PENGERTIAN AL-NAFS MENURUT AL-GHAZALI


Nafs dalam khasanah Islam memiliki banyak pengertian. Nafs dapat berarti  jiwa (Soul, Psyche),  nyawa dan lain-lain. Semua potensi yang terdapat pada nafs bersifat potensial, tetapi dapat aktual jika manusia mengupayakan. Setiap komponen yang ada memiliki daya-daya laten yang dapat menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualisasi nafs membentuk kepribadian, yang perkembangannya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.[1]

Banyak ilmuwan Islam mencoba mengungkap rahasia tentang nafs, salah satunya al-Ghazali sang Hujjatul Islam dalam salah satu kitab karangannya Ihya Ulum al-Din.

Pengertian nafs yang pertama adalah yang menggabungkan kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia.[2] Istilah nafs yang pertama ini menurut ahli tasawuf adalah nafsu, yang merupakan pokok yang menghimpun sifat-sifat tercela dari manusia, sehingga mereka mengatakan bahwa kita harus melawan nafsu (hawa nafsu) dan memecahkannya.[3]

Sebenarnya dua unsur tersebut mempunyai maksud yang baik karena mereka bertanggungjawab atas gejala-gejala jahat di dalam pribadi orang dan seharusnya memadamkan api di dalam hati. Sebaliknya, kejahatan atau bagian yang merusak dari amarah dan nafsu harus ditertibkan dan dibatasi tindakannya di bawah penilaian mutlak dari kecerdasan didalam hati.[4] Hal itu dapat dilatih melalui mujahadah[5] dan riyadhah.[6]

Pengertian kedua dari  nafs adalah :   Lathifah ( yang halus). Inilah hakekat manusia yang membedakannya dari nafs.

Ada beberapa tingkatan keadaan binatang.

1.  Al-nafs al-ammarah bi al-su

Apabila nafsu ini meninggalkan tantangan dan tunduk serta taat kepada tuntutan nafsu syahwat dan dorongan-dorongan syaitan. Nafsu ini mendorong kepada kejahatan.[7] 

Dengan kata lain bahwa nafsu ini cenderung kepada karakter-karakter biologis, cenderung pada kenikmatan-kenikmatan hawa nafsu yang sebenarnya dilarang agama karena menarik hati kepada derajat yang hina.[8] Dalam nafs inilah, menurut sebagian sufi kesadaran-ego manusia biasa terbentuk sebagai diri indra yang sensual.[9]

 Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”.[10]

2.  Al-nafs al-lawwamah

Apabila ketenangan tidak sempurna, akan tetapi menjadi pendorong kepada nafsu syahwat dan menentangya. Nafsu ini juga mencaci pemiliknya ketika ia teledor dalam beribadah kepada Allah.[11] Nafsu ini pula sumber penyesatan karena ia patuh terhadap akal, kadang tidak.[12]

Allah SWT berfirman :

Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (diri sendiri)”.[13]

Berbeda dengan nafs ammarah yang cenderung agresif mendorong untuk memuaskan keinginan-keinginan rendah, dan menggerakan pemiliknya untuk melakukan hal-hal yang negatif, maka nafs lawwamah telah memiliki sikap rasional dan mendorong untuk berbuat baik. Namun daya tarik kejahatan lebih kuat kepadanya dibandingkan dengan daya tarik kebaikan.[14]

3.  Al-nafs al-Muthmainah

Apabila dia tenang, di bawah perintah dan jauh dari goncangan disebabkan menentang nafsu syahwat.[15]

Hai jiwa yang tenang-tentram ! kembalilah kepada Tuhanmu  dengan  hati puas lagi diridhoi.” ( Q.S. Al-Fajr : 27-28 ).[16]

Al-nafs al-muthmainah merupakan tingkatan tertinggi dari rentetan strata jiwa, karena pada tingkatan ini manusia sudah terbebas dari sifat-sifat kebinatangan dan penuh dengan cahaya ilahiyyah.

