A. Karakteristik Belajar Al-Ghazali Dan Jean
Piaget
Di
antara hal terpenting yang memerlukan perhatian di dalam tulisan al Ghazali dan
Piaget tentang pendidikan pada umumnya, dan belajar pada khususnya adalah
bagaimana proses seseorang memperoleh pengetahuan. Al-Ghazali dan Piaget
menulis tentang belajar bukan tanpa persiapan dan semaunya, melainkan sejalan
dengan ide yang jelas dalam rasio sehingga tulisannya mudah dipahami oleh para
pembaca. Mereka adalah seorang pemikir yang berfikiran logis dan sistematis.
Mereka memiliki filsafat yang jelas dan tajam dan oleh karena itu, ketika
mereka menulis tentang belajar, pertama kali ia jelaskan tujuan yang ingin
dicapai dengan belajar.
Paradigma
pemikiran al-Ghazali dan Piaget tentang belajar mempunyai keunikan-keunikan
tersendiri. Walaupun demikian pada hal-hal tertentu dapat ditemukan titik
temunya. Karena itulah patut dikaji lebih lanjut tentang perbedaan dan
persamaan dari masing-masing paradigma mereka.
Paradigma
pemikiran al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh besar Islam, seperti
al-Haramain, Ahmad ar Razkani dan lainnya, di samping itu al-Ghazali juga dipengaruhi
oleh filosof Yunani. Oleh karena itu corak pemikiran al-Ghazali dalam bidang
pendidikan termasuk di dalamnya konsep belajar dikategorikan ke dalam aliran
religius rasional, yang lebih berorientasi kepada al-Qur’an dan al-Hadits.
Corak ini juga dapat dikategorikan ke dalam aliran konservatif, yaitu aliran
yang dalam bergumul dalam persoalan belajar cenderung bersifat keagamaan.[1]
Dalam
bentuk lain, tipologi aliran ini dapat dikategorikan ke dalam pemikiran yang
bercorak normatif, yaitu bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Selain itu
corak pemikiran tentang belajar dapat juga dikategorikan tipologi mistik,
karena pemikiran tentang belajar cenderung kepada tasawuf yang berlandaskan al-Qur’an
dan al-Hadits.
Sementara
itu, paradigma pemikiran Jean Piaget lebih berorientasi pada bidang ilmu
Biologi, Epistimologi dan Psikologi. Piaget mengumpulkan ketiga bidang tersebut
dalam menjawab bagaimana pengetahuan itu dibentuk oleh individu.
Paradigma
pemikiran Piaget juga banyak dipengaruhi oleh para filosof, diantaranya ia
belajar filsafat Bergson. Oleh karena itu secara khusus corak pemikiran Jean
Piaget dapat dikategorikan ke dalam tipologi rasional. Atau dengan kata lain
dalam pemikirannya, Piaget mendasarkan pada metode umum mendapatkan data
empiris dan penggunaan model-model logis dalam menafsirkan data-data itu.[2]
Walaupun
tipologi-tipologi pemikiran tentang belajar al-Ghazali dan Piaget terdapat
perbedaan-perbedaan yang cukup mendalam, namun demikian pada hakikatnya
keduanya sama-sama ingin menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh
pengetahuan.
Adapun
karakteristik pemikiran al-Ghazali dalam belajar secara umum pembahasannya
dimulai dengan bagaimana seseorang memperoleh ilmu. Menurut al-Ghazali bahwa
daya-daya menyerap ilmu atau segala sesuatu muncul adalah sebagai
tingkatan-tingkatan jiwa manusia (maratib al arwah al basyariyah). Lima
daya dimaksud adalah al hasas (panca indera), al-ruh al-hayali (imajinasi),
al-ruh al-‘aqly (jiwa intelektual), al-ruh al-fikry (daya nalar),
dan al-ruh al-qudtsy (jiwa kenabian yang transendental).[3]
Kenyataan
bahwa manusia mempunyai dua aspek, yaitu aspek fisik dan psikis, namun raga
(fisik) bukan merupakan inti dari kemanusiaan, karena potensi juga dimiliki
oleh hewan dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu yang menjadi inti dan substansi
kemanusiaan adalah an nafs al insani. Dari adanya unsur jiwa (an-nafs al-insani)
inilah yang menjadi perbedaan antara manusia dengan hewan, sehingga manusia
mampu berfikir dan mewujudkan apa yang dipikirkannya (nathiq), baik
dalam bentuk perkataan hingga perbuatan.[4]
Jiwa
(an-nafs) merupakan esensi yang sempurna dan tunggal yang tidak muncul
selain dengan cara mengingat, menghafal, berfikir, membedakan dan
mempertimbangkan, sehingga dikatakan bahwa ia menerima seluruh ilmu. Ia
mengetahui masalah-masalah yang rasional maupun yang ghaib. Dialah yang sanggup
memahami, berfikir dan merespon segala yang ada.[5]
Namun an nafs al insani tidak langsung
berhubungan dengan raga, tetapi melalui sarana-sarana al-junud al-qalb,
yaitu fungsi-fungsi kejiwaan yang tercakup dalam daya-daya yang lima.
