WAYANG


Jawa Tengah memiliki berbagai kesenian tradisional yang mengakar pada kepribadian sendiri, satu di antaranya adalah seni pertunjukan wayang kulit. Kesenian wayang kulit adalah kesenian asli etnis Jawa Tengah yang telah diakui oleh masyarakat Jawa Tengah sebagai kesenian yang mempunyai nilai “adhiluhung”,[1] yang mampu menyerap kesenian manca negara dengan tetap berpijak pada bentuk dan tradisi kesenian wayang kulit yang asli. Oleh karena itu, kesenian wayang kulit merupakan salah satu keseniaan tradisional yang pertama-tama perlu dipertahankan, dilestarikan, dan dikembangkan sebagai identitas maupun bukti jati diri Jawa Tengah khususnya, Indonesia pada umumnya.

Wayang adalah salah satu seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol.  Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara (musik), seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang dari zaman ke zaman juga merupakan media penerang, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Dalam setiap lakon dapat diambil suri tauladan atau makna yang tersirat dan terurat dalam setiap lakon agar manusia dapat mengambil hikmahnya. Dengan demikian, peranan wayang lebih sebagai dasar filosofi manusia Jawa, disamping ajaran-ajaran yang disampaikan oleh pujangga Jawa.

Hasil kesenian tradisional warisan nenek moyang bangsa Indonesia berupa pertunjukan wayang kulit yang padat dengan nilai filosofis, nilai simbolis, dan nilai historis (adhiluhung) pernah mengalami puncak kejayaan dan masih diagungkan keberadaannya sampai sekarang. Begitu besar perhatian orang-orang Jawa terhadap keberadaan wayang ini, maka wayang dianggapnya sebagai dasar filosofis manusia Jawa.[2]

Bahkan dahulu banyak orang-orang Jawa memberikan nama-nama anak-nya dengan tokoh-tokoh seperti dalam pewayangan. Dalam masyarakat Jawa berbagai cerita memberikan makna terhadap berbagai perilaku dan watak manusia dalam rangka pencapaian tujuan hidup.

1.  Pengertian Wayang

Perkataan wayang menurut bahasa Jawa adalah wayangan (layangan), menurut bahasa Indonesia adalah bayang-bayang, samar-samar, tidak jelas, menurut bahasa Aceh: bayangan arti wayangan, menurut bahasa Bugis wayang atau bayang–bayang. Sedang dalam bahasa Bikol (Jawa kuno) menurut pendapatnya Prof. Kern, wayang adalah bayangan yang bergoyang-goyang, bolak-balik (berulang-ulang) mondar-mandir, tidak tetap.

Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang dapat berarti pertunjukan panggung dan teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung dimana sutradara ikut bermain. 

Secara etimonologi wayang sebagaimana pendapat R.T. Josowidagdo adalah berasal dari bahasa "ayang-ayang" (bayangan) karena yang dilihat adalah bayangan dalam kelir (tabir kain putih sebagai gelanggang permainan wayang). 

Bayangan tersebut nampak karena sinar blencong (lampu di atas kepala sang dalang). Ada juga yang berpendapat bahwa wayang berarti bayangan agan–agan, sehingga segala bentuk apa saja dari wayang adalah disesuaikan dengan adanya kelakuan tokoh yang dibayangkan dalam agan-agan itu.

Aliran kebatinan Harjaning Diri, mengartikan wayang berarti "wewayanganing manungsa"  (bayang–bayang manusia), maksudnya melihat wayang berarti sama halnya melihat kaca rias, yang dilihat oleh orang bukan kacanya tetapi apa yang ada dalam kaca, yaitu dirinya pribadi. Sebab wayang merupakan bahasa simbol dari hidup dan kehidupan manusia, dan bukan sebaliknya. Dengan mempelajari dan mengenal wayang kita dapat mengenal hidup dan kehidupan kita sendiri.

Menurut versi kebatinan wayang disebut dengan "ringgit", dalam bahasa Jawa diartikan dengan saringaning–anggit artinya kudu disaring lan di anggit, maksudnya harus dicari intisarinya.

