GUNUNGAN DALAM WAYANG


1. Pengertian Wayang Gunungan

Wayang gunungan atau yang sering disebut dengan kekayon berasal dari kata kayu artinya pohon. Kekayon diartikan sebagai pohon hidup atau pohon hayat.[1]

Gunungan (kayon) dalam pewayangan melambangkan berbagai hal seperti gunung, pohon besar, api, ombak, samudra, angin ribut, gua dan lain-lain. Kekayon sebenarnya melambangkan kehidupan, karena gunungan wayang membawakan lambang konsep mitos Jawa:  Sangkan Paraning Dumadi.

Gunungan adalah pahatan lukisan berbentuk gunung (dalam wayang golek atau kulit) untuk mengawali, membatasi antara babak dan mengakhisi (cerita lakon).[2]

Ada juga yang memberi arti lain kepada kekayon, yaitu bahwa kekayon melambangkan hidup di dunia fana. Hal ini dihubungkan dengan tancep kayon sebagai sangkan paraning dumadi (kembali pada asal).

Pemikir dari golongan Islam lain lagi pendapatnya, menurut mereka “kekayon” berasal dari kata “khayyu” yang berarti hidup. Selain itu masih banyak lagi interprestasi yang bersifat filosofis atau mistik.

Pohon yang tergambar sebagai bentuk dasar gunungan wayang atau kayon itu adalah pohon Nagasari. Diberbagai keraton di Pulau Jawa. Pohon Nagasari selain indah bentuknya, kuat kayunya, juga dianggap membawa pengaruh baik bagi orang di sekitarnya. Namun sebagai gambar yang mem-bawakan perlambang, pohon pada gunungan melukiskan sejenis pohon yang hanya hidup di alam khayalan, yakni pohon Dewandaru. Pohon ini dianggap membawa pengaruh keabadian, kelanggengan. 

Tentang asal muasal gunungan dalam dunia pewayangan, ada beberapa versi. Ada yang menyebutkan gunungan diciptakan oleh kanjeng Sunan Kalijaga, pada zaman Demak. Ada lagi yang mengatakan gunungan sudah tergambar pada lembaran wayang beber yang dimainkan rakyat pada zaman Majapahit.[3]

Gunungan adalah wayang yang bentuknya meruncing ke atas, seperti bentuk puncak gunung.[4] Dalam gunungan memuat ajaran filsafat tentang ilmu kebijaksanaan. Hal itu menunjukkan bahwa lakon wayang berisi ajaran tentang nilai-nilai yang tinggi dan mendalam. 

Gunungan disebut meru atau Mahameru artinya gunung besar Mahameru, sebagai gambaran gunung Himalaya dengan segala penghuninya. Mahameru dianggap sebagai gunung Sunga kadang-kadang sebagai gunung dunia, kedua-duanya bersifat kudus.  Sehubungan dengan anggapan tersebut maka Mahameru mengandung berbagai unsur hidup dan unsur mati.

Mahameru dijadikan pusat pemujaan. Oleh beberapa pihak pohon hayat diartikan sebagai lambang kehidupan "Jagad Besar” utau "buana-agung" karena dalam gambaran tersebut dilukiskan unsur-unsur udara, air, angin, api dan tanah. Pohon hayat juga diartikan sebagai kehidupan yang tiada habis atau yang disebut "nunggak semi" (patah tumbuh hilang berganti).[5]

Dr. Rassers memandang kayon atau gunungan adalah suatu bentuk atau aparat yang ajaib: a. gambar hutan (pegunungan), b. meru (pohon surga atau pohon harapan).[6]

  Kayon adalah merupakan hutan di mana dewa-dewa abadi diam, pusat suci dari seluruh masyarakat, menurut Mythe pohon surga adalah permulaan ciptaan. Ada pula yang mengartikan gunung (kayon) merupakan tatanan kosmis, dunia paradewa jagad.[7]

Ki Cipto Sangkono (A. Sangkono Wardoyo) seorang dalang dan dosen pada Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyutu berpendapat, wayang gunung merupakan hasil cipta yang di dalamnya tersirat suatu ungkapan bergeloranya menuju cita-cita demi keselamatan jiwa manusia, agar terhindar dari bencana nafsu indria yang tak terkendalikan. Dengan cara menyucikan diri berdasarkan iman dan keimanan.[8]

Gunungan atau kayon merupakan simbolisme jagad semesta alam yang penuh melambangkan awal dan akhir kehidupan manusia. 