Yang
menarik dari uraian ini adalah bahwa fungsi-fungsi dan daya-daya yang tercakup
dalam dimensi insani tersebut adalah merupakan karakter manusia. Akal manusia
dikategorikan oleh al-Ghazali menjadi akal praktis (al-milat) dan akal
teoritis (al-alimat), sedangkan berdasarkan tinggi rendahnya jangkauan
yang diperoleh, beliau membagi menjadi akal material (al-aql al-hayulani)
habitual intellect (al-aql bi al-malakat), akal aktual (al-‘aql
al-fi’li) dan akal perolehan (al-aql mustafad).
Penjelasan
fungsional yang kemudian diuraikan dan menjadi prinsip perolehan ilmu oleh al-Ghazali
adalah bahwa akal (berfikir dan belajar) memang dapat memahami alam hakikat dan
mendapatkan ilmu. Akan tetapi untuk mengalami dan menghayati secara langsung,
al-Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa hal itu hanya dapat ditempuh dengan al
mukhasyafat atau ilmu tasawuf, dengan kegiatan nyata al mujahadah, yaitu
latihan-latihan keruhaniahan yang serius untuk menghilangkan sifat-sifat
tercela dan meraih sifat-sifat terpuji, memutuskan sementara hubungan duniawi
meningkatkan kualitas ibadah dan menggalakkan dzikir dan taqarub kepada
Allah atau dengan kata lain seluruh proses ragawi dan ruhani ini sampai
kepada widjan dan dzauq.
Dengan
demikian dilihat dari sudut pandang psikologi al-Ghazali menempatkan akal
manusia pada peringkat yang sangat tinggi. Bahkan di luar kekuatan akal manusia
masih ada kekuatan atau hal lain yang dapat digunakan untuk mencapai hakikat,
yaitu ilham yang murni berasal dari Tuhan. Artinya hasil dari ilham
bukan dengan mengintensifkan hasil pikiran manusia, melainkan dari hasil mujahadah
dan riyadhah. Sehingga kegiatan yang harus dilakukan adalah kegiatan
yang bercorak keruhaniahan yang didasari sikap berserah diri dan bukan renungan
filosofis.
Akan
tetapi dari sekian uraian yang telah disampaikan bahwa hal paling urgen di
dalam merumuskan bagaimana terjadinya proses belajar dilihat dari aspek psikis
adalah bermuara kepada berfungsinya beberapa potensi, baik potensi lahir (al-hissu
al-khams) maupun potensi batin (al-khayali, al-tafakkur, al-hifdlu,
al-tadzakkur dan al-musytarak). Potensi-potensi inilah yang
sebenarnya menggerakkan potensi lahir. Orang menjadi terampil secara lahiriah
dikarenakan oleh ketrampilan batini. Artinya, pemberdayaan indera yang akan
menggerakkan seluruh potensi badan adalah sinergitas antara potensi batin dan
lahirnya.
Barangkali
penjelasan al-Ghazali yang demikian tidak terlalu berlebihan, karena rujukan yang
digunakan olehnya adalah al-Qur’an (firman Allah) dan Hadits. Sementara itu
pandangan Jean Piaget tentang belajar ada kesamaan dengan al-Ghazali, hanya
saja bahasa yang digunakan berbeda, di mana menurut Piaget dalam belajar
seseorang harus mengkonstruksikan pengetahuan. Seseorang harus berfikir atau
dalam bahasa al-Ghazali disebut tafakkur, yang melibatkan unsur akal.