Wayang sebagai salah satu seni pertunjukan sering diartikan sebagai bayangan yang tidak jelas hanya samar-samar bergerak ke sana ke mari. Dengan bayangan yang samar-samar tersebut tidak diartikan sebagai gambaran perwatakan manusia, lebih dari itu sering pula dimaksudkan sebagai penggambaran kehidupan manusia di masa lampau.

Kata wayang dapat diartikan sebagai gambaran atau tiruan manusia yang terbuat dari kayu, kulit, dan sebagainya[3] untuk mempertunjukkkan sesuatu lakon (cerita).  

Arti lain dari kata wayang adalah ayang-ayang (bayangan), karena yang dilihat adalah bayangan di kelir (tabir kain putih sebagai gelanggang permainan wayang). Disamping itu, ada yang mengartikan bayangan angan-angan, yang menggambarkan perilaku nenek moyang atau orang yang terdahulu (leluhur) menurut angan–angan, karena terciptanya segala bentuk wayang disesuaikan dengan perilaku tokoh yang dibayangkan dalam angan–angan.[4]

Adapun arti wayang menurut istilah yang diberikan oleh Doktor Th. Piqued ialah: (1) Boneka yang dipertunjukkan (wayang itu sendiri), (2) Pertunjukkannya, dihidangkan dalam berbagai bentuk, terutama yang mengandung pelajaran (wejangan–wejangan), yaitu wayang purwa atau wayang kulit yang diiringi dengan teratur oleh gamelan (instrument) slendro.[5]

Dr. G. A.J. Hazzeu (seorang ahli sejarah kebudayaan belanda), menunjuk-kan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukkan asli Jawa. Wayang adalah “Walulang inukir” (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir.[6]

Sri Mulyono berpendapat, wayang adalah sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) asli, yang berarti bayang-bayang, atau bayang yang berasal dari akar kata “yang” mendapat tambahan “wa” yang menjadi wayang.[7]

Kusumajadi mengatakan wayang adalah bayangan orang yang sudah meninggal,[8] jadi orang yang digambar itu sudah meninggal, lebih lanjut ia menjelaskan: kata wayang tadi dari suku kata wa dan yang.  Wa: trah yang berarti turunan, yang: hyang yang berarti eyang kakek, atau leluhur yang sudah meninggal.  

Arti lain dari wayang adalah (bayangan) potret kehidupan yang berisi sanepa, piwulang, pituduh (kebiasaan hidup, tingkah laku manusia dan keadaan alam) atau wayang adalah etika kehidupan manusia.[9]

Wayang dalam kamus bahasa Indonesia adalah boneka tiruan manusia dan sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Sunda, Jawa dan sebagainya), biasanya dimainkan oleh seorang dalang.       
       
Kemunculan wayang kulit ini ada yang meyebutkan bahwa wayang bermula dari relief candi,[10] agar dapat dibawa dan dikisahkan atau dipertunjukkan, bentuk pada relief itu dikutip pada bentuk gambar yang dapat digulung, hal ini terbukti banyak candi yang memuat relief cerita wayang. Misalnya candi Prambanan (Yogyakarta), dan candi Penataran (Blitar), candi Jago (Malang-Jawa Timur). 

Ada pendapat yang mengatakan bahwa timbulnya wayang itu dari kepercayaan pada roh leluhur yang sudah mati,[11] yang dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai pelindung dalam kehidupan.

Pengertian wayang yang begitu banyak maka, penulis katakan bahwa wayang adalah suatu hasil seni budaya manusia yang menggambarkan tentang tingkah laku kehidupan manusia dalam menempuh kesejahteraan dan beribadah kepada Tuhan. Karena wayang merupakan lambang manusia yang disesuaikan dengan tingkah lakunya, sebab wayang itu sendiri apabila dipraktekkan akan membawa peran yang mencakup ajaran ke-Tuhanan, filsafat, moral, dan mistik.

