MAKNA AL-HANIF

hanif
Istilah hanif berasal dari bahasa Arab yang berarti cenderung dengan bentuk jama’nya (حُنَفَاءُ) yang mempunyai arti yang lurus atau betul.[1] Dan mempunyai sinonim dengan kata (المُسْتَقِيْمُ) yang mempunyai arti lurus. Dan hanif bisa juga diartikan (كُلُّ مَنْ كَانَ عَلَى دِيْنِ إِبْرَاهِيْمَ) yaitu setiap orang yang mengikuti agamanya Nabi Ibrahim.[2]
Kata hanif ini semata-mata dikaitkan dengan diri Nabi Ibrahim atau dengan agama Nabi Ibrahim, sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an.[3] Sedangkan di sisi lain dikatakan bahwa setiap orang arab yang melakukan ibadah haji atau berkhitan dinamakan hanif untuk mengingatkan bahwa ia menganut agama Ibrahim.[4]
Hanif juga dapat diartikan dengan orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah dan tidak mengalihkannya pada yang lain. Artinya, setiap orang yang berserah diri kepada perintah Allah dan tidak berpaling sedikit pun dinamakan hanif.[5] Di samping itu, hanif juga diartikan suatu proses pencarian kebenaran secara tulus dan murni. Sejalan dengan sikap manusia yang memihak pada yang benar dan yang baik (fitrah).
Pencarian kebenaran secara tulus dan murni dengan sendirinya menghasilkan sikap pasrah kepada kebenaran dan sikap keberagaman yang benar akan memberikan kebahagiaan yang sejati. Inilah al-hanifiyyah al-samhah yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang dada, toleran tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa.[6]
Secara terminologi hanif mengandung banyak makna dan pengertiannya, namun dalam hal ini penulis akan mengemukakan pengertian yang diberikan oleh para ahli ilmu dan para muffassir.
Menurut Hadrat Mirza Ahmad, hanif mempunyai beberapa pengertian yaitu:
a. Orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengarahkan dirinya kepada petunjuk.
b. Orang yang secara terus menerus mengikuti kepercayaan yang benar tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya.
c. Seseorang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut Islam dan terus menerus mempertahankannnya secara teguh.
d. Seseorang yang mengikuti agama Nabi Ibrahim.[7] Karena agama Ibrahim itu disebut juga hanafiyah atau hanifiyyah.[8]
Agama Ibrahim disebut al-hanifiyyah karena Ibrahim adalah imam pertama yang melakukan sunnah menyunat laki-laki, karena itu siapapun yang menyunat dirinya dengan mengikuti sunnah Ibrahim harus dianggap pengikut Islam Nabi Ibrahim, sehingga ia seorang hanif.[9] Apalagi secara historis Nabi Ibrahim tampil lebih dulu dari Nabi Musa dan Isa, dan ketika disebutkan bahwa Ibrahim itu seorang hanif dan muslim, maka pengertiannya ialah ia mengikuti jalan hidup kebenaran yang asli yang tidak berubah sepanjang masa. Itu semua berpangkal pada fitrah manusia yang suci dan itulah agama yang tegak lurus yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Kemudian Nabi Muhammad diperintah untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim itu. Dan barangsiapa membenci agama Ibrahim, ia berarti membenci dirinya sendiri.[10] Karena dikatakan dalam sabda Nabi bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah adalah al-hanifiyyah al-samhah.[11] Maka agama Islam disebut disebut juga al-din al hanif karena ia bersih dari segala bentuk kesyirikan. Dalam suatu hadits dinyatakan, “Aku (Muhammad) diutus membawa al-hanifiyah al-samhah (agama hanif yang mudah).” (HR. Ahmad).[12]
Al-din al-hanif merupakan agama Tuhan yang primordial karena ia memberi petunjuk kehidupan sejak awal manusia dilahirkan serta mendorongnya untuk memeluknya.[13] Menurut Hamka agama hanif diartikan lurus maksudnya yaitu menuju Tuhan, tidak musyrik, tidak mempersekutukan yang lain dengan Allah karena yang lain tidak ada.[14] Hanif juga diartikan ikhlas, jujur tiada bercampur dengan ingatan yang lain sebab mustahil bahwa ada yang lain yang bersekutu dengan-Nya.[15]


[1] Idrus H. al-Kaff, Kamus Pelik-pelik al-Qur’an (Bandung : Pustaka, 1993), hlm. 107.
[2] Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta : Krapyak, 1984), hlm. 328.
[3] W. Mont Gomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, (Jakarta : Rajawali Press, 1991), hlm. 22.
[4] Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Agama, Budaya dan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 168.
[5] Allamah Abi Fadhil Jamaluddin Muhammad bin Mukaram, Lisanul Arab, Jilid 9, (Beirut : Daar-Shodr, t.th), hlm. 57
[6] Budi Munawar Rahman, Dialog Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1993), hlm. 129.
[7] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedia al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 2002), hlm. 62.
[8] Ibid, hlm 65.
[9] Mahmud Ayyub, Qur’an dan Para Penafsirnya, terj. Nick G. Dharma Putra (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 235.
[10] Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis, (Yogyakarta : Galang Press, 2002), hlm. 151.
[11] Budi Munawar Rahman, Loc.Cit.
[12] Harun Nasution, dkk (Ed.), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992), hlm. 297.
[13] Ismail al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Qur’an, PT. Grafimatra Tata Media, no. 1, vol. VII, 1996, hlm. 46.
[14] Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz XIII – XIV (Jakarta : PT. Panji Mas, 1983), hlm. 315.
[15] Ibid, Juz VII, hlm. 258.



























No comments:

Post a Comment