Pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
direbut melalui, berbagai perjuangan; pemberontakan, peperangan grilya,
peperangan terbuka dan diplomasi yang dilakukan oleh para pendiri negara kita
terdahulu (pahlawan bangsa), tidak dimaksudkan untuk membuat Khilafah
Islamiyah. Mereka sadar betul baik dari kalangan Nahdlatul Ulama
(NU), Muhamadiyah, Persis, Nasionalis dan kelompok lainnya yang ikut berjuang,
merebut kemerdekaan, mereka berjuang hanya untuk satu tujuan, yaitu Kemerdekaan
Indonesia.
Sejarah panjang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,
telah banyak mengorbankan ratusan ribu jiwa, mereka berjuang
tanpa pamrih, tanpa embel-embel ingin jadi presiden atau mentri, bahkan
tidak terpikirkan untuk jadi bupati sekalipun. Perjuangan mereka semata
ditujukan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan yang kejam dan tidak
berprikemanusiaan.
Ketulusan perjuangan para pahlawan bangsa dalam merebut
kemerdekaan, teruang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan
dan peri keadilan.
Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan Rakyat Indonesia kedepan
pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Esa dan dengan didorong oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka
Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada: Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Ini adalah bentuk komitmen yang telah dibuat dan dicetuskan oleh
para pendiri bangsa ini. Komitmen ini tidak boleh dikhianati oleh siapapun,
kapanpun dan dimanapun. termasuk oleh kelompok orang yang mengatas namakan
agama, yang ingin membuat Negara Islam Indonesia (NII), dengan jargon Saatnya
Khilafah Islamiyah memimpin dunia.
Pantaskan orang yang tidak pernah berjuang, mengangkat senjata,
memerdekakan Indonesia, kemudian ingin mengubah NKRI menjadi Khilafah
Islamiyah ???
Munculnya gerakan Islam radikal yang dipengaruhi oleh
idiologi Wahabi begitu keras menggelinding terutama pasca
reformasi. Ideologi transnasional, telah menyeret Ideologi Pancasila
sehingga Idiologi Pancasila terancam kehilangan tajinya,
akibatnya NKRI pun hendak diganti Khilafah Islamiyah.
Akankah kita membiarkan NKRI dan Idiologi Pancasila diporak
porandakan oleh segelintir orang yang Ambisius, haus kekuasaan, melakukan
politisasi agama, menghalalkan segala cara, mengatas-namakan Islam padahal
merusak citra Islam, meledakan bom tanpa berprikemanusiaa dengan mengatas
namakan Jihad fi sabililah ???
Keperihatinan ini telah mengusik lubuk hati yang paling dalam
kalangan Nahdiyyin. Dalam wasiatnya menjelang berpulangnya ke rahmatullah KH
Yusuf Hasim, putera Hadratus Syaikh Hasyim Hasyim Asy’ari pendiri
NU mengatakan: “ Kita harus dapat memotong laju gerakan ideologi
kekerasan dari Timur Tengah dan liberalisme Barat. Karena ked.duanya
sama‑sama akan merusak NU dan NKRI”. Sebab, lanjut KH. Yusuf
Hasyim, masuknya ideologi transnasional ke Indonesia dapat merusak
tatanan NU dan Indonesia. Pemerintah harus menggunakan Pancasila sebagai
ideologi yang membatasi masuknya ideologi transnasional. Sedangkan NU
harus terus memperkuat pemahaman Aswaja‑nya ke seluruh struktur dan kultur
di bawah NU.
Mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang berdasarkan Idiologi Pancasila, tidak mungkin hanya diserahkan
kepada pemerintah saja. Oleh sebab itu, dibutuhkan partisipasi aktiv kita
semua.
Sudah saatnya kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia,
bangkit, bahu membahu, membentengi kedaulatan bangsa, dengan cara mengeliminir
pengaruh ideologi kekerasan dari Timur Tengah dan liberalisme Barat.
NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia perlu
segera mengambil bagian untuk mempertahankan dan membentengi NKRI dan Idiologi
Pancasila.
Ketua Umum PBNU, Drs. A. Hasyim Muzadi mengisaratkan, bahwa
posisi NKRI dan NU sekarang berada dalam “kepungan” ideologi transnasional:
radikalisme Timur‑Tengah; liberalisme Barat. Menurut beliau radikalisme
Timur Tengah dan liberalisme Barat sama‑sama berpotensi merusak NU dan NKRI.”