2.  Macam-macam Wayang
 
Budaya wayang berkembang selama berabad–abad memunculkan ber-bagai ragam jenis wayang. Kebanyakan jenis wayang itu tetap menggunakan Mahabarata dan Ramayana sebagai induk ceritanya. Alat peraganya pun berkembang menjadi beberapa macam, antara lain wayang yang terbuat dari kertas, kain, kulit, kayu, dan juga wayang orang (wayang wong).

Perkembangan jenis wayang juga dipengaruhi oleh keadaan budaya daerah setempat.[12] Misalnya wayang kulit purwa yang berkembang pula pada ragam kedaerahannya menjadi wayang kulit purwa khas daerah, seperti wayang Cirebon, wayang Bali, wayang Betawi, dan sebagainya. Ada beberapa jenis wayang di Indonesia, yang terpenting diantaranya adalah:

a.  Wayang Purwa (wayang kulit)

Cerita wayang purwa bersumber pada wiracerita Mahabarata dan Ramayana.  Wayang purwa ini merupakan jenis wayang yang paling populer di masyarakat sampai saat ini. Wayang purwa ada yang terbuat dari kulit (wayang kulit purwa) dan ada yang terbuat dari kayu (wayang golek purwa).[13]

b.  Wayang Madya

Wayang madya ini merupakan ciptaan Sri Mangkunegara IV Surakarta.  Ceritanya merupakan lanjutan cerita wayang purwa yaitu dari Yudayono sampai Jayalengka. Wayang madya ini tidak berkembang karena keberadaan-nya hanya terbatas pada lingkungan  kadipaten Mangkunegara.[14]

c.  Wayang Gedog

Wayang gedog diciptakan oleh sunan Giri dengan iringan gamelan pelog.  Isi ceritanya adalah lanjutan wayang madya dengan dasar ceritanya dari cerita panji yang muncul zaman Kediri dan Majapahit, yang merupakan cerita-cerita jenggala.[15]

d.  Wayang Klitik (krucil)

Jenis wayang ini untuk menceritakan tanah Jawa, khususnya kerajaan Majapahit dan Pajajaran, sumber cerita wayang klitik dari serat Damarwulan. Wayang klitik dibuat oleh Pangeran Pekik, pertama kali wayang kulit ini terbuat dari kulit, kemudian oleh Paku Buwana II wayang klitik ini dibuat dengan bahan kayu, sehingga apabila dimainkan menimbulkan suara kliti “klitik- klitik” atas dasar inilah wayang krucil disebut wayang klitik.[16]

e.  Wayang Golek 

Cerita wayang jenis ini bersumber pada serat Menak, yang berisikan cerita hubungan negeri Arab dan Persia pada zaman awal Islam.[17]

f.  Wayang Menak 

Wayang yang isinya hanya menggambarkan riwayat menak dari lahir anak, dewasa, tua, sampai meninggal.  Wayang ini dibuat oleh Truna Dipa.

g.  Wayang Cina 

Wayang Cina dibuat tahun 1850, merupakan wayang yang berasal dari Kapitein Liem Kie Tjwan dengan sumber cerita roman sejarah negeri cina.

h.  Wayang Beber

Keberadaan wayang beber ini  telah berada dalam kepunahan. Wayang ini terdiri dari dua jenis yaitu: wayang beber purwa yang muncul zaman Majapahit oleh Prabangkara, dan wayang beber gedhong muncul pada zaman kesultanaan pajang oleh sunan Bonang abad XV.

i.  Wayang Wong 

Wayang wong adalah pertunjukan wayang yang dipergunakan oleh manusia (wong), meliputi: wayang purwa, wayang wong gedhong, wayang wong klitik, dan wayang wong menak.

j.  Wayang Kontemporer

Wayang ini muncul karena perkembangan dari wayang kulit purwa yang muncul pada abad XX yaitu:

