Kitab al-Barzanjî ditulis oleh Syekh Ja'far al-Barzanjî al-Madani, Seorang khatib Mesjid Nabawi di Madinah (wafat 1763 M/1177 H), menjadi terkenal karena kumpulan syair-syairnya yang menggambarkan sentralnya kelahiran Nabi Muhammad bagi umat manusia. Kumpulan tersebut sebenarnya dinamai "Cerita tentang Kelahiran Nabi" (Qisshah al-Maulid an-Nabawi), namun menjadi terkenal dengan sebutan al-Barzanji.
Di beberapa masyarakat Islam, termasuk Indonesia, al-Barzanji bersama-sama dengan karya-karya lain yang sejenis seperti al-Burdah dan Dziba’, sering dibaca pada upacara-upacara keagamaan tertentu khususnya pada peringatan hari lahirnya Nabi (Maulid Nabi). Dalam membaca Barzanji dan sejenisnya dimasukkan juga berbagai ritus yang bisa bercorak gerakan, improvisasi pembacaan dan penyediaan materi-materi tertentu. Selama bulan Maulid (Rabiul Awal) bisa saja al-Barzanji dibaca tiap malam sebulan penuh berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain dalam suatu lingkungan kelompok muslim.[1]
Pada abad ke-19 dan ke-20, keluarga Barzinji merupakan salah satu dari keluarga yang sangat terkemuka di Kurdistan bagian selatan, sebuah keluarga ulama dan syaikh tarekat Qadiriyah yang mempunyai pengaruh politik yang sangat besar. Pada tahun 1920-an, Syaikh Mahmud Barzinji memberontak terhadap Inggris dan menyatakan dirinya sendiri sebagai raja Kurdistan. Pada tahun-tahun berikutnya, keluarga tersebut juga nienjalankan peranan penting dalam kehidupan politik Irak.
Sebagaimana juga dalam perang Irak-Iran baru-baru ini, ditemukan seorang anggota keluarga tersebut, Syaikh Muhammad Najib Barzinji, memimpin kelompok gerilya kecil ciptaan Iran melawan pemerintah Irak. Anggota keluarga lainnya Ja'far 'Abd al-Karim Barzinji, di lain pihak, mencapai posisi yang tinggi dalam pemerintahan Irak; Dia ketika itu adalah presiden dari dewan eksekutif wilayah Kurdi yang otonom. Fakta-fakta ini membenarkan persepsi baik pemerintah Irak maupun Iran bahwa mereka memerlukan karisma keluarga. tersebut jika mereka ingin menanamkan pengaruh di kalangan orang-orang Kurdi.[2]
Keluarga Barzinji mengaku dirinya sebagai keturunan Nabi melalui Imam Musa al-Kazhim, dan mengambil namanya dari desa Barzinja di Syahrazur, dekat kota Sulaimaniyyah sekarang, tempat founding father keluarga ini berada – Sayyid Isa (menurut cerita orang) menetap di sana pada pertengahan abad ke-13. Sejarah keluargatersebut diungkapkan secara selintas oleh Edmonds dan Tawakkuli berdasarkan tradisi mereka sendiri. Menarik untuk dicatat bahwa orang yang dianggap pendiri sekte Ahl al-Haqq yang heterodoks juga adalah salah seorang putra dari Sayyid Isa ini.[3]
Edmonds menunjukkan bahwa nenek moyang yang sama dari semua orang Barzinji yang sekarang ada di Irak, Turki, Syria dan Hijaz, adalah seorang yang bernama Baba Rasul, yang termasuk generasi ke tujuh setelah Sayyid Isa dan dapat dipastikan telah berkembang meluas pada awal abad ke-17. Silsilah keluarga yang dilaporkan oleh Edmonds menunjukkan bahwa salah seorang dari 18 putra Baba Rasul, Muhammad “Madani” menetap di Madinah; semua orang Barzanji yang berada di Hijaz dan India dianggap sebagai keturunannya.[4]
Muhammad “Madani” yang dimaksud tentu saja adalah rekan Ibrahim al-Kurani yang tadi sudah disebut, Muhammad Ibn 'Abd al-Rasul Barzinji. Riwayat pendidikannya agak menyerupai riwayat pendidikan Ibrahim: pendidikan awal oleh bapaknya dan para ulama lain di Syahrazur, diikuti dengan belajar di Hamadan (Iran), Baghdad, Mardin, Damaskus, Istanbul, Kairo dan Makkah, dan akhirnya belajar kepada Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani di Madinah.
Dia juga seorang yang ahli mengenai Ibnu 'Arabi dan menerjemahkan dari bahasa Persia ke bahasa Arab sebuah buku tentang Ibnu 'Arabi yang ditulis oleh seorang keluarganya, Sayyid Muhammad Muzhanar Barzinji. Ketika para ulama India meminta fatwa dari Ibrahim al-Kurani tentang berbagai gagasan kontroversial Ahmad Sirhindi, “sang Mujaddid al-Alf al-Tsani” Muhammad Barzinji-lah yang menulis dua risalah yang secara berapi-api mengkritik Sirhindi, yang didukung oleh ulama-ulama terkemuka lain di Hijaz.
Keturunan Barzinji yang menjadikan nama keluarga tersebut meniadi nama yang dikenal luas di Indonesia adalah cicitnya, Ja'far Ibn Hasan Ibn 'Abd al-Karim Ibn Muhammad (1690-1764), yang lahir di Madinah, dan menghabiskan seluruh usianya di sana. Dia menulis sejumlah karya tentang ibadah yang menjadi sangat populer di seluruh dunia Islam pada saat itu, dan tetap populer di Indonesia sampai sekarang ini.
Karya yang sekarang dikenal sebagai “al-Barzanjî” adalah buku maulidnya, yang diberi judul al-'Iqd al-Jawahir. Barangkali karya tersebut adalah karya yang paling populer dari semua buku maulid, dan di banyak tempat telah menjadi bagian dari ritual baku tarekat Qadiriyah. Sebagaimana dinyatakan oleh Trimingham, maulid tidaklah benar-benar diterima secara universal ke dalam praktik keagamaan populer, tetapi di Indonesia maulid al-Barzanji sampai sekarang merupakan teks keagamaan yang dikenal secara luas. Teks ini terdapat di Indonesia dengan banyak edisi yang berbeda-beda; bahkan beberapa ulama Indonesia sudah menerbitkan komentar-komentar tentangnya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa dan Indonesia.[5]
[1] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 168-169
[2] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 95
[3] Ibid, hlm. 96
[4] Ibid, hlm. 96
[5] Ibid, hlm. 96-97
No comments:
Post a Comment