RITUAL BERTAPA DALAM TINJAUAN ISLAM


Pada dasarnya manusia selalu dihadapkan pada dua problema kehidupan yang harus dipilih salah satu olehnya, yakni selalu dihadapkan oleh masalah baik dan buruk. Di sinilah manusia ditantang untuk memberikan putusan  yang tepat karena salah dalam memberi keputusan akan berakibat fatal. Oleh karena itu manusia perlu alat kontrol bagi dirinya yaitu agama.

Jika kita berbicara agama maka obyeknya adalah manusia hingga  mendapat sebutan  manusia  yang  beragama. Sebutan ini  bermakna banyak, karena rajin beribadat, keyakinannya terhadap doktrin agama. Sebutan ini bermakna banyak, karena rajin beribadat, keyakinannya terhadap doktrin agama, etika hidup, pandangan-pandangan yang kesemuanya dapat  menunjuk  kepada agama.  

Di dunia ini dalam kenyataannya banyak agama, yang sudah barang tentu seperangkat dengan tata hidup dan kehidupan yang menunjukkan orang itu beragama. Namun dalam prakteknya  mereka  berbeda-beda, dan ini memang maklum. Misalnya kita dapat melihat orang hindu pantang makan daging sapi, sedangkan penganut Islam mengharamkan daging babi, protestan berpantang alkohol. Nampak bahwa fariasi-fariasi ini bersifat  mendasar.

Namun pada dasarnya semua  agama itu mempunyai tujuan  yang  sama, sebagaiman yang dikemukakan oleh R. Sark dan C.Y. Glock membagi dimensi-dimensi keberagamaan itu menjadi lima poin, dintaranya:

1.  Dimensi Keyakinan

Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius  berpegang  teguh  pada  pandangan  teologis  tertentu  dan  doktrin-doktrinnya. 

2. Dimensi Praktek Agama

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek keagamaan ini terdiri dari dua tingkat. 

Pertama, ritual yaitu yang mengacu pada seperangkat ritus,  tindakan  keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua agama mengharapkan semua pengikutnya melaksanakannya (wajib). 

Kedua, ketaatan yaitu mengacu kepada ketaatan seseorang  religius,  namun tindakan keagamaannya tidak bersifat formal. Didalam Islam diwujudkan  dalam  bentuk  ibadah-ibadah sunnah.

3. Dimensi Pengalaman

Bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu yang pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan  subyektif  dan  langsung mengenai kenyataan terakhir (bahwa ia akan mencapai suatu keadaan kontak dengan perantara  supranatural). 

Kendati hal ini memang memerlukan ketaatan yang tinggi, biasanya tidak  semua orang beragama bisa sampai pada kenyataan ini. Dalam Islam kenyataan ini bisa dilakukan para sufi, para wali, para nabi dan semua yang dikehendaki olah Allah. 

4. Dimensi Pengetahuan Agama

Bahwa orang yang beragama paling tidak mengetahui sejumlah pengetahuan mengenai  dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab  suci  dan tradisi.

5. Dimensi Konsekwensi 

Dimensi ini mengacu identifikasi akibat keyakinan keagamaan,  praktek, pengalaman dan pengetahuan seseorang. Agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.[1]

Dapat dikatakan bahwa teologi adalah jantungnya agama, sehingga aspek-aspek yang lain menjadikan koheren. Aspek praktek keagamaan adalah yang paling bernilai dari komitmen keagamaan. Ritual dan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan ketaatan seperti dalam ibadah sunnah dan amal-amal seolah tidak dapat difahami kecuali jika kegiatan-kegiatan itu berada dalam kerangka kepercayaan yang mengandung dalil bahwa ada kekuatan besar yang harus disembah.

Bertapa adalah salah satu dari sekian ketaatan yang ada dalam praktek agama Islam yang sudah barang tentu  berdasarkan  atas  dalil-dalil. Bertapa sendiri dalam Islam sering diidentikkan dengan kholwat dalam istilah thorikoh, yang mempunyai pengertian menyendiri pada suatu tempat tertentu, Selama  beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah melalui sholat dan amaliyah tertentu lainnya.[2]

Pengertian ini sejalan dengan apa yang disampaikan Abu Bakar Aceh  yaitu melatih jiwa dan hati berkekalan ingat kepada Allah dengan tetap  memperhambakan  diri  kepadaNya.[3]

Martin Van Bruinessen memberi pengertian Kholwat dengan  penekanan  dari jumlah hari yaitu empat puluh hari. Jadi kegiatan menyepi dari kesibukan  dunia  itu dilaksanakan  selama  empat  puluh  hari.[4]

Kelompok tasawuf di Indonesia sering menyebut dengan  istilah  suluk. Kegiatan atau amalan ini biasanya dilakukan ditempat-tempat khusus  sehingga mereka tidak terganggu, tetapi seseorang dapat  pula  menjalankan  di tempat-tempat lain seperti di goa-goa (biasanya terletak dilereng-lereng gunung) dan di makam para Waliyullah.[5]

Adapun dasar pelaksanaan kholwat adalah mengikuti apa yang dilakukan  nabi Muhammad SAW, yaitu tatkala beliau belum  menjadi  nabi, beliau sering berkholwat ke gua Hiro’ sehingga dia mendapat wahyu sebagai bukti kenabian. Juga pada waktu beliau ditahan wahyunya oleh Allah beberapa lama sehingga Dia berkholwat ke gua Hiro’. 

Dan juga menjadi dasar kholwat adalah cerita nabi Musa AS  di dalam Al-qur’an yang menerangkan bahwa Allah menjanjikan kepada nabi Musa 30 malam lamanya kemudian disempurnakan dengan sepuluh malam lagi  hingga  cukuplah 40 malam lamanya. Surat Al-A’rof ayat 142:

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan  taurot)  sesudah  berlalu waktu tiga puluh malam dan Kami sempurnakan jumlah  malam dengan 10 (malam lagi) maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.” (QS. Al-A’rof: 142)[6]



[1] Rolan Robinson, Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi  Sosiologi,  (Jakarta:  Rajawali Press, 1988), hlm. 295-297.
[2] Ensiklopedi Islam, Jilid III, hlm. 36
[3] Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi Dan Tasawuf,  (Jakarta:  Romadoni,  1992), hlm. 332.
[4] Marti  Van  Brunaissen,  Thorikot  Naksabandiyah  di  Indonesia,  (Jakarta:  Mizan,  1992), hlm. 88.
[5]  Ibid,
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2004) hlm. 133

1 comment:

  1. ternyata hampir semua nabi dan Rosul melakukan khalwat/menyendiri memohon petunjuk Allah SWT..mengapa umatnya hanya sedikit yang masih menjalankan ya...?

    ReplyDelete