Pertumbuhan
masyarakat Islam di sekitar majapahit dan terutama di beberapa kota pelabuhan
di Jawa erat hubungannya dengan perkembangan pelayaran dan perdagangan yang
dilakukan orang-orang Islam yang telah mempunyai kekuasaan ekonomi dan politik
di samudera Pasai, Malaka dan Aceh.
Tome
Pires juga menyebutkan bahwa di Jawa sudah ada kerajaan yang bercorak Islam,
yaitu demak, dan kerjaan-kerjaan di daerah pesisir utara Jawa Timur, Jawa
Tengah dan Jawa barat.[1]
Jepara
adalah salah satu kerajaan yang lebih kecil dipantai utara Jawa tengah, sebagai
kota pelabuhan dengan teluk yang aman, jepara selalu lebih disukai dari pada
Demak, tetapi yang lebih menguntungkan Demak ialah adanya hubungan yang lebih
mudah dengan pedalaman Jawa Tengah.[2]
Jepara
terletak disebelah barat pegunungan, yang dahulu adalah pulau (Muria), Jepara
mempunyai pelabuhan yang aman yang (semula) dilindungi oleh tiga pulau kecil,
letak pelabuhan jepara sangat menguntungkan bagi kapal-kapal dagang yang lebih
besar, yang belayar lewat pantai utara Jawa menuju Maluku dan kembali ke barat.
Pada abad ke XVIII, ketika jalan pelayaran pintas sebelah selatan pegunungan
ini tidak lagi dapat dilayari dengan perahu besar karena telah menjadi dangkal
oleh endapan Lumpur, maka Jepara menjadi pelabuhan Demak, yakni pada abad XVI
dan XVII. Kedua kota itu merupakan dwitunggal yang perkasa.[3]
Para
penulis bangsa Portugis pada permulaan abad XVI berkali-kali memberikan
penguasa-penguasa di Jepara mungkin karena pelaut Portugis mengenal baik kota
pelabuhan itu. Nama penguasa yang berkali-berkali disebut ialah Pate Unus
(mungkin Yunus).[4]
Tome,
Pires, dalam Summa Oriental,
menceritakan asal usul dan pengalaman Pate Unus. Dijelaskan bahwa ayah Pate
Unus di jelaskan bahwa ayah Pate Unus berasal dari Kalimantan Barat. Ia
merantau ke Malaka dan kawin dengan perempuan Melayu, usai menikah, ayah pate
Unus kemudian kembali ke Jawa, setelah ia berhasil membunuh Bupati Jepara, ia menguasai Desa
Tidungan (seharusnya Tedunan).[5]
Jepara
pada waktu itu belum berarti berpenduduk 90 sampai 100 orang. Penguasa baru ini
dapat menarik banyak orang dan berhasil juga memperluas wilayah kekuasaannya
sampai keseberang laut, sampai ke Bangka dan
tempat-tempat dipantai Kalimantan rupanya ia memiliki banyak kapal Jung.[6]
Mengingat
bahwa, berdasarkan berita para penulis portugis pate Unus dari Jepara adalah
orang penting dalam sejarah Jawa, maka Rouffaer berusaha menemukannya kembali
dalam cerita tradisi Jawa malahan Rouffaer berani menduga bahwa yang dimaksud
dengan pangeran sebrang lor dalam cerita tradisi itu ialah raja Jepara yang
oleh orang portugis di bernama Pate
Unus.[7]
Pada
awal taun 1512, Pate Unus menyerang Malaka, namun serangan itu gagal. Segenap
Jung sumbangan dari semarang dan rembang musnah dalam serangan itu. Dari
seratus jung yang diberangkatkan guna menyerang Malaka hanya tujuh atau delapan
yang kembali. Kekuatan laut seluruh Jawa dan Palembang tinggal lebih kurang 10
jung dan 10 jung penyayap.
