Ulama tasawuf mengartikan ibadah dengan:
"seorang mukallaf mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan
nafsunya, untuk membesarkan Tuhannya".[1]
Ulama tasawuf mengartikan ubudiyah dengan menepati segala janji yang
telah dijanjikan kepada Allah dan memelihara segala had (batasan) serta
meridlai apa yang ada dan bersabar terhadap sesuatu yang tidak diperoleh
(sesuatu yang hilang).
Beribadah menurut pengertian ahli tasawuf
terbagi tiga: Pertama, beribadah kepada Allah karena mengharap benar
akan memperoleh pahala-Nya atau karena takut akan siksa-Nya. Kedua, beribadah
kepada Allah karena memandang bahwa ibadah itu perbuatan mulia, dilakukan oleh
orang yang mulia jiwanya. Ketiga,
beribadah kepada Allah karena memandang bahwa Allah berhak disembah
(diibadati), dengan tidak memperdulikan apa yang akan diterima, atau diperoleh
dari pada-Nya.[2]
Tugas manusia selama hidupnya adalah hanya
beribadah kepada Allah. Ibadat adalah puncak perendahan diri seorang manusia,
yang berkaitan erat dengan puncak kecintaan kepada Allah. Ibadah di dalam Islam
merupakan kandungan agama secara keseluruhan, serta perluasan kehidupan dengan ragam
aktivitasnya. Dari itu terdapat suatu pertanyaan yang tetap ada sepanjang
sejarah hidup manusia, yang tidak jarang diketengahkan oleh sebagian manusia.
Pertanyaan itu ialah: Mengapa kita (perlu) menyembah Allah? Atau dengan kalimat
lain; Mengapa Allah mewajibkan kita melaksanakan ibadah dan patuh kepada-Nya.
padahal Dia Maha Kaya daripada kita? Apa sebenarnya tujuan pembebanan ibadah ini
kepada kita? Apakah ibadah yang kita persembahkan akan tertuju kepada-Nya Yang
Maha Suci, bermanfaatkah ibadah kita kepada-Nya dan bergunakah kekhusyukan kita
semata untuk-Nya? Apakah berguna bagi Allah keberhentian kita di pintu-Nya, dan
keteguhan kita memegang perintah serta larangan yang dikehendaki-Nya? Ataukah
kemanfaatan itu juga akan kembali kepada kita (makhluk-makhluk) di dunia? Apa
sebenarnya hakikat kemanfaatan ini kalaulah ada? Dan apakah pendekatan itu
merupakan pangkal perintah dari Allah dan kepatuhan kita?
Jawaban dari semua itu ialah, bahwa Allah,
Maha Suci Nama-nama-Nya, sama sekali tidak mengambil kemanfaatan dari segala
bentuk ibadah yang dikerjakan hamba-hamba-Nya, juga tidak merasa rugi akan
penolakan hamba-hamba-Nya yang enggan beribadah. Ibadah mereka sama sekali
tidak berpengaruh untuk menambah kerajaan Allah, dan tidak pula bertambah karena
pujian mereka yang tertuju kepada-Nya. Kerajaan Allah juga tidak menyusut
disebabkan kekafiran orang-orang yang memusuhi Allah. Dia benar-benar Maha
Kaya, dan kita (manusia) benar-benar sangat membutuhkan pertolongan-Nya.[3]
Allah Maha Pengasih dan Penyayang lagi Maha
Mulia, Zat Maha Baik dan Penyayang kepada umat manusia. Dia tidak memerintahkan
manusia selain perkara-perkara yang membawa kebaikan dan inovatif kepada
manusia. Jadi, bukan sesuatu yang kontra dengan hak Allah, jika Dia mewajibkan manusia
segala sesuatu yang dikehendaki, yang dibebankan kepada manusia dengan berbagai
perkara yang diinginkan.
Berdasarkan hukum penciptaan Allah kepada
manusia dan kenikmatan-kenikmatan dari-Nya yang diberikan untuk manusia, juga
berdasar hukum keharusan peribadatan secara thabi’i yang memang harus
dipaksa ditujukan kepada Dia, maka benarlah, bahwa Allah tidak memberikan beban
kepada manusia, kecuali perkara-perkara yang membawa manfaat dan bersifat
inovatif. Manusia inilah yang sesungguhnya sangat membutuhkan pertolongan dari
Allah, meliputi setiap pernapasan selama hidupnya. Dia Maha Kaya daripada umat
manusia, dari sudut mana pun, karena itu bagaimana mungkin Allah membutuhkan
kepada makhluk?
No comments:
Post a Comment