburan  beliau,  sama dengan pergi ke kuburan para nabi?[13]

Menaggapi pendapat Ibnu Taimiyah, Imam Taqiyyudin as-Subki dan al Hafidz Syamsuddin bin Abdul Hadi mengingkari pendapat  Ibnu  Taimiyah yang mengharamkan berjalan menuju Makam Nabi SAW untuk berziarah.[14] Begitu juga sayyid Muhammad al-Maliki yang mengatakan
 
Banyak orang yang salah dalam memahami hadis tersebut. Mereka menjadikan hadis ini sebagai dalil diharamkannya bepergian (safar) untuk berziarah ke makam nabi SAW. Perjalanan ini dianggap perjalanan yang maksiyat. Ini adalah pendapat yang ditolak, karena dibangun dengan pemahaman yang batil.”[15]




[1] Al Ghazali, Ihya’ulimuddin, juz 4, hm 76
[2] Muhammad Amin al Kurdi, Tanwir al Qulub fi Muamalat al-‘alami al- Guyub,  Bairut: Dar al Fikr,1995 hlm 430
[3] Abi Qasim Adil Karim bin Hawaz al -Qusyairi an- Naisaburi, ar- risalah al Qusyairiyah,  juz 1,  Bairut: Dar al Khoir, tt, hlm 289
[4] Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 2, hlm 238
[5] ibid, hlm 236
[6] Lihat  selengkapnnya  :  Al  Ghazali,  Turuq  as  Shufiyah,  dalam  Majmu’  al  Risalah  al Ghazali, Bairut: Dar al Kutub al ‘Alamiyah, 2006, hlm 56-65
[7] Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 2, hlm 257
[8] Muhammad bin alwi al Maliki al Hasani, az Ziarah; Baina Syar’iyah wa Bid’ah ,  hlm 29
[9] Ibid, hlm 35
[10] Al  Bukhori,  Shohih  al  Bukhori  bi  Khasiyati  al  Imam  as  Sanadi,  jilid  1,  Bairut:  Dar  al Kutub al Alamiyah, 2003, hlm 401
[11] Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 1, hlm 245
[12] Ibnu  Hajar  al  Asqalani,  Fath  al  Bari ,  juz  3,  Bairut:  Ihya’  at  Turats  al  Arabi,  1988, hlm 50
[13] Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha, hlm 287-288
[14] Ibnu Hajar al Asqalani, Fath al Bari , juz 3, hlm 51
[15] Muhammad bin Alwi al -Maliki al Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha, hlm 283

No comments:

Post a Comment