SEBAB-SEBAB MENGGUNAKAN WALI SULTAN


  
1.  Tidak ada wali nasab (Wali yang ada tidak memenuhi syarat)

Bagi pengantin perempuan yang tidak mempunyai wali nasab seperti saudara kandung, maka wali hakimlah yang menjadi wali dalam perkawinannya. Rasulullah saw bersabda:

فالسلطان ولي من لا ولي لها

“Sultanlah menjadi wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali”.[1]

Dalam Islam, kalau wali  aqrab tidak memenuhi syarat untuk menjadi wali seperti gila, tidak sampai umur dan sebagainya maka kuasa wali berpindah kepada wali ab’ad (jauh). Jika satu-satunya wali yang ada juga tidak memenuhi syarat, maka kekuasaan wali berpindah kepada wali hakim. 

2.  Anak di luar nikah 

Anak di luar nikah ialah anak yang lahir sebelum diadakan pernikahan yang sah. Misalnya jika sepasang laki-laki dan perempuan bersetubuh, kemudian mengandung maka anak yang di kandung itu dianggap anak diluar nikah walaupun anak itu lahir dalam pernikahan yang sah. Jika anak di luar nikah tersebut perempuan dan akan menikah di kemudian hari, maka walinya ialah wali hakim. 

Begitu juga anak angkat, walinya adalah wali hakim karena anak itu dianggap tidak mempunyai wali nasab. Jika anak angkat berasal dari bapak yang sah atau keluarga yang sah, maka walinya ialah berdasarkan susunan atau tertib wali yang ada, bukan bapak angkat. Oleh karena itu para orang tua atau bapak angkat hendaklah berhati-hati dalam masalah ini, jangan menyembunyikan keadaan sebenarnya. 

3. Wali aqrab sedang menunaikan haji dan umrah. 

Dalam kitab  Minhaj al- Talibin, bab nikah, disebutkan jika wali aqrab menunaikan haji atau umrah, maka hak walinya hilang dan hak wali itu juga tidak berpindah kepada wali  ab’ad, tetapi hak wali itu berpindah kepada wali hakim. Demikian juga seandainya wali aqrab itu mewakilkan sebelum pergi haji atau umrah, maka wakalah (perwakilan) itu tidak sah.

Rasulullah SAW bersabda : 

عن عثمان بن عفان ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لا ينكح المحرم و لا لينكح و لا يخطب

“Dari Usman bin Affan bahwa Rasulullah saw bersabda: Orang yang ihram haji atau umrah tidak boleh kawin dan dikawinkan, dan tidak boleh meminang”. (HR. Muslim).[2]

Oleh karena itu, jika seorang perempuan yang hendak menikah, hendaklah menunggu sehingga wali itu pulang dari Mekah atau dengan menggunakan wali hakim. 

4. Wali ‘adlal

Para fuqaha sependapat bahwa wali tidak boleh menolak untuk menikahkan perempuan yang ada dalam kewaliannya, tidak boleh menyakitinya atau melarangnya menikah dengan calon suami pilihan perempuan itu. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata: “Saya mempunyai saudara perempuan. Ia dipinang oleh seorang pemuda yang mempunyai pertalian darah dengan saya. Saya nikahkan perempuan itu dengan pemuda tersebut, kemudian diceraikan dengan talak yang boleh dirujuk. Perempuan itu ditinggalkan sampai habis iddahnya. Tidak beberapa lama kemudian, pemuda itu datang lagi untuk meminang, maka saya menjawab: ”Demi Allah, saya tidak akan menikahkan engkau dengan dia selama-lamanya”. Peristiwa ini disampaikan kepada Nabi Saw. berkaitan dengan peristiwa ini, Allah Swt menurunkan ayat Al-Qur’an :

و اذا طلقتم النساء فبلغن اجلهن فلا تعضلوهن ان ينكحن ازواجهن اذا تراضوا بينهم بالمعروف

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf” (QS. al-Baqarah: 232). 

Kemudian Ma’qil berkata: “Kemudian saya membayar kifarah sumpah dan perempuan itu saya nikahkan dengan lelaki tersebut”. (HR. al-Bukhari dan Abu Daud). 

Dalam sebuah Hadits lain dinyatakan bahwa: 

ثلاث لا يؤخرن و هن الصلاة اذا أتت و الحنازة اذا حضرت و الأيم اذا وجدت كفؤا (رواه البيهقي)

“Ada tiga perkara yang tidak boleh ditangguhkan yaitu: shalat bila telah datang waktunya, jenazah bila telah hadir dan janda yang telah bertemu jodohnya”. (HR. al-Baihaqi).[3]

Oleh karena itu, perbuatan wali menghalangi atau menolak menikahkan wanita tanpa ada alasan syara’ adalah dilarang dan dianggap satu tindakan yang zalim kepada wanita.

Menurut jumhur fuqaha (Syafi’i, Maliki dan Hambali) apabila wali aqrab menolak menikahkan pengantin perempuan, maka wali hakim lah yang menikahkannya. Rasulullah Saw bersabda :

فإن استجروا فالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه ابو داود و الترمذي)

“Kalau wali-wali itu enggan, maka sultan atau hakim menjadi wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali”. (HR. Abu Daud dan al-Tirmizi) 

Dalam masyarakat kita sering terjadu wali  aqrab pengantin perempuan berada jauh atau ghaib. Hal ini menimbulkan masalah, siapa yang berhak menjadi walinya?. 

