(لاَ) yang
menafikan jenis adalah (لاَ) yang menunjukkan pada penafian
khabar dari jenis yang terjadi setelahnya dengan jalan menghabiskan, artinya (لاَ) itu
diinginkan untuk menafikan khabar dari semua afradnya jenis secara nash (jelas)
tidak dengan jalan ihtimal (kemungkinan).[1]
Menafikan khabar dari jenis dapat menetapkan menafikan khabar dari semua afradnya.
(لاَ) itu dinamakan
dengan (لاَ) tabri’ah, karena (لاَ) tersebut
membebaskan mutakallim dari mensifati jenis dengan khabar.
Ketika penafian itu dengan jalan
menghabiskan, maka kalam yang ada bersamanya menakdirkan (مِنْ) dengan dalil
terlihatnya (مِنْ) pada syair,
فَقَامَ يَذُودُ النَّاسَ عَنْهاَ
بِسَيْفِهِ * وَ قَالَ لاَ مِنْ سَبِيْلٍ إِلَى هِنْدِ
Jadi, ketika kita mengucapkan (لاَ
رَجُلَ فِي الدَّارِ), maka maknanya adalah tidak seorang pun lelaki ada didalam rumah,
maksudnya didalam rumah tidaklah ada seorang lelakipun, tidak satu dan tidak
juga lebih. Oleh karenanya tidak diperbolehkan untuk diucapkan (لاَ
رَجُلَ فِي الدَّارِ بَلْ رَجُلاَنِ أَو ثَلاَثَةٌ) “didalam rumah tidaklah ada
seorangpun lelaki, kecuali dua atau tiga,” karena perkataan (لاَ
رَجُلَ فِي الدَّارِ) adalah sebuah nash sharih pada penafian jenisnya lelaki, dan
perkataan kita (بَلْ رَجُلاَنِ أَو ثَلاَثَةٌ) telah
merusaknya.
Syarat (لاَ) Beramal
Seperti (اِنَّ)
(لاَ) yang
menafikan jenis bisa beramal seperti (اِنَّ), sehingga dia
menashabkan isim dan merafa’kan khabar, seperti (لاَ
اَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللهِ).
Ketika kita mengamalkan (لاَ) seperti (اِنَّ), maka dia
berfaidah untuk mentaukidi nafi dan melebih-lebihkannya, seperti halnya (اِنَّ) digunakan
untuk mentaukidi itsbat dan melebih-lebihkannya.
a.
Menafikan
jenis secara jelas, yaitu dengan sekiranya yang diinginkan dengannya adalah
menafikan jenis dengan penafian yang umum tidak dengan jalan ihtimal.
b.
Isim
dan khabarnya berupa isim nakirah.
Namun, terkadang isimnya berupa isim
ma’rifat yang dita’wil dengan isim nakirah yang diinginkan dengannya adalah
jenisnya, yaitu seperti isim itu berupa isim alam yang sudah masyhur dengan
suatu sifat, seperti (حاَتِمْ) yang sudah masyhur dengan sifat
kedermawaannya, sehingga alam itu dijadikan sebagai isim jinis bagia semua
orang yang bersifatan dengan makna yang alam sudah masyhur dengannya.
c.
Tidak
boleh ada pemisah antara (لاَ) dengan isimnya, meskipun dengan
khabarnya. Jika dia dipisah, maka (لاَ) tidak bisa
beramal dan wajib untuk megulang-ulangnya, seperti (لاَ
فِي الدَّارِ رَجُلٌ وَ لاَ امْرَأَةٌ), dan lafal setelah (لاَ) menjadi
mubtada’ dan khabar.
d.
(لاَ) tidak boleh
dimasuki huruf jer. Jika didahului huruf jer, maka dia tidak bisa beramal, dan
lafal setelah (لاَ) dijerkan dengan huruf jer itu,
seperti (سَافَرْتُ بِلاَ زَادٍ).
Faidah:
Ketika (لاَ) untuk
menafikan jenis, maka (لاَ) akan menunjukkan pada penafian
jenis secara jelas, ketika isimnya berupa mufrad. Namun, jika isimnya berupa
tatsniyyah atau jama’, seperti (لاَ رَجُلَيْنِ
فِي الدَّارِ) dan (لاَ رِجاَلَ فِي الدَّارِ), maka ada
kemungkinan (لاَ) itu untuk menafikan jenis dan
mungkin juga untuk menafikan wujud dua saja atau jama’ saja. Sehingga bisa
dimungkinkan jika didalam rumah terdapat dua lelaki atau satu, jika yang
dinafikan adalah jama’. Dan mungkin juga didalam rumah terdapat banyak lelaki
atau satu, jika yang dinafikan adalah dua orang.[3]
Oleh karenanya, dipebolehkan jika diucapkan (لاَ رَجُلَيْنِ
فِيْهاَ بَلْ رَجُلٌ اَو رِجاَلٌ) dan (لاَ
رِجاَلَ فِيْهاَ بَلْ رَجُلٌ اَو رَجُلاَنِ).
No comments:
Post a Comment