Senada dengan Kiai Hasyim, Ketua PBNU, KH. Masdar Farid Mas’udi
menegaskan bahwa NahdIatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar
di Indonesia, kini sedang dalam posisi bahaya. Apa sebab, karena ada pihak‑pihak
yang memprovokasi dan mengadu‑domba para tokoh NU dengan tujuan
menciptakan konflik horisontal antar‑warga NU. Basis‑basis NU: masjid,
pesantren, majelis ta’lim hingga. pengajian rutin dikampung-kampung diprovokasi agar berganti ”baju”,
dari paham ahiussunnah wal jama’ah (Aswaja) ke paham Wahabi atau
lainnya.
Kami ingatkan agar warga NU waspada terhadap kelompok
tertentu yang hendak mengadu‑domba sesama kiai panutan nahdliyin, yang
begitu beresiko menimbulkan konflik horisontal yang sangat keras di lapisan
bawah,” papar Masdar kepada Risalah NU”.
Warning ini mengindikasikan betapa bahayanya
pengaruh ideologi transnasional: radikalisme Timur‑Tengah;
dan liberalisme Barat, terhadap persatuan dan kesatuan
bangsa. Mereka sangat menguasai medan dan peta kekuatan politik
Indonesia, sehingga sasaran utama yang mereka bidik adalah NU, sebab NU
merupakan Organisasi Islam terbesar di Indonesia, dengan asumsi apabila NU bisa
dilumpuhkan, maka secara otomatis, mereka leluasa untuk mengganti Idiologi
Negara Pancasila dengan Idiologi Wahabi.
Menanggapi bahaya Ideologi transnasion Dr. M. Said. Aqil.
Siroj, mengatakan; ideologi transnasional dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Ideologi transnasion, akan menggeret agama masuk dalam pusaran
ketegangan benturan sosial, sehingga pada gilirannya, ia akan
mereduksi substansi Islam sebagai agama cinta damai dan transendetal
serta melepaskan dogmatisme agama. Sedangkan gerakan radikal akan menghilangkan
peran agama sebagai rahmat. “Karena itulah, kedua ideologi ini tidak bermanfaat
dan bahkan membahayakan NKRI,” tegas Kiai Said doktor lulusan Umul al‑Qura
Makkah, Arab Saudi, Fakultas Ushuluddin dengan predikat Summa Comlaude ini.
Mengingat besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh ideologi
transnasional, Ketua Pengurus Pusat Lembaga Da’wah NahdIatul
Ulama (PP LDNU) PBNU, KH. Nuril Huda meminta warga nahdliyin mewaspadai
munculnya kelompok‑kelompok yang membawa faham keagamaan baru yang marak
belakangan ini. Karena, tak sedikit di antara mereka ini yang mengaku menganut
paham Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja), namun prakteknya sama sekali
tak terkait dengan Aswaja NU, malah mengajak ke paham
lain. Kelompok-kelompok tersebut mempunyai ciri gampang menuduh bid’ah
(mengada ada), sesat, bahkan kufir terhadap warga nahdliyin.
“Ada yang ngaku Jama’ah Salafiyah, namun prakteknya keluar dari apa yang
diajarkan oleh ulama‑ulama salaf. Ulama-ulama salaf itu kan sangat
menghargai perbedaan madzhab dalam bidang ubudiyah. Tapi golongan ini tidak
mengakui (perbedaan madzhab) itu, sehingga mudah sekali mem‑bid’ah‑kan
bahkan mengkafirkan orang lain,” jelas Kiai Nuril.
Karena itu, lanjut Kiai Nuril; segenap komponen NU harus
melakukan peneguhan kembali terhadap pemahaman dan implementasi faham Aswaja
di masyarakat. Upaya tersebut untuk membentengi warga NU dari rong-rongan
kelompok-kelompok yang mengusik kelestarian pemikiran dan budaya yang
dikembangkan NU lewat ajaran Aswaja.
Kiai Nuril mengungkapkan, kelompok‑kelompok yang mengaku berpaham
Aswaja yang kini bergentayangan di mana‑mana itu tak. hanya berupaya mengganti
tradisi keagamaan nahdliyin. Lebih dari itu, mereka kini juga merebut
masjid-masjid NU dengan mengambil alih kepengurusan takmirnya dengan dalih
karena NU syarat dengan ajaran bid’ah.
Direktur P3M Jakarta ini juga mengatakan, dengan modal
pendanaan yang besar, mereka mempunyai misi besar memberangus tradisi‑tradisi
keagamaan NU yang mereka tuduh menyimpang dari ajaran nabi Muhammad SAW.
