Manusia
adalah makhluk yang paling sempurna dari makhluk ciptaan Allah yang lain, ia
memiliki badan yang tersusun dari organ-organ, sel-sel, otot, kelenjar dan lain
sebagainya, juga memiliki jiwa, sesuatu
yang substansial dalam diri seorang manusia.
Sebagai
sesuatu yang substansial dalam diri manusia inilah yang mengundang tanda tanya
besar dalam benak manusia itu sendiri untuk menjawabnya seperti para filosof
yang menjadi kiblat bagi psikologi dan pemikir Islam. Mereka ada yang
berpendapat bahwa jiwa itu sama
dengan ruh dalam istilahnya. Tetapi ada
juga yang mengatakan bahwa jiwa dan ruh itu berbeda.
Sebagian
besar hasil refleksi filosof tentang jiwa pada soal itu bersifat “Atomistik”
dimana jiwa manusia itu dipandang sebagai sesuatu yang konstan, tidak
berubah-ubah dan dapat dianalisa sebagai memiliki unsur tersendiri dan masing-masing
terpisah satu sama lain. Pada zaman itu pembahasan tentang jiwa dipisahkan dari
pengetahuan tentang raga (jasad). Jiwa dipercayai memiliki daya-daya tertentu
yang bekerja sendiri tanpa ada hubungan dengan raga. Jiwa benar-benar
didudukkan sebagai sebuah substansi immaterial yang terpisah dari raga dan
abstrak.[1]
a.
Plato
(427-347 SM)
Plato adalah murid setia Socrates,
ia menyatakan bahwa jiwa merupakan aspek yang pertama, ia lebih unggul dari
pada badan secara total (terutama dalam hal jiwa manusia) bahwa tidak hanya
menjadi prinsip hidup tumbuh-tumbuhan dan hewani, tetapi juga prinsip
kesadaran, interioritas, pemikiran dan kebebasan jiwa tidak bisa disamakan
dengan organisme, baik dengan bagian tertentu maupun dengan segi manapun yang
bersifat organik dan badaniah dalam makhluk hidup. Plato menambahkan bahwa jiwa
merupakan satu substansi yang eksistensinya mendahului badan, yang sementra
waktu bertahan dalam badan seperti didalam sebuah penjara.[2]
b.
Aristoteles
(384-322 SM)
Ia adalah murid Plato namun secara
keseluruhan corak pemikirannya berbeda bahkan berlawanan dengan gurunya,
termasuk pemikirannya tentang jiwa bagi Aristoteles. Jiwa tidak hanya dimiliki
manusia tapi juga oleh hewan dan tumbuhan. Hal tersebut tertuang dalam bukunya
“De Anima” (perihal jiwa) yang merupakan hasil penelitiannya terhadap
gejala-gejala kehidupan tumbuhan, hewan dan manusia itu sendiri.
Menurutnya jiwa tumbuhan, hewan dan
manusia itu tidak hanya satu tetapi memiliki banyak jiwa dan terus menerus
mengalami perubahan dari jiwa yang lebih rendah naik menuju jiwa yang lebih
tinggi, ini merupakan konsekuensi logis dari kerangka pemikirannya
mengenai teleologis Proses perubahan itu
terjadi karena setiap makhluk memiliki energi hidup yang disebut “Entelechi”. Energi inilah yang sebenarnya
merupakan substansi kehidupan setiap makhluk atau jiwa dari badan yang selalu
bergerak menuju ke arah tujuan ( teleologis ).[3]
Macam-macam jiwa menurut Aristoteles
ada 3 yaitu:
1. Jiwa
Tumbuhan (Anima Vegetativa) yaitu jiwa yang terdapat pada tumbuhan yang
mempunyai kemampuan untuk makan minum dan berkembang biak.
2. Jiwa
Hewan (Anima Sentitiva), yaitu jiwa yang terdapat pada hewan yang disamping
mempunyai kemampuan-kemampuan seperti pada anima vegetativa juga mempunyai
kemampuan-kemampuan untuk berpindah tempat mempunyai nafsu, dapat mengamati,
dapat menyimpan pengalaman-pengalamannya.