Jadi al-nafs al-ammarah bi-al-su itu adalah al-nafs dalam pengertian pertama. Al-nafs dalam pengertian ini dangat tercela, sedangkan al-nafs dalam pengertian kedua adalah al-nafs yang terpuji, karena itu adalah jiwa manusia atau hakekat dirinya yang mengetahui akan Tuhannya (Allah) dan semua pengetahuan.

Selain mendefinisikan jiwa dengan kata al-nafs, al-Ghazali juga memakai istilah-istilah lain yang merujuk pada arti yang sama yaitu Lathifah Ruhaniyah Rabbaniyah. Istilah-istilah itu antara lain : al-Qalb, al-Aql, al-Ruh yang dalam kitab Ihya Ulum al-Din istilah-istilah tersebut mempunyai dua pengertian.

a. Al-qalb (Kalbu, hati)

Pengertian pertama adalah daging yang berbentuk buah shanaubar,[17] letaknya pada pinggir dada sebelah kiri yaitu daging khusus, yang di dalamnya ada lubang yang berisi darah hitam, itulah sumber nyawa dan tambangnya. Hati pada pengertian ini mempunyai pengertian umum yang terdapat juga pada hewan dan orang mati.

Pengertian kedua adalah yang halus (Lathifah Rabbaniyah Ruhaniyyah) yang halus itu ialah hakekat manusia. Dialah yang merasa, mengetahui dan mengenal dari manusia. Dia pula yang ditunjukkan dengan pembicaraan,  yang disiksa, yang dicaci dan yang dicari.[18]

Kalbu memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahiy (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-bathiniah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan. Kalbu ruhani ini merupakan bagian esensi dari nafs (jiwa) manusia, yang berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan  pengendali struktur nafs yang lain. 

Apabila kalbu ini berfungsi secara normal maka kehidupan manusia menjadi baik dan sesuai dengan fitrahnya, begitu pula sebaliknya. Baik buruknya tingkah laku seseorang sangat tergantung pada pilihan manusia itu sendiri.

Dari sudut kondisinya, kalbu memiliki kondisi-kondisi tertentu :

1) baik, yaitu kalbu yang hidup (hayy), selamat (salim) dan mendapat kebahagiaan (al-sa’adah),

2) buruk, kalbu yang mati (al-mayt) dan mendapat kesengsaraan (al-saqawah), antara baik dan buruk yaitu kalbu yang hidup tetapi berpenyakit (mardh).[19]


b. Al-Aql (Akal)
Pengertian pertama : Kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan pada pengetahuan tentang hakekat segala keadaan. Maka akal itu ibarat dari sifat-sifat ilmu yang bertempat di hati.

Pengertian kedua ialah yang memperoleh pengetahuan itu. Dan itu adalah hati, yakni yang halus itu (lathifah). Kadang-kadang akal itu juga ditujukan dan dimaksudkan : sifat orang yang berilmu, dan kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan:  tempat pengetahuan, yakni yang mengetahui.[20]

Secara etimologi akal memiliki arti menahan (Al-Imsak), ikatan (Al-Ribath), menahan (Al-Hajr), melarang (Al-Nahy), dan mencegah (Al-Man’u). Berdasar makna bahasa maka yang disebut Orang berakal adalah orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya.

Akal yang diartikan sebagai energi yang mampu memperoleh, menyimpan dan mengeluarkan pengetahuan. Sedang secara psikologis akal memiliki fungsi kognisi (daya cipta).

Kognisi adalah suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengalaman kognisi, seperti: mengamati, melihat, memperhatikan, berpendapat, berimajinasi, berpikir, memprediksi, mempertimbangkan, menduga dan menilai.[21]

c. Al-Ruh

Seperti Al-qalb dan al-aql, al-ruh juga mempunyai dua pengertian, pengertian pertama :  ruh dalam pengertian biologis, yaitu benda halus yang bersumber dari darah hitam di dalam rongga hati yang berupa daging yang berbentuk seperti pohon cemara. Benda halus ini tersebar melalui nadi dan pembuluh balik pada seluruh bagian tubuh. Ruh jasmaniah ini mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak serta merasakan berbagai rasa. Ruh ini dapat diumpamakan sebagai lampu yang mampu menerangi setiap sudut organ. Inilah yang disebut nyawa.

