PERNIKAHAN ANTARA SAUDARA SEPUPU
Melaksanakan perkawinan merupakan
suatu bukti ketaatan kepada Allah dan RasulNya, karena banyak ayat Allah dan
hadis Nabi yang menganjurkan setiap umatnya untuk melakukan perkawinan.
Sekalipun demikian seseorang tidaklah bebas saja untuk menentukan pilihannya,
karena di dalam syari’at Islam terdapat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa
yang haram dinikahi.
Sering terjadi keraguan di tengah
masyarakat kita terutama di Ranah Minang ini yang menganut asas kekerabatan
Matrelineal (garis kekerabatan melalui ibu), mengenai boleh atau tidaknya
melakukan perkawinan antara saudara sepupu, baik dari pihak ayah maupun dari
pihak ibu. Sebelum masuk kepada pembahasan lebih lanjut, maka sebaiknya
ditinjau lebih dahulu apa yang dimaksud saudara sepupu.
Di dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia (KUBI) keluaran tahun 1995 dijelaskan bahwa “sepupu adalah hubungan
kekerabatan antara anak-anak dari dua orang bersaudara; saudara senenek”. Maka
yang dimaksud saudara sepupu adalah anak saudara laki-laki/perempuan dari
ibu/bapak kita.
Di Minangkabau termasuklah
kedalam kelompok saudara sepupu; anak saudara ibu/bapak (anak etek), anak
mamak, anak pak etek/pak tuo. Maka yang dimaksud perkawinan antara saudara
sepupu adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang yang bersaudara,
apakah dari pihak laki-laki atau dari pihak perempuan.
Untuk mengetahui lebih lanjut apa
hukumnya menikahi saudara sepupu, maka dalam hal ini penulis akan mengambil
dasar hukum tentang siapa-siapa yang haram dinikahi berdasarkan nash (Al-Qur’an
dan hadis) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di negara kita
yang mengatur masalah-masalah perkawinan.
Firman Allah dalam surat An Nisa’
ayat 23 yang artinya berbunyi :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ
وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُوَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ
تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا
رَحِيمًا
Artinya : “Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,
ibu-ibu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu
(mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaan kamu dari isteri yang kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkam bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu(menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masalampau,
sesunggguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Selanjutnya dalam Fiqh Islam,
para pakar hukum Islam seperti Sayid Sabiq dan lain-lainnya mereka
mengelompokkan perempuan yang haram dikawini ke dalam tiga kelompok. Pertama
adalah kelompok yang haram karena nasab (keturunan), kedua adalah kelompok yang
haram karena hubungan Mushaharah (perkawinan), dan yang ketiga adalah kelompok
yang haram karena hubungan radha’ah (persusuan).
Di negara kita, sekarang ini
sudah banyak peraturan-peraturan yang mengatur masalah perkawinan. Di dalamnya
terdapat ketentuan tentang siapa-siapa yang haram dikawini antara lain; pasal 8
Undang-undang No. I Tahun 1974 dan pasal 39 sampai dengan pasal 44 Inpres No I
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, anatara lain dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1.
Karena pertalian nasab :
a.
Dengan wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.
b.
Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c.
Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
2.
Karena pertalian kerabat semenda :
a.
Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya.
b.
Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya.
c.
Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya
hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla al dukhul.
d.
Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3.
Karena pertalian sesusuan :
a.
Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
b.
Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah
c.
Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah
d.
Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
e.
Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Selanjutnya dilarang juga
seseorang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita dalam keadaan tertentu
seperti :
1.
Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
2.
Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
3.
Seorang wanita/pria yang tidak beragama Islam.
4.
Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai
hubungan pertalian nasab atau susuan dengan isterinya:
a.
Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.
b.
Wanita dengan bibinya atau kemenakannya
5.
Seorang pria dilarang melakukan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria
tersebut sedang mempunyai empat orang isteri yang keempat-empatnya masih
terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah
seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya masih
dalam masa iddah talak raj’i.
6.
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
bekas isterinya yang ditalak tiga kali dan dengan seorang wanita bekas
isterinya yang dili’an, kecuali kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria
lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa
iddahnya.
Dari uraian di atas dapat
diketahui bahwa menurut syari’at Islam dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di negara kita, tidak ada halangan bagi laki-laki dan perempuan yang
terikat tali hubungan persaudaraaan sepupu melangsungkan perkawinan. Jadi
perkawinan seperti tiu, menurut syari’at Islam hukumnya adalah mubah ( boleh ),
karena tidak dijumpai nash Al-Qur’an dan Hadis yang secara tegas menganjurkan
atau melarang perkawinan antara saudara sepupu. Akan tetapi dalam syari’at
Islam dijelaskan bahwa perkawinan antara orang yang jauh sunnah hukumnya. Hal
ini berarti bahwa syari’at Islam, demi kemaslahatan, menganjurkan untuk
menghindari perkawinan antara saudara sepupu yang hubungan kekerabatannya
sangat dekat.
Dalam pandangan fiqh kontemporer
ada pendapat yang mengharamkan pernikahan dengan saudara sepupu yaitu antara
anak saudara perempuan dengan anak saudara perempuan khusus untuk masyarakat
Minangkabau. Para pakar fiqh kontemporer berpendapat bahwa di Minangkabau yang
kekerabatannya adalah matrilineal yang sangat kental sehingga antara saudara
seibu adalah sama seperti saudara kandung, bahkan mereka hidup dalan satu rumah
yaitu rumah gadang. Oleh karena rasa kekerabatannya sangat dekat maka ada ahli
fiqh kontemporer yang mengharamkan perkawinan antara saudara seibu. Hal ini
mereka dasarkan kepada kaidah ushul bahwa “al’aadah al makamah,” kebiasaan yang
hidup dalam masyarakat merupakan hukum.
Dari sudut peninjauan ilmu
kedokteran terhadap perkawinan antara saudara sepupu, menyimpulkan bahwa adanya
kemungkinan dampak negatif terhadap keturunan yang dilahirkan, maka hal ini
jelas berkaitan erat dengan hal ihwal kemashlahatan.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya
‘Ulumuddin sebagaimana dikutip oleh Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqh
Sunnah bahwa dianjurkan agar tidak mengawini keluarga dekat, sebab nanti
anaknya akan lemah. Ini diibaratkan penyemaian biji padi di satu tempat, lalu
batangnya ditanamkan lagi di tempat semula, maka tumbuhnya akan lebih baik dan
lebih besar. Demikian juga dalam masalah perkawinan.
Dengan demikian dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa menurut syari’at Islam, demi kemaslahatan, dianjurkan
untuk menghindarkan perkawinan antara saudara sepupu. Namun demikian hukum
perkawinan antara saudara sepupu tersebut tetap boleh.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment