Jawa
Tengah memiliki berbagai kesenian tradisional yang mengakar pada kepribadian
sendiri, satu di antaranya adalah seni pertunjukan wayang kulit. Kesenian
wayang kulit adalah kesenian asli etnis Jawa Tengah yang telah diakui oleh
masyarakat Jawa Tengah sebagai kesenian yang mempunyai nilai “adhiluhung”,[1]
yang mampu menyerap kesenian manca negara dengan tetap berpijak pada bentuk dan
tradisi kesenian wayang kulit yang
asli. Oleh karena itu, kesenian wayang
kulit merupakan salah satu keseniaan tradisional yang pertama-tama perlu
dipertahankan, dilestarikan, dan dikembangkan sebagai identitas maupun bukti
jati diri Jawa Tengah khususnya, Indonesia pada umumnya.
Wayang
adalah salah satu seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara
(musik), seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni
perlambang dari zaman ke zaman juga merupakan media penerang, dakwah,
pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Dalam
setiap lakon dapat diambil suri tauladan atau makna yang tersirat dan terurat
dalam setiap lakon agar manusia dapat mengambil hikmahnya. Dengan demikian,
peranan wayang lebih sebagai dasar filosofi manusia Jawa, disamping
ajaran-ajaran yang disampaikan oleh pujangga Jawa.
Hasil
kesenian tradisional warisan nenek moyang bangsa Indonesia berupa pertunjukan
wayang kulit yang padat dengan nilai filosofis, nilai simbolis, dan nilai
historis (adhiluhung) pernah mengalami puncak kejayaan dan masih diagungkan
keberadaannya sampai sekarang. Begitu
besar perhatian orang-orang Jawa terhadap keberadaan wayang ini, maka wayang dianggapnya
sebagai dasar filosofis manusia Jawa.[2]
Bahkan
dahulu banyak orang-orang Jawa memberikan nama-nama anak-nya dengan tokoh-tokoh
seperti dalam pewayangan. Dalam masyarakat Jawa berbagai cerita memberikan
makna terhadap berbagai perilaku dan watak manusia dalam rangka pencapaian
tujuan hidup.
1. Pengertian Wayang
Perkataan
wayang menurut bahasa Jawa adalah wayangan (layangan), menurut bahasa Indonesia
adalah bayang-bayang, samar-samar, tidak jelas, menurut bahasa Aceh: bayangan
arti wayangan, menurut bahasa Bugis wayang atau bayang–bayang. Sedang dalam bahasa Bikol (Jawa kuno) menurut
pendapatnya Prof. Kern, wayang adalah bayangan yang bergoyang-goyang,
bolak-balik (berulang-ulang) mondar-mandir, tidak tetap.
Arti
harfiah dari wayang adalah bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian
wayang dapat berarti pertunjukan panggung dan teater atau dapat pula berarti
aktor dan aktris. Wayang sebagai seni
teater berarti pertunjukan panggung dimana sutradara ikut bermain.
Secara etimonologi wayang sebagaimana
pendapat R.T. Josowidagdo adalah berasal dari bahasa "ayang-ayang"
(bayangan) karena yang dilihat adalah bayangan dalam kelir (tabir kain putih
sebagai gelanggang permainan wayang).
Bayangan
tersebut nampak karena sinar blencong (lampu di atas kepala sang dalang). Ada
juga yang berpendapat bahwa wayang berarti bayangan agan–agan, sehingga segala
bentuk apa saja dari wayang adalah disesuaikan dengan adanya kelakuan tokoh
yang dibayangkan dalam agan-agan itu.
Aliran
kebatinan Harjaning Diri, mengartikan wayang berarti "wewayanganing manungsa" (bayang–bayang manusia), maksudnya melihat
wayang berarti sama halnya melihat kaca rias, yang dilihat oleh orang bukan
kacanya tetapi apa yang ada dalam kaca, yaitu dirinya pribadi. Sebab wayang
merupakan bahasa simbol dari hidup dan kehidupan manusia, dan bukan sebaliknya.
Dengan mempelajari dan mengenal wayang kita dapat mengenal hidup dan kehidupan
kita sendiri.
Menurut
versi kebatinan wayang disebut dengan "ringgit", dalam bahasa Jawa
diartikan dengan saringaning–anggit artinya kudu disaring lan di anggit,
maksudnya harus dicari intisarinya.
Wayang
sebagai salah satu seni pertunjukan sering diartikan sebagai bayangan yang
tidak jelas hanya samar-samar bergerak ke sana ke mari. Dengan bayangan yang
samar-samar tersebut tidak diartikan sebagai gambaran perwatakan manusia, lebih
dari itu sering pula dimaksudkan sebagai penggambaran kehidupan manusia di masa
lampau.
Kata
wayang dapat diartikan sebagai gambaran atau tiruan manusia yang terbuat dari
kayu, kulit, dan sebagainya[3]
untuk mempertunjukkkan sesuatu lakon (cerita).
Arti lain dari kata wayang adalah ayang-ayang (bayangan), karena yang
dilihat adalah bayangan di kelir (tabir kain putih sebagai gelanggang permainan
wayang). Disamping itu, ada yang mengartikan bayangan angan-angan, yang
menggambarkan perilaku nenek moyang atau orang yang terdahulu (leluhur) menurut
angan–angan, karena terciptanya segala bentuk wayang disesuaikan dengan
perilaku tokoh yang dibayangkan dalam angan–angan.[4]
Adapun
arti wayang menurut istilah yang diberikan oleh Doktor Th. Piqued ialah: (1) Boneka yang
dipertunjukkan (wayang itu sendiri), (2) Pertunjukkannya, dihidangkan dalam
berbagai bentuk, terutama yang mengandung pelajaran (wejangan–wejangan), yaitu
wayang purwa atau wayang kulit yang diiringi dengan teratur oleh gamelan (instrument)
slendro.[5]
Dr.
G. A.J. Hazzeu (seorang ahli sejarah kebudayaan belanda), menunjuk-kan
keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukkan asli Jawa. Wayang adalah
“Walulang inukir” (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir.[6]
Sri
Mulyono berpendapat, wayang adalah sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) asli,
yang berarti bayang-bayang, atau bayang yang berasal dari akar kata “yang”
mendapat tambahan “wa” yang menjadi wayang.[7]
Kusumajadi
mengatakan wayang adalah bayangan orang yang sudah meninggal,[8]
jadi orang yang digambar itu sudah meninggal, lebih lanjut ia menjelaskan: kata
wayang tadi dari suku kata wa dan yang.
Wa: trah yang berarti turunan, yang: hyang yang berarti eyang kakek,
atau leluhur yang sudah meninggal.
Arti
lain dari wayang adalah (bayangan) potret kehidupan yang berisi sanepa,
piwulang, pituduh (kebiasaan hidup, tingkah laku manusia dan keadaan alam) atau
wayang adalah etika kehidupan manusia.[9]
Wayang
dalam kamus bahasa Indonesia adalah boneka tiruan manusia dan sebagainya yang
terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan
untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Sunda, Jawa
dan sebagainya), biasanya dimainkan oleh seorang dalang.
Kemunculan
wayang kulit ini ada yang meyebutkan bahwa wayang bermula dari relief candi,[10]
agar dapat dibawa dan dikisahkan atau dipertunjukkan, bentuk pada relief itu
dikutip pada bentuk gambar yang dapat digulung, hal ini terbukti banyak candi
yang memuat relief cerita wayang. Misalnya candi Prambanan (Yogyakarta), dan
candi Penataran (Blitar), candi Jago (Malang-Jawa Timur).
Ada pendapat yang
mengatakan bahwa timbulnya wayang itu dari kepercayaan pada roh leluhur yang sudah
mati,[11]
yang dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai pelindung dalam kehidupan.
Pengertian
wayang yang begitu banyak maka, penulis katakan bahwa wayang adalah suatu hasil
seni budaya manusia yang menggambarkan tentang tingkah laku kehidupan manusia
dalam menempuh kesejahteraan dan beribadah kepada Tuhan. Karena wayang merupakan
lambang manusia yang disesuaikan dengan tingkah lakunya, sebab wayang itu
sendiri apabila dipraktekkan akan membawa peran yang mencakup ajaran
ke-Tuhanan, filsafat, moral, dan mistik.
2. Macam-macam Wayang
Budaya
wayang berkembang selama berabad–abad memunculkan ber-bagai ragam jenis wayang. Kebanyakan
jenis wayang itu tetap menggunakan Mahabarata dan Ramayana sebagai induk
ceritanya. Alat peraganya pun berkembang
menjadi beberapa macam, antara lain wayang yang terbuat dari kertas, kain,
kulit, kayu, dan juga wayang orang (wayang wong).
Perkembangan
jenis wayang juga dipengaruhi oleh keadaan budaya daerah setempat.[12]
Misalnya wayang kulit purwa yang berkembang pula pada ragam kedaerahannya
menjadi wayang kulit purwa khas daerah, seperti wayang Cirebon, wayang Bali,
wayang Betawi, dan sebagainya. Ada beberapa jenis wayang di Indonesia, yang
terpenting diantaranya adalah:
a. Wayang Purwa (wayang kulit)
Cerita
wayang purwa bersumber pada wiracerita Mahabarata dan Ramayana. Wayang purwa ini merupakan jenis wayang yang paling
populer di masyarakat sampai saat ini. Wayang purwa ada yang terbuat dari kulit (wayang kulit purwa) dan ada
yang terbuat dari kayu (wayang golek purwa).[13]
b. Wayang Madya
Wayang
madya ini merupakan ciptaan Sri Mangkunegara IV Surakarta. Ceritanya merupakan lanjutan cerita wayang
purwa yaitu dari Yudayono sampai Jayalengka. Wayang madya ini tidak berkembang
karena keberadaan-nya hanya terbatas pada lingkungan kadipaten Mangkunegara.[14]
c. Wayang Gedog
Wayang
gedog diciptakan oleh sunan Giri dengan iringan gamelan pelog. Isi ceritanya adalah lanjutan wayang madya
dengan dasar ceritanya dari cerita panji yang muncul zaman Kediri dan Majapahit,
yang merupakan cerita-cerita jenggala.[15]
d. Wayang Klitik (krucil)
Jenis
wayang ini untuk menceritakan tanah Jawa, khususnya kerajaan Majapahit dan
Pajajaran, sumber cerita wayang klitik dari serat Damarwulan. Wayang klitik
dibuat oleh Pangeran Pekik, pertama kali wayang kulit ini terbuat dari kulit,
kemudian oleh Paku Buwana II wayang klitik ini dibuat dengan bahan kayu,
sehingga apabila dimainkan menimbulkan suara kliti “klitik- klitik” atas dasar
inilah wayang krucil disebut wayang klitik.[16]
e. Wayang Golek
Cerita
wayang jenis ini bersumber pada serat Menak, yang berisikan cerita hubungan
negeri Arab dan Persia pada zaman awal Islam.[17]
f. Wayang Menak
Wayang
yang isinya hanya menggambarkan riwayat menak dari lahir anak, dewasa, tua,
sampai meninggal. Wayang ini dibuat oleh
Truna Dipa.
g. Wayang Cina
Wayang
Cina dibuat tahun 1850, merupakan wayang yang berasal dari Kapitein Liem Kie
Tjwan dengan sumber cerita roman sejarah negeri cina.
h. Wayang Beber
Keberadaan
wayang beber ini telah berada dalam
kepunahan. Wayang ini terdiri dari dua jenis yaitu: wayang beber purwa yang muncul
zaman Majapahit oleh Prabangkara, dan wayang beber gedhong muncul pada zaman
kesultanaan pajang oleh sunan Bonang abad XV.
i. Wayang Wong
Wayang
wong adalah pertunjukan wayang yang dipergunakan oleh manusia (wong), meliputi:
wayang purwa, wayang wong gedhong, wayang wong klitik, dan wayang wong menak.
j. Wayang Kontemporer
Wayang
ini muncul karena perkembangan dari wayang kulit purwa yang muncul pada abad XX
yaitu:
1)
Wayang Dobel, dibuat pada tahun 1927 di daerah Wonosari, Gunung kidul,
Yogyakarta, sumber ceritanya dari riwayat nabi.
2)
Wayang Kancil, wayang ini dibuat oloh
Babah Bo Liem tahun 1925, sumber cerita wayang kancil ini dari ceritera kancil.
