Awal
sejarah Islam di kepulauan Melayu-Indonesia tampak sangat problematik dan
rumit. Banyak masalah yang muncul meliputi asal usul dan perkembangan awal
Islam di kawasan ini. Masalah-masalah itu muncul tidak hanya karena perbedaan
tentang apa yang dimaksud dengan “Islam’ itu sendiri, tetapi yang lebih penting
karena sedikitnya data yang memungkinkan kita merekonstruksi suatu sejarah yang
bisa dipercaya (realiable).[1]
Menurut
Bernhard dalam salah satu bukunya menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia
melalui dua gelombang, pertama berlangsung dalam abad ke-13 dan ke-14,
sedangkan gelombang kedua dalam abad
ke-19. Dalam gelombang pertama Islam dengan cepat diterima oleh penduduk di
daerah pesisir, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama untuk menembus daerah
perdalaman. Di beberapa daerah di Jawa, misalnya, Islam muncul dalam bentuk
kompromistis dan sinkretis dengan unsur-unsur kepercayaan dan tradisi setempat,
kemudian sekitar abad ke -15 dan ke-16 muncullah para penyiar Islam di Jawa
yang dikenal sebagai walisongo.[2]
Islamisasi
nusantara merupakan suatu proses yang bersifat evolusioner manakala Islam
segera memperoleh konversi banyak penguasa pribumi, Islam kemudian berkembang
ditingkat rakyat bawah, Islamisasi
pelbagai kelompok etnis yang hidup di pelbagai wilayah yang berbeda benar-benar
bukan merupakan bentuk konversi tunggal dan seragam, melainkan suatu proses panjang
menuju kompromi yang lebih besar terhadap ekslusivitas Islam.
Pelbagai
faktor memberikan sumbangan terhadap proses menuju kompromi ini. Perkembangan
keilmuan dan pembelajaran Islam secara lokal kontak keagamaan dan intelektual
dengan pusat-pusat Islam di Timur Tengah dan perubahan sosial, ekonomi dan
politik memberikan konstribusi penting dalam pencapaian kompromi lebih besar
dengan Islam.[3]
PengIslaman
di seluruh kawasan tidak seragam. Tingkat penerimaan Islam pada satu bagian
yang lainnya bergantung tidak hanya pada waktu pengenalannya tetapi tak kurang
pentingnya bergantung pada watak budaya lokal yang dihadapi Islam. Sebagai
contoh di daerah pesisir yang umumnya memiliki budaya maritim dan sangat terbuka terhadap
kehidupan cosmopolitan, Islam masuk dengan cara yang lebih mudah pada daerah pedalaman
yang memiliki budaya agraris, yang lebih tertutup.
Untuk
mengelaborasi lebih jauh. Penduduk daerah pesisir yang secara ekonomi
bergantung pada perdagangan internasional dalam suatu atau lain hal cenderung
menerima Islam dalam rangka mempertahankan para pedagang muslim yang sudah
berada di nusantara sejak paling kurang pada abad ke-7 untuk tetap mengunjungi
dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka.
Dengan
masuk Islam penguasa lokal pada batas tertentu mengadopsi aturan-aturan
perdagangan Islam untuk digunakan dalam masyarakat pelabuhan sehingga pada
gilirannya akan menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi perdagangan.[4]
Tidak
dapat dipungkiri bahwa masuknya Islam ke tanah Jawa berkaitan dengan jatuhnya
Malaka ke tangan pedagang maupun penguasa beragama Islam di sana. Agama itu
berkembang dari pantai Malaka hingga di berbagai kota di Pesisir Jawa bahkan
sampai ke kepulauan Timur, yang berkembang sejak sebelum tahun 1511 M. Kawasan seluas itu dijelajah oleh para
pedagang muslim. Demikian juga orang Jawa memainkan peranan aktif dalam
persebaran Islam di kawasan tersebut.
Sejak
lama banyak orang Jawa mendiami kota-kota dagang di Malaka sebagai pedagang.
Tempat-tempat pemukiman orang Jawa itu yang tersebar di berbagai kota kemudian
dikenal sebagai kampong Jawa.
