Pada
mulanya pendidikan menurut Kartini adalah mencerdaskan watak sebagaimana dalam
suratnya yang disampaikan kepada istri van Kol pada bulan Agustus tahun 1901
bahwa:
“Sangatlah
ingin hatiku, mendapat kesempatan memimpin hati anak-anak, membentuk watak,
mencerdaskan otak…”[1]
Di
samping itu, pendidikan yang dikehendaki Kartini adalah suatu proses yang tidak
hanya bertujuan untuk mencerdaskan akal saja melainkan juga sebagai upaya untuk
membentuk budi pekerti karena manusia yang berakal dan berilmu belum tentu
mempunyai budi pekerti. Sebagaimana yang tercantum dalam suratnya kepada istri
Abendanon pada tanggal 21 Januari 1901 sebagai berikut:
“Pendidikan
ialah mendidik budi dan jiwa, kewajiban seorang pendidik belumlah selesai jika
ia hanya baru mencerdaskan pikiran saja;
bahwa tahu adat dan bahasa serta cerdas pikiran belumlah lagi jaminan orang
hidup susila ada mempunyai budi pekerti…”[2]
Pendidikan
disamping membentuk sebagai wahana
pembentukan budi pekerti, hati juga memerlukan bimbingan agar peradaban tidak tinggal
nama. Sebagaimana dalam suratnya pada tanggal 30 September 1901 kepada isteri
R.M. Abendanon sebagai berikut:
“Kecerdasan
otak saja tidak berarti segala-galanya. Harus ada kecerdasan lain yang lebih
tinggi, yang erat hubungan dengan yang lain untuk mengantarkan ke arah yang
ditujunya. Di samping otak, juga hati harus dibimbing, kalau tidak demikian peradaban hanya tinggal
permukaan….”[3]
Pendidikan
juga berfungsi sebagai proses pembentukan akhlak mulia. Sebagaimana pandangan
Kartini yang ditulis dalam nota sebagai berikut:
“Pendidikan
yang bukan semata-mata didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang
sungguh-sungguh memperhatikan akhlak pula”.[4]
Agar
tujuan pendidikan itu tercapai, pendidik harus mampu memberikan motivasi kepada
anak. Sebagaimana surat Kartini kepada Mr. Abendanon pada tanggal 15 Agustus
1902 sebagai berikut:
“Jika
mendidik anak, haruslah juga diusahakan mendidik watak, yakni yang terutama
haruslah diusahakan ialah memperkukuh rasa kemauan anak yang dididik itu. Rasa
kemauan itu wajiblah dibesar-besarkan oleh pendidikan, terus dan terus ….”[5]
Menurut
Kartini, pendidikan adalah suatu proses membentuk kepribadian peserta didik
sehingga mereka mampu menyaring budaya asing, memberdayakan segi positifnya dan
meninggalkan segi negatifnya tanpa menghilangkan karakter diri sendiri.
Sebagaimana suratnya dengan istri van Kol pada bulan Agustus 1901 sebagai
berikut:
“Dengan
pendidikan yang bebas itu, bukanlah sekali-kali maksud kami akan menjadikan
orang Jawa itu orang Belanda, melainkan cita-cita kami ialah memberikan kepada
mereka jua, sifat-sifat yang bagus yang ada pada bangsa-bangsa lain, akan jadi penambah sifat-sifat yang sudah ada
padanya, bukanlah akan menghilangkan
sifat-sifat sendiri itu, melainkan akan memperbaiki dan memperbagusnya!”[6]
Di
samping itu, Kartini berharap agar perempuan diberi kesempatan yang sama dengan
laki-laki untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan tujuan agar mereka
(perempuan) menjadi seorang ibu yang baik dan bermanfaat bagi lingkungan
keluarga maupun masyarakat sebagai berikut:
“… menjadikan mereka sebagai perempuan yang
cakap dan baik, yang sadar akan panggilan budinya, sanggup menjalankan kewajibannya
yang besar dalam masyarakat. Agar dalam masyarakat itu dia menjadi ibu yang
baik, pendidik yang bijaksana, pengatur rumah tangga yang mampu pemegang uang
dan pembantu yang baik bagi siapapun yang memerlukan bantuan”.[7]
Menurut
Kartini, seorang ibu juga bertanggung jawab terhadap pembentukan budi pekerti
anak-anak mereka. Sebagiamana dalam suratnya kepada Tuan Prof. Dr. G. K. Anton
dan istrinya pada tanggal 4 Oktober 1902 sebagai berikut:
“Ibulah
yang jadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibu itulah dipertanggungjawabkan
kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu; yaitu bagian pendidikan yang
membentuk budinya. Berilah anak-anak gadis pendidikan yang sempurna, jagalah
supaya ia cakap kelak memikul kewajiban yang berat itu”.[8]
Selain
kewajibannya sebagai seorang ibu, perempuan merupakan salah satu faktor penting
dalam usaha memajukan bangsa dan pendukung peradaban. Sebagaimana surat Kartini