3)
Wayang Wahyu, wayang yang dipergunakan untuk dakwah kaum Nasrani, dibuat oleh
RM. Soertato Hardjo Wahono.
4)
Wayang Pancasila, wayang yang dibuat pada tahun 1980. Ceritanya kadang
mengambil dari cerita wayang klitik.
Ciri yang menonjol adalah kayonya disesuaikan dengan lambang Garuda Pancasila.
5)
Wayang Suluh, dibuat tahun 1946, wayang ini dibuat untuk memberikan penyuluhan
(obor) kepada masyarakat tentang perjuangan.
6)
Wayang Ukur, dibuat oleh Drs. Sukasman dari ISI Yogyakarta tahun 1982, cara
pementasan ini dimainkan oleh dua dalang dengan lampu warna - warni, hal ini
yang membedakan dengan yang lain.
7)
Wayang Diponegoro, dibuat oleh Kuswaji Kawendra Susanto di Yogyakarta tahun
1983. Sumber ceritanya diambil dari babad Diponegoro.
8)
Wayang Sadat, dibuat tahun 1980, oleh Drs. Suryadi seorang da’i dari Trucuk - Klaten. Sumber
ceritanya dari kehidupan para wali sebagai penyebar agama Islam.
3. Beberapa Wujud Wayang Kreasi Baru
Wayang
kulit purwa jika dikaitkan dengan kegiatan berbudaya, memiliki dua fungsi
utama. Pertama berfungsi sebagai sarana pengungkapan kreatifitas seni, kedua
berfungsi sebagai sarana berkomunikasi dalam berbagai kepentingan.
Keberhasilan
wayang kulit purwa yang memiliki beberapa paran yang menyebabkan munculnya
berbagai kreasi baru dalam wayang kulit. Munculnya bentuk dan cerita wayang
baru itu dipengharuhi pula oleh perkembangan yang bergejolak dalam masyarakat
pendukungnya.[18]
Maksud
dari kreasi adalah hasil daya cipta atau hasil daya khayal atau buah pikiran
dan kecerdasan akal pikiran manusia. Sedangkan yang dimaksud baru adalah
sesuatu yang belum pernah ada (masih segar). Jadi, yang dimaksud wayang kreasi
baru adalah jenis wayang kulit yang belum pernah ada dan merupakan hasil
rekayasa para seniman.
Teater
wayang senantiasa mengembangkan bentuk hiburan dan pendidikan. Wayang kulit sangat populer dan luwes,
mengilhami penciptaan bentuk baru pada abad ke-20. Enam diantaranya wayang yang
diterima dengan semangat oleh masyarakat adalah wayang suluh, wayang revolusi,
wayang pancasila, wayang kancil, wayang sadat, dan wayang wahyu. Yang menarik
dari semua wayang ini adalah digunakan serbagai sarana (wahana) pendidikan.[19]
Munculnya
wayang kreasi baru itu menambah semaraknya dunia pewayangan. Dengan latar
belakang dan dasar pemikiran yang berbeda-beda dalam mencipta wayang, sehingga
mengenai makna dan nilai beragam pula.
Sumber gubahan dalam mewujudkan wayang kreasi baru,[20]
ialah:
a. Cerita (lakon)
Cerita
atau lakon memiliki tokoh-tokoh yang karakteristik, dari tokoh itu dapat
diklasifikasikan yang kemudian dapat diwujudkan menjadi suatu kriteria. Berdasar cerita kriyawan dapat berkreasi menciptakan beberapa
alternatif dengan kriteria yang mantap. Misalnya
mengenai atribut akan dipengaruhi oleh latar belakang ceritanya.
b. Bentuk (wujud)
Bentuk
(wujud) merupan sumber kedua yang lebih mengarah pada pengolahan bentuk
tokoh-tokohnya. Pertimbangan utama dalam penciptaan wayang berdasar bentuk ini
adalah aspek teknik dan estetis seni rupa.
Kreasi
bentuk merupkan tujuan utama untuk menghasilkan wayang kreasi baru yang
bernilai estetis tinggi. Karya wayang kreasi baru itu jauh meninggalkan nilai
tradisi dalam wayang kulit, terutama pada bentuk atribut-atributnya.
