Di ceritakan
pada abad ke 17 hubungan Tuban dan Pati dengan daerah Banten Jawa Barat
dapat di lihat dari seringnya pelabuhan Tuban dan Juana (Pati) di singgahi para
pelayar dari Banten. Kedua pelabuhan itu mempunyai kedudukan penting bagi
Mataram dalam distribusi hasil pertanian dari pedalaman. Bahkan dengan kebijakan Mataram yang membagi empat wilayah daerah pesisir dua pelabuhan tersebut
mampu menandingi pelabuhan Semarang dan Jepara. Terlebih lagi ketika Jepara di
pandang tidak aman karena sering terjadi pembajakan kapal.1]
Di duga KH. Sheikh Ahmad Mutamakkin mengawali perjalanan intelektualnya dengan berlayar ke Banten dan disana Ia
bertemu dengan ulama besar Muhammad
Yusup al-Makassari yang kemudian Ia melanjutkan ke Negeri
Timur Tengah. dapat juga di duga sebelum sampai ke Banten Ia singgah ke Tegal
Jawa Tengah. Hal ini di dasarkan atas makam ayahnya (pangeran Benawa II) yang
di yakini terdapat di Tegal. Bahkan di daerah tersebut terdapat Desa yang
bernama Kajen. Sepulang dari Timur Tengah KH. Ahmad Mutamakkin
tidak kembali ke Tuban melainkan ke sebuah Desa di Pati bagian utara.[2]
Sedangkan menurut KH. Maspu’duri salah satu
keluarga dekat dari keturunan KH. Ahmad Mutamakkin, riwayat intelektual
KH. Mutamakkin di peroleh pertama dari
keluarganya sendiri karena keluarga KH. Ahmad Mutamakkin merupakan putra salah
satu keluarga ningrat dan keluarga terdidik yaitu putra salah satu Adipati di
Tuban yaitu Hadinegoro atau
Sumohadiningrat.
Namun sejak kecil KH. Ahmad Mutamakkin tidak menyukai gaya
hidup Keraton yang gelamor kemudian
melakukan pengembaraan kearah
barat hingga sampai Sarang Rembang dan menetap sementara
di Sarang dan mendirikan sebuah masjid,
kemudian melanjutkan perjalanan dakwah kearah barat dan kemudian singgah di Cebolek, setelah menetap di Cebolek sementara.
KH. Mutamakkin setiap malam setelah melakukan
shalat malam atau shalat Tahajud beliau melihat sinar kearah atas, dan di
carilah sinar itu kearah barat hingga ketemu pusat sinar yaitu di kediaman KH.
Shamsuddin di Desa Kajen kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Kemudian KH. Mutamakkin berbaiat menjadi murid dan santri KH. Shamsuddin.
Akhirnya KH. Mutamakkin menjadi murid KH.
Shamsuddin. Karena kealimannya, kebagusan ahlaqnya dan kecerdasannya KH. Mutamakkin kemudian di jodohkan dan diambil
menantu KH. Shamsuddin dengan seorang putrinya bernama Nyai Shalihah.[3]
Setelah menjadi santri KH. Shamsuddin, KH.
Mutamakkin kemudian melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Timur Tengah, KH.
Mutamakkin belajar di timur tengah dalam beberapa lama, salah satu gurunya
adalah makamnya ada di Madinah. Makam gurunya KH. Mutamakkin ada lubangnya, dan
lubangnya selalu mengeluarkan angin yang berbau harum. Namun karena disana
menganut paham wahabi sekarang makam guru KH. Mutamakkin tersebut sudah tidak
terawat dan di buangin sampah oleh masyarakat Arab.[4]
Sepulang dari Timur Tengah pada abad 18, Sheikh
Ahmad Mutamakkin terdampar di Desa Cebolek, tepatnya di wilayah Pati Utara
wilayah Kawedanan Tayu. Desa Cebolek merupakan nama yang diberi oleh Al-Mutamakkin yang diambil dari kondisinya ketika terhempas dipantai yang di bawa oleh muridnya
dari bangsa Jin kemudian dipindahkan keatas seekor ikan mladang dan jebul-jebul
Melek (tiba-tiba terbuka matanya atau terjaga
sepulang dari tanah suci makkah).
Dapat pula diasumsikan bahwa beliau terdampar
di pantai timur Cebolek karena kapal
yang ditumpanginya di bajak oleh pembajak dari Jepara yang pada waktu itu merajalela dilaut utara Jawa.[5]
Sepulang dari Timur Tengah pada abad 18, Sheikh
Ahmad Mutamakkin terdampar di Desa Cebolek, tepatnya di wilayah Pati Utara
wilayah Kawedanan Tayu. Namun
menurut sejarah tradisi
lisan yang sekarang masih terpelihara dengan baik, sebenarnya terhempasnya KH. Mutamakkin di tengah lautan
itu karena KH. Mutamakkin di hianati muridnya yang dari bangsa jin.