Selanjutnya,
Piaget juga menegaskan bahwa pengetahuan manusia itu pada dasarnya adalah
aktif. Mengetahui adalah mengasimilasikan realitas sistem-sistem transformasi.
Mengetahui adalah mentransformasikan realitas untuk dapat mengerti bagaimana
suatu keadaan tertentu itu terbentuk. Maka pengetahuan bukanlah tiruan pasif
dari realitas. Mengetahui sesuatu adalah bertindak atas sesuatu.[6]
Kemudian
pemikiran al-Ghazali dan Piaget dalam belajar, khususnya mengenai bagaimana
manusia memperoleh ilmu pengetahuan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama,
tentang pengertian belajar, menurut al Ghazali belajar adalah serangkaian
kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku dan ilmu pengetahuan
sebagai hasil dari pengalaman individu. Sedangkan menurut Piaget adalah suatu
proses perolehan pengetahuan yang dibentuk oleh individu itu sendiri, karena
individu melakukan interaksi secara terus menerus dengan lingkungannya.
Dari
definisi keduanya tersebut, dapat dilihat bahwa belajar menurut al-Ghazali dan
Piaget mempunyai kesamaan, yaitu mereka sepakat bahwa belajar merupakan suatu
proses, dilakukan guna memperoleh suatu perubahan dan dengan belajar seseorang
akan mendapatkan pengetahuan. Belajar adalah merupakan proses aktif pelajar.[7]
Belajar
adalah suatu proses untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanik untuk
mengumpulkan fakta. Karena pelajar harus punya pengalaman dengan membuat
hipotesis, mengetes hipotesis, memecahkan persoalan, mencari jawaban,
menggambarkan, meneliti, mengadakan refleksi, mengekspresikan gagasan, dan
lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru.[8]
Atau
dengan kata lain bahwa belajar membutuhkan aktivitas fikir, yang dalam bahasa
al-Ghazali disebut dengan tafakkur. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Dialah,
yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi
minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang ada (tempat
tumbuhnya) kamu mengembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan
itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur
dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan”.[9]
Kata
Tafakkur, berarti memikirkan informasi yang ada. Dengan demikian, pengenalan
yang berasal dari indera-indera harus ditopang oleh refleksi dan penalaran agar
dapat meningkatkan pengetahuan kita. Asal-usul dan prinsip-prinsip segala
sesuatu, dan yang menyebabkan ia berkembang adalah intelek (kemampuan
berfikir). Tanpa intelek tak ada yang bisa dicapai. Tuhan menganugerahi
hambanya cahaya dan hiasan intelek.
Dengan intelek hamba-hamba itu dapat
mengetahui penciptanya, dan memahami bahwa Dialah sang pengatur dan merekalah
yang diatur. Dia abadi, mereka fana. Dengan inteleknya mereka menyimpulkan,
lewat pengamatan, karya Tuhan langit, bumi, matahari, bulan, malam dan siang, bahwa
baginya dan bagi benda-benda itu ada pencipta dan pengatur yang selalu ada dan
akan tetap ada selamanya. Dengan intelek mereka mengetahui yang baik dan yang
buruk, dan menyadari bahwa ilmu itu berkaitan dengan cahaya, kebodohan adalah
kegelapan. Hanya lewat inteleklah, kesimpulan seperti ini bisa diambil.
Al-Ghazali
dan Piaget juga mengakui adanya struktur kognitif (adanya daya ingat). Seorang
yang belajar tidak mungkin memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang baru
sama sekali dan tidak diketahuinya, kecuali dengan memperoleh serta mengingat
kembali pengetahuan-pengetahuan yang telah dikuasai sebelumnya, sehingga
apabila telah diingatnya dan disusunnya kembali
dalam hatinya dengan susunan khusus yang dikenal dengan I’tibar (pengetahuan
yang diperoleh karena pengalaman), atau dalam teori Piaget disebut dengan
skema, maka pada waktu itu akan memperoleh petunjuk tentang pengetahuan. Ini
berarti bahwa belajar tidak dapat terjadi kecuali dengan jaringan pengetahuan
yang telah dimiliki.