Beberapa
Wujud Wayang Kulit kreasi Baru:
a. Wayang Suluh
Wayang
Suluh tercipta setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pada
tahun 1950, gren baru dipergunakan oleh Departemen Penerangan untuk menyebarkan
penerangan pemerintah karena pada zaman itu selain radio jarang, jarak terlalu
jauh, dan televisi belum ada rakyat masih buta huruf. Seiring dengan perjalanan
waktu, bentuk wayang ini berkembang menjadi teater rakyat.
Boneka
wayang suluh terbuat dari kulit kerbau atau sapi. Sosok tokoh diperlihatkan dalam raut wajah. Boneka-boneka
ini menggambarkan laki - laki dan perempuan modern yang mengenakan pakaian
sehari-hari, pakaian setempat atau pakaian Barat atau tergantung tokoh yang menggambarkan.
Pementasan wayang suluh ini diiringi gamelan
dengan gubahan modern. Cerita dan tema
yang dilakonkan adalah kejadian sehari-hari yang dialami oleh anggota
masyarakat, adapula yang diambil dari sejarah mataram, perang Diponegoro, kisah
kepahlawanan Suropati melawan Belanda dan sebagainya.[21]
b. Wayang Revolusi
Masa
revolusi (1945-1949) pemerintah nasional Indonesia berjuang dengan menggunakan
berbagai cara untuk mendapat dukungan masyarakat. Pemerintah menggunakan wayang
revolusi ini sebagai sarana penerangan.
Boneka
dalam wayang revolusi menggambarkan berbagai tokoh kontemporer, seperti
Soekarno, Nehru, Perjuangan revolusi, Belanda dan rakyat. Banyak boneka yang diukir dan dilukis secara nyata,
mengambarkan masyarakat modern.
Cerita-cerita wayang revolusi diambil dari
kejadian nyata pengeboman Hirosima, Jepang dan pecahnya pertempuran antara
Belanda dan tentara pelajar atau rakyat. Dengan berakhirnya masa revolusi, wayang revolusi tidak lagi terkenal.
c. Wayang Sadat
Wayang
ini merupakan wayang kulit kreasi baru yang berdasar pada faham (ajaran) Islam
dan berfungsi sebagai sebagai sarana dakwah.
Wayang ini diciptakan oleh Suryadi Warnosuharjo, pada tahun 1985. Kata sadat berasal dari kata syahadatain atau
merupakan akronim sarana dakwah dan tablig.
Cerita
wayang sadat berkisar pada masa penyebaran ajaran Islam di Jawa (pada masa
dikenalnya para wali demak) hingga masa berdirinya kerajaan mataram. Sumber ceritanya berasal dari Serat Babad
Tanah Jawi dan Serat Babad Demak.
Tujuannya
disamping wujud wayang yang bercorak Islam, sarana lainnya juga disesuaikan dengan
langgam keislaman. Baik dalang maupun niyaga menggenakan sorban, kemudian waranggana
berbusana muslim. Dalam pocopan dan gending di sana-sini diselingi kata dan
irama Arab. Awal pertunjukan dimilai dengan pemukulan beduk (semacam kendang
berukuran besar) bertalu-talu yang kemudian dibuka dengan salam.
Wujud
wayang sadat masih berdasar pada wayang kulit purwa, baik atribut sistem
stilasinya. Hanya saja bagian muka dan tanggan serta irah-irahan (ikat kepala)
mendapat beberapa gubahan, maka dari jenis wayang ini hampir sama dengan wayang
suluh atau merupakan penggambaran manusia dari samping dengan atribut sorban,
jubah, gamparan (sepatu) menyandang keris dan lain sebagainya.
d. Wayang Pancasila
Salah
satu dari beberapa bentuk wayang kulit yang diciptakan setelah kemerdekaan oleh
Harsono Hadi Soeseno adalah wayang pancasila. Dalam wayang pancasila pendawa lima dari Mahabarata menjadi lambang lima
sila dasar negara Indonesia.[22]
e. Wayang kancil
Wayang
kancil diciptakan sekitar tahun 1924 atau 1925 oleh Bolim, seorang warga negara
Indonesia keturunan Cina dari Surakarta. Dengan kalimat yang sudah dimengerti dongeng tentang kancil yang cerdik
dan sangat masyhur selain menghibur dan mendidik pendengarnya, juga memberikan
pesan moral, bahkan membuat kritik sosial melalui tokoh-tokoh hewan yang dapat
berbicara.
f. Wayang Wahyu
Teater
wayang kulit jenis ini diciptakan tahun 1957 oleh Timotheus Mardji
Wignyasoebrata dipergunakan untuk mengajarkan ajaran agama Katholik. Dengan mengambil cerita perjanjian lama dan
pejanjian baru, serta iringan musik gamelan dengan nada diatonis musik
gereja.