Orang-orang Jawa tersebut cepat menyesuaikan diri dengan budaya setempat, namun
banyak juga di antara mereka yang masih suka berkunjung ke tempat asal, lewat
kunjungan itulah mereka memperkenalkan agama baru, yakni agama Islam di kampong
halaman mereka.[5]
Islam
merupakan unsur penting pembentuk jati diri orang Jawa. Ajaran dan kebudayaan
Islam mengalir sangat deras dari Arab dan Timur Tengah sehingga memberi warna
yang sangat kental terhadap kebudayaan Jawa. Pulau Jawa selalu terbuka bagi
siapapun yang masuk, orang Jawa terkenal ramah sejak dulu dan siap menjalin
kerjasama dengan siapapun termasuk ketika pedagang dan alim ulama yang berbeda
etnis. Mereka adalah para pedagang dan ulama dari Timur Tengah, kedatangan
mereka membawa sejarah baru yang hampir merubah wajah Jawa secara
keseluruhan.
Agama
Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam datang ke Malaka, Sumatera dan
Kalimantan. Hal ini diyakini terjadi pada abad 1 Hijriyah. Setelah Timur Tengah
mengalami zaman kenabian yakni sekitar abad ke-7 Masehi. Sebagai bukti adalah
adanya berita Cina yang mengkisahkan kedatangan utusan Raja Tacheh kepada Ratu
Sima.
Peristiwa itu terjadi pada saat Muawiyah melaksanakan pembangunan kembali
armada Islam. Tentu armada kapal ini berfungsi untuk melindungi armada
niaganya, oleh karena itu tidaklah mustahil pada tahun 674 Masehi Muawiyah
dapat mengirimkan dutanya ke kerajaan Kalingga di Jepara. Dalam bentuk artefak
kita dapatkan bukti-bukti itu dalam bentuk batu nisan, masjid, ragam hias, dan
tata kota.
Agama
tauhid ini terus berkembang di Jawa kaum pedagang dan nelayan di pesisir banyak
terpikat oleh ajaran yang mengajarkan Tuhan Allah. Salah satu benda yang baru
bagi orang Jawa adalah nisan berukir kaligrafi seperti pada batu nisan di
Leran, Gresik. Pada batu nisan tersebut tertulis nama Fatimah binti Maemun
(W.1082).
Orang Jawa sendiri pada zaman itu masih jarang yang memberi petanda
batu nisan bagi orang yang meninggal, apalagi batu nisan mewah pada awal abad
ke-13. Bukti-bukti adanya jejak Islam telah ada di Trengganu dan Jawa. Pada
akhir abad ke-13 pantai utara Jawa telah memiliki raja-raja Islam, pada abad
ke-16 agama Islam sudah lebih maju keadaannya. Pedagang semakin luas hingga
barang-barang seperti kain sutera, keramik, dan kurma bisa masuk ke Jawa.[6]
Tempat
di Jawa yang pertama mendapatkan pengaruh agama Islam ialah Gresik dan Tuban,
kenyataan itu tidak mengherankan, mengingat Gresik ketika itu merupakan sebuah
pelabuhan yang ramai sebagai salah satu
pintu Majapahit. Berita tentang persebaran Islam di sana berasal dari
berita-berita Tiongkok pada awal abad XV antara lain diberikan bahwa keadaan
penduduk di daerah Tuban, Surabaya dan daerah sekitarnya. Di daerah itu ada
tiga macam penduduk.[7]
Jadi penduduk beragama Islam hanya berupa
pedagang Asing, selanjutnya diberitakan pula tentang adanya makam Islam di
Gresik Jawa Timur yaitu makam Malaik Ibrahim yang berasal dari Persia, yang meninggal
pada tahun 1419 M.
Bagi
orang Jawa memang tidak sulit untuk berpindah agama, dari Hindu ke Islam
seperti yang terdapat di daerah Gujarat, para penyiar agama tampaknya
menggunakan cara membiarkan sisa-sisa praktek agama lama, asal sudah
mengucapkan syahadat sebagai tanda masuk Islam. Itu sebabnya tidak mengherankan
kalau nisan yang dipakai adalah bekas nisan yang dipakai orang Hindu. Di mata
mereka ajaran Islam memiliki dua sifat yang menguntungkan mereka.[8]
Islam
masuk ke Jawa secara akulturasi damai, menurut beberapa sejarawan hal ini
karena:
1. Para
pendakwah Islam yang datang mula-mula adalah para santri, ulama, pedagang dan
para ahli sufi, bukan prajurit-prajurit perang dari negeri Arab atau Persia
yang mengadakan penaklukan territorial, sedangkan para pedagang tersebut
melakukan perdagangan secara baik-baik dan para sufi mengajarkan
doktrin-doktrin spiritual yang tentu saja tidak bersifat kekerasan.