Keseluruhan pertunjukkan wayang sejak dari pembukaan (talu) hingga berakhirnya pagelaran dengan tancep kayon, mempunyai kandungan filosofis Jawa. Tiap adegan dengan iringan gending sendiri-sendiri dan makin lama makin meningkat laras dan iramanya, hingga mencapai klimaks dengan diakhiri tancep kayon setelah semua problem di kalangan lakonnya terjawab dan terpecahkan.

2. Jenis dan Fungsi Gunungan

a.  Jenis gunungan

Bentuk dan seni kriya gunungan selalu berubah dan zaman ke zaman.  Antara daerah satu dengan daerah lainnya juga terdapat perbedaan bentuk.  Pada 1737 Masehi Susuhanan Paku Buwana II di Kartasura memerintahkan para seniman Keraton untuk menciptakan bentuk seni kriya gunungan baru, yang memasukkan unsur gambar gaputa.[9]

  Gunungan dengan gapura ini diberi candra sengkala gapura uma retuning bumi, yang melambangkan angka tahun Jawa 1659 atau 1737 Masehi. Dalam perkembangannya di dunia pewayangan, gunungan gapura ini disebut gunungan lanang (lelaki). 

Di lihat dari bentuknya ada dua macam gunungan[10] yaitu gunungan gapura (zaman Kartasura), gambaran utama bentuk gunungan ini berupa gapura (gerbang) dengan lima pilar. Seeokor harimau dan seekor benteng terdapat di latar belakang. Ini melambangkan konfrontasi abadi antara segala yang buruk dengan segala yang baik. Di latar depan, di sisi kiri dan kanan gapura itu terdapat dua orang raksasa penjaga pintu bersenjatakan ganda dan perisai. 

Dunia wayang kulit purwa juga mengenal gunungan lain yakni gunungan blumbungan (gunungan wadan atau perempuan). Pada gunungan blumbungan terdapat gambar sepasang sayap, sepasang jlarang yaitu sejenis musang dan rase. Selain itu tergambar pula beberapa jenis binatang seperti ular, burung, merak dan monyet. 

Gunungan dalam berbagai gagrak ada empat macam yaitu gunungan gagrak Yogyakarta, gunungan gagrak Jawa Timur, gunungan gagrak Surakarta, dan gunungan gagrak Cirebon. Dalam berbagai jenisnya gunungan wayang golek menak dan gunungan wayang Sasak.

Ragam bentuk gunungan atau kayon terdapat perbedaan, yang disebab-kan oleh jenis wayang yang berbeda, bisa pula karena dibuat oleh seniman dari daerah atau zaman yang berbeda.[11]

b.  Fungsi Gunungan

Gunungan yang pada awalnya disebut kayon, dalam pewayangan melambangkan tentang berbagai hal. Figur wayang gunungan merupakan gambar wayang yang sangat penting dalam setiap pertunjukan wayang, tanpa  kayon gunungan pertunjukan tidak dapat berjalan.