Kesenian
khususnya yang berhubungan dengan perkembangan wayang, adanya harapan mengenai
perkembangan wayang di masa mendatang. Hal ini tidak saja dipengaruhi oleh keindahan dan ketertarikan untuk
mengetahui lebih mendalam tentang wayang kemunculan wayang kreasi baru akan diikuti
pula tentang cita rasa yang kemungkinan sesuai dengan jiwa dan cita rasa
generansi muda kini.
[1] Suwaji Bastomi,
Gemar Wayang, Semarang: IKIP Semarang Press, 1996, hlm. 25-26.
[2] Asmoro Achmadi,
Filsafat Dan Kebudayaan Jawa, Upaya Membangun Keselarasan Islam dan Budaya Jawa, Semarang: Cendrawasih,
2003, hlm. 34.
[3] W.J.S.
Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, hlm.
1150.
[4] Sagio dan Samsugi, Wayang
Kulit Gagrak Yogyakarta, Morfologi, Tatahan, Sunggingan, dan Tehnik
Pembuatannya, Jakarta: CV.Hajimasagung, 1991, hlm. 4.
[5] Effendy Zarkasi, Unsur-Unsur
Islam dalam Pewayangan, Sala: Mardikintoko, 1997, hlm. 53.
[6] Tim Penulis
Enslikopedi Nasional Indonesia, Enslikopedi Nasional Indonesia, jilid 17, Jakarta:
PT. Cipta Adi Pustaka, 1991, hlm. 274.
[7] Akar kata wayang
adalah “yang”. Akar kata ini bervariasi
dengan yung, yong, antara lain terdapat dalam kata “laying”atau terbang,
“doyong” atau miring, tidak stabil, “royong” yang berarti selalu bergerak dari
satu tempat ke tempat lain, “poyang payingan” berjalan sempoyongan, tidak
tenang, dan sebagainya. Dengan membandingkan berbagai pengertian dari akar kata
“yang” beserta variasinya, dapatlah dikemukakan bahwa kata dasarnya berarti
tidak stabil, tidak pasti, tidak tenang, terbang, bergerak kian kemari. Sagio
dan Samsugi, op.cit., hlm. 5.
[8] Sunarto, Wayang
Kulit Purwa Gaya Yogyakarta, Sebuah Tinjauan
tentang Bentuk, Ukiran, Sunggingan, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm.
15.
[9] Suwaji Bastomi,
Nilai-Nilai Seni Pewayangan, Semarang: Dahara Prize, 1993, hlm. 15.
[10] Sagio dan Samsugi,
op.cit., hlm. 5-6.
[11] Sunarto, op.cit.,
hlm. 16.
[12] Tim Penulis
Enslikopedi Nasional Indonesia, op.cit., hlm. 275.
[13] Sagio dan Samsugi, op. cit., hlm. 11.
[14] Effendi Zarkasi,
op.cit., hlm. 55.
[15] Sunarto, op.cit.,
hlm. 28.
[16] Effendi Zarkasi,
op.cit., hlm. 57.
[17] Asmoro Achmadi,
op.cit., hlm. 41-42.
[18] Sunarto, Seni Gatra
Wayang Kulit Purwa, Semarang: Dahara Prize, 1997, hlm. 132.
[19] Edi Sedyawati, Seni
Pertunjukan, Jakarta: Grolier Internasional, 2002, hlm. 60.
[20] Sunarto, Seni Gatra
Wayang Kulit Purwa, op. cit., hlm. 133-135.
[21] Edi Sedyawati, Seni
Pertunjukan, op.cit., hlm. 60-61.
[22] Edi,
Soedyawati,ibid.
No comments:
Post a Comment