Setiap
Rabu terakhir bulan Shafar, sebagian besar kaum Muslimin Nusantara melakukan
shalat sunnah memohon kepada Allah SWT agardijauhkan dari berbagai
malapetaka. Hal ini didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam kitab Mujarrabat
al-Dairabi al-Kabir yang berbunyi:
“Sebagian
orang-orang yang ma’rifat kepada Allah menyebutkan, bahwa dalam setiap tahun
akan turun tiga ratus dua puluh ribu malapetaka, semuanya terjadi pada Rabu
terakhir bulan Shafar, sehingga hari tersebut menjadi hari tersulit dalam
hari-hari tahun itu. Barangsiapa yang menunaikan shalat pada hari itu sebanyak
4 raka’at, dalam setiap raka’at membaca al-Fatihah 1 kali, Surat
al-Kautsar 17 kali, surat al-Ikhlash 15 kali dan mu’awwidzatayn 1 kali, lalu
berdoa dengan doa berikut ini, maka Allah akan menjaganya dari semua
malapetaka yang turun pada hari tersebut.”
Hari
Rabu yang disebutkan dalam keterangan di atas disebut dengan Rebo
Wekasan. Persoalannya, sejauh manakah legitimasi agama, atau pengakuan agama
Islam terhadap Rebo Wekasan seperti dalam keterangan Kitab Mujarrabat
al-Dairabi al-Kabir di atas? Menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal
yang perlu kita bahasa.
Pertama,
pernyataan sebagian orang-orang yang ma’rifat tersebut, atau dalam kata lain
sebagian waliyullah (kekasih Allah), dalam kacamata agama disebut dengan ilham.
Para ulama ushul fiqih mendefinisikan ilham dengan, pikiran hati yang
datang dari Allah. Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama
panutan utama kaum Wahabi berkata dalam al-‘Aqidah al-Wasithiyyah:
ومن أصول أهل السنة :
التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع
العلوم والمكاشفات
“Di antara prinsip
Ahlussunnah adalah mempercayai karamah para wali dan apa yang dijalankan oleh
Allah melalui tangan-tangan mereka berupa perkara yang menyalahi adat dalam
berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.”
Pernyataan
Syaikh Ibnu Taimiyah di atas, mengharuskan kita mengakui adanya berbagai macam
ilmu pengetahuan dan mukasyafah yang diberikan oleh Allah kepada para wali.
Dengan demikian, dalam perspektif agama, ilham maupun mukasyafah sebagian
wali Allah di atas tentang berbagai macam malapetaka yang diturunkan pada hari
Rabu terakhir bulan Shafar, menemukan legitimasinya dalam akidah Islam.
Kedua,
mayoritas ulama berpendapat bahwa ilham tidak dapat menjadi dasar hukum Islam
(wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram). Ilham yang dikemukakan dalam Mujarrabat
al-Dairabi al-Kabirdi atas, tidak dalam rangka menghukumi sesuatu dalam
perspektif Islam. Ilham di atas hanya informasi perkara ghaib tentang turunnya
malapetaka pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Dengan demikian, ilham
tersebut tidak berkaitan dengan hukum, tetapi berkaitan dengan informasi
perkara ghaib yang biasa terjadi kepada para wali Allah, seperti dikemukakan
oleh Syaikh Ibnu Taimiyah di atas.
Ketiga,
dalam ilmu tashawuf, ilham maupun mukasyafah seorang wali tidak boleh dipercaya
dan diamalkan, sebelum dikomparasikan dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah.
Apabila ilham dan mukasyafah tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka
dipastikan benar.
Akan tetapi apabila ilham dan mukasyafah tersebut
bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka itu jelas salah dan harus
ditinggalkan jauh-jauh. Kaitannya dengan ilham atau mukasyafah Rebo Wekasan
yang diterangkan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, ada
dasar yang menguatkannya. Rasulullah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ
أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر،
وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي،
الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري،
المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).