Kedua,
tentang proses belajar. Dalam penjelasannya al-Ghazali menyebutkan bahwa
seseorang dalam memperoleh pengetahuan itu ada dua proses, proses yang pertama
disebut proses Ta’allum insani
dan yang kedua adalah Ta’allum rabbani. Dengan adanya proses
belajar yang dilalui dengan Ta’allum Rabbani ini al-Ghazali mengakui
bahwa perolehan pengetahuan berproses begitu saja ke dalam hati, seolah-olah
dihujamkan dari arah yang tidak diketahui, yang oleh al Ghazali disebut sebagai
Ilham. Hal itu karena dalam belajar al-Ghazali melibatkan qalb yang
merupakan salah satu unsur dari jiwa dan sebagaimana disebutkan di atas dalam
pemikiran al-Ghazali bersifat mistik di samping religius rasional.
Berbeda
dengan al-Ghazali, Piaget tidak mengakui adanya Ilham, artinya bahwa seseorang
akan memperoleh pengetahuan, atau lebih lengkap struktur kognitifnya jika
seseorang itu mengalami dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dengan
melakukan proses ini pengetahuan seseorang akan menjadi lebih lengkap. Dan
proses ini akan dialami oleh seseorang sepanjang hidupnya, atau dengan kata
lain proses yang tidak pernah ada ujung akhirnya.
Ini
berarti bahwa pengetahuan akan selalu berkembang, selalu berubah menuju pada
bentuk yang akan lebih tinggi dan lebih sempurna, dengan berinteraksi dengan
lingkungan. Hal ini adalah karena baginya, setiap makhluk hidup perlu
beradaptasi dan mengorganisasi lingkungan fisik disekitarnya. Ia berfikir bahwa
perkembangan pemikiran juga mirip dengan perkembangan biologis, yaitu perlu
beradaptasi dan mengorganisasi lingkungan sekitar. Pandangan ini muncul adalah
karena dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi.[10]
Dalam
hal ini Piaget agak serupa dengan filosuf E. Kant yang seperti diketahui umum,
menekankan peranan dari subjek transendental yang aktif dan struktur-struktur
apriori si subjek di dalam pengetahuan manusia.
B. ARAH DAN ORIENTASI BELAJAR AL GHAZALI DAN
JEAN PIAGET
Ciri
khas Pendidikan Islam secara umum menurut Fathiyah Hasan Sulaiman adalah sifat
moral religiusitasnya yang nampak jelas pada tujuan-tujuan yang hendak dicapai
maupun sarana-sarana yang tanpa mengabaikan aspek duniawiyah.[11]
Jadi dunia maupun akhiratnya.
Demikian
halnya pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan termasuk didalamnya belajar juga
bernuansa Islami dan moral. Di samping itu juga tidak mengabaikan
masalah-masalah duniawiyah. Tetapi pencapaian tujuan duniawiyah
hanyalah sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, yakni akhirat.
Sehingga tujuan belajar menurut al-Ghazali adalah mendekatkan diri kepada Allah
untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dari
tujuan pendidikan yang demikian, maka bagi al-Ghazali belajar mempunyai arah
dan orientasi lurus kepada Allah. Sehingga proses belajar yang berlangsung juga
tidak boleh menyimpang dari aturan Allah yang ada dalam al-Qur’an dan Hadits.
Terlebih lagi karena corak pemikirannya bersifat tasawufi, maka belajar
diarahkan untuk mencapai derajat yang tinggi di hadapan Allah. Di samping itu
untuk dapat mencapainya haruslah ada keseimbangan pengembangan fitrah dan
potensi manusia yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Berbeda
dengan al-Ghazali, Piaget yang dalam tujuan belajarnya lebih menonjolkan pada
aspek kognitif, yaitu memajukan pengetahuan seseorang dari satu tahap kurang
cukup ke tahap pengetahuan yang lebih cukup sesuai dengan perkembangan
kognitifnya, dengan jalan berfikir, untuk meng-konstruksikan pengetahuan ke
dalam dirinya. Hal ini senada dengan teori belajar kognitif, karena itu Piaget
bisa dikategorikan dalam teori belajar ini. Oleh karena itu arah dan orientasi
belajar Jean Piaget, adalah pencapaian pengetahuan yang lebih sempurna dan
kelengkapan struktur kognitif. Dan penekanannya lebih banyak pada pengembangan
nalar atau dengan kata lain menekankan pada aspek kognitif.