Pate Unus mengharapkan serangan balasan dari pihak
orang-orang portugis, namun serangan balasan itu tidak kunjung datang, Jung
yang ditungganginya dalam perjalanan pulang berlabuh di pangkalan Jepara, jung
itu tetap menjadi kebanggaannya dan dirawat baik-baik dibawah atap, karena
serangan itu, hubungan dagang antara Jawa dan Malaka memburuk, kelebihan hasil
panen di Jawa tidak dapat diangkut ke Malaka. Sementara itu, pedagang-pedagang Gujarat,
Keling, Cina dan Banggala yang sebelumnya banyak berlayar ke Jawa dengan
membawa aneka barang dagangan. Tidak lagi muncul, akibatnya para penduduk
mencari tempat lain yang dapat memberi keuntungan.[8]
Kekalahan
melawan Malaka pada 1512-1513 M, yang mengakibatkan (menurut berita portugis)
Armada “Pate Unus” dari Jepara nyaris hancur sama sekali. Citra kekuasaan para
penguasa Jepara, dengan demikian menjadi berkurang, tetapi perdagangan lautnya
tidak sampai musnah.[9]
Kemudian
pada akhirnya Jepara bangkit kembali dengan hadirnya orang Cina yang bernama
Wintang (sesudah di Jawa). Tentang Jepara dalam kisah-kisah Jawa dimulai dengan
berita mengenai didirikannya kalinyamatan, kota kalinyamat kira-kira 18 km ke
pedalaman Jepara, di tepi jalan ke Kudus, pada abad XVI menjadi pusat
pemerintahan kota pelabuhan, menurut cerita yang mendirikan tempat itu ialah
orang Cina, nahkoda sebuah kapal dagang yang kandas di pantai. Sesampainya di
Jepara (Jung Mara) dalam keadaan melarat, kemudian ia diIslamkan oleh Sultan
Kudus.[10]
Dan
sesudah masuk Islam, di Kudus lalu memakai nama rakit, diberitakan sikorban
kecelakaan kapal, yang kehilangan segala harta bendanya itu, di Kudus lalu dibantu belajar bahasa setempat oleh orang
sebangsanya. Kedudukan penting orang cina yang telah bertaubat (masih belum
diketahui, mereka itu berasal dari daerah pantai yang mana dari Indocina atau
cina sekarang).
Sejak
abad XV di pesisir Jawa, yang makin lama makin menjadi daerah Islam itu, telah
berkali-kali diberitakan mungkin korban kecelakaan kapal yang telah bertaubat
itu di kudus secara materiil ditolong dengan hasil zakat, yaitu sumbangan yang
oleh hukum Islam diwajibkan bagi kaum muslim yang antara lain dimaksudkan untuk
membiayai keperluannya.[11]
Tidak
lama kemudia ia mendirikan perdukuhan ditepi jalan antara Kudus dan Jepara yang
lama kelamaan dapat dikembangkannya, sehingga maju lalu ia mengabdi pada sultan
Trenggana dari Demak, dan mendapat salah seorang putri Sultan Tranggana sebagai
istri, pasti putri itulah yang menjadi sebagai Ratu Aria Jepara atau Ratu
pajajaran yang disebut dengan Ratu Kalinyamat.[12]
Perkawinan
putri Sultan dari Demak dengan orang Cina, juragan kapal yang telah masuk
Islam, merupakan contoh percampuran darah dan berkurangnya feodalisme yang
telah terlaksana di Jawa karena datangnya agama Islam yang diterima baik.
Perkawinan antara para bangsawan yang tertinggi tidak dianggap luar biasa
sepanjang kedua belah pihak menganut agama Islam.[13]
Karena
pergolakan politik, akhirnya ki Kalinyamat (wintang) dan Sunan Prawata dari
Demak dibunuh oleh Aria panangsang dari Jipang yang berkeinginan untuk
menduduki tahta kerajaan almarhum Sultan Tranggana, makam ki Kalinyamat ini
ditemukan di pemakaman mantingan, tidak jauh disebelah selatan Jepara, sesudah
ki Kalinyamat meninggal, jandanya bersumpah akan terus telanjang (hanya menutup
tubuhnya dengan rambutnya yang panjang terurai) selama pembunuh suaminya, Aria
Penangsang masih hidup selama itu ia mengundurkan diri dan berdiam di gunung
dana raja.[14]
Gunung
(bukit) Dana Raja itu adalah sebuah gunung di utara Jepara. Pada abad XVII
pelaut Belanda melihat benteng pertahanan di situ, pada tahun 1677 bangunan ini
ternyata kuat menahan serangan pengepungan orang Madura di bawah pimpinan
Tranujaya, pada paruh pertama abad XIX di tempat itu oleh kompeni didirikan
benteng segitiga yang reruntuhannya masih dapat ditunjukkan (tembok berkeliling
dengan sarang-sarang penyerang berupa bastion dan pintu gerbang). Boleh
jadi Ratu waktu itu telah menjanda dan khawatir kalau-kalau diserang oleh Aria
Penangsang dan karenanya mengungsi dari kalinyamat kebukit yang telah
diperkuat.[15]
Ratu
Jepara merupakan satu-satunya tokoh Jawa dari abad ke 16. di luar negeri ia
dinamakan menurut pelabuhan besar kerajaannya (Jepara) orang Jawa menamakannya
menurut kota istananya (Kalinyamat). Gunung Danareja terletak di sebelah Utara
sungai Jepara, sedangkan kotanya terletak disebelah selatan. Ratu jepara juga
disebut DE COUTO “Rainha de Japara,
senhora ponderosa Erica” (RAtu Jepara, seorang wanita yang kaya dan berkuasa.
Ratu ini ingin sekali menghancurkan kekuasaan portugis di malaka bahkan ia
telah menyerang sampai dua kali.[16]
Dalam
pemerintahan Ratu pada perempat ketiga abad XVI, perdagangan Jepara dengan
daerah seberang menjadi ramai sekali. Menurut berita portugis, kekalahan
melawan malaka pada tahun 1512 – 1513 telah menghancurkan sebagian besar armada
kota-kota pelabuhan Jawa.
Dapat
diduga kerugian ini lama-kelamaan pulih kembali. Sudah pasti armada Jepara bersatu
dengan kapal-kapal raja Melayu di johor pada tahun 1551 melancarkan lagi serangan
terhadap Malaka, yang juga gagal, pada tahun 1574 diadakan untuk ketiga kalinya
serangan oleh armada Jepara yang kuat dalam usaha merebut Malaka setelah
pengepungan selama tiga bulan, pemimpin armada kali inipun terpaksa kembali ke
Jawa dengan tangan hampa.
Laksamana
armada Jepara oleh orang portugis disebut
Quilidamao mungkin nama ini blasteran untuk kiai Demang, gelar Jawa. Di
Jepara gelar kiai Demang laksamana diberikan kepada pemimpin armada dan
pemimpin lascar perang, sesudah pemerintahan Ratu Kalinyamat, gelar tinggi ini
masih diberikan juga pada tahun 1619 kepada bupati Jepara yang ikut berperang merebut
Tuban pada tahun 1677 sekali lagi kepada bupati Karta Yuda.
Hubungan
antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam lainnya pertama-tama memang
terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada mulanya mengambil bentuk
kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri.
Dalam
bidang politik agama pada mulanya dipergunakan untuk memper-kuat diri dalam
menghadapi pihak-pihak atau kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam
kehidupan politik maupun ekonomi persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam
menghadapi Portugis dan kompeni Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan
perdagangan dapat diambil sebagai contoh.[17]
Meskipun
demikian kalau kepentingan politik dan ekonomi antar kerajaa-kerajaan Islam itu
sendiri terancam, persamaan agama tidak menjamin bahwa permusuhan tidak
ada,perperangan dikalangan kerajaan-kerajaan Islam sendiri sering terjadi,
misalnya antar Pejang dan Demak, Ternate dan Tidore, Gowa-Tallo dan Bone, oleh
karena kepentingan yang berada diantara kerajaan-kerajaan itu pula,sering satu
kerajaan Islam meminta bantuan kepada pihak lain, terutama kompeni Belanda.