“Dari Ibn Abbas RA, Nabi SAW bersabda:
“Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’
dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi.
(Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan
al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’
al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).
Hadits
di atas kedudukannya dha’if (lemah). Tetapi meskipun hadits tersebut lemah,
posisinya tidak dalam menjelaskan suatu hukum, tetapi berkaitan dengan bab targhib dan tarhib (anjuran
dan peringatan), yang disepakati otoritasnya di kalangan ahli hadits sejak
generasi salaf. Ingat, bahwa yang menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak,
bukan ulama ahli hadits, akan tetapi kaum Wahabi abad modern yang dipelopori
oleh Syaikh al-Albani.
Dalam
hadits tersebut dinyatakan bahwa hari Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah
hari datangnya sial terus.
Keempat,
berkaitan dengan bulan Shafar, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya
sebagai berikut ini:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا
عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan
Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang
terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam
menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam
al-Hafizh al-Hujjah Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh
Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata sebagai berikut:
أَنَّ الْمُرَادَ
أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ:
إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ،
وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ
عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ
اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا
يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ
الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب
الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٨).
“Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini
datangnya sial dengan bulan Shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial.
Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud
dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat
demikian. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang
meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian
pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis
thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh
Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).
Kelima,
dalam hadits sebelumnya dinyatakan bahwa, Rabu terakhir setiap bulan adalah
hari datangnya sial. Sementara dalam hadits berikutnya, membatalkan tradisi
Jahiliyah yang merasa memperoleh ketidakberuntungan pada bulan Shafar. Dari
sini, Rabu terakhir di bulan Shafar disebut dengan Rebo Wekasan. Hal ini
agaknya melegitimasi ilham atau mukasyafah sebagian wali
Allah di atas tentang turunnya berbagai malapetaka di bulan Shafar.
Keenam,
terkait dengan amaliah shalat 4 rakaat di atas bagaimana posisi hukumnya?
Secara fiqih, shalat tersebut tidak mungkin dikatakan sebagai Shalat Sunnat
Rebo Wekasan, karena dalilnya tidak ada. Tetapi melakukan shalat tersebut,
tentunya boleh-boleh saja, dengan harapan terhindari dari berbagai malapetaka. Dalam
konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama
salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif:
وَالْبَحْثُ عَنْ
أَسْبَابِ الشَّرِّ مِنَ النَّظَرِ فِي النُّجُوْمِ وَنَحْوِهَا مِنَ الطِّيَرَةِ
الْمَنْهِيِّ عَنْهَا، وَالْبَاحِثُوْنَ عَنْ ذَلِكَ غَالِبًا لَا يَشْتَغِلُوْنَ
بِمَا يَدْفَعُ الْبَلَاءَ مِنَ الطَّاعَاتِ، بَلْ يَأْمُرُوْنَ بِلُزُوْمِ الْمَنْزِلِ
وَتَرْكِ الْحَرَكَةِ، وَهَذَا لاَ يَمْنَعُ نُفُوْذَ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ،
وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْتَغِلُ بِالْمَعَاصِيْ، وَهَذَا مِمَّا يُقَوِّيْ وُقُوْعَ
الْبَلاَءِ وَنُفُوْذَهُ، وَالَّذِيْ جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيْعَةُ هُوَ تَرْكُ
الْبَحْثِ عَنْ ذَلِكَ وَاْلإِعْرَاضُ عَنْهُ وَاْلإِشْتِغَالُ بِمَا يَدْفَعُ
الْبَلاَءَ مِنَ الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالصَّدَقَةِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ
عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلإِيْمَانِ بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ. (الإمام الحافظ
الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٣).
“Meneliti sebab-sebab keburukan seperti
melihat perbintangan dan semacamnya termasuk thiyarah yang dilarang.
