Manusia adalah
makhluk yang diciptakan
dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.[1]
Ia dibekali dengan akal, hati, jiwa, raga, ruh, dan nafsu. Bahkan Allah SWT
memulyakan manusia dengan meminta para malaikat bersujud dihadapannya.[2]
Kemulyaan manusia tidak terlepas dari peran Allah SWT meniupkan ruh
ketuhanan-Nya dalam diri manusia:
“Maka apabila aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (penghormatan).”[3]
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam mengartikan (روحي). Kaum teolog mengartikan lafadz tersebut dengan ruh ciptaan-Ku,
sedangkan kaum sufi lebih cenderung mengartikan dengan –ruh Ku, karena itulah
kaum sufi berpendapat bahwa manusia memiliki aspek ilahiyah.
Terlepas
dari perbedaan penafsiran, jika dilihat dari struktur bahannya, antara lafadz (ني) dengan makna mutakallim wahdah, mununjukkan adanya hubungan
langsung dan erat diantara keduanya (ruh dengan Ku, Allah SWT). Dan ini menunjukkan
bahwa unsur ruh yang ada dalam manusia memiliki hubungan langsung dengan Allah
SWT, karena ruh (spiritual) merupakan unsur terpenting dalam pribadi setiap
manusia.[4]
Dengan
bahasa lain, KH Asrori al-Ishaqi, mengatakan.
“Manusia diciptakan
dari dua alam, yaitu rohani (alam kasat mata) dan alam jasmani (alam kasyaf mata).
Keberadaan hati dalam diri manusia menjadi cermin bagi kedua alam tersebut. Oleh
karena itu, segala sesuatu yang berada di hadapan cermin, maka bayangannya akan
tampak dalam cermin tersebut. Berbeda dengan malaikat, sebab malaikat tercipta
dari alam kasat mata. Keutuhan malaikat adalah nur cahaya, lahir batinnya
bening dan jernih, dan malikat laksana kaca yang sinarnya jernih. Oleh karenanya,
cermin tidak dapat menampilkan bayangan malaikat yang ada dihadapannya. Karena malaikat
tidak memiliki jasad yang kasyf mata yang bisa terpantul bayangannya di hadapan cermin. Inilah sirri rahasia yang terpendam
dalam pantulan yang berhadapan.”[5]
Senada
dengan al-Qur’an, ahli sufi mengakui adanya dualitas dalam diri manusia, yaitu
materi dan imateri (jasad dan ruhaniyah). Meski demikian, mereka lebih ertarik
membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan spiritualitas. Hal itu dapat diketahui
misalnya dalam pemikiran al-Hallaj, Suhrawardi al-Maqtul, dan tokoh-tokoh
lainnya.
Dalam
pandangan al-Hallaj, yang di kutip Muhayya, Allah SWT dan manusia masing-masing memiliki aspek lahut
dan nasut. Nasut Allah SWT berada dalam bentuk Adam yang
dimiliki-Nya, sedangkan lahut manusia berwujud ruh yang berasal dari-Nya.
Manakala seorang sufi sudah suci
jiwanya, maka nasut Allah SWT akan bertempat pada diri manusia yang
bercampur dangan ruh (lahut) manusia. Percampuran ini yang disebut Hulul.[6]
Pendangan
yang sama juga dikemukkan KH Asrori, baginya hakikat manusia adalah rohani yang
bersemi dan bersemayam di dalam jasad yang kasat mata. Kondisi rohani dalam diri
manusia keberadaannya kasat mata, berupa nur-cahaya rabbaniyah
(ketuhanan), lahutiyyah, dan jabarutiyyah. Kemudian alam tersebut
terdinding, tertutup dan
terhalang oleh sifat-sifat
basyariyah (sifat kemanusiaan) yang
tidak kasat mata.
Seorang
yang sifat kemanusiaannya mengalahkan (menguasai) rohaniyah atau lathifah-Nya,
maka ia selamanya akan terpenjara
(terkungkung) dalam keterdindingan dan terbelengu dalam bentuk fisiknya (hawa nafsu, kenikmatan-kenikmatan
duniawi dan kebiasaan yang dilakukan
sebelumnya. Sebaliknya, seseorang yang sifat rohaniyah-nya atau lathifahnya
mengalahkan sifat kemanusiaannya, maka ruhnya akan sampai bersimpah di sisi
Allah Yang Maha Suci dan Agung. Dan ruhnya
dapat kembali ke asalnya tanpa terhalangi oleh bumi, langit, Arsy, Kursy, dan
lain sebagainya.[7]
Untuk
mencapai derajat yang tinggi di hadapan Allah SWT, maka seseorang harus melakukan
usaha menahan hawa nafsu (seperti
puasa dan berpantang) dan mengasingkan diri ketampat yang sunyi (di gunung dan
sebagainya),[8] ini
yang disebut tirakat.
Istilah
ini asalnya dari bahasa arab thariqah yang artinya jalan atau bisa juga tindakan atau amalan rutin seperti
bacaan doa, mantra, pantangan, puasa atau
gabungan dari kelima unsur tersebut sebagai jalan untuk mencapai pencerahan spiritual atau mencari ilmu tertentu.[9]
Namun
karena kemudian nama tarikat ini digunakan untuk sistem pembelajaran tasawuf yang melembaga,
maka kata tirakat dalam pengertian Jawa lebih dominan digunakan untuk sebuah riyadhah dan mujahadah secara umum, yang kebanyakan
berakar dari pengalaman seorang sufi-ahli
tasawuf kemudian diajarkan dan ditulis dalam kitab-kitab mereka.
Ada
juga yang menganggap kata tirakat berasal dari kata taraka dalam bahasa arab, yang menunjuk pengertian
meninggalkan, maksudnya meninggalkan keduniaan dunia.[10]
Oleh karena itu ada banyak tirakat yang jika diamati banyak dilakukan dengan keprihatinan
jiwa dan badan
untuk mencapai sesuatu
dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT seperti :
1.
Tidak tidur semalam suntuk/pati geni tidak
boleh keluar kamar semalam suntuk, tidak
boleh tidur dan makan minum.
2.
Puasa senin kamis
3.
Mutih mulai dari kemampuan satu hari hingga 40 hari hanya makan nasi putih dan
minum air putih sedikit pada saat matahari terbenam.
4.
Ngeruh yaitu hanya boleh makan sayur dan buah, dilarang yang bernyawa.
5.
Ngebleng yaitu tidak keluar kamar sehari semalam, tidak ada lampu, hanya keluar
saat buang air kecil, tidak boleh tidur, makan dan minum
6.
Nglowong hanya makan tertentu dengan waktu tertentu tidur hanya 3 jam
7. Ngrowot hanya boleh makan satu jenis buah
maksimal 3 buah dari subuh sampai magrib.
8.
Nganyep/ ngasrep boleh makan sembarang tapi yang tidak ada rasanya dan harus
didinginkan sedingin dinginnya.
9.
Ngidang hanya boleh minum air putih dan daun. Lainnya tidak boleh.
10.
Ngepel hanya makan nasi sehari satu kepal sampai 3 kepal saja.
11.
Wungon tidak boleh makan minum dan tidak tidur selama 24 jam
12.
Ngalong, puasa ngrowot sambil menggantung di atas pohon dengan posisi kaki
diatas kepala dibawah / sungsang.
13.
Topo jejeg yaitu tidak boleh duduk selama 12 jam
14.
Lelono melakukan perjalanan malam jam 12 sampai jam 3 untuk mawas diri atas
kesalahan yang diperbuat selama ini.
15.
Kungkum yaitu puasa bersila dalam sungai yang ketemu dua arusnya mulai jam 12
malam sampai jam 3 atau jam 4 pagi.
16.
Topo pendem/ngluwang yaitu puasa dikubur hidup-hidup hanya deberi jalan nafas, biasanya selama 3 hari atau
7 hari, pertaruhannya nyawa dan hasilnya
adalah mampu menghilangkan tubuh dari pandangan
orang atau melihat jelas dengan mata telanjang orang/mahluk–mahluk ghoib.[11]
[1] Qs
at Tin:4
[2] Qs al Baqarah: 34
[3] Qs al Hijr:29
[4] Abdul Muhaya, Peran tasawuf dalam
Menggulangi Krisis Spiritual, d alam Tasawuf dan krisis, dalam
Tasawuf dan Krisis,
Pengantar; Prof. dr
HM Amin Syukur,
MA dan Dr
Abdul Muhayya, MA, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm 17
[5] Achmad Asrori al Ishaqy, Untaian
Mutiara; hlm 213
[6] Abdul Muhaya, Peran tasawuf dalam
Menggulangi Krisis Spiritual , hlm 19
[7] Achmad Asrori al Ishaqy, Untaian
Mutiara; hlm 213-214
[8] Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm 950
[9] www.kamusslang.com/arti/tirakat
[11] http://budayajawa.wordpress.com
/2010/03/02/tirakat- jawa-general-pray-of-java-people
No comments:
Post a Comment