Menurut Mazhab Syafi’i, kalau wali aqrab ghaib atau berada jauh dan walinya tidak ada, maka yang menjadi wali ialah wali hakim di negerinya, bukan wali  ab’ad. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa wali yang ghaib atau berada jauh itu pada prinsipnya tetap berhak menjadi wali tetapi karena sukar melaksanakan perwaliannya, maka haknya diganti oleh wali hakim. 

Persoalan yang muncul ialah apakah ukuran yang dikatakan jauh itu? Menurut Mazhab Syafi’i, ukuran jauh itu ialah dua  marhalah yang mengharuskan sembahyang qasar yaitu perjalanan unta sehari semalam di padang pasir.[4]

Berdasarkan halangan dan kesukaran perjalanan itulah maka wali hakim mengambil alih tugas wali aqrab yang berada jauh itu. 

Oleh sebab itu, ulama sekarang berpendapat bila wali aqrab berada jauh atau ghaib meskipun tempat tinggalnya di Eropa atau Amerika, hendaklah wali aqrab itu dihubungi melalui surat supaya ia mewakilkan hak kewaliannya kepada orang lain untuk mengawinkan pengantin perempuan atau menunggu kepulangannya (jika ia ingin pulang segera) karena komunikasi sekarang sangat mudah dan cepat.[5]

5. Perpindahan wali nasab ke wali hakim

  Adapun perpindahan dari wali nasab ke wali hakim dapat dijelaskan sebagai berikut :

a.  Wali aqrab atau wali ab’ad tidak ada sama sekali,
b.  Wali aqrab ada, tetapi akan menjadi calon mempelai pria sedang wali aqrab yang sederajat (sama-sama anak paman sudah tidak ada),
c.  Wali aqrab ada, tetapi sedang ihram,
d.  Wali aqrab ada tetapi tidak diketahui tempat tinggalnya (mafqud),
e.  Wali aqrab ada tetapi menderita sakit pitam (kritis),
f.  Wali aqrab ada tetapi menjalani hukuman yang tidak dapat dijumpai,
g.  Wali aqrab ada tetapi bepergian jauh sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qasar,
h.  Wali aqrab ada, tetapi menolak untuk mengawinkannya (adlal),
i.  Calon mempelai wanita menderita sakit gila, sedang wali mujbir (ayah dari kakek) sudah tidak ada lagi.[6]

Mengenai masalah ini, maka dalam mazhab Maliki terdapat perincian pembicaraan dan silang pendapat. Dan ini berkaitan dengan jauhnya tempat tinggal dan lamanya bepergian, atau dekatnya tempat tinggal tersebut dan tidak Diketahuinya tempat itu atau diketahinya tempat itu. Disamping itu juga berkenaan dengan hajat anak gadis tersebut terhadap perkawinan, apakah lantaran tiadanya ongkos hidup baginya, ataukah karena dikhawatirkan tidak dapat menjaga diri, ataukah karena kedua alasan ini bersama-sama.

Dikalangan mazhab Maliki telah disepakati bahwa apabila bepergian tersebut dalam tempo yang lama, atau ayah tersebut tidak diketahui tempat tinggalnya, atau dalam keadaan tertawan, atau anak gadis tersebut berada di bawah perlindungan dan terjamin biaya hidupnya, sedang hajat kepada perkawinan tersebut tidak mendesak, maka ia tidak boleh dikawinkan, yakni apabila ayahnya dalam keadaan tertawan atau tidak diketahui tempat tinggalnya. Kemudian mereka berselisih pendapat apabila bepergian ayahnya itu dalam tempo yang lama, baik diketahui tempat tinggalnya atau tidak.

Imam Malik berpendapat bahwa ia boleh dikawinkan. Abu ‘I-Malik dan Ibnu Wahb berpendapat bahwa ia tidak boleh dikawinkan. Sedang apabila tidak ada biaya hidup, atau tidak berada di bawah penjagaan (pemeliharaan diri), maka ia dikawinkan pula dalam ketiga keadaan ini, yakni kepergian dalam tempo yang lama, dalam keadaan tertawan dan tidak diketahui tempat tinggalnya. Dan dikawinkan pula apabila berkumpul dua dari ketiga perkara tersebut.

Adapun jika anak gadis tersebut tidak dapat terjaga dirinya, maka ia dikawinkan, meski hajat kepada perkawinan itu tidak menjaga.

Sepengetahuan saya, tidak ada lagi silang pendapat di kalangan fuqaha bahwa anak gadis tersebut tidak dikawinkan apabila kepergian ayahnya itu dalam tempo yang pendek dan diketahui pula tempat tinggalnya. Karena dalam keadaan seperti ini ayahnya dapat diajak berunding.

Berdasarkan pertimbangan kemaslahatan yang merupakan dasar bagi persoalan tersebut, maka tidak jauh dari kebenaran apabila dikatakan bahwa jika waktu telah sempit, sedang penguasa pun mengkhawatirkan bakal terjadinya kerusakan pada anak gadis tersebut, maka ia dikawinkan, meski tempat tinggal ayahnya dekat.[7]





[1] Abu ‘Abdullah ibn Idris al-Syafi’i, Al-Umm, juz V, t.k : Dar al-Sya’bi, 1321, hlm. 11.
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 6,  cet. 2, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1982, hlm. 137.
[3] Sayyid Sabiq,  Ibid., hlm. 25
[4] Untuk ukuran sekarang, dua marhalah itu adalah sejauh 91 Km
[5] www.islam.gov.my/e-rujukan
[6] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,  Ed.  1., cet. 2, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 88-89
[7] Ibnu Rusyd,  Tarjamah Bidayatul Mujtahid,  juz 2, Semarang: Asy-Syifa’, cet. 1, hlm. 377-378

No comments:

Post a Comment