Menurut
cerita KH. Maspu’duri, ketika mau berhaji KH. Mutamakkin memanggil salah seorang muridnya yang dari bangsa jin
untuk mengantarkan berhaji ke Makkah. Sewaktu pulang dari makkah KH. Mutamakkin
juga diantarkan muridnya dari bangsa jin, ketika sampai di tengah lautan
berpapasan dengan Ratu jin Kafir. Dan Ratu jin kafir itu meminta agar KH. Mutamakkin di lepaskan saja oleh muridnya. Kalau tidak mau
melepaskan maka ratu jin kafir itu akan membunuh murid dari jin KH. Mutamakkin.
KH. Mutamakkin kemudian dikhianati oleh
muridnya dan di tinggalkan sendirian di tengah lautan, kemudian KH. Mutamakkin
pasrah kepada Allah dan memejamkan mata, sehingga di tolong oleh ikan Mladang
diantarkan ke ke sebuah pinggir pantai dan kemudian KH. Mutamakkin membuka matanya. (Jebul-jebul melek). Maka daerah pantai
tempat terhempasnya KH. Mutamakkin ini di namakan Cebolek.[6]
Guru KH. Sheikh Ahmad Mutamakkin termaktub
dalam serat Cebolek adalah Sheikh Zayn dari Yaman. Figur ini juga di kenang
oleh masyarakat di sekitar makam KH.
Sheikh Ahmad Mutamakkin. Sheikh Zein adalah figur historis yang sebagaimana
dalam penelitian Azzumardi Azra tentang jaringan ulama adalah Sheikh Muhammad Zayn
al-Mizjazi al-Yamani, seorang tokoh tarikat Naqsabandiyah yang sangat berpengaruh. Meski tahun kehidupan Sheikh Zayn tidak di ketahui
pasti tetapi ayahnya Sheikh Muhammad al-Baqi Al-Mizjaji adalah guru
Yusuf al-Makassari dan Abdurrouf Assingkli wafat pada tahun 1663 dan putranya
Abdul Kholiq Ibnu Zayn al-Mizjaji wafat tahun 1740.
Tidak diketahui secara persis KH. Ahmad
Mutamakkin berguru kepada Sheikh Muhammad Zayn al-Yamani. Baik serat Cebolek
maupun lokal historis masyarakat tidak mengungkapkannya, juga tidak tentang
guru-gurunya yang lain. Akan tetapi kita bisa bercermin pada riwayat historis
murid Jawi pendahulunya Abdul Rauf
al-Singkili dan Yusuf al-Makassari yang menyusuri kawasan Timur
dan selatan Arabia termasuk Yaman sebelum sampai ke Haramain (Makkah dan
Madinah). Diasumsikan KH. Ahmad Mutamkkin mengikutirute perjalanan serupa
sebelum akhirnya sampai ke Makkah, dengan demikian dapat
melaksanakan ibadah Haji.[7]
Rihlah ilmiyah dan jaringan keilmuan KH. Ahmad
Mutamakkin penting untuk di ungkapkan dalam tulisan ini. Jika benar Ia mengikuti
rute gurunya al-Singkili
dan al-Makassari, maka dapat dicatat
disini beberapa tempat yang di
singgahinya, yaitu Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman,
Jeddah, dan akhirnya Makkah dan Madinah.
Tetapi sebelum ke Timur Tengah penting untuk
dicatat tentang kemungkinan pertemuan KH. Mutamakkin dengan Muhammad Yusuf al-Makassari di Banten
sekitar 1691 M. al-Makassari di
asingkan di Tanjung harapan pada
tahun 1694 M. Kemungkinan ini di
dasarkan atas catatan dalam
karangan al-Mutamakkin yang menyebutkan Tarikat Naqsabandiyyah dan Khalwatiyyah yang diasumsikan di inisiasi atau sekedar di perkenalkan oleh
al-Makassari.