Untuk mengalahkan kerajaan Islam lain.
Hubungan
antar kerajaan-kerajaan Islam lebih banyak terletak dalam bidang budaya dan
keagamaan, samudera pasai dan kemudian Aceh yang dikenal dengan Serambi mekah
menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam. Dari sini ajaran-ajaran Islam tersebar
keseluruh pelosok nusantara melalui karya-karya ulama dan murid-muridnya yang
menuntut ilmu kesana.
Demikian
pula halnya dengan Giri di Jawa Timur terhadap daerah-daerah di Indonesia
bagian Timur. Karya-karya sastera dan keagamaan dengan segera berkembang di
kerajaan Islam. Tema dan isi karya-karya itu sering mirip antara satu dengan
yang lain, kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom cultural yang
sama, yaitu Islam. Hal ini menjadipendorong terjadinya interaksi budaya yang
makin erat.
Di
Jawa, Islam mendapatkan sistem politik dan struktur kekuasaan yang telah lama
mapan, berpusat di keraton pusat majapahit ketika posisi raja melemah, para
saudagar kaya diberbagai kompeten di wilayah pesisir mendapat peluang besar
untuk menjauhkan diri dari kekuasaan raja.
Mereka
kemudian tidak hanya masuk Islam tetapi juga membangun pusat-pusat politik yang
independen, setelah kraton pusat menjadi goyah, kraton-kraton kecil mulai
bersaing untuk menggantikan kedudukannya. Demak akhirnya berhasil menggantikan
kedudukannya. Dengan posisi baru ini Demak tidak saja menjadi pemegang hegemoni
politik, tetapi juga menjadi “jembatan penyeberangan” Islam yang paling penting
di Jawa.
Islam
menjadi bagian intrinsik dari system kebudayaan secara keseluruhan, Islam di
pandang sebagai landasan masyarakat budaya dan kehidupan pribadi. Dalam tradisi
integrasi ini Islam merupakan unsur dominan dalam komunitas kognitif yang baru
maupun dalam paradigma politik, yang dipakai sebagai pengukuran apa yang bisa
dianggap wajar dan bukan.[18]
[1] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), hlm. 2003.
[2] H.J De Graff dan
T.H. Pigeaud, Kerjaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV
dan XVI. (Jakarta: PT Pustaka Utama, 2003), hlm. 117.
[3] Ibid.,hlm. 38-39.
[4] Ibid, hlm. 49.
[5] Purwadi, Sufisme
Sunan Kalijaga: Menguak Tabir Ilmu Sejati di Tanah jawa, (Yogyakarta: PT
Sadasiva, 2005), hlm. 83.
[6] H.J. Degraff dan
T.H. Pigeaud, op. cit., hlm. 49.
[7] Ibid.,hlm. 51.
[8] Purwadi, op.cit,
hlm. 84.
[9] H.J. Degraff dan
T.H. Pigeaud, op. cit., hlm. 117.
[10] Ibid., hlm. 118.
[11] Ibid, hlm. 301.
[12] Ibid., hlm. 118.
[13] Ibid., hlm. 302.
[14] Ibid., hlm. 119.
[15] Ibid., hlm. 303.
[16] Degraff, Awal
Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati, (Jakarta: PT Grafiti Pers,
1987), hlm. 32.
[17] Badri YAtim,
op.cit., glm. 224.
[18] Ibid., hlm. 229.
JUAL FURNITURE MINIMALIS
ReplyDeleteJUAL KAMAR SET MEWAH
JUAL MEJA MAKAN
TOKO SOFA MURAH
JUAL KURSI MINIMALIS
KURSI SOFA TERBARU
MEBEL JEPARA