Tujuan akhimya, mereka ingin membersihkan NU dari keseluruhan tradisi‑tradisi
peribadatan dan keagamaannya,”
Karena itu, ia meminta kepada semua warga dan tokoh NU untu
bersatu padu dengan menjaga persaudaraan dan kekompakan antar sesama.
Hanya dengan itu, geraka .kelompok‑kelompok yang ingi menghancurkan NU dan
NKRI dapat dibendun. Beliau ”Mendesak kepada segenap
warga nahdiyin dan segenap pimpinan di semua lapisan untuk mempererat
tali silaturrahmi yang tulus, dan bebas dari kalkulasi politik sesaat,”
la juga meminta kepada warga dan tokoh NU untuk
membentengi masjid-masjid yang selama ini digunakan sebagai pusat
beribadah dari “serangan” kelompok-kelompok yang ingi
menghancurkan NU dan NKRI secara sistemik. “Saya minta kepada warga
NU dan tokoh NU membentengi mesjid-mesjid Nahdiyin. dengan menjadikannya
sebagai pusat pemberdayaan umat dan bangsa, ” katanya.
Kiai Hasyim Mudzadi lebih lanjut
mengatakan: WargaNU, sudah selayaknya menolak ideology transnasional baik
yang radikal dari Timur Tengah maupun yang liberal dari Barat. Justru itulah
pihaknya sepakat dengan Pak Ud agar NU menolak paham . ideologi transnasional.
“Kami berkeliling ke Barat dan Timur Tengah untuk mengampanyekan NU sebagai
ideologi alternatif. Kami dari NU, adalah pemimpin Islam pertama di dunia yang
datang ke “ground zero” di New York AS (lokasi pengeboman WTC pada 9‑112001) untuk
menolak “kekerasan” dari Islam ideologis.
Demikian juga kami datang ke Irak, Iran, dan Palestina untuk
menolak kekerasan” dari liberalisme ala Barat,” tegas
Presiden World Conference on Relegions and Peace (WCRP)
ini. Menurut Kiai Hasyim, pihaknya datang ke Timur Tengah dan melihat,
temyata Irak, Iran, dan Palestina menjadi korban ideologi liberalisme Barat,
mereka diibaratkan sebagai binatang aduan seperti jangkrik. Mereka
diadu domba intelejen asing, agar penjajah dapat kemenangan secara gratis. NU
datang ke sana dengan misi membuat perdamaian dan mendorong agar
mereka bersatu. Kami mengampanyekan kepada mereka Islam ala NU kepada dunia
bahwa NU melihat Islam adalah agama, bukan ideologi, karena itu. apa yang
terjadi di Timur Tengah selama ini bukan Islam sebagai agama,
tapi sebagai ideologi Islam.
Agar warga NU terlindung dan dapat membentengi diri dari serangan
dan rongrongan paham di luar Aswaja, lanjut Kiai Hasyim, maka perlu
terus menerus mengkaji fikroh Nahdliyah agar menjadi matang, yang
selanjutnya menjadi pedoman warga nahdliyin.
Tantangan NU sekarang ini begitu nyata, di antaranya adalah faktor
regenerasi. NU kini telah melewati tiga generasi, dan ada indikasi mengalami
penurunan perhatian pada masalah yang idealis. Kenyataan inilah yang
mengakibatkan ketidak pedulian dan ketidak tahuan generasi
uda terhadap NU. Faktor berikutnya adalah semangat kebebasan atau
liberalisasi pemikiran. Menurutnya, faktor tersebut berperan besar dalam‑
melahirkan kelompok-kelompok. tertentu yang sekaligus menjadi tantangan bagi
NU. Di antaranya, kelompok radikal keagarnaan (tasyaddud fiddien),
baik pemikiran (tatorruf fiqri) maupun tindakan. (tatorruf haroki).
Ini sebagian besar dipicu oleh masuknya pemikiran
internasionalisme Islam (persatuan umat Islam yang berada di bawah satu
kepemimpinan tunggal) yang umumnya berasal dari Timur Tengah. Tujuannya untuk
menerapkan syariat Islam di Indonesia sesuai dengan negara yang ia datangi,”
papar Kiai Hasyim.
Kelompok tersebut, kata Kiai Hasyim, memiliki ciri tidak
menghormati perbedaan kondisi kenegaraan dan sosial politik serta keragaman
budaya setempat. Mereka hanya mengambil alih atau menerapkan ulang suatu
metodologi atau paham tanpa menghargai kebudayaan setempat.