Berkat al-Makassari kemudian Ia di perintahkan
belajar ke Timur Tengah mengikuti rute yang pernah dilakukan oleh
al-Makassari. Dari beberapa tempat dalam
rutenya di perkirakan Ia juga belajar
beberapa guru dan
dinisiasi oleh guru Tarikat yang hidup pada masa itu selain berguru
kepada Sheikh Zayn al-Yamani.[8]
Perlu dicatat disini beberapa murid al-Singkili
(w. 1693) yang sezaman dan barangkali
bertemu dengan al-Mutamakkin antara
lain Sheikh Abdul Muhyi asal Jawa
Barat, Abdul al-Malik bin Abdullah (1089-1149/1678-1736) asal Semenanjung Melayu yang di kenal sebagai tokoh pulau Manis, dari Trengganu,
Dawud al-Jawi Fansuri bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali al-Rumi. Yang
terahir ini adalah murid kesayangan al-Makassari yang juga sebagai Khalifah
utamanya.
Barangkali Assingkili-lah yang yang
menginisiasi al-Mutamakkin ke dalam Tarikat Shatariyyah meski sumber-sumber
yang ada tidak memberikan angka tahun
pertemuannya, dugaan ini didasarkan atas
catatan teks karangan al-Mutamakkin yang membicarakan Tarikat Shatariyyah berbahasa Arab Melayu (Jawa
Pegon).
Ketika Al-Mutamakkin sampai di Yaman, Muhammad
Abdul Al-Baqi al-Mizjaji sudah wafat dan di ganti oleh anaknya Sheikh Zain bin
Muhammad Abdul al-Baqi al-Mizjaji. Selain al-Mutamakkin, Flecer menegaskan,
seorang muslim Cina Ma Mingxin juga belajar dengan Sheikh Zayn bin Muhammad
Abdul al-Baqi Al-Mizjaji (1053-1138/1643-1726) dan putranya Abdul
Al-Khaliq wafat 1152-1740.[9]
Begitu juga ketika sampai di Makkah dan
Madinah, al-Mutamakkin tidak menemui guru-guru al-Singkli dan al-Makassari
karena mereka sudah meninggal dunia.
Ia hanya menemui
generasi selanjutnya yang dapat di catat dari kolega-kolega al-Singkli dan
al-Makassari. Karenya ada baiknya disini
di kemukakan hubungan antara Assingkli dan al-Makassari serta ulama-ulama yang
berperan yang hampir sezaman dengan al-Mutamakkin agar dapat di ketahui situasi
dan interelasi keilmuan pada masa itu.
Jika guru-guru al-Makassari antara lain Umar
bin Abdullah Basyaiban, Muhammad Bin
Abdul Baqi al-Naqsabandi, Sayyid Ali al-Zabidi, Muhammad Bin al-Wajih Al-Sa’di
al-Zamani, Ahmad al-Qussyayi, Ibrahim
Al-Qurani dan Hasan al-Ajami, Muhammad
al-Mazru’ al-Madani, Abdul Karim al-Lahuri, Muhammad Muraz al-Sami,
Ayyup bin Ahmad bin Ayyup al-Dimasqi al-Khawati (994-1071 / 1586-1661 M) maka guru-guru al-Mutamakkin
adalah generasi berikutnya yang bisa
jadi murid-murid dari ulama tersebut atau teman-teman al-Makassari.
Di banding
murid-murid al-Makasari lainya al-Mutamakkin lebih dulu berkiprah karena
murid-murid al-Makassari hidup dan
berkiprah pada abad
18 sedangkan Al-Mutamakkin hidup pada masa peralihan abad 17 dan 18.[10]
Sebagaimana di ketahui bahwa ulama utama yang
terdapat pada jaringan ulama abad-17 dan ke-18 adalah
Ibrahim al-Qurani (1614-1690) yang merupakan murid dari al-Qusyayi. Kenyataan
bahwa al-Qurani memiliki posisi sangat penting dalam perkembangan jaringan ulama lebih lanjut,
terlihat tidak hanya melalui jumlah murid-muridnya tetapi juga melalui
karya-karya yang cukup banyak. Dia merupakan titik bersama
bagi terbentuknya
garis-garis hubungan ulama-ulama pada
abad ke-17 dan ke-18, bahkan Ia di pilih sebagai Mujaddid abad-17.
Diantara murid-murid al-Kurani terdapat
beberapa orang yang memainkan peranan penting dalam melanjutkan jaringan ulama
setelahnya. di tangan Ahmad
al-Nakili Tarikat Naqsabandiyyah lebih diterima masyarakat Arab, melalui al-Nakili, Ia juga dikenal
sebagai Muhaddist, terjadi
reorientasi Naqsabandyyah.
Al-Nakili berperan besar juga dalam memperkuat
hubungan masyarakat Muhaddist dengan kaum sufi. Dia juga memiliki sisilsilah Tarikat Naqsabandiyyah dan Sattariyyah dari sayyid Mirr Kalal bin Mahmud al-Balki.
Dalam perjalanan intelektualnya yang
tercatat dalam karyanya
Bughyat al-Ṭalibin, al-Nakili menyebut beberapa ilmu yang
di perolehnya dan tarikat-tarikat yang di inisiasikan padanya yaitu Shadhiliyyah, Nawawiyyah, Qadiriyyah,
Naqsabandiyyah, Shattariyyah dan
Khalwatiyyah. Jadi sebagaimana di
katakan oleh Murtadho al-Zabidi, al-Nakili menghubungkan banyak ulama melalui
studi Hadithnya.[11]
Ulama lain yang berpengaruh pada pergantian
abad ke-17 dan ke-18 adalah Hasan bin Ali bin Muhammad bin Umar al-Ajami (w di
Thaif pada 1702).
Keterlibatan sepenuhnya dalam jaringan Hasan
al-Ajami mepunyai pengetahuan menyeluruh dalam ilmu-ilmu keislaman. Dia termashur
sebagai faqih, muhadith, sufi dan
sejarawan. Dia menjadi
titik temu berbagai studi Hadith
Shiria, Mesir, Magrib, Hijaz, Yaman dan Anak Benua
India.
Tidak mengherankan seperti pendapat al-Katani
bahwa murid-murid di Haramain tidak sempurna dalam studi Hadith sebelum belajar
dan menerima Hadith darinya. Mereka
memadati halaqahnya didekat bab al-Wada’ dan bab Umm Hani, masjidil haram Makkah. Hasilnya isnad dan periwayatan
Hadith dari Hasan al-Ajami luar biasa luas.[12]
Alim selanjutnya yang pantas disebutkan disini
adalah Muhammad bin Abdul al-Rasul al-Barjanji. Setelah belajar di Mesir
al-Barjanji kembali ke Haramain dan
kemudian menetap di Madinah dimana dia
wafat pada 1692 dia juga terkenal sebagai muhaddith, faqih, dan Sheikh
Tarikat Qadiriyyah yang mengabdikan diri pada penulisan dan
pengajaran.
Alim penting yang perlu di kemukakan adalah
Abdullah bin Salim bin Muhammad Salim bin Isa al-Basri al-Makki
yang wafat di Makkah pada 1722 M. Seperti terlihat dalam karyanya teks al-Imdad
bi Ma’rifah Ulum al-Isnad, pendidikannya
sangat lengkap menuntut ilmu dari banyak ulama.
Meski al-Basri ahli dalam hampir ilmu-ilmu
keislaman dia terutama terkenal muhaddist besar bahkan dia di juluki Amir al-Mu’minin
fi al-Hadith. Melalui teks fi al-Imdad dia memberikan sumbangan yang signifikan dalam studi Hadith
antara lain memberikan nama ulama yang termasuk dalam isnad superior. Tetapi seperti ulama terkemuka lain Al-Basri juga merupakan sufi
terpandang. Dia adalah Sheikh beberapa
tarikat seperti Naqsabandiyyah, Shadhiliyyah dan Nawawiyyah.
Diantara muridnya adalah Ala’ Aldin bin Abdul
al-Baqi al-Mizjaji al-Zabidi, Abu Thahir Al-Qurani, Muhammmad Hayyat Al-Sindi
dan Muhammad bin Abdul wahab yang
seluruhya merupakan eksponen-eksponen utama jaringan ulama abad 18.[13]
Alim terahir adalah Abu Tahir bin Ibrahim
al-Kurani (1081-1145/1670-1733) Ia lahir dan wafat di Madinah. Guru-guru
utamanya adalah ayahnya sendiri Sulaiman al-Magribi, al-Ajami,
Al-Barjanji, Al-Basri dan al-Nakili. Abu
Thahir terutama dikenal sebagai Muhaddith,
tetapi Ia adalah faqih dan sufi. Dalam berbagai karyanya terlihat upaya
menafsirkan kembali doktrin-doktrin Ibnu Arabi dan memiliki keahlian dalam
mistisisme filosofis.
Ulama-ulama tersebut selain tokoh sufi juga di
kenal sebagai Muhaddith yang dapat di
percaya, ini menunjukkan bahwa neosufisme telah makin kuat dan menemukan
bentuknya pada dekade ini. Nampaknya
para ulama Haramain menyadari semakin pentingnya jalan essoteris (haqiqat)
akibat tarikat-tarikat yang dibawa misalnya oleh ulama-ulama dari India menghasilkan interaksi, rapprocement dan interaksi lebih
inten diantara ulama sufi dengan ulma fiqih yang menekankan jalan eksoteris (Shariah).[14]
Dilihat dari bagan jaringan ulama tersebut
diketahui bahwa mereka hampir sezaman dengan al-Mutamakkin. Abdul Khaliq
al-Mizjaji putra Sheikh Zein al-Mizjaji nampaknya meninggal dunia hampir sezaman dengan al-Mutamakkin yaitu
sekitar 1740 M. Ulama-ulama pergantian
tersebut bisa jadi kemungkinan karena tak ada data yang mengemukakannya tetapi
setidaknya dapat memberikan gambaran situasi jaringan ulama yang melingkupinya.