C. IMPLIKASI KONSEP BELAJAR AL-GHAZALI DAN
JEAN PIAGET TERHADAP PEMBELAJARAN
1. Tekanan Pada Murid
Jelas
bahwa bagi al-Ghazali dan Piaget, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif,
dimana pelajar membangun sendiri pengetahuan. Pelajar mencari arti sendiri dari
yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru
dengan kerangka berfikir yang telah ada dalam pikiran mereka.
Menurut mereka,
pelajar sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Murid sendiri
yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna,
membandingkannya dengan apa yang telah ia ketahui serta menyelesaikan
ketegangan antara apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam
pengalaman yang baru.
Pelajar harus membentuk pengetahuan mereka sendiri dan
guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. Belajar yang
berarti terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian dan dalam proses
selalu memperbaharui tingkat pemikiran yang tidak lengkap.
Perbedaan
antara kaum behavioristik dengan pandangan al-Ghazali dan Piaget dalam hal
pengetahuan belajar dan mengajar adalah sebagai berikut; menurut kaum
behavioris, pengetahuan itu pengumpulan pasif dari subjek dan objek yang
diperkuat oleh lingkungannya, sedangkan bagi al-Ghazali dan Piaget, pengetahuan
itu adalah kegiatan aktif pelajar yang meneliti lingkungannya. Mengajar bagi
kaum behavioris adalah mengatur lingkungan agar dapat membantu belajar.[12]
Sedang bagi al-Ghazali dan Piaget mengajar berarti partisipasi dengan pelajar
dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap
kritis, mengadakan justifikasi.
Di
samping itu al-Ghazali mengakui prinsip perbedaan-perbedaan antara individu,
yang menuntut diadakannya pembedaan antara masing-masing murid berdasarkan
kemampuan akal atau kemampuan lainnya.[13]
Seperti
al-Ghazali, Piaget pun mengakui bahwa seorang anak mempunyai cara berfikir dan
pendekatan yang sangat berbeda secara kualitatif dengan orang dewasa dalam
melihat dan mempelajari realitas. Anak dalam perkembangannya mempunyai struktur
pemikiran yang berbeda dengan orang dewasa.[14]
Oleh
karena itu, guru supaya membatasi diri dalam mengajar pada batas kemampuan
pemahaman murid, dan karenanya ia tidak perlu memberikan sesuatu yang tak
terjangkau oleh akalnya, karena dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak
akalnya. Bagi al-Ghazali guru adalah penjaga ilmu yang dipercaya dan untuk itu
di atas pundaknya terpikul beberapa kewajiban, yaitu tidak boleh memberi ilmu
semuanya atau mengajar murid tanpa memperhitungkan keadaan.[15]
Dalam
kaitan ini, menjadi penting bagi seorang guru untuk mengerti cara berfikir
murid, pengalaman murid, dan bagaimana murid mendekati suatu persoalan. Di
samping itu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa belajar merupakan proses
jiwa bukan proses fisik, maka al-Ghazali menyarankan, agar murid sebagai
langkah pertama dalam belajarnya mensucikan jiwa dari perilaku-perilaku buruk,
sifat-sifat tercela dan budi pekerti yang rendah, seperti dengki, takabur,
menipu, angkuh dan sebagainya. Seperti ungkapan dalam Ihya’ juz I.
“Mendahulukan
kesucian jiwa dari kerendahan akhlak dan dari sifat-sifat yang tercela karena
ilmu pengetahuan adalah merupakan kebaktian hati, shalatnya jiwa dan
mendekatkan batin kepada Allah Ta’ala”.[16]
Tegasnya,
seorang murid hendaklah menjauhkan diri dari perbuatan keji, munkar dan
maksiat. Dengan itu ia akan memperoleh ilmu yang bermanfaat, baik dunia maupun
akhirat. Adapun murid yang tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan, ia
paling-paling hanya akan memperoleh ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia,
karena maksiat itu merupakan racun imu pengetahuan yang bermanfaat bagi
kehidupan akhirat. Al-Ghazali berkata:
“Jikalau
anda menyatakan banyak pelajar yang rendah budi memperoleh ilmu pengetahuan,
tahukah anda kiranya bahwa alangkah jauhnya ilmu itu dari ilmu yang sebenarnya,
yang berguna di akhirat yang membawa kebahagiaan; yang nyata dari ilmu itu
ialah bahwa maksiat merupakan racun yang membunuh dan membinasakan”.[17]
2.