Masdar menambahkan, ciri‑ciri mereka ini, kerap menuduh
NU sebagai organisasi sesat dan menyimpang. Mereka menilai NU, penuh dengan
tahayyul, bid’ah dan khurafat. Hanya kelompoknya sendiri yang
dianggap paling benar dalam beragama.
Kelompok ini begitu sistemik bergerak, baik di perkotaan maupun
pedesaan. “Mereka ini sangat terorganisir gerakannya dan semakin gencar
menggerogoti basis‑basis NU melalui penyerobotan masjid-masjid nahdliyin secara
sistematis. Bukan hanya di perkotaan, tapi juga di desa‑desa,”
Wujud dari pada internasionalisme Islam itu ada beberapa
hal, Pertama, yang bernuansa Wahabiyah (penganut paham
Wahabi). Ini meliputi flkriyah (pemikiran) dan harokiyah (gerakan). Kedua,
gerakan politik yang tidak seimbang dengan agama tetapi menggunakan tema
agama, ketiga adalah lemahnya gerakan tawassuth (moderasi).
Mereka menganggap tawassuth dan I’tidal (konsistensi)
adalah tawakkuf (jumud) sehingga memunculkan radikalisme, reaktif,
bukan konsepetual. Di sisi lain, liberalisasi pemikiran dalam agama menggunakan
ukuran-ukuran Barat, sehingga posisi-posisi fikih diganti masolihul
mursalah (kaidah mengenai kemaslahatan) yang tanpa manhaj
(metode), maka lahirlah hermeneutika (penafsiran) dengan ukuran‑ukuran ammah (masyarakat)
yang tidak seimbang antara pemikiran dengan maslahah (kesejahteraan)
hidup,”
Semua hal itu secara sistematis merupakan geraka yang
mendunia. Namun, para penganutnya di Indonesia dapat dibagi dalam dua
bagian, yaitu mereka yang memang merupakan bagian dari gerakan
glabal, tetapi ada juga yang sekedar ikut‑ikutan karena khawatir kalau
dianggap tidak maju. Sebaliknya yang terjadi adalah terIalu maju. Aliran
tersebut tidak kecil pengaruhnya, karena langsun mengancam pemikiran,
termasu budaya. Mereka secara. perlahan tapi pasti akan menggantikan
hampir seluruh norma agama. “Ambil contoh, sekarang ini orang sudah tidak
lagi berpikir bersinggungan dengan lain jenis dalam keadaan berdesak‑desaka
batal atau tidak, dan tak lagi berpikir bersalaman itu mukhtalaf (masih
diperdebatkan) atau tida karena sudah lebih dari itu. Dan
ini sebenarnya bukan saja disebabkan liberalisa pemikiran, tetapi
juga liberalisasi budaya tegasnya. Saat ini upaya mengontrol
terhadap pikira sudah tidak bisa dilakukan dengan alasan bahwa pikiran adalah
sesuatu yang tidak bisa dikontrol dan diatur perundangan sehingga pakemnya
menjadi hilang. “Akhirnya Ahmadiyah yang ekstrim (zindik), yang setengah
Mbah Suro (kebatinan) ini tumbuh subur di tengah tarik menarik antara tatorruf
yamani (ekstrim kanan) yang tasyaddu (keras) dengan tatorruf
yasari (ektri kiri) yang tasyahul (menyepelekan hukum),” jelas
Kiai Hasyim. (RISALAH Edisi II Th I/Jumadil Tsaniyah 1428
H)
Salah satu upaya untuk menangkal dan menghambat laju berkembangnya
gerakan tersebut, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Karawang, mencoba
menerbitkan buku ini, yang berisikan “mewaspadai bahaya ideologi
transnasional: radikalisme Timur‑Tengah; dan liberalisme Barat, sebagai
masukan kepada generasi muda NU khususnya dan masyarakat pada umumnya yang
masih polos dan kurang memahami sejarah bangsa. Buku ini juga memuat,
pentingnya mengenal, memahami dan mencintai NU sebagai sebuah kajian fikroh
Nahdliyah seperti yang diamanatkan KH. Hasyim Mudzadi Pengurus Besar
Nadlatul Ulama. Sebab hanya dengan Fikroh Nahdiyin yang mengedepankan Sikap
tawasuth dan I‘fidal, Sikap tatsamuh, Sikap tawazun,
dan Amar ma’ruf nahi mungkar, nasib NKRI dan Idiologi Pancasila
dapat diselamatkan.
(Buku: NU dan NKRI Dalam Bahaya, Oleh: Drs. H. Muhammad Sholihin)
sumber Sarkub
No comments:
Post a Comment