Dengan demikian kiprah al-Mutamakkin juga
termasuk dalam karakteristik neosufisme. Ini diperkuat dengan catatan yang banyak mengutip Hadith-Hadith dalam menjelaskan
paham keagamaannya.
Sementara dilihat dari gelarnya yaitu
al-Mutamakkin tingkat kedudukan seorang
yang utama, kokoh dalam pendirian dan kuat memegang kebenaran seolah dia
diyakini atau di teguhkan sebagai wali,
pemimpin para wali di dunia yang dalam thabaqat wali disebut Wali Qutub.
Masyarakat setempat meyakini hal ini
sebagaimana menurut Milal dalam bukunya perlawanan kultural agama rakyat sekalipun penulis tidak dapat memberikan argumen secara ilmiah
maupun secara supranatural, karena
memang tidak ada catatan yang menerangkan kedudukannya diantara Dewan Wali Pada
zamannya.[15]
Sebenarnya ada beberapa ulama yang di catat
oleh Azzumardi Azra pada abad ke-18 akan
tetapi mereka kebanyakan hidup pasca al-Mutamakkin,... hal yang sama juga dilakukan
Alwi Sihab dalam upayanya untuk memetakan
jaringan ulama pengkategoriannya terhadap Ulama mengkelompokkan Tsawuf sunni dan Tasawuf falsafi di pertanyakan oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur).
Menurut Gusdur kedua tasawuf tersebut punya
andil yang sama-sama besar di dalam perkembangan Islam di Indonesia dan tidak
menutup kemungkinan tokoh yang di petakan Alwi sebagai pengikut tasawuf sunni terkadang
juga mengarah pada tasawuf falsafi. Dalam hal ini Gusdur mengambil contoh Sheikh
Hasyim Asy’ari yang tidak sepenuhnya mengikuti tasawuf sunni.[16]
Seandainnya Azzumardi Azra dan Alwi Sihab dalam
kajiannya mendapatkan dokumen tentang al-Mutamakkin, tentu mereka akan menemukan kesimpulan yang lain
karena al-Mutamakkin merupakan generasi yang dapat dianggap berhasil dan jernih dalam mensinkronkan antara
tasawuf dengan aspek mistisisme atau
kebatinan masyarakat Jawa.
Al-Mutamakkin melakukan praktek tasawuf falsafi
dan tasawuf sunni dalam satu tindakan tasawuf Amaly. Ia juga mendialektikan
dengan tradisi lokal. Pekerjaan yang sungguh berat memang, akan tetapi bentuk upaya
al-Mutamakkin menjernihkan Islam Jawa dengan kebenaran Tauhid.
Mereka
yang tidak memahami
secara langsung pemikiran dan paham keagamaanya tentu akan mudah
menuduh yang bukan-bukan. Dan inilah yang
termasuk menjadi polemik sebagaimana tergambarkan dalam serat Cebolek.[17]
[1] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 105
[2] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 106
[3] Wawancara
Pribadi dengan KH. Maspukdzuri, keturunan Dekat KH. Mutamakkin dan Mursyid
Tariqah Qadiriyah Naqsabandiyyah (Kajen, senin, 26 Juli 2011 Jam : 15.00-16.30
Wib)
[4] Wawancara Pribadi
dengan KH. Maspukduri,
keturunan Dekat KH.
Mutamakkin dan ketua Tariqah Qadiriyah Naqsabandiyyah
(Kajen, senin, 26 Juli 2011 Jam : 15.00-16.30 Wib).
[5] Zainul Milal
Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 106
[6] Wawancara
Pribadi dengan KH. Maspukduri, keturunan Dekat KH. Mutamakkin dan Mursyid
Tariqah Qadiriyah Naqsabandiyyah (Kajen :senin :26 Juli 2011, Jam : 15.00-16.30
Wib).
[7] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 109
[8] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 110
[9] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 110
[10] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 111
[11] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 112
[12] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 112
[13] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 112
[14] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 113
[15] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 114
[16] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 114 -115
[17] Zainul
Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 115
No comments:
Post a Comment