3. Jiwa
Manusia (Anima Intelektiva) yaitu jiwa yang terdapat pada manusia selain
mempunyai kemampuan-kemampuan yang terdapat pada anima vegetativa dan anima sentitiva, manusia masih mempunyai
kemampuan yang lebih tinggi lagi yaitu berpikir dan berkemauan dapat hidup
dengan lebih baik lagi.[4]
c.
Rene
Descartes ( 1596-1650 M )
Descartes adalah seorang filosof
Prancis. Ia adalah peletak aliran Rasionalisme. Tidak banyak ditemukan
pemikiran Descartes yang khusus membicarakan mengenai jiwa, namun demikian,
diakui bahwa rasionalisme descartes memiliki pengaruh yang sangat besar bagi
ilmu jiwa, khususnya ilmu jiwa metafisik yang mencoba berkelana untuk menemukan
substansi jiwa itu sendiri. Dalam hal ini Descartes menyatakan bahwa pada
hakekatnya jiwa manusia itu terikat oleh prosedur dan aturan hukum alam.[5]
d.
John
Locke (1632-1704 M)
John Locke adalah putra seorang ahli
hukum berkebangsaan Inggris yang menetap di Washington. Dalam ilmu jiwa ia
sering disebut sebagai peletak aliran
ilmu jiwa asosiasi. Bukunya yang terkenal dalam psikologi adalah Essay Concerning
Human Understanding (1690). Dalam buku ini ia berpendapat bahwa kalau suatu
benda dapat dianalisa sampai sekecil-kecilnya. Demikian pula halnya dengan jiwa
manusia,[6] yang berisi unsur-unsur pengalaman
sederhana yang kemudian berasosiasi dan menjadi gejala-gejala jiwa yang lebih
rumit. Semua pengetahuan, respon dan ungkapan perasaan jiwa manusia adalah
hasil dari pengalaman melalui penangkapan panca indera, ia juga berkeyakinan
bahwa setiap anak yang lahir jiwanya
kosong bagai sehelai kertas putih bersih tidak tertulis (tabularasa).[7]
Tidak
hanya para filosof dan psikolog saja yang memberikan perhatiannya kepada
masalah kejiwaan manusia, tetapi banyak pula cendekiawan muslim yang memberi perhatian
pada masalah tentang jiwa diantaranya:
a.
Al-Kindi
Menurutnya jiwa tidak tersusun,
mempunyai arti penting, sempurna dan mulia selain jiwa bersifat spiritual,
ilahiah, terpisah dan berbeda dengan tubuh. Jiwa mempunyai 3 daya yaitu: daya
bernafsu, daya pemarah dan daya pikir. Pendapat al-Kindi lebih dekat pada pemikiran
Plato dari pada Aristoteles. Namun, al-Kindi lebih sependapat dengan Plato yang
mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.
b.
Ibnu
Majjah
Ibnu Majjah memulai pembahasan
mengenai jiwa dengan devinisi jiwa dan menyatakan bahwa tubuh, baik yang
alamiah atau tidak tersusun dari materi
dan bentuk. Bentuk merupakan perolehan
permanen yang merupakan kenyataan tubuh dengan fungsi-fungsinya tanpa harus digerakkan.
Jiwa dianggap sebagai pernyataan pertama dalam tubuh alamiah yang teratur yang
bersifat nutritif, sensitif dan imajinatif.
c.
Nasir
Al-Din Tusi
Nasir Al-Din Tusi dalam membuka
karangannya tidak dengan mengemukakan bukti esensi mengenai jiwa, tetapi dengan
mengemukakan asumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang dapat terbukti
dengan sendirinya dan memang tidak dapat dibuktikan. Jiwa merupakan substansi
yang sederhana dan immaterial yang dapat merasa. Ia mengontrol tubuh melalui
otot-otot dan alat perasa, tetapi tidak dapat dirasakan melalui alat-alat tubuh
dan jiwa tidak dapat dibagi.[8] Sedangkan dalam
kitab karangan Ibnu
Qayyim Al Jauziyyah “ Ar-Ruh” ada beberapa pendapat yang
berkenaan dengan jiwa dan ruh.
d.
Muqatil
Bin Sulaiman
Ia mengatakan bahwa manusia itu
mempunyai kehidupan, ruh dan jiwa. Jika ia tidur, maka jiwanya yang digunakan untuk
memahami sesuatu itu keluar, namun ia tidak berpisah dengan badan. Ia keluar
seperti benang panjang dan memiliki sinar sehingga ia bisa bermimpi (melihat
dalam tidur) dengan jiwa (nafs) yang keluar dari jasadnya, sedangkan kehidupan dan ruh masih berada dalam tubuh, dengan
jiwa inilah manusia bisa berbolak-balik dan bernafas. Jika manusia bergerak,
maka jiwa itu dengan secepatnya kembali ke dalam tubuh lebih cepat dari kedipan
mata. Apabila Allah menghendaki manusia itu mati, maka Allah menahan jiwa (nafs)
yang keluar itu.
e.
Ahlul
Atsar berpendapat bahwa ruh berbeda dengan jiwa (nafs). Jiwa adalah gambaran
hamba, hawa nafsu, syahwat dan ujian. Sedangkan
ruh itu mengajak kepada akhirat dan mempengaruhinya.
Yang
lain berpendapat bahwa jiwa (nafs) adalah makna yang memang ada memiliki batas,
sendi, panjang, lebar dan kedalaman. Ja’far bin Harb mengatakan bahwa nafs (Jiwa) merupakan sesuatu yang bukan inti (aradh)
yang terdapat di
dalam jasad (tubuh) ini.
Kalangan
lain berpendapat bahwa nafs (jiwa) adalah hembusan yang keluar dan masuk dengan
cara bernafas sedangkan ruh adalah sesuatu yang bukan inti dan ia hanyalah
kehidupan ini. Ia berbeda dengan jiwa (nafs). Ini adalah pendapat al-Qadhi Abu
Bakar bin Al-Baqilani dan para pengikutnya dari kalangan Asy’ariyah.
Ada
pula yang berpendapat bahwa jiwa (nafs)
itu bukan merupkan badan (jasad)
dan bukan sesuatu yang bukan inti. Ia
tidak berada disatu tempat, tidak punya ukuran panjang dan lebar, tidak punya volume,
tidak punya warna, bukan merupakan bagian, tidak berada dialam dan tidak pula
diluarnya, tidak bisa disamakan dan tidak bisa dibedakan.[9]
Sedangkan
jiwa menurut al-Qur’an adalah suatu dzat yang bulat (Totaliteit) tercakup
didalamnya ruh dan jasad atau dinyatakan
kepada jasad saja atau kepada ruh saja ( Q.S. al-Sajdah: 9 ). Tetapi ruh tidak
dinyatakan kepada jasad saja dan tidak juga kepada jiwa saja. Ruh memberikan
hidup kepada jasad dan jiwanya
sekaligus. Dan ruh juga diartikan wahyu atau al-Qur’an karena menghidupkan jiwa
manusia.
Badan
manusia disebut hidup karena ada ruhnya dan disebut berharga (mulia) karena ada
jiwanya. Dengan ruh manusia hidup, dengan jiwa manusia menjadi makhluk yang
berharga mulia (Q.S. al-Hijr: 9). Jiwa yang dihidupi oleh ruh menjadi mulia.[10]
[1] Akyas Azhari, Psikologi
Umum dan Perkembangan, Penerbit Teraju,. Jakarta, 2004, hlm. 27 - 28
[2] Louis Leahy
S.J., Manusia sebuah Misteri,
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm. 53
[3] Akyas Azhari, Op.
cit., hlm. 31 - 32
[4] Bimo Walgito, Pengantar
Psikologi Umum, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2001, Cet. VI, hlm. 6 - 7
[5] Akyas Azhari,
Op. cit., hlm. 33-34
[6] Singgih
Dirgagunarsa, Pengantar Psikologi, Penerbit Mutiara, Jakarta, 1983, Cet.
II, hlm. 19
[7] Akyas Azhari,
Op. cit., hlm. 35
[8] Abdul Rahman
Saleh, Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar Ilmu Perspektif Islam,
Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 14 -
18
[9] Ibnu Qayyim al-Jauziyah,
Menjelajah Alam Ruh, (Terj, Salafudin Abu Sayid, Judul asli Mukhtashar
Ar-Ruh li Ibnu Qyyim Al jauziyah ),
Pustaka Arafah, Solo, 2005, cet. II, hlm. 134 -142
[10] Maftuh Ahnan, Filsafat
Manusia, CV. Bintang Pelajar, t.t, hlm. 27
No comments:
Post a Comment