Manusia diciptakan dengan berbagai macam keunikan mulai
dari warna kulit, jenis kelamin, bahasa, suku, dan postur tubuh serta keragaman
agama dan budaya yang berbeda antara manusia satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan
kehendak Allah yang bersifat kodrati dan hukum Allah. Sunatullah ini merupakan
kekuasaan dan kehendak, sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an surat ar-Rum
ayat 22:
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ
لِلْعَالِمِينَ
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit
dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS.
Ar-Rum: 22)
Kemajemukan adalah murni kekuasaan Allah Swt, bukan berarti
Allah tidak bisa menciptakan umat yang satu. Kenapa Allah menghendaki dalam keadaan
yang majemuk? Karena dengan ini manusia diuji keshalehannya, untuk dapat
menghormati dan menghargai ciptaan-Nya dan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Keragaman merupakan sunatullah, maka tidak ada sikap lain bagi muslim
terhadap pluralitas kecuali menerima sepenuhnya. Seperti yang tertulis dalam
al-Qur’an surat al-Maidah ayat 48:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan.” (QS. Al-Maidah: 48).
Pluralisme merupakan sebuah keharusan bagi keselamatan umat
manusia di muka bumi ini dan merupakan kemurahan Allah yang melimpah kepada manusia.
Allah menciptakan umat yang majemuk karena di situ terletak kekuatan penyeimbang
dan mekanisme pengawaasan antara sesama manusia. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 251:
وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ
لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Seandainya Allah
tidak menolak (keganasan) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti
rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas
semesta alam.” (QS. Al-Baqarah: 251).
Dengan demikian penghormatan atas pluralitas dalam kehidupan
adalah suatu keharusan. Hal ini berimplikasi pada keharusan manusia untuk menjalin
hubungan kerjasama dengan manusia lainnya dalam membangun dan memecahkan masalah
bersama. Dengan demikian, dalam kontak sosial ada kecenderungan menerima dengan
tulus atas perbedaan itu disertai dengan dialog untuk mengambil nilai lebih. Pluralisme
adalah sebuah kontrak sosial dalam hubungan antar masyarakat, di mana manusia
diwajibkan berhubungan baik tanpa pandang bulu.
Indonesia merupakan negara plural dengan ragam budaya,
suku, etnis, dan agama serta ideologi merupakan kekayaan tersendiri. Oleh
karena itu, keragaman agama, etnis, maupun budaya membutuhkan sikap yang arif dan
kedewasaan berpikir dari berbagai lapisan masyarakat tanpa melihat dan membeda-bedakan
latar belakan satu sama lain. Tanpa ada sikap saling curiga dan berprasangka
negatif terhadap kelompok lain. Konsekuensi menjadi masyarakat dari sebuah
negara majemuk adalah menghadirkan sikap penghormatan atas pluralitas tersebut.
Menurut Gus Dur yang dibutuhkan dalam menyikapi kemajemukan
masyarakat Indonesia tidak hanya dengan sikap saling menghormati saja. Yang
dibutuhkan adalah saling memiliki (sense of belonging), yang diwujudkan
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Semua pihak di kalangan umat Islam
bertanggung jawab untuk menumbuhkan rasa saling memiliki terhadap semua warga
masyarakat bangsa ini. Dengan begitu, Islam dapat tumbuh menjadi kekuatan
pelindung bagi seluruh lapisan masyarakat secara keseluruhan.
Untuk tegaknya pluralisme dalam masyarakat tidak hanya terletak
dalam pola hidup berdampingan secara damai, karena di Indonesia masih rentan
terhadap munculnya kesalah-pahaman antar kelompok masyarakat yang dapat menimbulkan
disintegrasi. Harus ada pengharagaan yang tinggi terhadap pluralisme, yaitu
dengan adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus, sehingga
hubungan antar kelompok masyarakat dapat terjalin dengan baik.
Nilai Islam yang universal dan esensial harus lebih
diutamakan ketimbang Islam yang bersifat simbolis. Islam mewarnai kehidupan
berbangsa dan bernegara tanpa membawa embel-embel.[1]
Pemikiran Gus Dur yang menggabungkan pemahaman Islam tradisional dan
pemikirannya yang modern bertujuan untuk membawa Islam maju dan berkembang dalam
modernitas yang terjadi di Indonesia.
Dalam hal teologi, Gus Dur tidak dapat berkompromi dan
dengan yakin menegaskan bahwa agama Islam adalah keyakinan yang paling benar. Akan
tetapi, dalam kehidupan sosial, dengan tegas Gus Dur menyatakan bahwa setiap warga
negara memiliki hak yang setara dalam memperoleh peradilan. Tidak ada mayoritas
dan minoritas, karena menurut Gus Dur semua berhak menunjukkan identitas masing-masing.
Gus Dur menyatakan bahwa, sejak lahirnya setiap agama memiliki
kekhususannya sendiri, yang secara mendasar harus ditundukan kepada kepentingan
bersama seluruh bangsa. Agama harus berorientasi pada pendangan-pandangan
mengenai martabat manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia di muka
undang-undang dan solidaritas hakiki antara sesama umat manusia. Dalam upaya
ini, tiap-tiap agama harus dapat berintegrasi dengan keyakinan-keyakinan lain
dalam bentuk pencapaian sejumlah nilai-nilai universal. Hal ini diwujudkan
secara nyata seperti penanggulangan kemiskinan, penegakan kedaulatan hukum dan kebebasan
menyatakan pendapat.[2]
Gus Dur menyatakan, pluralisme selalu paralel dengan dimensi
kemanusiaan, karena itu tidak bisa ditolerir adanya kekerasan dalam kehidupan
lebih-lebih membawa bendera agama. Pluralisme yang di gagas oleh Gus Dur
berkaitan dengan gagasan kebangsaannya. Pluralitas dalam kehidupan berbangsa menurutnya,
terutama sekali berbentuk dalam penyamaan hak-hak dan status antara golongan
mayoritas dan golongan minoritas agama dalam kehidupan berbangsa.[3]
[1] Islamisasi bukanlah proses Arabisasi,
tetapi Islamisasi lebih mengutamakan pada manifestasi nilai-nilai Islam dalam
kehidupan. Indonesia tidak bisa disamakan dengan Arab, Indonesia merupakan
negara majemuk di mana Islam Nusantara
berkembang dan memiliki
ciri khas tersendiri. Muhammad Kasman, Menimbang Pribumisasi
Islam ala Gus Dur, dalam www.muhammad-kasman.com/2010/01/menimbang-pribumisasi-islam-ala-gus-dur,html?m=1
[2] Abdurrahman Wahid, Islam
Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan, The Wahid
Institute, Jakarta, 2007, h. 287.
[3] Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme
Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholish Majid dan Abdurrahman Wahid, PT.
Rineka Cipta, Jakarta, 1999, h. 60.
No comments:
Post a Comment