kepada nona Zeehandeler pada tanggal 9 Januari 1901 sebagai berikut:
“Dari
semenjak dahulu kemajuan perempuan itu menjadi pasal yang amat penting dalam
usaha memajukan bangsa. Kecerdasan pikiran penduduk pribumi tiada akan maju
dengan pesatnya, bila perempuan itu ketinggalan dalam usaha itu. Perempuan jadi
pembawa peradaban.”[9]
Pendidikan
merupakan hal utama bagi rakyat baik laki-laki maupun perempuan karena dengan
pendidikan maka orang akan mampu memecahkan segala persoalan yang yang sedang
dihadapinya. Sebagaimana dalam suratnya kepada nona Zeehandeler pada tanggal 12
Januari 1900 yakni:
“Pemerintah
tiada akan sanggup mengediakan nasi di piring bagi segala orang Jawa, akan
dimakannya, tetapi pemerintah dapat memberikan daya upaya, supaya orang Jawa
itu dapat mencapai tempat makanan itu. Daya upaya itu ialah pengajaran”.[10]
Apabila
pendidikan yang berwawasan gender terlaksana maka bangsa Indonesia akan menjadi
bangsa yang mampu membawa tanah air dan bangsanya searah dengan perkembangan
jiwa, kecerdasan pikiran serta kemakmuran dan kesejahteraan. Sebagaimana dalam
uraian Kartini pada bulan Januari tahun 1903 sebagai berikut:
“…
memberi kesempatan kepada anak bangsa
Jawa laki-laki dan perempuan, untuk mencari kepandaian agar mereka mampu
membawa tanah air dan bangsanya ke arah
perkembangan jiwa, ke arah kecerdasan pikiran serta kemakmuran dan
kesejahteraan”.[11]
Selain
itu, yang perlu dipelajari perempuan antara lain; seni, ilmu pengetahuan, ilmu
kesehatan dan pengetahuan lainnya. Sebagaimana surat Kartini kepada nona
Zeehandelaar pada tanggal 20 Mei 1901 sebagai berikut:
"Alangkah
baik keadaannya internaat bagi anak-anak bangsawan itu bukan? Seni, ilmu
pengetahuan, memasak, mengurus rumah tangga, ilmu kesehatan, dan lagi
pengajaran vak akan dan harus diajarkan!"[12]
Pada
dasarnya, maju tidaknya suatu bangsa tergantung perempuan. Perempuan adalah
soko guru peradaban. Sebagaimana surat Kartini kepada nyonya Abendanon pada
tanggal 21 Januari 1901 sebagai berikut:
"Perempuan
itu jadi soko guru peradaban! Bukan karena perempuan yang dipandang cakap itu,
melainkan oleh karena saya sendiri yakin sungguh yakin sungguh bahwa perempuan
itu pun mungkin timbul pengaruh yang besar, yang besar akibatnya, dalam hal
membaikkan maupun memburukkan kehidupan, bahkan dialah yang paling banyak dapat
membantu memajukan kesusilaan manusia".[13]
Menurut
Kartini, hal-hal yang perlu dipelajari perempuan antara lain; belajar menulis,
membaca dan lain sebagainya. Sebagaimana surat Kartini kepada Nyonya abendanon pada
tanggal 4 Juli 1901 sebagai berikut:
"Mereka
belajar menulis, membaca, menjahit, merenda, memasak dan sebagainya. Mereka itu
tiada kami ajar menurut cara yang biasa
di sekolah, melainkan sebagimana kesukaran anak-anak Jawa belajar sepanjang
pikiran kami".[14]
Untuk
itu, apabila wanita ingin mempunyai status yang lebih baik maka wanita harus
mempunyai bekal yang baik, Wanita yang berpendidikan akan menghilangkan
adat-istiadat itu. Sebagaimana isi suratnya kepada nyonya Zeehandeler pada
tanggal 23 Agustus 1900 sebagai berikut:
“Sesungguhnya, ibu-ibu mudalah yang mungkin
sebanyak-banyaknya dapat berjasa melenyapkan sekaliannya itu…, laki-laki dan perempuan,
akan aku ajar, supaya menghargai dan pandang memandang sama rata, makhluk yang
sama, dan didikannya akan aku samakan benar; yakni tentu saja masing-masing
menurut kodrat kecakapannya”.[15]
[1] Kartini, Habis Gelap Terbitlah
Terang, terj. Armijn Pane, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 92.
[2] Ibid., hlm. 78.
[3] Kartini, Surat-surat Kartini Renungan Tentang dan
Untuk Bangsanya, terj. Sulastrin Sutrisno,
(Bandung: Djambangan, 1979), hlm. 126.
[4] Ibid., hlm. 367-368.
[5] Kartini, Habis Gelap Terbitlah
Terang, op. cit, hlm. 141.
[6] Ibid., hlm. 95.
[7] Kartini, Surat-surat Kartini Renungan Tentang dan
Untuk Bangsanya, op.cit., hlm. 395.
[8] Kartini, Habis Gelap Terbitlah
Terang, op. cit., hlm. 151.
[9] Ibid., hlm. 74.
[10] Ibid., hlm. 42.
[11] Sulastrin Sutrisno, op. cit.,
hlm. 385.
[12] Ibid., hlm. 83.
[13] Kartini, Habis Gelap Terbitlah
terang, op. cit., hlm. 79.
[14] Ibid., hlm. 180.
[15] Ibid., hlm. 58-59.
No comments:
Post a Comment