Orang-orang yang meneliti hal tersebut biasanya tidak menyibukkan diri dengan
amal-amal baik yang dapat menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar tidak
meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya
keputusan dan ketentuan Allah. Di antara mereka ada yang menyibukkan dirinya
dengan perbuatan maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka. Ajaran
yang dibawa oleh syari’at adalah tidak meneliti hal tersebut, berpaling
darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak seperti
berdoa, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal kepada Allah SWT dan beriman
kepada keputusan dan ketentuan Allah SWT.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal.
143).
Keterangannya pada hari rabu ini Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan menjaga kita dari 320.000 balai sampai setahun
kemudian, mungkin menurut sebagian mufasir ada yang mengatakan Bid’ah atau
apalah, tapi menurut sebagian mufasir lain mengatakan bahwa sholat hajat Rabu
Wekasan bisa dilakukan selagi masih dalam koridor keislaman dan jauh dari
perbuatan musyrik.
Sholat tolak balak atau sering
disebut sholat hajat ini di kerjakan 4 rakaat, dengan dua rekaat salam dua
rekaat salam, tata cara sholat berdasarkan ijazah dari Syeikh Muslih Mranggen
Semarang:
1. Niat
shalat hajat, (أُصَلِّيْ
سُنَّةَ الْحَاجَةِ لِدَفْعِ الْبَلاَءِ رَكْعَتَيْنِ للهِ تَعَالَى)
2. Rakaat
pertama setelah membaca al-Fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs.
al-Kautsar sebanyak 17 kali kemudian dilanjut dengan Qs. al-Ikhlas 5 x, lalu
disambung dengan membaca Qs. al-Falaq 1 x dan Qs. an-Naas 1 x.
3. Rakaat
kedua, ketiga dan keempat bacaannya sama seperti bacaan rekaat pertama.
Setelah salam, membaca dzikir
berikut sebanyak 21 kali:
لآ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ
إِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ
Setelah itu baru membaca doa:
اللّهُمَّ يَاشَدِيْدَ اْلقُوَّةِ
وَيَا شَدِيْدَ اْلمِحَالِ يَا عَزِيْزُ يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ
خَلْقِكَ إِكْفِنِي مِنْ جَمِيْعِ شَرِّ خَلْقِكَ يِا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ يَا
مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ يَا مَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ أَنْتَ
إِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللّهُمَّ بِسِرِّ اْلحَسَنِ
وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ إِكْفِنِيْ شَرَّ هَذَا اْليَوْمِ وَماَ
يُنَزَّلُ فِيْهِ يَا كَافِيَ اْلمُهِمَّاتِ يَا دَافِعَ البَلاَياَتِ
فَسَيَكْفِيْكَهُمُ الله ُوَهُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ حَسْبُناَ الله
ُوَنِعْمَ اْلوَكِيْلِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله ِاْلعَلِيِّ
اْلعَظِيْمِ .
اَللّهُمَّ أَعْصِمْناَ مِنْ جُهِدِ
الْبَلاَءِ وَ دَرْكِ الشِّقَاءِ وَ شَمَاتَةِ الأَعْدَاءِ وَ مَوتِ الْفُجْأَةِ
وَ مِنْ شَرِّ السَّامِ وَ الْبَرْسَامِ وَ الْحُمَى وَ الْبَرَصِ وَ الْجُذَامِ
وَ الأَسْقَامِ وَ مِنْ جَمِيْعِ الأَمْرَاضِ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ
سَلَّمَ آمِيْن يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaga orang tersebut dari seluruh balak
tadi sampai akhir tahun. Ditambahkan oleh Syeikh Zainuddin murid dari Syeikh
Ibnu Hajar al-Maliki dalam kitab Irsyadul Ibad yang mengatakan bahwa hal
itu juga termasuk Bid’ah madzmumah (tercela). Maka bagi orang yang ingin
melaksanakan sholat tersebut sesuai dengan tuntunan syeikh al-Kamil Farid
ad-Din dalam kitab Jawahir al-Khamis hendaknya berniat melaksanakan
sholat sunnah mutlak dimana sholat mutlak adalah sholat yang tidak dibatasi
oleh waktu, sebab dan bilangannya.
No comments:
Post a Comment