2. Sifat
tergantung rasa dari orang Jawa sendiri yang mudah menerima setiap yang datang
dari luar dan dianggap baik lalu disesuaikan dengan prinsip dan kebudayaan
sendiri sehingga banyak ajaran mistik Islam yang justru lebih mudah di pahami
oleh orang Jawa.
3. Melalui
jalan perkawinan lebih mudah dan para pemeluk Islam giat memberikan contoh
tauladan kepada Islam tersiar damai.[9]
Dakwah
Islam lebih banyak melalui dari lapisan bawah dan menyebar budaya penduduk di
pedesaan dan pesisir, pada masyarakat bawah kedatangan Islam disambut hangat,
mereka memandang agama Islam sebagai rahmat yang membebaskan mereka dari zaman
kejahiliyahan dan mengangkat derajat mereka menjadi kaum terpelajar baru yang
jadi ahli agama. Sebelumnya tradisi Hindu belum memberikan kebebasan lapisan
bawah untuk belajar agama. Agama Islam yang anti kelas mendapat tanggapan yang menyenangkan
dari orang-orang yang sudah lama merasa tertindas karena kelas sosial.
Perkembangan
Islam di pesisiran juga di dukung oleh kepustakaan. Ajaran Islam dikembangkan
dengan mengajarkan al-Qur’an dan hadits yang tertulis dalam mushaf. Selain itu
banyak kitab syariah, sejarah kitab riwayat sahabat yang tertulis dan
kisah-kisah yang diajarkan di pusat-pusat pendidikan yang kemudian berkembang
menjadi bibit-bibit pesantren, karena itulah, perkembangan di nusantara di
dukung oleh kayaraya nya kitab kepustakaan sebagai acuan pengajaran, sebagai
kita maklumi Gresik, Tuban dan Jepara dahulu adalah pelabuhan-pelabuhan yang
ramai dikunjungi saudagar-saudagar asig, melalui pintu gerbang itulah Islam
masuk kepesisir Jawa utara yang kemudian berpusat di Demak penyebarannya ke
daerah-daerah lain bahkan ke pulau lain semakin pesat.[10]
Perkembangan
kemudian menunjukkan bahwa Islam memang berhasil menembus ke daerah pedalaman,
dan malah menjadi milik masyarakat. Hanya saja meluasnya Islam dikalangan
masyarakat tidak diimbangi dengan penghayatan agama yang mendalam sehingga
dalam jangka waktu yang lama mengalami kemunduran, demikian tulis Harry J.
Benda Islam hanyalah merupakan “kulit ari bagi agama Indonesia, terutama di
Jawa” dan kehidupan umat Islam lebih banyak di dominasi oleh kelompok-kelompok
tarekat.[11]
[1] Azyumadi Azra,
Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 17
[2] Darul Aqsha, K.H.
Mansur (1896-1946); Perjuangan dan Pemikiran, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 2
[3] Azyumadi Azra, op.
cit., hlm. 21
[4] Ibid. Hm. 19
[5] Abu Su’ud, Islamologi:
Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia. (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2002), hlm. 123
[6] M. Hari Wijaya, Islam
Kejawen (Yogyakarta: PT Gelombang Pasang,
2006), hlm. 166-167.
[7] Pertama orang Arab,
yang dimaksud adalah kaum Muslimin yang datang dari Gujarat, kedua adalah orang
Tionghoa yang kebanyakan sudah menjadi Muslim, yang ketiga orang Jawa yang
masih beragama Hindu. Lih. Abu Suud, op. cit., hlm. 122
[8] Dua sifat tersebut
yaitu, pertama, karena sifatnya yang demokratis, tidak mengenal kasta, kedua,
mudahnya proses masuk Islam, yakni tanpa harus menggunakan seremoni yang rumit,
ibid., hlm. 123.
[9] M. Hariwijaya, op.
cit., hlm. 169
[10] Ibid., hlm. 171.
[11] Darul Aqsha,
op.cit., hlm. 2.
No comments:
Post a Comment