1) Wayang Dobel, dibuat pada tahun 1927 di daerah Wonosari, Gunung kidul, Yogyakarta, sumber ceritanya dari riwayat nabi.
2) Wayang  Kancil, wayang ini dibuat oloh Babah Bo Liem tahun 1925, sumber cerita wayang kancil ini dari ceritera kancil.
3) Wayang Wahyu, wayang yang dipergunakan untuk dakwah kaum Nasrani, dibuat oleh RM. Soertato Hardjo Wahono.
4) Wayang Pancasila, wayang yang dibuat pada tahun 1980. Ceritanya kadang mengambil dari cerita wayang klitik.  Ciri yang menonjol adalah kayonya disesuaikan dengan lambang Garuda Pancasila.
5) Wayang Suluh, dibuat tahun 1946, wayang ini dibuat untuk memberikan penyuluhan (obor) kepada masyarakat tentang perjuangan.
6) Wayang Ukur, dibuat oleh Drs. Sukasman dari ISI Yogyakarta tahun 1982, cara pementasan ini dimainkan oleh dua dalang dengan lampu warna - warni, hal ini yang membedakan dengan yang lain.
7) Wayang Diponegoro, dibuat oleh Kuswaji Kawendra Susanto di Yogyakarta tahun 1983. Sumber ceritanya diambil dari babad Diponegoro.
8) Wayang Sadat, dibuat tahun 1980, oleh Drs. Suryadi  seorang da’i dari Trucuk - Klaten. Sumber ceritanya dari kehidupan para wali sebagai penyebar agama Islam.

3.  Beberapa Wujud Wayang Kreasi Baru

Wayang kulit purwa jika dikaitkan dengan kegiatan berbudaya, memiliki dua fungsi utama. Pertama berfungsi sebagai sarana pengungkapan kreatifitas seni, kedua berfungsi sebagai sarana berkomunikasi dalam berbagai kepentingan. 

Keberhasilan wayang kulit purwa yang memiliki beberapa paran yang menyebabkan munculnya berbagai kreasi baru dalam wayang kulit. Munculnya bentuk dan cerita wayang baru itu dipengharuhi pula oleh perkembangan yang bergejolak dalam masyarakat pendukungnya.[18]

Maksud dari kreasi adalah hasil daya cipta atau hasil daya khayal atau buah pikiran dan kecerdasan akal pikiran manusia. Sedangkan yang dimaksud baru adalah sesuatu yang belum pernah ada (masih segar). Jadi, yang dimaksud wayang kreasi baru adalah jenis wayang kulit yang belum pernah ada dan merupakan hasil rekayasa para seniman. 

Teater wayang senantiasa mengembangkan bentuk hiburan dan pendidikan. Wayang kulit sangat populer dan luwes, mengilhami penciptaan bentuk baru pada abad ke-20. Enam diantaranya wayang yang diterima dengan semangat oleh masyarakat adalah wayang suluh, wayang revolusi, wayang pancasila, wayang kancil, wayang sadat, dan wayang wahyu. Yang menarik dari semua wayang ini adalah digunakan serbagai sarana (wahana) pendidikan.[19]

Munculnya wayang kreasi baru itu menambah semaraknya dunia pewayangan. Dengan latar belakang dan dasar pemikiran yang berbeda-beda dalam mencipta wayang, sehingga mengenai makna dan nilai beragam pula.  Sumber gubahan dalam mewujudkan wayang kreasi baru,[20] ialah:

a.  Cerita (lakon)

Cerita atau lakon memiliki tokoh-tokoh yang karakteristik, dari tokoh itu dapat diklasifikasikan yang kemudian dapat diwujudkan menjadi suatu kriteria. Berdasar cerita kriyawan dapat berkreasi menciptakan beberapa alternatif dengan kriteria yang mantap. Misalnya mengenai atribut akan dipengaruhi oleh latar belakang ceritanya.

b.  Bentuk (wujud)

Bentuk (wujud) merupan sumber kedua yang lebih mengarah pada pengolahan bentuk tokoh-tokohnya. Pertimbangan utama dalam penciptaan wayang berdasar bentuk ini adalah aspek teknik dan estetis seni rupa.

Kreasi bentuk merupkan tujuan utama untuk menghasilkan wayang kreasi baru yang bernilai estetis tinggi. Karya wayang kreasi baru itu jauh meninggalkan nilai tradisi dalam wayang kulit, terutama pada bentuk atribut-atributnya.

Beberapa Wujud Wayang Kulit kreasi Baru:

a.  Wayang Suluh      
         
Wayang Suluh tercipta setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pada tahun 1950, gren baru dipergunakan oleh Departemen Penerangan untuk menyebarkan penerangan pemerintah karena pada zaman itu selain radio jarang, jarak terlalu jauh, dan televisi belum ada rakyat masih buta huruf. Seiring dengan perjalanan waktu, bentuk wayang ini berkembang menjadi teater rakyat.

Boneka wayang suluh terbuat dari kulit kerbau atau sapi.  Sosok tokoh diperlihatkan dalam raut wajah. Boneka-boneka ini menggambarkan laki - laki dan perempuan modern yang mengenakan pakaian sehari-hari, pakaian setempat atau pakaian Barat atau tergantung tokoh yang menggambarkan.

Pementasan wayang suluh ini diiringi gamelan dengan gubahan modern.  Cerita dan tema yang dilakonkan adalah kejadian sehari-hari yang dialami oleh anggota masyarakat, adapula yang diambil dari sejarah mataram, perang Diponegoro, kisah kepahlawanan Suropati melawan Belanda dan sebagainya.[21]

b.  Wayang Revolusi 

Masa revolusi (1945-1949) pemerintah nasional Indonesia berjuang dengan menggunakan berbagai cara untuk mendapat dukungan masyarakat. Pemerintah menggunakan wayang revolusi ini sebagai sarana  penerangan.

Boneka dalam wayang revolusi menggambarkan berbagai tokoh kontemporer, seperti Soekarno, Nehru, Perjuangan revolusi, Belanda dan rakyat.  Banyak boneka yang diukir dan dilukis secara nyata, mengambarkan masyarakat modern. 

Cerita-cerita wayang revolusi diambil dari kejadian nyata pengeboman Hirosima, Jepang dan pecahnya pertempuran antara Belanda dan tentara pelajar atau rakyat. Dengan berakhirnya masa revolusi, wayang revolusi tidak lagi terkenal.

c.  Wayang Sadat

Wayang ini merupakan wayang kulit kreasi baru yang berdasar pada faham (ajaran) Islam dan berfungsi sebagai sebagai sarana dakwah.  Wayang ini diciptakan oleh Suryadi Warnosuharjo, pada tahun 1985. Kata sadat berasal dari kata syahadatain atau merupakan akronim sarana dakwah dan tablig.

Cerita wayang sadat berkisar pada masa penyebaran ajaran Islam di Jawa (pada masa dikenalnya para wali demak) hingga masa berdirinya kerajaan mataram.  Sumber ceritanya berasal dari Serat Babad Tanah Jawi dan Serat Babad Demak.

Tujuannya disamping wujud wayang yang bercorak Islam, sarana lainnya juga disesuaikan dengan langgam keislaman. Baik dalang maupun niyaga menggenakan sorban, kemudian waranggana berbusana muslim. Dalam pocopan dan gending di sana-sini diselingi kata dan irama Arab. Awal pertunjukan dimilai dengan pemukulan beduk (semacam kendang berukuran besar) bertalu-talu yang kemudian dibuka dengan salam.

Wujud wayang sadat masih berdasar pada wayang kulit purwa, baik atribut sistem stilasinya. Hanya saja bagian muka dan tanggan serta irah-irahan (ikat kepala) mendapat beberapa gubahan, maka dari jenis wayang ini hampir sama dengan wayang suluh atau merupakan penggambaran manusia dari samping dengan atribut sorban, jubah, gamparan (sepatu) menyandang keris dan lain sebagainya.

