Hakikat
akal adalah insting yang disiapkan untuk mengenali informasi-informasi nalar. Seakan-akan
ia adalah cahaya yang ditempatkan di dalam kalbu. Dengannya hati siap mengenali
sesuatu. Kadar dari insting berbeda sesuai dengan tingkatannya.[1]
Kedudukan
akal seperti seorang raja. Memiliki banyak pasukan, yaitu tamyiz
(kemampuan membedakan), daya hafal dan pemahaman. Kebahagiaan spiritual adalah
akal, karena menyebabkan apsek fisik memperoleh kekuatan.[2]
Al
Ghazali melihat akal sebagai jiwa rasional, yang mempunyai dua daya: daya al
‘amilat (praktis) dan daya al ‘alimat (teoritis). Akal praktis
digunakan untuk kreativitas dan akhlak manusia. Artinya, terwujudnya tingkah
laku yang baik bergantung pada kekuatan akal praktis dalam menguasai daya-daya
jiwa tersebut. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk menyempurnakan
substansinya yang bersifat immateri dan abstrak. Hubungannya adalah dengan
ilmu-ilmu yang abstrak dan universal.
Dari
sudut ini, akal teoritis mempunyai empat tingkatan kemampuan, yaitu: al ‘aql al hayulani (akal material), al
‘aql bi al malakat (habitual intellect), al ‘aql bi al fi’il
(akal aktual), dan al aql al mustafad (akal perolehan).
Akal
al hayulani merupakan potensi belaka, yaitu kesanggupan untuk menangkap
arti-arti murni yang tak pernah berada dalam materi atau belum keluar.
Akal
malakat, yaitu kesanggupan untuk berfikir abstrak secara murni mulai
kelihatan sehingga dapat menangkap pengertian dan kaidah umum. Misalnya,
seluruh lebih besar daripada bagian.
Akal
fi’il yaitu akal yang lebih mudah dan lebih banyak menangkap pengertian
dan kaidah umum yang dimaksud. Akal ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak
yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki.
Adapun
akal al mustafad, yaitu akal yang di dalamnya terdapat arti-arti abstrak
yang dapat dikeluarkan dengan mudah sekali.
Cara
beraktivitas akal-akal tersebut untuk menghasilkan ilmu dapat dijelaskan secara
singkat: akal hayulani semata-mata berupa potensi, hanya mampu menangkap
sesuatu dari luar jika mendapat rangsangan. Kemudian akal malakat
melakukan abstraksi. Proses abstraksi itu menghasilkan pengertian. Hasil
abstraksi (pengertian) itu kemudian disimpan oleh akal fi’il dan
selanjutnya diteruskan pada akal mustafad menjadi ilmu.[3]
Akal memerlukan deria sebagai kuasa yang
tunduk padanya, sebagai mata-mata, sebab deria itulah yang membawa berita dari alam
luar kepada akal, kemudian akal meneliti dan menilai berita-berita itu.[4]
Itulah pandangan al Ghazali tentang ilmu
sebagai proses, di mana deria dan akal sebagai alatnya.
[1] Al Ghazali, Muhtashar Ihya’
Ulumiddin, terj. Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan yang
ditulis sendiri oleh sang hujjatul Islam, (Bandung: Mizan,
2003), hlm. 39.
[2] M. Solihin, Epistemologi Ilmu Dalam
Sudut Pandang Al Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 43.
[3] Ibid, hlm. 45.
[4] Hasan Langgulung, Manusia dan
Pendidikan Suatu Analisa Pskologi dan Pendidikan, (Jakarta: Al Husna Zikra,
1995), hlm. 134.
No comments:
Post a Comment