Kayon itu ujudnya semacam gunung runcing, karenanya kemudian dinamakan “gunungan”.  Isinya hiasan bermacam-macam, dilihat dari ujud dan fungsinya, kayon gunungan ini mempunyai beberapa fungsi dalam pertunjukkan, yakni:

1)  Dipergunakan dalam pembukuan dan penutupan adegan-adegan.
2)  Sebagai tanda untuk pengertian jejeran (adegan/babak).
3) Untuk menggambarkan sesuatu yang tidak ada ujud wayangnya, seperti gapura, samudra, hujan, batu, gua, kekacauan, guntur, gelap, api atau untuk mewujudkan Sang Hyang Menang.
4)  Salah satu alat komunikasi antara dalang dengan penabuh gemelan yang mengiringinya.
5) Sebagai aba-aba dalang kepada para penabuh gemelan terutama penggendang dan penggedernya.[12]

Kayon itu juga dapat dipergunakan untuk menandai pembagian waktu pertunjukan pegelaran wayang kulit semalam suntuk.[13] Bahwa untuk masa pertama didahului tancapan kayon miring ke kiri, masa kedua tegak, dan masa ketiga miring ke kanan. Masing-masing masa langgam gamelannya berbeda-beda yaitu masing-masing patet ngeog manyuro, patet sanga dan patet manyuna. 

Pendapat R. Samsudjin bahwa tancepan gunungan ada yang dengan sistem ke kanan, lalu tegak, lalu ketiga ke kiri. Yang kuno (klasik): ke kanan tegak ke kiri. Ada aliran sebaliknya ke kiri-tegak-ke kanan. Ada juga yang selalu ke kanan mulai dari awal sampai akhir. Hal ini ada falsafah yaitu bahwa kehidupan manusia di dunia ini dibagi dalam tiga masa: masa anak-anak, masa dewasa dan masa tua. 

Fungsi gunungan atau kayon dengan berbagai macam bentuk dan ragamnya disebabkan oleh jenis wayang yang berbeda atau dari daerah atau zaman yang berbeda. Misalnya pada wayang wahyu, sesuai fungsinya sebagai media penyebaran agama Katholik, gunungannya dibuat dengan pula dasar tatahan dan sunggingan yang menggambarkan salib. 

3. Unsur dan Makna Ornamen yang Terkandung dalam Gunungan

Pohon hayat atau pohon kehidupan oleh bangsa Indonesia sebagai lambang kehidupan alam semesta, dalam pohon hayat terkandung berbagai falsafah kehidupan. Hal ini terbukti setiap pribadi yang ingin menstabilkan arti pohon hayat yaitu kesejahteraan lahir batin bagi kehidupan umat. 

Unsur Islam dalam pewayangan, banyak sekali macam ragamnya. Semua dikemas dalam berbagai cerita yang telah berlaku dalam pewayangan, sunan Kalijaga adalah salah seorang wali yang sangat berhasil dalam berdakwah lewat wayang. 

Gunungan dibuat pada zaman Demak oleh Raden Patah (Sultan Syeh Alam Akbar) sekitar tahun L443. Sebelum pertunjukan wayang dimulai, gunungan diletakkan di tengah-tengah kelir yang merupakan titik pusat jangkauan mata penonton. Gunungan ini merupakan gambar simbolis dari mustika masjid.[14]

Gunungan bila/jika balikkan akan menyerupai jantung manusia. Makna yang tersirat tidaklah sembarangan, karena mengandung falsafah Islam. Sebagai orang hidup jantung harus selalu berada di masjid, maka yang perlu diperhatikan pertama-tama dalam hidup ini adalah masjid atau kepentingan beribadah kepada Allah. 

Gunungan mempunyai tiga sudut: pertama-tama manusia tidak bisa lepas dari tiga hal, yakni Tuhan yang mentakdirkan adanya manusia, kedua manusia dilahirkan lewat permainan asmara oleh ayah dan ibu, sebagai perantara proses terjadinya manusia. Ketiga dalam proses terjadinya manusia juga tidak lepas dari anasir-anasir yang berasal dari bumi, air, angin dan api. 

Kayon mengandung unsur Ke-Islaman yang sangat mendalam yaitu ajaran keimanan terhadap kekuasaaan Allah dalam menghidupkan segala zat hidup yang ada di langit dan di bumi beserta segala isinya.[15] Hal tersebut dapat dilihat pada gambar (ornamen dan lukisan) dalam gunungan yang mengandung ajaran filsafat. 