d.  Wayang Pancasila    

Salah satu dari beberapa bentuk wayang kulit yang diciptakan setelah kemerdekaan oleh Harsono Hadi Soeseno adalah wayang pancasila. Dalam wayang pancasila pendawa lima dari Mahabarata menjadi lambang lima sila dasar negara Indonesia.[22]

e.  Wayang kancil

Wayang kancil diciptakan sekitar tahun 1924 atau 1925 oleh Bolim, seorang warga negara Indonesia keturunan Cina dari Surakarta. Dengan kalimat yang sudah dimengerti dongeng tentang kancil yang cerdik dan sangat masyhur selain menghibur dan mendidik pendengarnya, juga memberikan pesan moral, bahkan membuat kritik sosial melalui tokoh-tokoh hewan yang dapat berbicara.

f.  Wayang Wahyu

Teater wayang kulit jenis ini diciptakan tahun 1957 oleh Timotheus Mardji Wignyasoebrata dipergunakan untuk mengajarkan ajaran agama Katholik.  Dengan mengambil cerita perjanjian lama dan pejanjian baru, serta iringan musik gamelan dengan nada diatonis musik gereja. 

Kesenian khususnya yang berhubungan dengan perkembangan wayang, adanya harapan mengenai perkembangan wayang di masa mendatang. Hal ini tidak saja dipengaruhi oleh keindahan dan ketertarikan untuk mengetahui lebih mendalam tentang wayang kemunculan wayang kreasi baru akan diikuti pula tentang cita rasa yang kemungkinan sesuai dengan jiwa dan cita rasa generansi muda kini.



[1] Suwaji Bastomi, Gemar Wayang, Semarang: IKIP Semarang Press, 1996, hlm. 25-26.
[2] Asmoro Achmadi, Filsafat Dan Kebudayaan Jawa, Upaya Membangun Keselarasan  Islam dan Budaya Jawa, Semarang: Cendrawasih, 2003, hlm. 34.
[3] W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, hlm. 1150.
[4] Sagio dan Samsugi, Wayang Kulit Gagrak Yogyakarta, Morfologi, Tatahan, Sunggingan, dan Tehnik Pembuatannya, Jakarta: CV.Hajimasagung, 1991, hlm. 4.
[5] Effendy Zarkasi, Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan, Sala: Mardikintoko, 1997, hlm. 53.
[6] Tim Penulis Enslikopedi Nasional Indonesia, Enslikopedi Nasional Indonesia, jilid 17, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1991, hlm. 274.
[7] Akar kata wayang adalah “yang”.  Akar kata ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain terdapat dalam kata “laying”atau terbang, “doyong” atau miring, tidak stabil, “royong” yang berarti selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain, “poyang payingan” berjalan sempoyongan, tidak tenang, dan sebagainya. Dengan membandingkan berbagai pengertian dari akar kata “yang” beserta variasinya, dapatlah dikemukakan bahwa kata dasarnya berarti tidak stabil, tidak pasti, tidak tenang, terbang, bergerak kian kemari. Sagio dan Samsugi, op.cit., hlm. 5.
[8] Sunarto, Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta, Sebuah Tinjauan  tentang Bentuk, Ukiran, Sunggingan, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 15.
[9] Suwaji Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan, Semarang: Dahara Prize, 1993, hlm. 15.
[10] Sagio dan Samsugi, op.cit., hlm. 5-6.
[11] Sunarto, op.cit., hlm. 16.
[12] Tim Penulis Enslikopedi Nasional Indonesia, op.cit., hlm. 275.
[13] Sagio dan  Samsugi, op. cit., hlm. 11.
[14] Effendi Zarkasi, op.cit., hlm. 55.
[15] Sunarto, op.cit., hlm. 28.
[16] Effendi Zarkasi, op.cit., hlm. 57.
[17] Asmoro Achmadi, op.cit., hlm. 41-42.
[18] Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit Purwa, Semarang: Dahara Prize, 1997, hlm. 132.
[19] Edi Sedyawati, Seni Pertunjukan, Jakarta: Grolier Internasional, 2002, hlm. 60.
[20] Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit Purwa, op. cit., hlm. 133-135.
[21] Edi Sedyawati, Seni Pertunjukan, op.cit., hlm. 60-61.
[22] Edi, Soedyawati,ibid.

No comments:

Post a Comment