Pengertian kedua,  Luthf rabbani yang merupakan makan hakekat hati. Ruh dan hati saling bergantian pengacu pada Luthf.[22] Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah : ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. ( Q.S. Al. Isra : 85 ).[23]

Ia dapat berfikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya, ia juga penggerak bagi keberadaan jasad manusia, sifatnya ghaib.[24]

Ruh ini dapat dikatakan sebagai fitrah asal yang menjadi esensi (hakekat) struktur manusia. Fungsinya berguna untuk memberikan motivasi dan menjadikan dinamisasi tingkah lakunya. Ruh ini membimbing kehidupan spriritual nafsani manusia.[25]

Menurut al-Ghazali dalam Misykah Al-Anwar, manusia memiliki tingkatan-tingkatan ruh rahaniah tertentu, antara lain:

1.  Ruh inderawi, yaitu ruh yang menerima sesuatu yang dikirim oleh panca indera. Ruh ini adalah asal dan awal ruh makhluk hidup. Dengannya semua makhluk hidup menjadi hidup. Ruh ini sudah ada walaupun pada bayi yang masih menyusu.

2. Ruh Khayali (Imajinatif) yaitu yang merekam keterangan dan menyimpannya untuk kemudian menyampaikannya kepada ruh aqli (intelegensi) pada saat dibutuhkan.

3. Ruh Aqli (Akal, intlegensi), yaitu yang mampu menyerap makna-makna di luar indera dan khayal. Ruh ini adalah substansi manusiawi yang khusus,  tidak terdapat pada bayi ataupun hewan.

4. Ruh Pemikir, yaitu yang mengambil ilmu-ilmu aqli yang murni. Kemudian disatukan dalam bentuk ta’lifat (rangkaian) dan izdiwijat (duplikasi), lalu dideduksi menjadi pengetahuan-pengetahun yang berharga lalu dikembangkan.

5. Ruh suci kenabian (kudus), yaitu ruh yang tersingkap selubung-selubung lauh-lauh ghaib dan hukum-hukum akhirat serta pengetahuan tentang kerajaan langit dan bumi, bahkan pengetahuan-pengetahuan rabbani (ketuhanan).[26]

Dalam artian metafisik keempat unsur tadi semuanya semakna dan tak dibedakan satu dari lainnya, semua bersifat ruhaniah, suci, mampu mengenali dan memahami sesuatu, diciptakan Allah dengan sifat kekal, serta merupakan inti kemanusiaan yang disebut dengan bermacam-macam nama antara lain al-Lathifah al-Ruhaniyah atau al-Lathifah al-Rabbaniyyah.[27]

Nama-nama itu berubah-ubah disebabkan oleh perubahan ruh manusia yang bermacam-macam. Apabila nafsu syahwat dapat mengalahkan ruh, maka dinamakanlah ia sebagai hawa nafsu. Jika ruh dapat mengalahkan syahwat, itu disebut akal, jika penyebabnya adalah rasa keimanan, dinamakanlah ia  hati, dan bila ia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya dan melakukan pengabdian yang tulus lkhlas, maka disebut ia ruh.

Kadang-kadang kata al-nafs dimaksudkan darah dan pada nyawa (hidup). Kata akal kadang-kadang dimaksudkan pada tempat berpikir, yaitu otak, dan jangan dimaksudkan pada kecerdasan dan pengertian dari pengatur badan, semua itu berhubungan dengan otak.[28]

Dengan demikian, dari uraian al-Ghazali di atas, kita dapat mengetahui bahwa al-nafs, al-aql, al-qalb, al-ruh bisa saja bermakna satu, yaitu al-Lathifah al-ruhaniyah atau al-lathifah al-rabbaniyah.