Metode Belajar
Sebagaimana
dijelaskan bahwa al-Ghazali dan Piaget menekankan pentingnya kegiatan seorang
murid yang aktif dalam mengkonstruksikan pengetahuan. Hanya dengan keaktifannya
mengolah bahan, bertanya secara aktif, dan mencerna bahan dengan kritis, murid
akan dapat menguasai bahan dengan lebih baik. Oleh karena itu, kegiatan aktif
dalam proses belajar perlu ditekankan. Bahkan kegiatan murid secara pribadi dalam
mengolah bahan, mengerjakan soal, membuat kesimpulan, dan merumuskan suatu
rumusan dengan kata-kata sendiri adalah kegiatan yang sangat dipelukan agar
murid sungguh membangun pengetahuannya. Tugas guru adalah menyediakan alat-alat
dan mendorong agar murid aktif.
Seorang
murid akan lebih mengerti apabila ia dapat menemukan sendiri pengetahuannya.
Oleh karena itu, proses pengajaran yang memungkinkan penemuan kembali suatu
hukum atau rumus menjadi penting. Murid tidak menghafal atau menerima saja
hukum yang sudah diolah oleh orang lain yang lebih dewasa, tetapi menemukannya
sendiri kembali. Tentu seorang guru dituntut lebih, yaitu membiarkan murid bekerja
dan menemukan kesabaran seorang guru diperlukan di sini.
Agar
proses belajar murid dapat dikembangkan dan juga salah pengertian murid dapat
dibantu, sangat mutlak bahwa murid diberi keleluasaan untuk mengungkapkan apa
yang menjadi pemikiran, gagasan dan penangkapannya akan suatu bahan atau hal.
Dengan membiarkan murid mengungkapkan pemikirannya maka seorang guru dapat membetulkannya
jika terjadi kesalahan dan mendukung serta meneguhkannya jika apa yang
diungkapkan baik dan benar. Dengan kata lain seorang guru tidak boleh
mendoktrin suatu kebenaran, dan membiarkan murid untuk mengekspresikan apa yang
mereka ketahui dan yang tidak mereka ketahui, sebagai refleksi pengetahuan
mereka.
[1] Aliran ini dalam
memahami ilmu hanya mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang (hidup di
dunia) yang jelas-jelas akan membawa manfaat kelak di akhirat. Lebih lanjut dilihat
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam, Perspektif Sosiologis, Filosofis, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2002), hlm. 74.
[2] Barbel Inhelder, Beberapa
Aspek Pendekatan Genetis Piaget terhadap Pengertian, dalam A. Cremes (ed),
Antara Tindakan dan Pikiran, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 151.
[3] Ihsan, Psikologi
Belajar Menurut al Ghazali, Tesis Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang,
(Semarang: Perpustakaan Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2001), hlm. 6
[4] M. Sigit Pramudia
dan Kuswandani, “Jism, Aradh dan Jauhar beserta Ruh Amr: Struktur Insan dalam
Perspektif Imam al Ghazali “, Journal Ruh al Quds, jqq vol.1 th. I hlm 37.
[5] Ibid., hlm. 39.
[6] Paul Suparno, Filsafat
Konstruktivisme dalam Pendidikan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 37.
[7] Paul Suparno,
Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, op. cit., hlm. 61.
[8] Ibid., hlm. 62.
[9] Departemen Agama
RI, Al-Quran al Karim dan Terjemahannya, Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1999, hlm. 403.
[10] Paul Suparno,
Filsafat Konstruktifisme dalam Pendidikan, op. cit., hlm. 30.
[11] Fathiyah Hasan
Sulaiman, Aliran-aliran Dalam
Pendidikan, terj., H.S. Agil Husin al Munawar
dan hadri Hasan, (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 18.
[12] Paul
Suparno, op. cit., hlm. 62.
[13] Fathiyah Hasan
Sulaiman, op. cit., hlm. 37.
[14] Paul Suparno, Teori
Perkembangan Kognitif Jean Piaget,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 142.
[15] Fathiyah Hasan
Sulaiman, loc. cit.
[16] Al Ghazali, Ihya’
Ulumuddin, juz I, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, tt), hlm. 62.
[17] Ibid.
No comments:
Post a Comment