Ki Cipto Sangkono. CA Sangkono Cipto Wandoyo seorang dalang dan dosen pada Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta mengemukakan pendapatnya tentang unsur dan makna gambar (ornamen-lukisan) pada gunungatt:[16]

a. Gunungan atau Kayon diciptakan pada tahun 1443 saka, oleh sunan Kalijaga seorang wali dari jajaran Walisanga.

Di balik kayon terlihat sunggingan yang menggambarkan api menyala, ini merupakan surya (andra) sengkala atau sengkalan yang berbunyi geni dadi sucining jagad, artinya bahwa geni (api) berwatak tiga, dai dari kata wahudadi berwatak empat yang berarti samudra atau air, suci berarti air berwatak empat dan jagad berwatak 1. Jadi angka-angka itu menunjukan 3441, bila dibalik menjadi tahun saka 1443. Sengkala tersebut merupakan peringatan bahwa gunungan (kayon) diciptakan oleh sunan Kalijaga pada tahun 1443 saka.

b. Tanah tuwuh (pepohonan), terdapat di dalam gunungan dan sebagian orang mengartikan sebagai pohon Kalpataru yang mempunyai makna pohon hidup, sumber kehidupan, sumber kebahagiaan, sumber keagungan (pohon jenggi) sumber asal mula kejadian (pohon purwaning dumadi) sumber asal dan tujuan hidup (pohon sangkan panon) serta sumber hidup diatas segalanya (pohon waringin sungsang).

c. Gambar binatang dan bermacam unggas merupakan gambaran dari pelbagai macam tingkat kehiduapan di dunia, sedang gambar ular yang melilit pada pohon merupakan lambang badan jasmani dan rohani yang menyatu dan dalam pedalangan disebut kayu mati Nirambatan Handa Walika. 

d.  Tanah tempat pada tumbuh melambangkan, salah satu anasir terjadinya manusia, sedang gambar yang menempel pada pokok pohon melambangkan api, di bawah pohon, terdapat sebuah kolam (disebut beji) yang melambangkan air, disebut kanan dan kiri digambarkan sayap melambangkan atau muka raksasa (bersayap) adalah pelambang angin, dengan demikian tampak dalam kayon terdapat perlambang dari empat unsur yang menyangkut terjadinya manusia (tanah, api dan angin).

e.  Bagian bawah dari motif gunungan terdapat pintu gerbang yang diapit oleh dua raksasa dengan bersenjatakan perisai dan pedang.  Pintu gerbang melambangkan pintu masuk ke dalam kebahagiaan abadi, dan untuk memasukinya harus melalui penjaga (raksasa) sebagai lambang nafsu indera. 

f.  Makara bermata satu sebagai lambang pramana (sering pula disebut sebagai mata ketiga atau mata batinnya), dan pada puncak gunung terdapat gambar mustika sebagia lambang puncak tujuan hidup.

Berbeda lagi dengan pendapat seorang dalang sekaligus mubaligh di Nusukan-sala pada mashadi, berdasarkan pendapat Kyai Hambali beliau (pak Mashadi). Meninjau gunungan dari segi ujud dan fungsinya mengandung filsafat yang dalam:[17]

a.  Gunungan atau kayon diciptakan tahun 1443 saka yang ditandai oleh warna api pada balik kayon, yang merupakan candra sengkala memet “dahana marub rahayuning bawono" yang menunjukkan angka tahun 1443 saka.

b. Di dalam kayon terdapat gambar raksasa, menurut ilmu watak benda berarti bilangan lima.  Maksudnya bahwa rukun Islam itu ada lima perkara. 

c. Gambar gapuro berwatak sembilan, menggambarkan Walisongo.

d. Kanan dan kiri ada raksasa artinya bahwa manusia selalu diawasi oleh malaikat rokib dan atit. 

e. Disamping wuwung ada tatwa yang artinya bahwa kehidupan manusia itu dipengaruhi oleh lingkungan. 

f. Gunungan atau kayon terdapat bermacam-macam binatang yang meng-gambarkan nafsu manusia. Yaitu:

1) Harimau   : nafsu amarah
2) Banteng   : nafsu lawwamah
3) Kera        : nafsu shufiah
4) Burung     : nafsu mutmainnah.

Gambar yang terdapat dalam gunungan menurut paham Hindu Bali secara kosmos melambangkan proses pencampuran benda-benda di alam semesta menjadi satu yang disebut panca Maha Bhuta yaitu lima zat yang diciptakan oleh Tuhan terdiri dari banu (sinar-udara-setan), bani (brama-api), banyu (air), bayu (angin), dan bantala (bumi atau tanah). Keempat zat tersebut menjadi satu dan terwujudlah badan manusia. Sedangkan zat banu merupakan zat makanan utamanya. 

Pintu gerbang yang terdapat dalam gambar gunungan melambangkan jalan masuk ke dalam alam gelap yang merupakan batas antara alam terang (dunia fana) dengan alam gelap (alam baka atau akhirat) ular (naga) melambangkan sejatining urip dengan makna betapa sulitnya yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan.  

Ayam di atas pohon melambangkan tantangan hidup. 

Kera melambangkan ketangkasan atau keuluetan dalam kehidupan manusia. 

Banteng melambangkan watak atau pendirian yang jujur, kuat dan pantang menyerah. 

Harimau melambangkan keindahan yang disertai bahwa yang tangguh menghadapi lawan. 

Burung melambangkan kesenangan dan ketentuan untuk hari esok. 

Dua raksasa bersayap garuda (bledekan) adalah lembang empat nafsu manusia (mutmainnah, shufiah, lawwamah dan amarah) kijang yang berekor seperti komodo merupakan binatang yang aneh yang melambangkan kemauan hidup tanpa mempertimbangkan segi untung ruginya sekedar kesenangan belaka. 

Dan, bejana berbentuk bunga padma (teratai) yang terdapat di puncak pohon berisikan air suci melambangkan air kehidupan dari sang pencipta. 

Uraian makna ornament pada gunungan tersebut terlukislah makna filosofis dan mistik. Sehingga tampaklah jelas bahwa gunungan atau kayon merupakan lambang pusat kehidupan dan bermakna sebagai lambang ketuhanan (Tuhan Yang Maha Esa), yang banyak mengandung unsur dan makna filosofis jawa atau mistik.



[1] Suwaji Bastomi, Gelis Kenal Wayang, Jakarta: IKIP Semarang Press, 1992, hlm. 260.
[2] WJS. Poerwadarminto, op.cit., hlm. 53.
[3] Tim Penulis Sena Wangi, Ensiklopedi Wayang Indonesia, Jakarta: Sena Wangi, l999, hlm. 611.
[4] Suwaji Bastomi, Gelis Kenal Wayang, loc. cit.
[5] Widjiono Wasis, Ensiklopedi Nusantara, Jakarta: Dian Rakyat, 1989, hlm. 11.
[6] Sri Mulyono, Wayang Asal Usul dan Masa Depannya, Jakarta: CV. Hajimasaguna, 1989, hlm. 3l.
[7] Soedarsono, Melacak Perkembangan Seni di Indonesia, Bandung: MRTI Line, 2000, hlm. 182.
[8] S. Haryanto, Bayang-Bayang Adhiluhung, Filsafat, Simbolik, dan Mistik dalam Wayang, Semarang: Dahara Proze, 1992, hlm. 29-30.
[9] Tim Penulis Sena Wangi, loc.cit.
[10] Ibid, hlm. 612.
[11] Ibid, hlm. 613-615.
[12] Ibid.
[13] Effendy Zarkasi, op.cit. hlm. 116.
[14] Ismunandar, Wayang Asal Usul dan Jenisnya, Semarang: Dahara Prize, 1988, hlm. 102.
[15] Effendy Zarkasi, op.cit. hlm. 114.
[16] S. Haryanto, op.cit., hlm. 29-31.
[17] Effendy Zarkasi, op.cit. hlm. 115-116.

No comments:

Post a Comment