KEMATANGAN BERAGAMA

Dalam studi psikologis, kematangan beragama bisa disebut dengan religious maturity atau maturitas agama. Seperti yang dikemukakan oleh Djami’atul Islamiyah dalam Jurnal Attarbiyah maturitas adalah
the state exiting when somatic, psychic and mental differentiation and integration are complete and consolidated, and when there is readness to fuilfial tasks facing the  individual  at  any  given  time  and  to  cope  with  the demans made by life”. 
Kondisi kematangan yakni satu kondisi dimana differensiasi dan integrasi antara badan, jiwa dan mental telah sempurna dan berkonsolidasi, dan ketika telah ada kesiapan dari individu dalam menghadapi tuntutan kehidupan.[1] 
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa maturitas agama dapat dipahami sebagai suatu kondisi ideal dari perkembangan keagamaan seseorang sebagai hasil dari proses penghayatan terhadap ajaran agamanya. Menentukan kriteria kematangan beragama bukanlah suatu yang mudah. Oleh karena itu, menurut Allport, kriteria kematangan beragama akan lebih objektif digambarkan berdasarkan teori yang dapat dipertahankan tentang kepribadian seseorang. Dia menggambarkan kepribadian sebagai
the dynamic organization with in the individual of those psycophysical system that determine his characteristic behavior and thought”.
Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikophistik yang menentukan karakteristik perilaku dan pola pikirnya.[2]
Seperti yang dikemukakan oleh Allport dalam jurnal Attarbiyah oleh Djami’atul Islamiyah. Kepribadian yang matang ditandai oleh tiga hal:
1.       The Explanding Self
Kepribadian yang matang memiliki kemampuan untuk memperluas interes pribadi, tidak hanya bersifat egosentris tapi mampu mengembangkan interes pribadinya pada obyek-obyek dari nilai-nilai ideal di atas keinginan materi belaka.
2.       Self Objectivication
Artinya, memiliki kemampuan untuk memahami dirinya sendiri secara objektif. Pada pribadi-pribadi yang matang dia akan mampu melihat dirinya sendiri seperti orang lain melihat dirinya (kemampuan insight) dan mampu mempertahankan hubungan secara positif dengan objek-objek di luar dirinya.  Sekalipun dia menyadari akan adanya ketidak-harmonisan.
3.    Unifying Philosophy of life
Kepribadian yang matang ditandai oleh filsafat hidup yang menyatu dalam kehidupannya secara praktis.
Dari teorinya tentang kepribadian tersebut. Allport menggambarkan beberapa kriteria kematangan beragama sebagai berikut:
1.       Well-differentiated dan self critical
Allport menyebut beraneka ragam interes yang ada dalam sentimen keberagamaan sebagai “differentiation, misalnya sentimen keagamaan yang tertuju pada Tuhan, pada kebaikan dan lain-lain, sedang apa yang disebut  sentimen adalah pikiran dan perasaan yang terorganisasi dan terarah pada suatu objek tertentu. Mereka yang berkembang pada suatu “differentiated sentiment seringkali menunjukan suatu sikap penyerahan diri yang tidak kritis. Sedang  self critical dimaksudkan bahwa agama yang matang mampu melahirkan sikap diri yang kritis terhadap agama, pada saat yang sama ketika dia tetap loyal pada agamanya. Singkatnya, sentimen keagamaan pertama kali adalah dibedakan hal-hal yang baik atau kritik terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain, orang mulai sadar untuk bertahan ketika agama dikritik.
2.       Dynamic in character
Agama  yang  matang  memiliki  kekuatan  motivasi  tersendiri  atau sering disebut sebagai “fungsional outonomy hingga terbebas dari dorongan-dorongan yang semata-mata bersifat organis seperti rasa takut, keleparan, atau keinginan-keinginan yang bersifat jasmaniah. Karenanya, maka pada pribadi-pribadi yang matang agamanya, agama mempunyai karakter motivasional yang autentik dan dapat merupakan sandaran-sandaran penting dalam hidupnya.
3.       Productive  of a consistent morality
Agama yang matang biasanya ditandai oleh moralitas yang konsisten.  Dalam konteks ini, perkembangan logika dipengaruhi oleh motivasi agama yang memiliki kekuatan terhadap perilaku seseorang.
4.       Comprehensive
Yang berhubungan dengan konsistensi kematangan beragama adalah comprehensive sebagai filosofi kehidupan. Dalam konteks ini, Allport hendak mengatakan bahwa point penting dari keyakinan yang komprehensif salah satunya adalah mengedepankan sikap toleransi.
5.       Integral
Dalam artian orang yang memiliki kematangan beragama pasti dalam hidupnya akan menemukan keharmonisan dan kedamaian sesuai dengan tujuan awalnya untuk dekat dengan Tuhan.
6.       Fundamentally heuristic
Pada pribadi-pribadi yang matang agamanya akan selalu berusaha mencari hal-hal yang dapat menjelaskan kepercayaannya dan memantapkan untuk mencari kebenaran yang diajarkan agama. Dengan demikian, wawasan keagamaan seseorang akan semakin luas dan berkembang.[3]
Menurut Allport, keenam karakteristik tersebut di atas pada dasarnya merupakan aplikasi dari tiga kriteria kematangan kepribadian. Oleh Karena itu, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang matang agamanya pastilah orang-orang yang matang kepribadiannya. Sementara kematangan beagama dalam pandangan William James lebih menitik beratkan pada pengalaman keagamaan yang telah direngkuh seseorang dalam rangka mencari jati diri dan makna hidup yang sebenarnya. James menggambarkan orang-orang yang matang agamanya memiliki empat kriteria:[4]
1.       A Feeling of being a wide life than that of this world’s selfish little interests: and a conviction, not merely intellectual, but as it were sensible, of the existence of an ideal power. Artinya, merasakan makna kehidupan lebih luas lebih dari interes-interes kehidupan yang rendah dan merasakan adanya suatu keyakinan tentang eksistensi ideal power (Tuhan) bukan semata bersifat intelektual tetapi keyakinan itu dapat dirasakan. Kondisi batin semacam ini akan melahirkankehidupan yang astetik dengan ciri utamanya adanya perasaan senang “berkurban” sebagai loyalitasnya kepada Tuhan.
2.       A sense of the friendly continuity of the ideal power with our own life, and a willing self surrender to its control. Dengan kata lain orang yang matang agamanya memiliki perasaan secara kontinu yang begitu dekat dengan Tuhan dan kehidupanya, dan suatu penyerahan diri pada pengawasannya. Kondisi batin seperti ini akan memunculkan strength of soul, sehingga jauh dari ketakutan dan kecemasan.
3.       An immense relation and freedom as the outlines of the confining self hood melt down. Orang-orang yang matang agamanya akan merasa bahagia dan perasaan bebas yang luar biasa karena batas-batas keakuan diri telah melebur. Konsistensinya akan muncul sikap “purity dengan salah satu cirinya adalah semakin bertambahnya perasaan peka terhadap hal-hal yang bertentangan dengan semangat spiritual. Singkatnya, yaitu memberi pengaruh signifikan terhadap stabilitas dan konsistensi emosi seseorang, sehingga perubahan emosi tersebut dapat terkontrol dengan sempurna dan tanpa mengedepankan ego yang berlebihan.
4.       A  shifting  of  the  emotional  centre  towards  loving  and  harmonious affections, toward “yes” and away from “non”, where the claims of the non  ego are concerned. Artinya, perubahan pusat-pusat emosi ke arah cinta kasih dan keharmonisan atau menurut istilah James dari emosi “no menjadi “yes”, yang berkenaan dengan klaim yang bersifat non-ego. Kondisi semacan ini akan membentuk sikap “charity yaitu kedermawanan dan cinta terhadap sesama makhluk.
Sedangkan Wiemans menggambarkan satu kesatuan norma atau standar untuk mengukur perkembangan agama seseorang. Standar ini merupakan standar ideal:
1.       Memiliki daya guna secara objektif bagi kemanusiaan.
2.       Memiliki loyalitas yang menyeluruh.
3.       Sensitif dalam merasakan dan membedakan nilai.
4.       Memiliki loyalitas yang berkembang.
5.       Mempunyai efektifitas sosial.[5]
Berbeda dengan Allport, James, Wiemans dan Clark menyusun 10 pertanyaan untuk menilai kematangan beragama seseorang.
1.       Apakah agama seseorang merupakan kebutuhan primer ataukah hanya semata imitatif?
2.       Apakah agama bagi seseorang cukup fresh?  Artinya, apakah agama dapat menimbulkan perasaan keingin tahuan yang segar?
3.       Apakah agama dapat menimbulkan sikap self critical? Artinya apakah agama dapat membentuk seseorang untuk bersikap kritis terhadap “kelemahan” agamanya pada saat yang sama ketika dia tetap loyal pada agama tersebut.
4.       Apakah agama bebas dari magic? Artinya, apakah agama bagi seseorang dipandang sebagai cara untuk mengharmonisasikan kehidupan dengan Tuhan? Ataukah agama tersebut bersifat a genuine religion?
5.       Apakah agama cukup memberi makna dinamis? Artinya, apakah agama memberikan arti yang penuh bagi kehidupannya dan membawa suatu perubahan bagi sikap dan tingkah lakunya?
6.       Apakah agama bagi seseorang cukup terintegrasi? Artinya, agama dapat meliput seluruh aspek kehidupan sehingga menimbulkan konsistensi moral.
7.       Apakah agama bagi seseorang memiliki efektifitas sosial? Dengan kata lain, apakah agama bagi seseorang cenderung memperkuat rasa kemasyarakatan seseorang dengan orang lain dan tanggung jawab pada masyarakat secara luas.
8.       Apakah agama bagi seseorang mampu melahirkan sikap rendah hati?
9.       Apakah agama bagi seseorang berkembang? Adakah kepercayaan terhadap agama seseorang mengalami perkembangan baik dalam hal pencarian kebenaran yang lebih maupun pada progresivitas yang lebih luas.
10.    Apakah agama bagi seseorang melahirkan sikap kreatif? Artinya, apakah agama bagi seseorang memperkembangkan nilai yang dimilikinya dan menunjukan karakteristik dirinya sendiri? Ataukah hanya sekedar merupakan pengulangan yang berasal dari orang lain.[6]
   




[1] Djami’atul Islamiyah. 2006. Jurnal Attarbiyah: Studi Psikologis Tentang Kematangan Beragama. Salatiga, h. 17.
[2]Ibid., h. 18.
[3] Ibid., h. 19-21.
[4] Ibid., h. 21-22.
[5] Ibid., h. 22.
[6] Ibid., h. 23.

1 comment: