NASIONALISME DALAM ISLAM

Paham kebangsaan (Nasionalisme) yang pertama kali memperkenalkan kepada umat Islam adalah Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Lantas, seperti telah diketahui, setelah Revolusi 1789, Perancis menjadi salah satu negara besar yang berusaha melebarkan sayapnya. Mesir yang ketika itu dikuasai oleh para Mamluk dan berada di bawah naungan kekhalifahan Utsmani, merupakan salah satu wilayah yang diincarnya. Walaupun penguasa-penguasa Mesir beragama Islam, tetapi mereka berasal dari keturunan orang-orang Turki. 
Napoleon mempergunakan sisi ini untuk memisahkan orang-orang Mesir dan menjauhkan mereka dari penguasa dengan menyatakan bahwa orang-orang Mamluk adalah orang asing yang tinggal di Mesir. Dalam maklumatnya, Napoleon memperkenalkan istilah al-Ummat al-Mishriyah, sehingga ketika itu istilah baru ini mendampingi istilah yang selama ini telah amat dikenal, yaitu al-Ummah al-Islamiyah al-Ummah al-Mishriyah dipahami dalam arti bangsa Mesir. Pada perkembangan selanjutnya lahirlah ummah lain, atau bangsa-bangsa lain.[1]
Islam pada awalnya memiliki citra dan cerita yang positif karena penyebarannya dengan jalan damai dan berperan dalam peningkatan peradaban manusia. Bahkan secara politis, Islam telah menjadi kekuatan dominan yang mampu menyangga dan mempersatukan penduduk nusantara yang bertebaran ini ke dalam sebuah identitas baru yang bernama Indonesia, sekalipun pada akhirnya secara legal formal ikatan ke-Indonesia-an ini diatur dan diperkuat oleh administrasi dan ideologi negara.”[2]
Perlu diketahui bahwa dalam sejarah Indonesia mencatat terdapat beberapa gerakan separatis diberbagai daerah Indonesia yang ingin pisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti di Aceh ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Papua Barat (Irian Jaya) ada Organisasi Papua Merdeka (OPM), Timor-Timur (pada tahun 1998 akhirnya lepas dari NKRI), di Maluku Front Kedaulatan Maluku separatis Republik Maluku Selatan (FKM/RMS), Gerakan Separatis Tragedi Nasional G 30 S/PKI Tahun 1965, Pemberontakan  Permesta, Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Pemberontakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII), Pemberontakan PKI di Madiun Tahun 1948. Maka dalam hal ini tidak dapat kita pungkiri bahwa paham kebangsaan (Nasionalisme) sangat dibutuhkan sekali guna untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam menjaga kedaulatan negara dapat diwujudkan dengan menjaga prinsip-prinsip atau unsur-unsur Nasionalisme diantaranya: persatuan, cinta tanah air, patriotisme, pluralisme, kebebasan, keadilan dan lain-lain. Inilah yang harus terus-menerus kita perjuangkan dalam negara ini demi menjaga keutuhan negara. Salah satu dari pada unsur Nasionalisme adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam konteks keindonesiaan yang masyarakatnya majemuk, baik dari segi agama, suku, bahasa dan bangsa, maka menjaga persatuan dan kesatuan adalah sebuah keniscayaan. Mengingat wilayah Indonesia yang terdiri dari berbagai kepulauan yang “dipisahkan” sekaligus dihubungkan dengan lautan. Kekuatan ini tidak mungkin diraih tanpa adanya persatuan dan kesatuan. 
Persatuan dan kesatuan ini tidak akan tercapai tanpa adanya persaudaraan dan kebersamaan serta  kemauan untuk saling  menghormati satu  sama  lain  atau  dengan  kata  lain disebut pluralisme. Hal tersebut ditegaskan dalam surat al-Hujurat ayat 13, bahwa Allah Swt menciptakan manusia dari satu keturunan dan bersuku-suku (demikian juga rumpun dan ras manusia), agar mereka saling mengenal potensi masing-masing dan memanfaatkan semaksimal mungkin. Ini berarti bahwa al-Qur’an merestui pengelompokan berdasarkan keturunan selama tidak menimbulkan perpecahan, bahkan mendukung demi mencapai kemaslahatan bersama.
Sebagaimana di dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 52, Allah Swt memerintahkan kita untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Ayat tersebut juga dikuatkan dengan surat Ali Imran ayat 103 yang melarang kita untuk bercerai berai. Demikian halnya dalam surat al-Anfal ayat 46 juga melarang kita saling berbantah-bantah atau berselisih, sebab hal itu akan membuat lemah kekuatan kita. Sebagai seorang muslim dan sekaligus sebagai warga negara Indonesia, umat itu mengacu pada suatu kelompok masyarakat yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik pengelompokan secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri.
Dalam al-Qur’an ditemukan kata “ummat” yang digandengkan dengan kata “wahidah” sebanyak sepuluh kali. “Ummah wahidah” berarti umat yang satu. Tidak pernah ditemukan frasa “tauhid al-ummah” (penyatuan umat). Ini memberi isyarat bahwa al-Qur’an lebih menekankan sifat umat yang satu, bukan penyatuan umat. Sebab penyatuan umat terkesan adanya penyeragaman, sehingga kebhinekaan justru dinafikan. Jadi, multikultural sangat dihargai oleh al-Qur’an. Sementara frasa “ummah wahidah” berarti ummat yang satu, meskipun umat manusia itu berbeda-beda, tetapi tetap bisa menjaga persatuan. 
Dalam konteks bernegara, paham Nasionalisme menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Sedangkan Nasionalisme religius adalah paham kebangsaan yang dilandasi oleh nilai dan semangat keagamaan. Artinya agama menjadi spirit dan nilai untuk menegakkan suatu negara yang adil dan makmur. Dengan kata lain, hubungan agama dan negara bisa bersifat simbiotik mutualisme yang saling menguntungkan. Namun demikian, jangan sampai terjadi politisasi agama untuk kepentingan pragmatis bagi para elit negara.  Jangan sampai Nasionalisme di sini ditunggangi oleh elit tertentu untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan samata. Untuk itu, diperlukan kritik dan “oposisi loyal” terhadap pemerintah, agar pemerintah atau negara tidak melakukan politisasi agama demi mengamankan kekuasaan.




[1] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Tafsir Maudhu’i  Atas Pelbagai Persoalan Umat),  (Bandung: Mizan, 1996), Cet. 13, h. 329
[2] Zainuddin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa, (Yogyakarta: Galang Press, 2000), h. xxv

No comments:

Post a Comment