Itulah subtansi jiwa yang sebenarnya, sesuatu yang halus (lathifah) ketuhanan (Rabbaniyah) dan kerahanian (Ruhaniyah) murni, yaitu jiwa kecil (mikrokosmos) yang berfungsi untuk mengimbangi jiwa alam yang besar (makrokosmos).




[1] Abdul Mujib, Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.46
[2] Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, III, Dar Al-Kutub Al-Islamiy, Bairut, t. th., hlm. 4
[3] Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, jilid 4 (terj. Drs. H.M.Zuhri,et.al., judul asli:  Ihya Ulum Al-Din, CV. Assy-syifa, Semarang, 1992, hlm.584.
[4] Ali Isa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, Alih Bahasa Anas Mahyuddin, Pustaka, Bandung, 1981, hlm.133
[5] Yang dimaksud mujahadah adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam menangkal perbuatan bawah sadar, dorongan hawa nafsu dan bisikan syaitan.
[6] Riyadhah dalam perspektif psikologi sufistik, meliputi : (1) latihan sedikit makan, hingga dapat mengurangi nafsu syahwat, (2) latihan sedikit tidur hingga dapat menjernihkan kemauan dan keinginan, (3) latihan sedikit bicara hingga dapat selamat dari berbagai malapetaka, (4) latihan tabah mengadapi kenyataan pahit, hingga timbul kesabaran yang tinggi.
[7] Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, Juz III, Op. cit. hlm 4
[8] Syekh M.Aamin al-Kurdi, menyucikan hati dengan Cahaya Ilahi, (terj. Muzammal Noer, judul asli :  Tanwir Al-Qulub Li Mu’amalati ‘allam Al-Ghuyub), Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003, Cet.I., hlm.144
[9] Ibsar Ahmad,  Konsep  Al-Qur’an tentang Psike Manusia, dalam Zafar Afaq Ansari, al-Qur’am bicara tentang jiwa,
[10] Q.S. Yusuf ayat 53, hlm. 357
[11] Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, Juz III, Op. cit., hlm.4
[12] Syekh M. Amin Al-kurdi, Menyucikan Hati Dengan Cahaya Ilahi, (terj. Muzammal Noer, judul asli :  Tanwir Al-Qulub Li Mu’amalati ‘allam Al-Ghuyub), Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003, hlm.145
[13] Q.S. Al-Qiyamah ayat  2, hlm. 998
[14] Baharudin, Paradigma Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm.109
[15] Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, Juz III, Op .cit., hlm.4
[16] Q.S. Al-Fajr : 27-28, hlm. 1059
[17] Buah Shanaubar berbentuk bundar memanjang, dan itu dinamakan hati sanubari  (Ind.)
[18] Imam Al-Ghazali,  Ihya Ulum al-Din, jilid 2 (terj.Prof.TK.H.Ismail Yakub, MA-SH, dari judul : Ihya Ulum al-Din) Pustaka Nasional, Singapura, 1994, Cet. IV, hlm.898.
[19] Abdul Mujib, M. Ag, Yusuf Mudzakir, M.Si., Op. cit., hlm.52
[20] Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, jilid 2 (terj.Prof.TK.H.Ismail Yakub, MA-SH,…) Op.cit., hlm. 901-902.
[21] Abdul Mujib,M.Ag., Yusuf Mudzakir,M.Si., Op. cit., hlm. 52-53
[22] Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, Juz III, Op. cit., hlm. 3
[23] Q.S. Al-Isra : 85, hlm. 437
[24] Abdul Mujib, M. Ag., Yusuf Mudzakir, M. Si., Op. cit., hlm. 42
[25] Ibid., hlm. 44
[26] Imam Al-Ghazali,  “Misykat Cahaya-cahaya” (terj.M. Bagir, dari judul asli  “Misykat Al-Anwar), penerbit Mizan, Bandung, 1993.Cet. IV, hlm 80-82.
[27] Hanna D.B; Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 78
[28] Said Hawwa,  “Jalan Ruhani” (terj. Drs. Khairul Rafi’ M, Ibnu Thaha Ali, judul asli “Tarbiyatu Al-Ruhani”),Mizan, Bandung, 1995, hlm. 48

1 comment: